TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG MOJOKERTO
Dalam proses hidup ini, tidak ada manusia yang baru mulai melangkahkan kaki menempuh proses, melainkan setiap manusia sudah berada dalam tengah2 perjalanan. Sebagian manusia ketika berada di tengah perjalanan, ia sadar bahwa ia didatangkan oleh Tuhan untuk memperbaiki lingkungannya dan dirinya sekaligus. Sebagian manusia lain, hidupnya hanya dimotivasi oleh keinginan2 utk memperbanyak hal2 yang diduga membahagiaan dan menyenangkan, tapi hasilnya hanya membebani diri untuk memelihara dan merawatnya. Kata2 proses hanya ada dalam makhluk hidup. Proses bukanlah berpindahnya sebuah benda mati dari satu titik keruangan ke titik keruangan yang lain. Proses itu adalah bagi makhluk yang hidup, jadi proses mengandaikan tujuan. Di dalam proses menyimpan arti bahwa ada sesuatu yang dituju, karena ia makhluk hidup. Apakah yang dituju ketika manusia berproses dari lahir menuju kematian? Kalau tak ada yg dituju alangkah nistanya karena kehidupan itu hanyalah sebuah cahaya yang sebentar saja bagaikan kilat di angkasa yang gelap gulita. Terang sebentar kemudian gelap lagi. Saat ini kita berada di tengah2 kilat yang sebentar itu yang kemudian besok gelap lagi ketika kita sudah meninggal, dan yang dulu juga gelap ketika kita belum lahir di dunia. Kehadiran manusia ini cuma sebentar bagaikan kilat di tengah malam gelap gulita yang dibatasi oleh dua samudra kegelapan sebelum lahir dan setelah mati. Ini sangat penting, karena itulah harga diri kita bila kita bisa mendayagunakan diri kita sebaik mungkin. Meresponnya dengan sebaik mungkin. Jadi kehidupan itu adalah cahaya terang yang hanya sekilas di antara dua samudra kegelapan sebelum kita lahir dan setelah kita mati.
FALSAFAH PROSES
Bismillahirrahmanirrahim
Sejak manusia lahir hingga
meninggalkan kehidupan ini, ia berada dalam suatu proses menuju pada
kesempurnaan diri. Menuju pada pemberian makna kehadiran diri dalam ruang
lingkup kehidupan. Hidup bukanlah untuk mencari suatu sarana. Seandainya tak
ada sesuatu yang dicari yang lebih tinggi dari sarana, yaitu makna keberadaan.
Makna keberadaan manusia bukanlah kodrat yang ditetapkan Allah dalam diri,
seperti ketinggian IQ, EQ, bakat yang diperoleh dari ayah ibu, etnis atau
rasnya, apakah ia lahir dalam suatu struktur sosial budaya yang tinggi atau
rendah. Makna keberadaan manusia bukanlah itu semua, melainkan ketinggian makna
kehadirannya. Yaitu apa yg diungkapkan oleh setiap individu dalam ruang lingkup
yang terjamah olehnya dalam proses menghayati hidup. Tak peduli apakah ia ada
di dalam struktur budaya yang maju atau sederhana. Adalah bukan menjadi urusan
kita apakah kita hidup dalam suatu lingkup budaya yang maju atau berkembang.
Kita tak berurusan dengan itu, dan Tuhan tidak mengurusi hal itu. Melainkan
kita diperankan di mana saja. Kadang2 kita ditempatkan dalam tempat yang sudah
maju, sedang berkembang, atau bahkan primitif dalam pencapaian makna kehadiran.
Yang penting bagi kita adalah ketika kita hadir dalam suatu ruang lingkup,
sanggupkah kita memerankan diri kita? Apakah yang kita berikan pada ruang
lingkup kita sudah sesuai dengan perintah2 Tuhan. Apakah perintah Tuhan itu?
Perintah Tuhan adalah situasi dan kondisi yang melanda kita setiap hari.
Situasi dan kondisi dimana kita berada, yang tak diinginkan oleh setiap
individu dalam rangka mengembangkan diri, itu adalah perintah Tuhan. Ketika
kita melihat sesuatu yang bobrok harus kita perbaiki, yang tak qualified harus
kita urusi, yang tersesat harus kita beri petunjuk, yang rusak harus kita
perbaiki. Merespon perintah Tuhan melewati situasi dan kondisi dimana kita
berada adalah melaksanakan amer
(perintah) Tuhan, yaitu beraktual. Bertindak keluar, yaitu mengisi acara hidup
kita, proses kehidupan kita. Sekaligus ketika itu menciptakan sejarah pribadi
kita.
Maka
kita membutuhkan sarana hidup bukan agar kita kenyang, atau supaya bisa tidur
enak. Tapi karena kita memiliki beban, memiliki tanggungan, merasa diperintah
Tuhan memperbaiki diri dan lingkungan agar dalam hidup kita mendapat
kemerdekaan dalam mencapai apa yang kita tuju. Di sini kelihatan gaya hidup
seorang beriman, yaitu ia mencari sarana bukanlah sekedar untuk memenuhi
kebutuhan fisikalnya, melainkan agar ia dapat melaksanakan perintah Tuhan.
Sedangkan perintah Tuhan yang betul2 kondisional dan situasional tak
diceritakan dalam Kitab2 Suci. Tapi Kitab Suci memberitahukan kita bahwa Allah
menampilkan dan menjelaskan ayat2nya di dalam Al-Afaq (di dalam ruang semesta alam), dan di dalam diri kita,
untuk kita respon dan kita tanggapi dengan positif kemauan Tuhan tersebut.
Dengan demikian kehidupan seorang mukmin bukanlah kehidupan yang berhubungan
dengan duniawi. Duniawi hanyalah sarana. Kita sedang berhadapan dengan Allah
dalam melaksanakan perintah2Nya sesuai dengan peran kita mewakili-Nya di muka
bumi.
Dalam proses hidup ini, tidak ada manusia yang baru mulai melangkahkan kaki menempuh proses, melainkan setiap manusia sudah berada dalam tengah2 perjalanan. Sebagian manusia ketika berada di tengah perjalanan, ia sadar bahwa ia didatangkan oleh Tuhan untuk memperbaiki lingkungannya dan dirinya sekaligus. Sebagian manusia lain, hidupnya hanya dimotivasi oleh keinginan2 utk memperbanyak hal2 yang diduga membahagiaan dan menyenangkan, tapi hasilnya hanya membebani diri untuk memelihara dan merawatnya. Kata2 proses hanya ada dalam makhluk hidup. Proses bukanlah berpindahnya sebuah benda mati dari satu titik keruangan ke titik keruangan yang lain. Proses itu adalah bagi makhluk yang hidup, jadi proses mengandaikan tujuan. Di dalam proses menyimpan arti bahwa ada sesuatu yang dituju, karena ia makhluk hidup. Apakah yang dituju ketika manusia berproses dari lahir menuju kematian? Kalau tak ada yg dituju alangkah nistanya karena kehidupan itu hanyalah sebuah cahaya yang sebentar saja bagaikan kilat di angkasa yang gelap gulita. Terang sebentar kemudian gelap lagi. Saat ini kita berada di tengah2 kilat yang sebentar itu yang kemudian besok gelap lagi ketika kita sudah meninggal, dan yang dulu juga gelap ketika kita belum lahir di dunia. Kehadiran manusia ini cuma sebentar bagaikan kilat di tengah malam gelap gulita yang dibatasi oleh dua samudra kegelapan sebelum lahir dan setelah mati. Ini sangat penting, karena itulah harga diri kita bila kita bisa mendayagunakan diri kita sebaik mungkin. Meresponnya dengan sebaik mungkin. Jadi kehidupan itu adalah cahaya terang yang hanya sekilas di antara dua samudra kegelapan sebelum kita lahir dan setelah kita mati.
Gambar 1.
Samudra kegelapan sebelum dan setelah hidup
Bagaimanakah
dalam waktu berperan yang sebentar ini kita bisa menerangi kegelapan yang
sebelum dan sesudah itu? Ini adalah masalah agama. Inilah bedanya falsafah
dengan agama. Falsafah hanya bisa menerangkan hal antara lahir dan mati. Yang bisa
ditangkap hanya berupa kenyataan. Setelah manusia mati, ia tak bisa menangkap
apa2. Sebelum lahir ia hanya hipotesa2, setelah mati ia hanya prasangka2.
Tetapi agama ingin memberi makna kehadiran yang hanya sekilas itu untuk
menerangi samudra kegelapan sebelum hidup, yaitu ketika kita lahir sampai
ketika Allah menciptakan alam, dan menerangi samudra kegelapan setelah hidup,
yaitu ketika kita mati sampai saat kita dibangkitkan. Bagaimana dua samudra
kegelapan itu menjadi terang oleh kehadiran yang hanya sekilas ketika kita
hidup, itulah misi agama. Adapun kita meminjam kata falsafah, yaitu falsafah
proses untuk judul topik ini, itu hanyalah sekedar sebagai bahasa. Falsafah
bukan tujuan, falsafah hanya sebagai bahasa untuk membahasakan kebenaran. Jadi
kalau kita lihat tema pembicaraan ini adalah "Falsafah Proses" bukan
berarti falsafah proses pada umumnya, tapi falsafah proses menurut pandangan
hidup kaum Muslimin. Jelasnya ada sesuatu yang tidak kita tahu, yaitu sebelum
dan setelah kehidupan. Semua ilmu telah berlomba2 untuk mengungkapkan hal2 yang
sudah lalu namun belum ada satu pun yang
akurat. Seperti misalnya pendapat bahwa manusia itu asalnya dari
simpanse, dari binatang bersel satu, dan sebagainya, yang kesemuanya hanyalah
dugaan semata. Dan demikian juga pendapat bahwa setelah kematian manusia,
segalanya sudah selesai, sudah tidak ada lagi kehidupan. Para penyimpul
tersebut semua berada dalam kegelapan.
AL-AWWALU DAN AL-AKHIRU
Bagaimana
kita bisa menerangi kegelapan sebelum kita lahir dan kegelapan setelah kita
mati agar kehidupan kita yang sementara itu bagaikan kehidupan yang utuh. Utuh
bagaikan ketika Allah menciptakan sesuatu dan kemudian menggulung sesuatu.
Yaitu menggapai AL-AWWALU-Nya Allah,
yang dengan sifat RahmaniahNya memberikan semua yang dibutuhkan di dalam
kehidupan, menggelarkan medan potensi semua yang ada didalamnya, menumbuhkan
kesadaran dalam makhluk hidup. Dan kemudian akhirnya menggapai AL-AKHIRU-Nya Allah. Memberi penilaian
terhadap semua makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Apa yang mereka lakukan
ketika mereka diberi kenikmatan yang bernama kehidupan, dan ketika merasakannya
mereka enggan untuk pergi karena di dalamnya penuh kenikmatan. Jika kita
menghitung nikmat Allah yg diberikan pada kita, maka tidak akan terhitung jumlahnya.
Dan jika kamu menghitung nikmat
Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat
zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. 14:34)
Itulah
salah satu hal yang menyebabkan manusia tak mau mati, karena hidup itu nikmat
dan kenikmatan itu akan ditarik.
Allah
menciptakan kita dari ketiadaan (al-'adam)
menjadi ada. Dengan amer
(perintah)-Nya, Allah menciptakan apa yang disebut Realita (kenyataan/alam
fisikal) yang di dalamnya terdapat undang2, hukum2, dan konsep. Maka alam
fisikal, yang lahir dari amer Allah,
kenyataannya satu tapi substansinya dua. Kenyataannya adalah realita, tapi
realita itu terbagi menjadi dua: Yang nyata atau bersifat fisikal disebut Al-Mulk (kerajaan bumi). Yang undang2,
yang hukum, yang kausalitas natural disebut Al-Malakut
(kerajaan langit). Jadi yang melatarbelakangi semua struktur fisikal adalah
kekuatan2 hukum, yang oleh orang beriman dipersonifikasikan dan diberi nama
Malaikat. Maka malaikat adalah kerajaan langit. Orang dulu menyebut sisi dalam
itu adalah sisi atas, sedangkan sisi luar disebut sisi bawah atau juga disebut
fisikal. Al-Mulk kerajaan bumi, dan
Al-Malakut kerajaan langit, keduanya adalah dalam satu kenyataan/Realita. Yaitu
kenyataan zahir/fisikal-nya adalah Al-Mulk,
yaitu dari bumi sampai galaksi. Kemudian undang2nya, kausalitas naturnya
disebut Al-Malakut, yang memberi
hujan, rezeki, dan sebagainya. Inilah Realita. Kemudian dari Realita ini
terdapat anasir yg bernama tanah. Tanah ini bukan unsur tapi susunan unsur,
disebut anasir. Unsur-unsur yang sudah digabung menjadi suatu kesatuan yang
namanya tanah. Dari tanah ini, Allah ingin menciptakan manusia, yang kelak akan
mewakili-Nya di muka bumi.
"Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Q.2:30)
Fisik diambil
dari hasil amer Allah dengan kalimat Kun (Jadilah). Maka telah jadilah di
antaranya terdapat anasir yang bernama tanah dari dimensi Realita. Tetapi ada
sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang tidak berasal dari ciptaan Tuhan,
melainkan langsung dari Iradatullah.
Dengan Iradah-Nya yang ingin menjadikan wakil-Nya di bumi, maka kepada bahan
fisikal yang berupa tanah (Realita) ditiupkanlah oleh-Nya ruh dari Ruh-Nya.
Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. 32:9)
Dalam
ayat tersebut, fiihi itu adalah
tanah, ruuhihi adalah Ruh Tuhan, dan qodar adalah kuasa Tuhan. Jadilah apa
yang disebut Insan. Maka Insan itu terdiri dari dua dimensi. Dimensi yang
pertama adalah dimensi ciptaan (Realita) yang diambil dari tanah, hasil dari
Amer Allah (Kun). Yang dijaga oleh para Malaikat: mekanismenya, kandungannya,
kemungkinannya, sifat2nya, dan manfaatnya. Dan yang kedua bukan dari bikinan
Tuhan, tapi dari diri-Nya sendiri, dari Ruh-Nya sendiri. Dari Kudrat-Nya (kuasa
Tuhan) menjadi ruh manusia.
Maka
ketika seseorang kafir bertanya kepada Rasulullah Muhammad SAW pada waktu itu
tentang ruh:
Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah:"Roh itu sejenis perintah Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. 17:85)
Ruh
adalah sejenis perintah Tuhan, dan bukan akibat perintah Tuhan. Berbeda dengan
fisikal yang adalah akibat perintah Tuhan. Perintah Tuhan diaktualisasikan
dengan kalimat cipta Kun, sehingga
akibatnya diciptakanlah alam Realita. Sedangkan ruh adalah dari amer Allah, atau setara dengan amer Allah. Di dalam diri manusia ada
perintah Tuhan. Di dalam manusia ada kehendak Tuhan. Di dalam manusia ada
Qudratullah.
Inilah
imanensi yang pertama. Turunnya Qudratullah ke dalam semesta ciptaan, tetapi
yang dipilih medannya adalah manusia. Tempat singgasananya adalah manusia.
Sesuatu yang tidak diberikan kepada matahari, tumbuhan, binatang, dan makhluk
lainnya, melainkan di dalam hati manusia karena berat. Maka Allah bersabda:
Dan tidak ada yang dikehendaki
manusia kecuali kelak dikehendaki oleh Allah Rabbul alamin. (Q..?)
Hal ini
dikarenakan adanya Qudratullah, ada
Ruh Allah di dalam manusia. Dan tidak ada yang dikehendaki manusia kecuali
sudah dikehendaki oleh Allah karena di dalam diri manusia ada Qudratullah yang ditiupkan langsung ke
dalam rahim, dan bukan melalui proses penciptaan. Inilah potensi yang utama,
kelebihan ruh, kehebatan manusia di samping semua makhluk yang lain karena di
dalam dirinya ada sesuatu yang tidak diciptakan. Fisiknya, hatinya, otaknya,
sarafnya, adalah ciptaan. Tapi kesadaran manajerialnya, kesadaran keakuannya,
bahwa setiap manusia itu bersifat rahim, bahwa setiap manusia itu bersifat
rahman, kesemuanya itu bukanlah ciptaan.
Setiap
manusia itu bersifat kasih, bersifat ingin memberi. Itu tidak bisa dihilangkan
dari diri manusia kendatipun dia penjahat. Dan Allah sudah bersabda:
"...adama
fii..rahman" (Q.....?)
Manusia
diciptakan di dalam gambaran Ar-Rahman,
yaitu sifat Qudrat Allah. Jadi tidak
ada manusia yang tidak memiliki sifat Rahmaniyah,
karena ada sesuatu yang bukan ciptaan dalam dirinya yaitu Qudratullah. Jadi seburuk-buruk manusia, dia masih memiliki sifat
Rahman kepada yang dekat dengan dia. Sebagai contoh adalah seorang penjahat
yang ingin mencarikan rezeki bagi yang dicintainya, mungkin anaknya, istrinya,
atau keluarganya, meskipun dilakukan dengan berbuat jahat. Ini menunjukkan
masih adanya sifat rahman yang tersisa dalam dirinya. Jadi di dalam setiap diri
manusia ada sifat Rahmaniyah, karena
hadir sifat Ar-Rahman-Nya Allah. Hal
ini berhubungan dengan sifat Al-Awwalu-Nya
Tuhan. Tuhan yang menciptakan semesta alam dari amer-Nya, dan menurunkan
agama, utusan-Nya, wakil-Nya di bumi. Kesemua itu adalah karena ia
bersifat Ar-Rahman. Segala awal, segala permulaan dimulai dari sifat Ar-Rahman-Nya Allah. Setiap kali kita
mengungkapkan diri, kita tidak boleh lepas dari kesadaran bahwa semuanya itu
lahir dari kedermawanan Tuhan, dari sifat pemberian Tuhan, dari Maha Murah-Nya
Allah. Tapi Maha Murah-Nya Allah itu bukanlah sesuatu yang diberikan secara
sembarangan. Allah memberi kita sesuatu adalah agar kita dapat mencari sesuatu
yang lebih tinggi. Maha Murah-Nya Allah adalah sebuah aset untuk menggapai
sesuatu yang jauh lebih tinggi, yaitu Al-Akhiru,
yaitu Rahimiyah-Nya Allah. Allah Yang
bersifat Rahim.
Sehubungan
dengan sifat Al-Awwalu-Nya Allah,
tidak ada enersi yang datang di bumi kecuali datang dari atas terus menerus
sampai kiamat. Kemudian berevolusi menuju pada bentuk2, hingga mencapai taraf
manusia. Selanjutnya di antara manusia ada yang mengalami evolusi spiritual,
terus menjangkau ke tingkat yang lebih atas. Hal ini digapai dengan
mempertinggi kualitas kehadirannya, memperbesar wilayah manajerialnya,
menanggung jawab, membelas-kasihani, menjadi tangan Tuhan di dalam memperbaiki
dan mengembangkan serta turut melestarikan bumi. Di sinilah tampil nabi2 dan
rasul2, sebagai suri tauladan yang mengejawantahkan kehendak Tuhan agar mereka
diikuti. Tapi yang ditiru oleh kebanyakan manusia hanyalah sarana teknisnya,
dan bukan jangkauannya. Maka di dalam melaksanakan sarana teknis, atau syariat,
kita harus tahu jangkauan2 pelaksanaan syariat. Mereka yang melaksanakan syariat
tanpa mengetahui jangkauannya, hanya akan mendapat pahala ketaatan. Dia
mendapat predikat baik dan taat, lebih dari itu tidak.
Sedangkan
pemeluk Islam adalah umat Muhammad, bukan pemuja Muhammad. Tidak seperti halnya
umat2 yang lain yang memuja nabi2nya, umat Islam sebagai umat terakhir bukanlah
pemuja Muhammad SAW. Tetapi Muhammad adalah Uswatun
Hasanah, keteladanan dan contoh yang baik, bukan idolasi. Muhammad sebagai
nabi orang Islam adalah sebagai contoh untuk ditiru, dan bukan untuk dipuji.
Karena walau betapapun kita memuji Rasulullah SAW, kita tidak akan mendapatkan
syafaatnya. Sedangkan kalau kita meniru apa yang diajarkan oleh Rasulullah
Muhammad, mengungkapkan apa yang diungkapkan Rasulullah Muhammad, barulah kita
akan mendapat syafaatnya. Umat Islam adalah penerus ideologinya, penerus
manajerialnya di muka bumi yang terpaksa dititipkan, diwariskan kepada kita
karena akhirnya beliau wafat sebagaimana umumnya manusia. Rasulullah Muhammad
tidak ingin hidup sampai kiamat untuk memandu umatnya, tetapi diwariskannya
kepada kita. Jadi penerusnya adalah kita. Penerus dalam melestarikan bumi ini,
me-manage bumi ini, adalah mereka yang menjalankan syariat Muhammad, syariat
Islam. Kalau syariat dijalankan, tapi idenya untuk me-manage semesta alam tidak
dijalankan, apa gunanya kita latihan syariat. Hanya akan mendapatkan pahala
ketaatan. Tapi tidak mendapatkan efektifitas dari ungkapan diri, efektifitas
dari proses. Sedangkan mereka yang tahu jangkauan syariat dan melaksanakannya
adalah bagai seorang manajer yang kelak akan diganti oleh Allah dengan yang
dinamakan Surga Illiyin, surga yang tinggi. Bukan surga yang biasa seperti
Jannatul Naim atau Jannatul Firdaus, melainkan surga yang tinggi, yang
diperuntukkan bagi manajer2 kehidupan. Bukan manajer perusahaan, tapi manajer2
manusia. Surganya para Rasul, Surganya para Nabi, Surga Illiyin.
Jadi
jelaslah bahwa Rasulullah Muhammad SAW bukanlah idolasi. Beliau adalah Uswatun Hasanah.
"....lakum" (Q.....?)
Telah
dicukupkan, telah dipatrikan, telah ditanamkan bagi kamu di dalam diri
Rasulullah Muhammad SAW, Uswatun Hasanah,
keteladanan atau contoh yang paling bagus. Beliau adalah seorang pembesar,
seorang yatim yang akhirnya menjadi pembesar, yang dengan perjuangan mati2an
melewati ancaman2 dari kaumnya sendiri, sehingga akhirnya menjadi kepala
negara, menjadi pemimpin bangsa, juga pemimpin umat, yang tidak sempat
menikmati kehidupan duniawi ini, karena mencemaskan umatnya.
Sekarang
setelah kita mengikuti jalannya Rasulullah, kita mendapat perintah sholat. Apakah
sholat itu? Bila kita melakukan sholat hanya karena ketaatan maka yang didapat
hanyalah pahala taat, tetapi tidak bisa mengungkapkan makna kandungan dari
sholat itu. Makna dari sholat adalah kembali kepada Allah, menjangkau Allah
sendiri. Allah sebagai apa ketika itu? Yaitu Allah sebagai Ar-Rahman. Allah sebagai Al-Awwalu.
Ketika seseorang melakukan sholat, ia menjangkau Rahmaniyah Allah, menjangkau Al-Awwalu.
Ia kembali ke sebelum dirinya, tatkala itu ia mendapati kehendak dan kuasa
Tuhan, Iradat dan Kodrat Allah. Karena Kodrat dan Iradat Allah-lah kita jadi.
Karena kuasa Allah menciptakan fisik kita, sedangkan Iradat Allah-lah yang
menciptakan kehendak kita. Kalau Allah tidak berkehendak, maka Allah tidak mau
menciptakan fisik, maka kita tidak akan bisa ada. Maka kembali kepada Allah,
yaitu Ar-Rahmaniyah-Nya, yaitu Al-Awwalu-Nya Tuhan, adalah menemukan Kodrat dan
Iradat Allah. Kodrat Allah (Kuasa Tuhan) menciptakan realita semesta alam. Dan
Iradat Allah (Kehendak Tuhan) meniupkan ruh ke dalam diri kita untuk menjadi
manajer semesta alam. Maka setelah kita menjadi ada, lalu kita ingin menjangkau
sebelum diri kita. Kembali ke asal sebelum kita ada. Melainkan dengan apa kita
ada? Dengan Kodrat dan Iradat Allah. Inilah yang disebut Transendensi.
TIGA FORMULA TRANSENDENSI
Shalat
merupakan momen transendensi (mi'raj) orang-orang beriman, yakni menghadap
Allah sebagai sang Awal, yang menciptakan diri kita dengan KekuasaanNya dan
IradahNya. Di dalam sholat berlangsung tiga macam transendensi yang dapat mengantarkan
esensi seseorang ke puncak kesempurnaannya secara individual (Lihat Q. Al-Hijr:
99), yaitu:
1.
Transendensi 'peran jiwa'
(nafsu) menjangkau 'peran Ketuhanan', dengan pernyataan 'Iyyaka na'budu'
(Kepada-Mu kami mengabdi).
2.
Transendensi 'kemampuan insani'
menjangkau Qudratullah' (Kuasa Tuhan) , dengan pernyataan 'Iyyaka nasta'in'
(Kepada-Mu kami memohon pertolongan).
3.
Transendensi 'kemauan insani' menjangkau 'Iradatullah' (Kehendak Tuhan), 'dengan pernyataan 'Ihdinash shirathal mustaqim' (Tunjukkan kami jalan-lurus).
Transendensi 'kemauan insani' menjangkau 'Iradatullah' (Kehendak Tuhan), 'dengan pernyataan 'Ihdinash shirathal mustaqim' (Tunjukkan kami jalan-lurus).
Gambar 2. Tiga Formula Transendensi
Dalam
formula pertama, kalimat "Iyyaka na'budu" yang bermakna “KepadaMu Ya
Allah kami mengabdi”, adalah transendensi dari Peran individu untuk menjangkau
Peran Ketuhanan. Dengan kalimat "Iyyaka na'budu", maka hilanglah
Peran individu kita, dan yang tinggal adalah Hamba Allah, yang harus mewakili
Tuhan mengurusi dan me-manage dunia. Peran Ketuhanan di sini adalah Peran
Kepengurusan, atau Rububiyah, bukan Allah sebagai Ilah atau sesembahan. Peran
Rububiyah adalah peran kemanajeran Tuhan. Pada mulanya kita hanya memerankan
diri kita sendiri saja. Setelah kita beragama, kita tidak lagi sekedar
memerankan diri sebagai seorang individu. Kita adalah hamba Allah, yang diutus
untuk memperbaiki sesuatu yang tampak rusak, juga untuk mengembangkan sesuatu
yang terlihat stagnan, membenahi yang kacau, mengubah dari yang buruk menjadi
baik, dari salah menjadi benar, dari tersesat menjadi memiliki tujuan, dan
sebagainya.
Kalimat
"Iyyaka na'budu" adalah bermakna hilangnya diri kita. Bagaikan
seseorang yang mengatakan pada pihak lain "aku mengadi kepadamu",
maka lenyaplah diri sang abdi. Yang ada hanya kehendak Sang Majikan yang
diaktualisasikan. Ketika seseorang mengatakan "aku sekarang mengabdi
kepadamu" maka sejuta kehendaknya akan menjadi gugur di depan kehendak
yang kita abdi, bila itu bertentangan. Itulah yang dinamakan fana. Jadi momen
fana adalah ketika manusia mengatakan "Iyyaka na'budu" maka ia tidak
boleh berlaku sesuatu yang tidak dalam rangka mengabdi kepada Allah. Maka ia
tidak boleh bertindak atau beraktual yang tidak di dalam rangka mengambil alih
manajerial Tuhan di ruang lingkup yang ia kuasai. Misalnya dalam lingkup rumah,
sekolah, RT, dan sebagainya. Dan bukanlah kehendaknya sendiri, dan bukan hatinya
yang memotivasi perubahan2, atau perbaikan2, melainkan perintah Tuhan, Kehendak
Allah. Ini adalah sebuah Transendensi, yakni hilangnya Peran diri menjadi Peran
Ketuhanan.
Dalam
formula transendensi yang kedua, kalimat "wa iyyaka nastain" adalah
bermakna “Kepada-Mu Ya Allah kami memohon pertolongan”. Kita telah berkata
kepada Allah "aku mengabdi", padahal kita sadar bahwa mengabdi kepada Allah itu berat. Ruang
manajerial Allah adalah seluas langit dan bumi, dan kita sudah mengatakan
"kepadaMu kami mengabdi". Maka bagaimana mungkin kita bisa
melaksanakannya? Bagaimana cukup waktu kita? Bagaimana cukup enersi kita?
Bagaimana cukup kesempatan, harta, nilai, sarana kita untuk mengabdi pada
Tuhan? Semuanya tidak akan cukup. Oleh karena itu kita lalu mohon kepadaNya
pertolongan. “Semua yang Kau turunkan di dalam diriku, yang telah imanen dalam
diriku, kehendak baikku, potensiku, bakatku, ilmuku, yang semuanya banyak itu,
tidak cukup untuk bisa mengabdi kepadaMu di muka bumi ini Ya Allah. Maka dari
itu kepadaMu Ya Allah, kami mohon pertolongan”.
Di
sinilah timbul dan terungkap Transendensi yang kedua. Transendensi ini berasal
dari kekuatan yang sudah imanen, kemudian sekarang ditambah kekuatan tambahan
atau ‘supporting power’ dari Rabbul'alamin, karena kita meminta pertolongan.
Supporting power dari Rabbul'alamin ini adalah diperuntukkan bagi orang2 yang
beriman dalam melaksanakan tugas manajerial Allah. Kita sadar bahwa kita bisa
melakukan tugas manajerial Ketuhanan adalah bukan karena kita dan bukan karena
kekuatan kita, melainkan karena kekuatan Tuhan yang ada di dalam diri. Di
sinilah terjadi transendensi dari Kodrat diri atau Kuasa diri, kepada Kodrat
Allah atau Kuasa Allah.
Transendensi
pertama, yaitu dari Peran diri ke Peran Ketuhanan, contohnya adalah sholat,
dzikir, mengajar, berkomunikasi dengan Tuhan. Sedangkan Transendensi kedua
dipisahkan menjadi satu unit ibadah tersendiri yang namanya puasa. Puasa
dilakukan untuk mengganti kodrat diri, kekuatan diri dengan kekuatan Allah.
Jadi puasa adalah metodologi dari Tuhan untuk menggapai sesuatu, menjangkau
sesuatu yang mungkin dan juga yang tidak
mungkin. Untuk menjangkau sesuatu yang alami dan yang supra alami. Sejak purba
tidak ada sesuatu ilmu yang luar biasa kecuali puasa jalannya. Tidak ada orang
bisa terbang, bisa menghilang, bisa mengangkat dan mencabut pohon kelapa,
kecuali puasa jalannya. Tidak ada orang yang bisa ditembak tanpa luka, tidak
terbakar api, kecuali puasa jalannya. Puasa adalah untuk menggapai sesuatu
kekuatan adi kudrati, yaitu kekuatan Allah, Rabbul'alamin. Tetapi puasa dalam
agama Islam tidaklah untuk menggapai hal yang aneh2 tersebut, melainkan untuk
mencapai ridho Tuhan. Jadi jelaslah di sini bahwa orientasinya adalah tujuan.
Selanjutnya
setelah kita melaksanakan puasa dan menggapai perolehan puasa, kita merasa
memiliki kekuatan lebih daripada manusia. Doa kita diterima Tuhan, bahkan kita
dapat menyembuhkan manusia tanpa obat, melainkan cukup dengan menyebut
Bismillah. Seringkali kita terlindung dari orang yang ingin menyerang kita, bahkan
sebelum orang tersebut sampai kepada kita. Semuanya adalah dari Kodrat Allah,
Kuasa Tuhan. Semuanya buah-buah dari ibadah puasa. Itulah yg namanya Kodrat
Allah, yang hanya bisa dicapai dengan puasa. Ada kekuatan2 yang dia sendiri
tidak tahu, namun meliputi dan melindungi dirinya. Itulah kekuatan puasa.
Tetapi bagaimanapun tujuan dari puasa bukanlah untuk itu. Puasa kita tujuannya
adalah untuk mendapatkan Ridho Allah. Sebagaimana setiap habis (sholat) Asar,
apabila berpuasa kita disunahkan untuk berdoa "Asyhadu alaa ilaha ilallah.
Astaghfirullah. Inna nas aluka ridhaka wal jannah wa na'udzubika min sakhatika
wannar". Dalam berpuasa itu kita memohon ampunan Allah, memohon ridho-Nya
dan Surga-Nya. Setelah itu kita akan menjadi seseorang yang mempunyai kekuatan2
malaikati. Seluruh malaikat bekerja di dalam diri kita, dan timbullah potensi
malaikati. Ini baru dalam taraf fisikal, sedangkan di baliknya sudah betul2
seluruh malaikat yang diciptakan Allah yg menjaga diri kita. Juga malaikat2
yang menjaga alam lain, yg menjaga galaksi yang belum pernah kita datang ke
sana, seperti galaksi Orion, dan sebagainya. Jadi ada di dalam diri kita yang
melatarbelakangi realita fisikal kita. (Al-Mulk/Kerajaan
diri), yaitu kekuatan2 samawi, kekuatan2 malaikati (Al-Malakut/Kerajaan langit). Mereka yang sampai pada jenjang ini
kadang2 menjadi tersesat, dan berubah menjadi sombong. Dianggapnya orang lain
bisa selamat adalah karena dirinya. Maka supaya tidak timbul kesombongan,
janganlah kita mengungkapkan diri kecuali dengan hidayah dan petunjuk Allah. Di
sinilah diperlukan adanya transendensi yang ketiga.
Dalam
formula transendensi yang ketiga, kalimat "ihdinash-shiratal
mustaqim" adalah bermakna “Ya Allah, tunjukilah kami Jalan yang lurus”.
Atau dengan kata lain kita berdoa “Ya Allah, diriku penuh bencana sekarang.
Diriku penuh bencana setelah kekuatan2 melatarbelakangi diriku. Perolehan
sholat. Diriku mengancam keselamatan manusia, mengancam keselamatan dunia,
setelah malaikat taat, tunduk kepadaku. Ya Allah, tunjukkanlah saya jalan yang
lurus, supaya yang kuungkapkan seperti yang Engkau kehendaki”. Jadi apa yg
hendak dicari manusia dalam rangka untuk
menjadi lebih berkualitas, ia bisa membuat manfaat dan membuat bencana di muka
bumi. Kualitas manusia dalam budaya apapun dalam pencariannya yang paling
tinggi itu ada dua. Dia bisa berbuat baik dan bisa berbuat buruk sekaligus.
Itulah manusia yang sempurna menurut pandangan dunia, tapi belum menurut Allah.
Tetapi ia baru bisa disebut sempurna, bila ia sanggup berbuat baik sekaligus
sanggup berbuat buruk, bisa menciptakan yang baik bisa membuat kerusakan, tapi
dia memilih untuk tidak membuat kerusakan, melainkan membuat kebaikan.
Barulah bisa dikatakan ia telah menang
dalam melawan iblisnya sendiri. Dia bisa membikin manusia mati, tapi dia lebih
memilih membikin manusia hidup. Ia bisa membuat dunia kacau balau, tetapi
memilih mengungkapkan diri membuat dunia tenteram sejahtera. Di dalam dirinya
ada dua kekuatan, dua kemungkinan. Kekuatan Tuhan yg sudah digapai ini bisa
untuk menghancurkan alam dan bisa untuk melestarikan alam, tetapi dia tidak
memilih menghancurkan alam, tetapi ingin melestarikannya. Hal ini menandakan
ketinggian dirinya. Doanya: “Fasilitas yang luar biasa dariMu, Ya Tuhan, jangan
sampai diriku sendiri yang menggunakannya. Jangan sampai motifnya adalah
hatiku, melainkan agar motifnya adalah PerintahMu”.
Maka di
sini terjadilah transendensi dari Iradah diri atau Kehendak diri, menjadi
Iradatullah atau Kehendak Allah. Yang dikehendakinya hanyalah yang dikehendaki
oleh Tuhan, yaitu Iradah Allah. Pada hakekatnya ini adalah merupakan suatu doa
yang tertinggi, nilai yang tertinggi di dalam doa yang diungkapkan oleh
kesadaran yang bernama ruh manusia. Doa tertinggi tersebut adalah
"ihdinash-shiratal mustaqim", yang belum pernah diturunkan
sebelumnya. Surat Al-Fatihah adalah
surat yang belum pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Bila manusia
menjadi hebat, sakti, dan luar biasa, maka mereka menjadi terkenal dan namanya
menjadi cemerlang dan bagus, karena mereka belum berada di dalam
"ihdinash-shiratal mustaqim". Sedangkan kalau kita sudah berada di
dalam "ihdinash-shiratal mustaqim", maka kekuatan dan kehebatan kita
tidak akan terlihat oleh orang lain. Selain karena kita tidak akan mengungkapkannya
utk membencanai orang lain, kehebatan kemampuan kita bukanlah untuk dipamerkan,
melainkan hanya digunakan untuk ibadah, jadi tidak kelihatan orang lain. Maka
tokoh2 yang menonjol luar biasa dapat dikatakan tak mempunyai
“ihdinash-shiratal mustaqim” di dalam diri mereka, karena mereka tidak bisa
menyembunyikan fasilitas yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Sedangkan
mereka yang memiliki “ihdinash-shiratal mustaqim” hanya mendayagunakan
kehebatannya untuk kepentingan mengabdi, dan bukan untuk dipamerkan, bukan
untuk menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat. Kesederhanaan Islam ada pada
"ihdinash-shiratal mustaqim". Seorang muslim cukup dengan
hidayah Tuhan, cukup dengan penilaian
Tuhan, bukan ancungan jempol dari manusia.
Maka
ketiga formula transendensi yang terangkum di dalam surat Al-Fatihah,
dilafadzkan di dalam sholat setelah kita mengadakan pujian2 terhadap Allah,
yakni membaca takbir, tahmid, dan sebagainya. Formula transendensi yang ada di
dalam sholat adalah mentransendir peran diri menjadi Peran Ketuhanan. Sedangkan
mentransendir kekuatan diri menjadi Kekuatan Tuhan adalah dengan ibadah puasa.
Formula terakhir yaitu mentransendir iradah diri menjadi Iradah Ilahiah dicapai
dengan melakukan ibadah haji. Maka setelah seseorang menggapai ini semua,
siapakah dia sesungguhnya? Siapakah orangnya yang sudah bisa sholat yang di
dalam sholatnya bisa mentransendir peran dirinya menjadi peran Ketuhanan,
Kodrat dirinya menjadi Kodrat Allah dan iradah dirinya menjadi iradah Allah?
Dirinya adalah Kodrat dan Iradat Allah. Kodrat dan iradat dirinya sudah
ditinggalkan. Peran dirinya, motivasi hawa nafsunya sudah dihilangkan. Siapakah
sesungguhnya orang yang begitu? Apakah wujudnya orang yang seperti itu? Dia
adalah bukan manusia, karena dia adalah makhluk yang datang dari hadirat Allah.
Dia adalah orang2 Tuhan. Dia adalah hamba2 Allah, manusia2 Tuhan. Dalam sebutan
orang biasa ia adalah orang2nya Allah. Tapi pendapat yang lebih ekstrim
menyebutnya sebagai Wujudullah itu sendiri. Wujudullah itu bukan Dzatullah.
Wujudullah adalah penampilan Tuhan. Tapi tidak usah dipermasalahkan karena
hakekatnya sama, hanya permasalahan bahasa. Pada pokoknya dia adalah orangnya
Tuhan. Dia adalah manusia yang laksana Tuhan. Mereka adalah para Nabi, para
Rasul, para orang suci, para sufi. Mereka adalah manusia biasa yang bisa
ditanya dan diraba, tapi yang diraba cuma fisiknya. Dzatnya tetaplah dzat
manusia, tapi wujudnya adalah wujud Tuhan. Karena perannya adalah peran
Ketuhanan, kodratnya adalah Kodrat Allah, iradahnya adalah Iradah Allah. Jadi
wujudnya adalah wujud Allah di dalam ruang dan waktu yang terbatas. Bukan Allah
yang transenden tapi Allah yang imanen. Allah yang datang me-manage di desa dan
di rumah. Allah yg datang me-manage di kantor.
Perumpamaannya
adalah laksana matahari kecil yang ada di dalam ember yang berisi air. Sunan
Giri mengungkapkan perumpamaan ini ketika ditanya oleh istrinya "Tunjukkan
saya tentang Tuhan". Maka Sunan Giri menunjukkan daun talas dengan setetes
air di atasnya. Daun talas itulah perumpamaan fisik, air adalah perumpamaan
diri, sedangkan matahari yang ada di dalam air itu adalah perumpamaan kehadiran
Tuhan di dalam diri. Meskipun Tuhan tidak bisa diperumpamakan, tapi ini adalah
rekayasa akal untuk bisa mempersepsikan sesuatu yang tak bisa dipersepsi. Dia
persis seperti matahari, bersinar putih cemerlang. Tetapi refleksi matahari ini
tidak bisa dikeluarkan dari air, karena pada hakekatnya ia ada di atas sana.
Begitu pula dengan manusia Tuhan, dia persis seperti Tuhan. Kehendaknya adalah
kehendak Tuhan. Hidayahnya adalah hidayah Tuhan. Tetapi dimana letak Tuhan di
dalam dirinya tidak dapat ditunjukkan, karena hanya pantulan semata. Seperti
itulah para Nabi, para Rasul, dan para sufi besar. Hanya wujud mereka saja yang
lemah tapi Peran, Kodrat, dan Iradatnya adalah milik Tuhan.
Dalam
permasalahan inilah timbul perbedaan pendapat antara ahli ilmu kalam dengan
ahli ilmu tasawuf. Karena para ulama hanya memahami bacaan, sedangkan ahli
tasawuf menghayati kehidupan. Perolehanan para sufi adalah dari penghayatan
hidup. Penghayatan dalam mencari siapakah sesungguhnya dirinya. Bukankah agama
mengatakan kalau kita berbuat baik bukan kita yang berbuat baik, tapi Allah-lah
yang berbuat baik, hanya melewati diri kita. Kita bukan Allah. Tapi kalau kita
berbuat buruk, maka kitalah yang berbuat buruk, bukan Allah. Seperti itulah,
Kodrat dan Iradatnya adalah Iradat Allah. Sebagian manusia memahamai hanya
melewati suatu bahasa tinggi, bahasa falsafah. Sedang bagi para sufi ini hanya
perbedaan bahasa, bukan perbedaan substansi. Jadi antara orang2 ahli ilmu kalam
atau ilmu tauhid dengan para ahli tasauf sesungguhnya tidak berbeda.
Perbedaannya hanya perbedaan bahasa. Perbedaan kecerdasan untuk mengungkapkan
siapakah Tuhan sebenarnya. Karena Tuhan dalam Ahadiyah-Nya, tak seorangpun yang
tahu. Bahkan Nabi2 juga tidak tahu. Malaikat2 pun tidak tahu. Tuhan dalam
kesendirian-Nya adalah tertutup, tidak ada sesuatupun yg tahu. Sehingga
Rasulullah ketika ditanya bagaimana ma'rifatnya terhadap Allah, dia hanya
mengatakan "Araftu...." Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku. Bukan dengan
akalku, bukan dengan ibadahku, ataupun kesucianku. Kukenal Tuhanku dengan
Tuhanku. Yang mengenal Tuhan itu Tuhan sendiri yang hadir dalam hatinya.
Seperti dalam perumpamaan dari Sunan Giri tentang matahari yang menyinar air di
daun talas. Daun talas tidak tahu apakah matahari ada atau tidak. Air yang di
atasnya pun tidak tahu matahari ada atau tidak. Yang mengetahui bahwa matahari
ada itu hanyalah matahari kecil yang ada dalam refleksi ini. Matahari kecil ini
adalah perumpamaan iman. Kehadiran Allah di dalam dada menurut istilah syariat
adalah iman. Kehadiran Tuhan adalah bagai pantulan ini, yang bukan bagian diri
kita karena ketika kita mengeluarkan matahari kecil ini nyatanya tidak bisa.
Maka Rasulullah mengatakan “Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku”. Bukan dengan
akalnya, bukan dengan perbuatan amal sholehnya, melainkan dengan Allah yang
hadir pada dirinya. Itulah yang mengetahui Tuhan. Maka banyak doa yang menyeru
Tuhan dengan sebutan “Wahai Dzat Yang tiada tahu siapa Dia kecuali Dia
sendiri”. Yang tahu siapa Allah itu hanya Allah, yaitu Allah yang transenden.
Allah Yang dalam Al-Ahadiyah-Nya. Allah Yang Tetap.
Allah
dulu, kini dan akan datang, selalu dalam keadaan tetap. Tetapi Allah yang
hadir, adalah Allah yang imanen, yang ditiupkan Roh Allah di dalam jiwa kita
ketika kita diciptakan. Kemudian ketika kita bisa optimal mengungkapkan Iradah
dan Kodrat Allah dengan penuh motivasi sebagai hamba Allah, dengan motivasi dan
kehendak-Nya, maka kita adalah penampilan Tuhan. Maka dalam sastra2 yang
mengisahkan munculnya suatu bencana dan kekacauan dengan tiba2 dan tidak ada
yang datang menolong, maka manusia menyeru “Ooh..mengapa Tuhan tidak hadir? Ya
Tuhan, kacau balau umat-Mu, mengapa Kamu tidak datang?” Maka kemudian hadirlah
seseorang berkata “Tuhan hadir” sambil dia datang untuk mengatasi bencana. Jadi
Tuhan hadir di dalam imanen hanya melewati seseorang. Kehadiran Tuhan hadir
menyampaikan apa yang dikehendaki Tuhan adalah melewati proses, melewati
manusia. Bukan melewati kerbau, bukan sapi, bukan matahari, tapi melewati
proses. Mereka datang menyampaikan pesan, dan menyampaikan apa yang Tuhan
kehendaki. Jadi imanensi ada di dalam diri manusia, bukan di dalam makhluk yang
lain. Itulah makna dari sabda Tuhan “Sesungguhnya Aku ingin membuat wakil-Ku di
muka bumi”. Wakil itu banyak, tetapi apa yang dikerjakan, apa yang dilakukan
dan diaktualisasikan, adalah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dan
kekuatannya disuplai dari kekuatan-Nya.
Proses
transendensi telah melemparkan seseorang ke dalam kematiannya sendiri, meskipun
kemudian ia hidup kembali dengan predikat, kodrat dan iradat baru yang bernasab
kepada Allah (Abdillah). Hal itulah yang membuat dirinya sanggup menerima
kenyataan dan berani menanggungnya. "Setelah bernasab kepada
Allah , engkau harus menanggung segala sesuatu, karena segala sesuatu tak lagi
sanggup menanggungmu." pesan An-Nifari, seorang Sufi dari zaman silam.
Maka ia pun segera turun dari medan tajalliyat Tuhan (Shalat; momen
transendensi) untuk menempuh kehidupan barunya sebagai Hamba Allah. Ketika itu
'ia' bukan 'ia' lagi, melainkan seorang hamba yang dikirimkan Allah dengan
qodrat dan iradat dari sisi-Nya untuk melakukan transformasi di segala bidang
kehidupan yang dikuasai (Lihat Q. Ali 'Imran: 110).
Setelah
kita mengadakan transendensi, maka kegelapan sebelum kita lahir menjadi hilang.
Samudra kegelapan pertama menjadi terang. Kita sudah tahu darimana kita datang,
untuk apa kita datang, dan apa yang harus dipulangkan ketika kita datang.
Tetapi jika kita masih tidak mengetahuinya, maka masih belum transendensi.
Kemudian setelah manusia mati, masih ada samudra kegelapan kedua. Ini yang juga
harus diperjuangkan di dalam sisa usia manusia. Inilah yang disebut
Transformasi.
TIGA FORMULA TRANSFORMASI
Melakukan
Transformasi adalah melakukan Shalat Wustha, yaitu shalat yang terletak di
antara Shalat Maktubah (Wajib) yang satu dan yang lain. Padahal 'saat itu'
berupa 'momen aktual' manusia, dengan demikian
shalat wustha adalah aktualisasi diri yang bernilai transformatif yang
dapat menyampaikan seseorang kepada Tuhannya
sebagamana halnya dengan Shalat. Maka sebagaimana momen Transendensi itu
memiliki tiga formula, demikian pula momen Transformasi memiliki tiga formula,
yaitu:
1.
Transformasi 'Fenomena' menjadi
'Ilmu' yang bersifat 'konstruktif' akan
menghasilkan kesadaran akan adanya 'Sumberdaya' (Rahmat-Islam-Alami). 'Sumberdaya' bersifat
alami. Keberadaannya menyelamatkan diri dari Alam / berada dalam
Sunnatullah (Lihat Q. Ali-'Imran:
83).
2.
Transformasi 'Sumberdaya'
menjadi 'Nilai' (Makrifat) yang bersifat 'integratif'' menghasilkan kesadaran
akan 'Keharusan' (Amer - Iman -
Manusiawi). 'Keharusan' bersifat
manusiawi (adil). Keberadaannya mengamankan manusia dari sesamanya
/ berada dalam
Amer Allah (Lihat Q.
Al-Bayyinah: 5)
3.
Transformasi 'Keharusan' menjadi 'Citra' (Hikmah) yang bersifat 'kreatif',
menghasilkan kesadaran akan 'Proses'
(Amal Shalih--Ihsan--Ilahi). 'Proses'
bersifat Ilahi. (benar). Keberadaannya menyampaikan kita pada Ridla- Allah /
berada dalam Jalan Allah
(Lihat Q. Al-Qashash: 77.)
Di
dalam momen transendensi 'Iradah Tuhan' akan turun ke dalam diri manusia, dan
di dalam momen transformasi 'kehendak manusia' akan naik mencapai Ridla-Nya. Di
dalam proses-transendensi esensi manusia naik menggapai Sang Asal / Al-Awwalu
(Qudratullah dan Iradatullah / Rahmaniyah) , sedang di dalam proses-
transformasi manusia berjoang meraih Sang Tujuan / Al-Akhiru (Ridwanullah /
Rahimiyah), yang kedua-duanya adalah wujud Allah dalam sifatnya yang berbeda
(berpasangan). Itulah sebabnya proses aktualisasi diri seorang Mukmin selalu
dibuka dengan 'Basmalah', yang menyadarkannya
akan tujuan dan
tehnis pengungkapannya yang bernilai ganda (ke dalam dan ke luar).
"Peliharalah shalat-shalat(mu)
dan shalat wustha, dan tegaklah karena Allah dengan penuh ketaatan." (Q.
Al-Baqarah: 238).
Dengan
perjalanan masuk (transendensi) dan keluar (transformasi) yang benar, seorang
Abdillah telah berhasil menghapus 'kegelapan sebelum dan sesudah' kehadirannya
di dunia, karena ia telah menggenggam
Al-Awwalu dan Al-Akhiru (Dimensi Kontinuiti / kesenantiasaan) di dalam kiprah kekiniannya (Lihat Q. Al-Isra': 80) Al-Qur'an menyebutnya sebagai hamba yang telah melaksanakan 'Shalat
Da'im', yang tak akan
terpengaruh oleh panas dan dinginnya cuaca kehidupan (Lihat Q.Al-Ma'arij: 19-23).
Gambar 3. Tiga Formula
Transformasi
Transformasi
bukanlah jalan balik. Berbeda dengan transendensi yang merupakan jalan balik ke
sebelumnya. Transformasi adalah jalan untuk menjangkau kepada Al-Akhir-Nya Allah, yaitu untuk mencapai
Ridho-Nya. Maka kita harus merespon alam semesta dengan cara yang telah diberi
metodologinya oleh Allah melewati Surat Al-Fatihah. Kalau Transendensi
berhasil, maka kita akan menjadi Muttawakilin. Orang yang dicukupkan dan
dijamin Allah segala2nya. Sedangkan kemudian kalau Transformasi berhasil, maka
kita akan menjadi Muttaqin.
Apa
yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan. Sedangkan
kenyataan yang terendah adalah alam semesta. Selanjutnya bagaimanakah
seharusnya kita merespon alam semesta? Yaitu semua yang hadir di depan telinga,
di depan mata, di depan indra dan di depan jendela2 kita, yang kesemuanya
disebut sebagai fenomena2, ayatul qauniyah,. Maka kita harus dapat mentransformasikan
fenomena2 tersebut. Transformasi dari fenomena menjadi ilmu. Kemudian setelah
fenomena2 terumuskan menjadi ilmu, hasilnya kita akan mendapatkan sumber daya.
Timbullah kesadaran tentang adanya sumber daya. Pada awalnya fenomena2 kita
tangkap dan kita rumuskan menjadi ilmu. Dengan ilmu kita tahu, dimana rahmat
Tuhan disimpan, dimana sumber daya disimpan. Setelah kita mendapatkan sumber
daya, kita tidak berebut sumber daya. Tapi kita transformasikan lagi sumber
daya yang kita peroleh. Kita transformasikan sumber daya menjadi nilai. Apa
yang disebut nilai dalam hal ini bukanlah nilai ke dalam diri, tapi nilai bagi
seluruh manusia. Maka jadilah dari sumber daya menjadi nilai.
Nilai
ini dari sesuatu rahmat yang kita miliki, bukan nilai dalam diri, tapi nilainya
bagi kita sebagai seorang pemilik terhadap orang lain. Maka tatkala kita
tukarkan sumber daya ini, atau kita berikan sumber daya ini kepada pihak lain,
dalam rangka menolong atau mengembangkan, maka ini berarti sumber daya tersebut
sudah hilang menjadi nilai kehadiran kita. Sumber daya, ilmu, dan harta kita,
bisa mengangkat diri kita. Semua itu bisa bernilai bagi kita manakala kita
baktikan pada pihak lain. Maka dia telah melompat dari sesuatu yang bersifat
alami menjadi sesuatu yang bersifat manusiawi. Inilah yang dinamakan
Transformasi, yaitu mengangkat sesuatu yang bernilai secara alami untuk menjadi
bernilai secara manusiawi. Benda diangkat menjadi jasa. Kita menjadi tertolong
oleh milik kita sendiri, karena kita menjadi berada untuk pihak lain, karena
kita dapat mendayagunakan milik kita untuk menolong orang lain. Kita menjadi
punya makna. Inilah yang disebut nilai, namun bukan nilai pragmatismenya,
tetapi milik kita diterjemahkan, atau ditransformasikan menjadi diri. Dari
nilai alami menjadi nilai manusiawi. Kita tertolong oleh harta kita, karena
dengan harta kita bisa menolong orang lain. Jangan sampai kita dicelakakan
harta kita, karena dengan harta kita dibenci orang lain. Jadi kalau kita merasa
harus merawat harta kita, malah kita bisa dicelakakan oleh harta kita. Namun
sebaiknya harta kita harus bisa menolong kita, karena dengan harta kita
dicintai orang lain, dilindungi orang lain, dipagari orang lain, dan didudukkan
orang lain dalam fungsi2 yang berguna di dalam manajemen masyarakat.
Transformasi
sumberdaya menjadi nilai. Sesuatu yang bersifat nilai alami bila menjadi nilai
manusiawi yang berguna bagi orang lain, ini disebut Ma'rifat. Transformasi
sumber daya menjadi nilai akan melahirkan suatu kesadaran akan keharusan. Bila
sesuatu yang alami menjadi manusiawi, maka timbul suatu keharusan. “Aku harus
menolong dia, aku harus menyembuhkan dia, aku harus menyelamatkan dia, aku
harus mengajar dia, aku harus melindungi dia”, dan sebagainya. Kesadaran akan
keharusan ini dituntut oleh hatinya sendiri, dan bukan oleh hal-hal lainnya.
Saat itulah Qur'an bukanlah Qur'an lagi, melainkan suara hatinya. Perintah
bukanlah sesuatu yang dibawa oleh ustad, atau ayah ibu, tapi lahir dari
hatinya. Saat itu seseorang sudah memiliki guru di dalam hatinya. Memiliki
polisi di dalam hatinya yang melarang dia berbuat yang mencederai, merusak,
yang destruktif. Mempunyai hakim di dalam hatinya yang menghukum dirinya
sendiri apabila dia salah. Yang memiliki raja di dalam hatinya. Otoritas bukan
lagi dari luar diri melainkan ada di dalam dirinya. Itulah yang disebut
Ma'rifat. Orang yang sudah sanggup mentransformir sumber daya menjadi nilai.
Sesuatu yang materi bisa menjadi manusiawi.
Transformasi
yang ketiga adalah ketika kesadaran akan keharusan tersebut ditransformasikan
lagi menjadi citra. Suara2 hati yang membisikkan kebaikan untuk mengamalkan
sesuatu, atau untuk menolong orang lain, sudah menjadi citra dalam dirinya.
Bila tidak diungkapkan maka hatinya akan berontak dan menganggap dirinya bukan
manusia. Ia merasa mengingkari diri sendiri. Citra selanjutnya menjadikan
proses, yaitu berakhir dengan falsafah proses. Ia akan menjelma menjadi proses.
Maka bila suara hati yang baik seperti apapun, bila tidak menggugah diri, tidak
menantang diri, bila tidak mengancam diri sendiri untuk diaktualisasikan, maka
ia tidak akan menjadi proses. Namun bila diaktualisasikan akan terjadilah
perjalanan menuju yang sesuatu yang lebih agung, yang lebih sempurna, dan yang
lebih abadi. Hal inilah yang disebut Hikmah. Maka lengkaplah perjalanan
transformasi dari ilmu, ma'rifat, dan hikmah. Ilmu bersifat alami, berarti
Islam. Ma'rifat bersifat insani, berarti Iman. Proses dan Hikmah bersifat
Ilahi, berarti Ihsan.
Jadi
bila kita sudah sampai membaur dengan semesta alam, barulah bisa disebut Islam.
Islam itu sesuai dengan undang-undang alam semesta, yang di dalamnya
menampilkan fenomena2 yang harus kita transformir menjadi ilmu. Maka dalam
Islam diwajibkan kepada pemeluknya untuk mencari ilmu. Orang bodoh itu belum
Islam. Orang jahilliyah itu belum Islam. Islam itu harus sanggup mentransformir
fenomena-fenomena, yaitu ucapan alam dan informasi alam, untuk menjadi ilmu.
Yaitu menjadi sesuatu yang dengannya kita tahu bahwa di dalamnya tersimpan
rahmat Allah. Semesta alam itu menyimpan rahmat Allah untuk kesejahteraan umat
manusia. Maka menjadi Islam itu haruslah jujur dan ikhlas sebagaimana alam itu
jujur, alam itu ikhlas. Alam semesta tidak pernah menyalahi undang-undang dan
selalu berada dalam keteraturan dan terus tertata. Maka Islam itu bersifat
sesuai dengan alam.
Kemudian
taraf selanjutnya setelah Islam adalah peningkatan menjadi Iman. Iman itu
bersifat manusiawi. Maka kita harus adil dan tidak memperlakukan orang lain
seenak hati kita. Kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita
memperlakukan diri sendiri. Sebelum kita melakukan perbuatan pada orang lain,
pikirkanlah dulu seandainya perbuatan itu dilakukan orang lain terhadap diri
kita. Bila kita tidak mau diperlakukan seperti itu, maka janganlah kita lakukan
hal itu pada orang lain. Keadilan sedang diperjuangkan seluruh bangsa yang ada
di dunia dan belum pernah berhasil. Adil itu sesuai dengan insan, yaitu
memperlakukan manusia setara dengan diri kita. Itulah tanda iman. Bila kita
belum bisa adil, jangan katakan diri kita beriman.
Belum iman seseorang kamu
sebelum mencintai saudara2mu sesama manusia sebagaimana mencintai diri sendiri.
(Q.....?)
Jadi
iman adalah tanda ma'rifat. Seorang beriman tahu siapakah manusia itu. Orang
lain itu adalah seperti dirimu. Semua orang punya kebutuhan, butuh untuk
mencari sarana dan mencari ilmu. Manusia tidak mau diganggu, tidak mau dipaksa,
tidak mau dipotong, tidak mau dicerca, dan sebagainya. Maka kita harus
hati-hati dalam menanggapi manusia. Kalau kita bisa mensiasati manusia dengan
baik, maka kita adalah orang beriman. Orang lain itu adalah juga seperti diri
kita sendiri. Mereka ingin merdeka, ingin mencari hal yang baik, yang halal.
Kalau kita menemui orang lain yang tersesat, maka kita haruslah berhati-hati
dalam memperingatkan, dan jangan sampai mereka tersinggung. Kalau menemui orang
berbuat salah, kita juga harus berhati-hati dalam memperbaiki mereka, jangan
sampai mereka merasa dirinya bodoh dan menganggap kita tinggi. Maka di dalamnya
ada kebijakan.
Selanjutnya
setelah Iman adalah Ihsan. Ihsan itu bersifat Ketuhanan. Maka bila seseorang
berbuat baik, maka sesungguhnya Allah-lah yang berbuat baik melewati dirinya.
Kalau kita menolong orang lain, sesungguhnya adalah Allah yang menolong orang
itu lewat diri kita. Kita hanyalah digunakan oleh-Nya. Maka Nabi Isa AS berkata
“Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. Jadi perbuatan
baik manusia itu adalah refleksi perbuatan Tuhan, karena contohnya adalah
seperti Allah berbuat baik kepada kita. Jadi perbuatan baik itu adalah refleksi
perbuatan Tuhan. Bukan milik manusia, melainkan milik Allah.
Pernah Sayidina Ali bertanya kepada
anak-anaknya, Hasan dan Husein, yang ketika itu sudah bisa menunaikan sholat,
“Wahai anakku, apakah kamu sudah bisa syahadat atau sholat?” Jawab mereka, “Oh
sudah ,ayahanda, saya sudah bisa melaksanakan syahadat dan sholat wajib”.
“Kalau begitu kamu belum bersyahadat, kalau begitu kamu belum melakukan
sholat”, kata Sayidina Ali. “Lho, bagaimana? Saya sudah melakukannya”, kata
mereka. “Belum”, kata Sayidina Ali, “Siapakah yang sesungguhnya melakukan?
Apakah kamu merasa membuat daging dan tulangmu? Apakah kamu membuat otakmu,
kamu membuat hatimu, membuat niatmu, dan membuat perbuatanmu? Ketika daging itu
bergerak, ketika lidah itu bergerak, mengucapkan Allahuakbar Asyhadu ala ilaha
ilallah, apakah kamu yang melakukan? Kamukah yang membuat lidah? Kamukah yang
membuat hati dimana ada niat di sana? Kamukah yang membuat akal yang menyusun
kata-kata? Kamukah yang membuat? Ketika dia berbuat mengabdi kepada Allah, kamu
yang mengabdi. Allah yang berbuat, karena Allah yang menciptakan. Allah
menciptakan mata, kita mengakui kita yang melihat? Allah menciptakan tangan,
ketika berbuat baik kita yang mengakui? Ini hakikat. Kita tidak pernah merasa
menciptakan apapun. Allah yang menciptakan. Ketika dia melakukan yang baik,
bagaimana kita bisa mengakui itu perbuatan kita? Padahal kita tidak menciptakan
apa2. Dan tubuh ini, andil apa yang kita berikan?” “Kalau begitu bagaimana,
wahai ayahanda?”, tanya Hasan dan Husein. “Sesungguhnya itulah Kodrat. Yang
menciptakan itu Kodrat. Yang berbuat itu Kodrat dan dititipkan kepada Iradat.
Jadi kodratmu itu Kodrat Allah. Ditiupkannya kuasa Tuhan di dalam tanah, dan
itulah yang menyusun semua kekuasaan, yaitu Ruh”. Jadi kita berbeda dengan
binatang2. Kita memiliki Kodrat yang seterusnya dititipkan pada kehendak
manusia. Kehendak manusia inilah yang kemudian dipengaruhi oleh lingkungan
sehingga tujuannya menjadi
tidak berarah. Maka untuk itu haruslah ada transendensi dari kehendak diri menjadi kehendak Allah, supaya kita selalu lurus di dalam menjalankan, mengaktualisasikan, atau mendayagunakan Kodrat Allah yang ada di dalam diri.
tidak berarah. Maka untuk itu haruslah ada transendensi dari kehendak diri menjadi kehendak Allah, supaya kita selalu lurus di dalam menjalankan, mengaktualisasikan, atau mendayagunakan Kodrat Allah yang ada di dalam diri.
Gambar 4. Bagan Falsafah Proses selengkapnya
Adalah
kewajiban semesta untuk meng-alamisasi-diri-kan. Diri kita dialamisasikan, kita
cocokkan dengan alam. Supaya kita tahu apa yang ada di dalam alam, yaitu
disiplin2nya, kejujurannya, dan sebagainya. Jadi transformasi fenomena menjadi
ilmu adalah mengalamisasikan diri. Selanjutnya transformasi sumber daya menjadi
nilai adalah memanusiawikan alam fisikal. Kemudian transformasi keharusan
menjadi citra adalah memberi sikap Ketuhanan pada kesadaran di dalam berproses.
Kita lebur di dalam alam, kita lebur di dalam insan, dan kita lebur di dalam
Allah sekaligus lewat tiga tahap Transformasi. Kini nyatanyalah bahwa apa yang
ditawarkan oleh Al-Fatihah dan apa yang ditawarkan oleh sholat yang kita
lakukan, adalah adanya suatu kewajiban besar yang meliputi sejak alam
diciptakan untuk menyelamatkan diri kita, yaitu sejak Al-Awalu ketika Allah
menciptakan alam hingga Al-Akhiru ketika Allah mengadili kita. Dengan demikian
jadilah ungkapan diri kita adalah
betul-betul ungkapan perbuatan Tuhan. Tuhan berbuat melewati diri kita di dalam
me-manage alam semesta.
"..taqila..."
"wa man tawakal..."
"wa huwa hasbuh.."
"Ina..amri" (Q.....?)
Jadi
kita tidak hanya mendapatkan Ridha Allah. Siapa yang takwa kepada Allah maka
diberi jalan keluar, dari segala stagnasi, dari segala dilema dan disuplai
rezeki dari arah yang tak bisa diduga oleh pikiran. Kemudian siapa yang
bertawakal dan berserah diri kepada Allah, yaitu melakukan transendensi, atau
mi'raj, maka Allah cukup baginya. Allah akan mencukupi semuanya. Sesungguhnya
Allah akan melaksanakan urusannya. Maka tidak ada lagi yang perlu dikuatirkan,
karena urusan kita adalah urusan Allah juga, yaitu bila kita telah dapat
melakukan mi'raj, atau telah melaksanakan sholat dengan benar. Bukankah Tuhan
yang sekuat-kuatnya, yang sekaya-kayanya, dan yang sepandai-pandainya. Maka kita
tidak akan gentar menghadapi waktu, dan tidak akan sedih menghadapi ruang. Kita
telah menjadi tawakal. Sehingga diri kita menjadi senilai semesta alam, menjadi
senilai semua yang dibuat oleh Allah, sejak para malaikat sampai benda
terkecil. Bahkan kita lebih berharga dari semua itu. Itulah yang disebut Insan
Kamil. Hendaklah kita mengetahui bahwa bumi ini diciptakan, alam ini
diciptakan, hanya untuk kehadiran kita. Surga diciptakan, neraka diciptakan
untuk kita. Bahwa semesta alam ini kecil di depan Tuhan dibandingkan dengan
kita. Kitalah yang tertinggi di depan Tuhan. Semuanya dibuat karena kita. Surga
ada, neraka ada, karena kita. Semua kalah beratnya, kalah bobotnya,
dibandingkan perhatian Tuhan dengan diri kita. Semuanya tidak ada bila tidak
karena kita. Demikianlah kedudukan kita di depan Tuhan.
"wa..." "wa
malaikatu.." (Q.....?)
"yukhrijul...."
Dialah
Allah yang memuji-muji kepada kita dan seluruh malaikat-Nya diajak memuji-muji
kepada manusia. untuk mengeluarkan kita dari kegelapan ke cahaya yang terang
benderang. Jadi kita tahu betapa Tuhan mencintai, dan meluhurkan kita,
memuji-muji kita, dan bahwa tidak ada yang lebih penting bagi Allah kecuali
diri kita. Sehingga kita tahu apa yang semestinya kita lakukan.
"wa mana bil
mu'minin..."
"tahiyatu..."
"wa man..." (Q.....?)
Dan
kepada orang2 mu'min, Allah senantiasa kasih. Penghormatan Allah kepada mereka
di hari perjumpaan setiap insan dengan Allah, atau hari liqa, adalah
"Sejahteralah kamu, salam buatmu". Jadi penghormatan Allah terhadap
orang2 beriman ketika berjumpa dengan mereka adalah mendapat ucapan salam dari
Allah. Kemudian ditambah bagi mereka itu pahala yang sangat agung, dan mereka
tidak akan berduka lagi.
Maka
janganlah kita menghina diri sendiri. Karena ketika kita menghina diri sendiri,
berarti kita menghina Tuhan. Merusak diri sendiri berarti kita merusak kehendak
Tuhan, dan mengacaukan rencana Tuhan. Maka muliakanlah diri kita dengan
mengungkapkan perbuatan mulia. Hormatilah diri kita dengan melakukan perbuatan
yang terpuji. Inilah falsafah proses yang bisa dipersembahkan Islam kepada
pemeluk2nya, yang boleh jadi ada falsafah yang sejenis dari Barat, tapi
silahkan menanding antara keduanya. Biasanya falsafah proses yang ada di Barat
tidak ada transendensi, hanya ada transformasi. Transformasi pun tidak seakurat
yang diberikan oleh Al-Fatihah, karena jenjangnya masuk akal, dan tidak ada
sesuatu yang bisa disisipkan atau ditambahkan. Memang kita adalah alam, dan
kita adalah insan, dan kita adalah utusan Tuhan. Dan juga dalam transendensi
kita kepada Allah, kita harus menghancurkan peran diri menjadi Peran Tuhan,
kodrat diri menjadi Kodrat Allah, dan iradah diri menjadi Iradah Allah.
"Iyyaka na'budu wa iyyaka nastain. Ihdinashshiratal mustaqim".
Mudah-mudahan
Al-Fatihah senantiasa menjiwai, mewarnai, memberi nafas bagi gerak dan langkah
proses kita di dalam menjadi hamba yang sholeh, menjadi hamba yang wujudnya
Wujud Allah, dan menjadi hamba yang betul2 merupakan manifestasi dari ungkapan2
kehendak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar