AL HAROMAIN

DAFTAR

  • pakaian
  • buku

Daftar Blog

TEXT

text

zainimjkbgt

zainimjkbgt
zainimjkbgt

zainimjkbgt.blogspot.com

zainimjkbgt

alharomain

Penayangan bulan lalu

Populer

Entri Populer

5 Februari 2012

FALSAFAH

TOKO ALHAROMAIN MENJUAL PAKAIAN JADI D 54-D55 AND B19-B20 PASAR TANJUNG MOJOKERTO 
FALSAFAH PROSES


Bismillahirrahmanirrahim

            Sejak manusia lahir hingga meninggalkan kehidupan ini, ia berada dalam suatu proses menuju pada kesempurnaan diri. Menuju pada pemberian makna kehadiran diri dalam ruang lingkup kehidupan. Hidup bukanlah untuk mencari suatu sarana. Seandainya tak ada sesuatu yang dicari yang lebih tinggi dari sarana, yaitu makna keberadaan. Makna keberadaan manusia bukanlah kodrat yang ditetapkan Allah dalam diri, seperti ketinggian IQ, EQ, bakat yang diperoleh dari ayah ibu, etnis atau rasnya, apakah ia lahir dalam suatu struktur sosial budaya yang tinggi atau rendah. Makna keberadaan manusia bukanlah itu semua, melainkan ketinggian makna kehadirannya. Yaitu apa yg diungkapkan oleh setiap individu dalam ruang lingkup yang terjamah olehnya dalam proses menghayati hidup. Tak peduli apakah ia ada di dalam struktur budaya yang maju atau sederhana. Adalah bukan menjadi urusan kita apakah kita hidup dalam suatu lingkup budaya yang maju atau berkembang. Kita tak berurusan dengan itu, dan Tuhan tidak mengurusi hal itu. Melainkan kita diperankan di mana saja. Kadang2 kita ditempatkan dalam tempat yang sudah maju, sedang berkembang, atau bahkan primitif dalam pencapaian makna kehadiran. Yang penting bagi kita adalah ketika kita hadir dalam suatu ruang lingkup, sanggupkah kita memerankan diri kita? Apakah yang kita berikan pada ruang lingkup kita sudah sesuai dengan perintah2 Tuhan. Apakah perintah Tuhan itu? Perintah Tuhan adalah situasi dan kondisi yang melanda kita setiap hari. Situasi dan kondisi dimana kita berada, yang tak diinginkan oleh setiap individu dalam rangka mengembangkan diri, itu adalah perintah Tuhan. Ketika kita melihat sesuatu yang bobrok harus kita perbaiki, yang tak qualified harus kita urusi, yang tersesat harus kita beri petunjuk, yang rusak harus kita perbaiki. Merespon perintah Tuhan melewati situasi dan kondisi dimana kita berada adalah melaksanakan amer (perintah) Tuhan, yaitu beraktual. Bertindak keluar, yaitu mengisi acara hidup kita, proses kehidupan kita. Sekaligus ketika itu menciptakan sejarah pribadi kita.

Maka kita membutuhkan sarana hidup bukan agar kita kenyang, atau supaya bisa tidur enak. Tapi karena kita memiliki beban, memiliki tanggungan, merasa diperintah Tuhan memperbaiki diri dan lingkungan agar dalam hidup kita mendapat kemerdekaan dalam mencapai apa yang kita tuju. Di sini kelihatan gaya hidup seorang beriman, yaitu ia mencari sarana bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisikalnya, melainkan agar ia dapat melaksanakan perintah Tuhan. Sedangkan perintah Tuhan yang betul2 kondisional dan situasional tak diceritakan dalam Kitab2 Suci. Tapi Kitab Suci memberitahukan kita bahwa Allah menampilkan dan menjelaskan ayat2nya di dalam Al-Afaq (di dalam ruang semesta alam), dan di dalam diri kita, untuk kita respon dan kita tanggapi dengan positif kemauan Tuhan tersebut. Dengan demikian kehidupan seorang mukmin bukanlah kehidupan yang berhubungan dengan duniawi. Duniawi hanyalah sarana. Kita sedang berhadapan dengan Allah dalam melaksanakan perintah2Nya sesuai dengan peran kita mewakili-Nya di muka bumi.


Dalam proses hidup ini, tidak ada manusia yang baru mulai melangkahkan kaki menempuh proses, melainkan setiap manusia sudah berada dalam tengah2 perjalanan. Sebagian manusia ketika berada di tengah perjalanan, ia sadar bahwa ia didatangkan oleh Tuhan untuk memperbaiki lingkungannya dan dirinya sekaligus. Sebagian manusia lain, hidupnya hanya dimotivasi oleh keinginan2 utk memperbanyak hal2 yang diduga membahagiaan dan menyenangkan, tapi hasilnya hanya membebani diri untuk memelihara dan merawatnya. Kata2 proses hanya ada dalam makhluk hidup. Proses bukanlah berpindahnya sebuah benda mati dari satu titik keruangan ke titik keruangan yang lain. Proses itu adalah bagi makhluk yang hidup, jadi proses mengandaikan tujuan. Di dalam proses menyimpan arti bahwa ada sesuatu yang dituju, karena ia makhluk hidup. Apakah yang dituju ketika manusia berproses dari lahir menuju kematian? Kalau tak ada yg dituju alangkah nistanya karena kehidupan itu hanyalah sebuah cahaya yang sebentar saja bagaikan kilat di angkasa yang gelap gulita. Terang sebentar kemudian gelap lagi. Saat ini kita berada di tengah2 kilat  yang sebentar itu yang kemudian besok gelap lagi ketika kita sudah meninggal, dan yang dulu juga gelap ketika kita belum lahir di dunia. Kehadiran manusia ini cuma sebentar bagaikan kilat di tengah malam gelap gulita yang dibatasi oleh dua samudra kegelapan sebelum lahir dan setelah mati. Ini sangat penting, karena itulah harga diri kita bila kita bisa mendayagunakan diri kita sebaik mungkin. Meresponnya dengan sebaik mungkin. Jadi kehidupan itu adalah cahaya terang yang hanya sekilas di antara dua samudra kegelapan sebelum kita lahir dan setelah kita mati.
Gambar 1.  Samudra kegelapan sebelum dan setelah hidup


Bagaimanakah dalam waktu berperan yang sebentar ini kita bisa menerangi kegelapan yang sebelum dan sesudah itu? Ini adalah masalah agama. Inilah bedanya falsafah dengan agama. Falsafah hanya bisa menerangkan hal antara lahir dan mati. Yang bisa ditangkap hanya berupa kenyataan. Setelah manusia mati, ia tak bisa menangkap apa2. Sebelum lahir ia hanya hipotesa2, setelah mati ia hanya prasangka2. Tetapi agama ingin memberi makna kehadiran yang hanya sekilas itu untuk menerangi samudra kegelapan sebelum hidup, yaitu ketika kita lahir sampai ketika Allah menciptakan alam, dan menerangi samudra kegelapan setelah hidup, yaitu ketika kita mati sampai saat kita dibangkitkan. Bagaimana dua samudra kegelapan itu menjadi terang oleh kehadiran yang hanya sekilas ketika kita hidup, itulah misi agama. Adapun kita meminjam kata falsafah, yaitu falsafah proses untuk judul topik ini, itu hanyalah sekedar sebagai bahasa. Falsafah bukan tujuan, falsafah hanya sebagai bahasa untuk membahasakan kebenaran. Jadi kalau kita lihat tema pembicaraan ini adalah "Falsafah Proses" bukan berarti falsafah proses pada umumnya, tapi falsafah proses menurut pandangan hidup kaum Muslimin. Jelasnya ada sesuatu yang tidak kita tahu, yaitu sebelum dan setelah kehidupan. Semua ilmu telah berlomba2 untuk mengungkapkan hal2 yang sudah lalu namun belum ada satu pun yang  akurat. Seperti misalnya pendapat bahwa manusia itu asalnya dari simpanse, dari binatang bersel satu, dan sebagainya, yang kesemuanya hanyalah dugaan semata. Dan demikian juga pendapat bahwa setelah kematian manusia, segalanya sudah selesai, sudah tidak ada lagi kehidupan. Para penyimpul tersebut semua berada dalam kegelapan.

AL-AWWALU DAN AL-AKHIRU

Bagaimana kita bisa menerangi kegelapan sebelum kita lahir dan kegelapan setelah kita mati agar kehidupan kita yang sementara itu bagaikan kehidupan yang utuh. Utuh bagaikan ketika Allah menciptakan sesuatu dan kemudian menggulung sesuatu. Yaitu menggapai AL-AWWALU-Nya Allah, yang dengan sifat RahmaniahNya memberikan semua yang dibutuhkan di dalam kehidupan, menggelarkan medan potensi semua yang ada didalamnya, menumbuhkan kesadaran dalam makhluk hidup. Dan kemudian akhirnya menggapai AL-AKHIRU-Nya Allah. Memberi penilaian terhadap semua makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Apa yang mereka lakukan ketika mereka diberi kenikmatan yang bernama kehidupan, dan ketika merasakannya mereka enggan untuk pergi karena di dalamnya penuh kenikmatan. Jika kita menghitung nikmat Allah yg diberikan pada kita, maka tidak akan terhitung jumlahnya.

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. 14:34)

Itulah salah satu hal yang menyebabkan manusia tak mau mati, karena hidup itu nikmat dan kenikmatan itu akan ditarik.

Allah menciptakan kita dari ketiadaan (al-'adam) menjadi ada. Dengan amer (perintah)-Nya, Allah menciptakan apa yang disebut Realita (kenyataan/alam fisikal) yang di dalamnya terdapat undang2, hukum2, dan konsep. Maka alam fisikal, yang lahir dari amer Allah, kenyataannya satu tapi substansinya dua. Kenyataannya adalah realita, tapi realita itu terbagi menjadi dua: Yang nyata atau bersifat fisikal disebut Al-Mulk (kerajaan bumi). Yang undang2, yang hukum, yang kausalitas natural disebut Al-Malakut (kerajaan langit). Jadi yang melatarbelakangi semua struktur fisikal adalah kekuatan2 hukum, yang oleh orang beriman dipersonifikasikan dan diberi nama Malaikat. Maka malaikat adalah kerajaan langit. Orang dulu menyebut sisi dalam itu adalah sisi atas, sedangkan sisi luar disebut sisi bawah atau juga disebut fisikal. Al-Mulk kerajaan bumi, dan Al-Malakut kerajaan langit, keduanya adalah dalam satu kenyataan/Realita. Yaitu kenyataan zahir/fisikal-nya adalah Al-Mulk, yaitu dari bumi sampai galaksi. Kemudian undang2nya, kausalitas naturnya disebut Al-Malakut, yang memberi hujan, rezeki, dan sebagainya. Inilah Realita. Kemudian dari Realita ini terdapat anasir yg bernama tanah. Tanah ini bukan unsur tapi susunan unsur, disebut anasir. Unsur-unsur yang sudah digabung menjadi suatu kesatuan yang namanya tanah. Dari tanah ini, Allah ingin menciptakan manusia, yang kelak akan mewakili-Nya di muka bumi.

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Q.2:30)

Fisik diambil dari hasil amer Allah dengan kalimat Kun (Jadilah). Maka telah jadilah di antaranya terdapat anasir yang bernama tanah dari dimensi Realita. Tetapi ada sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang tidak berasal dari ciptaan Tuhan, melainkan langsung dari Iradatullah. Dengan Iradah-Nya yang ingin menjadikan wakil-Nya di bumi, maka kepada bahan fisikal yang berupa tanah (Realita) ditiupkanlah oleh-Nya ruh dari Ruh-Nya.

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. 32:9)

Dalam ayat tersebut, fiihi itu adalah tanah, ruuhihi adalah Ruh Tuhan, dan qodar adalah kuasa Tuhan. Jadilah apa yang disebut Insan. Maka Insan itu terdiri dari dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi ciptaan (Realita) yang diambil dari tanah, hasil dari Amer Allah (Kun). Yang dijaga oleh para Malaikat: mekanismenya, kandungannya, kemungkinannya, sifat2nya, dan manfaatnya. Dan yang kedua bukan dari bikinan Tuhan, tapi dari diri-Nya sendiri, dari Ruh-Nya sendiri. Dari Kudrat-Nya (kuasa Tuhan) menjadi ruh manusia.

Maka ketika seseorang kafir bertanya kepada Rasulullah Muhammad SAW pada waktu itu tentang ruh:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:"Roh itu sejenis perintah Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. 17:85)

Ruh adalah sejenis perintah Tuhan, dan bukan akibat perintah Tuhan. Berbeda dengan fisikal yang adalah akibat perintah Tuhan. Perintah Tuhan diaktualisasikan dengan kalimat cipta Kun, sehingga akibatnya diciptakanlah alam Realita. Sedangkan ruh adalah dari amer Allah, atau setara dengan amer Allah. Di dalam diri manusia ada perintah Tuhan. Di dalam manusia ada kehendak Tuhan. Di dalam manusia ada Qudratullah.

Inilah imanensi yang pertama. Turunnya Qudratullah ke dalam semesta ciptaan, tetapi yang dipilih medannya adalah manusia. Tempat singgasananya adalah manusia. Sesuatu yang tidak diberikan kepada matahari, tumbuhan, binatang, dan makhluk lainnya, melainkan di dalam hati manusia karena berat. Maka Allah bersabda:

Dan tidak ada yang dikehendaki manusia kecuali kelak dikehendaki oleh Allah Rabbul alamin. (Q..?)

Hal ini dikarenakan adanya Qudratullah, ada Ruh Allah di dalam manusia. Dan tidak ada yang dikehendaki manusia kecuali sudah dikehendaki oleh Allah karena di dalam diri manusia ada Qudratullah yang ditiupkan langsung ke dalam rahim, dan bukan melalui proses penciptaan. Inilah potensi yang utama, kelebihan ruh, kehebatan manusia di samping semua makhluk yang lain karena di dalam dirinya ada sesuatu yang tidak diciptakan. Fisiknya, hatinya, otaknya, sarafnya, adalah ciptaan. Tapi kesadaran manajerialnya, kesadaran keakuannya, bahwa setiap manusia itu bersifat rahim, bahwa setiap manusia itu bersifat rahman, kesemuanya itu bukanlah ciptaan.

Setiap manusia itu bersifat kasih, bersifat ingin memberi. Itu tidak bisa dihilangkan dari diri manusia kendatipun dia penjahat. Dan Allah sudah bersabda:

"...adama fii..rahman"  (Q.....?)

Manusia diciptakan di dalam gambaran Ar-Rahman, yaitu sifat Qudrat Allah. Jadi tidak ada manusia yang tidak memiliki sifat Rahmaniyah, karena ada sesuatu yang bukan ciptaan dalam dirinya yaitu Qudratullah. Jadi seburuk-buruk manusia, dia masih memiliki sifat Rahman kepada yang dekat dengan dia. Sebagai contoh adalah seorang penjahat yang ingin mencarikan rezeki bagi yang dicintainya, mungkin anaknya, istrinya, atau keluarganya, meskipun dilakukan dengan berbuat jahat. Ini menunjukkan masih adanya sifat rahman yang tersisa dalam dirinya. Jadi di dalam setiap diri manusia ada sifat Rahmaniyah, karena hadir sifat Ar-Rahman-Nya Allah. Hal ini berhubungan dengan sifat Al-Awwalu-Nya Tuhan. Tuhan yang menciptakan semesta alam dari amer-Nya, dan menurunkan  agama, utusan-Nya, wakil-Nya di bumi. Kesemua itu adalah karena ia bersifat Ar-Rahman. Segala awal, segala permulaan dimulai dari sifat Ar-Rahman-Nya Allah. Setiap kali kita mengungkapkan diri, kita tidak boleh lepas dari kesadaran bahwa semuanya itu lahir dari kedermawanan Tuhan, dari sifat pemberian Tuhan, dari Maha Murah-Nya Allah. Tapi Maha Murah-Nya Allah itu bukanlah sesuatu yang diberikan secara sembarangan. Allah memberi kita sesuatu adalah agar kita dapat mencari sesuatu yang lebih tinggi. Maha Murah-Nya Allah adalah sebuah aset untuk menggapai sesuatu yang jauh lebih tinggi, yaitu Al-Akhiru, yaitu Rahimiyah-Nya Allah. Allah Yang bersifat Rahim.

Sehubungan dengan sifat Al-Awwalu-Nya Allah, tidak ada enersi yang datang di bumi kecuali datang dari atas terus menerus sampai kiamat. Kemudian berevolusi menuju pada bentuk2, hingga mencapai taraf manusia. Selanjutnya di antara manusia ada yang mengalami evolusi spiritual, terus menjangkau ke tingkat yang lebih atas. Hal ini digapai dengan mempertinggi kualitas kehadirannya, memperbesar wilayah manajerialnya, menanggung jawab, membelas-kasihani, menjadi tangan Tuhan di dalam memperbaiki dan mengembangkan serta turut melestarikan bumi. Di sinilah tampil nabi2 dan rasul2, sebagai suri tauladan yang mengejawantahkan kehendak Tuhan agar mereka diikuti. Tapi yang ditiru oleh kebanyakan manusia hanyalah sarana teknisnya, dan bukan jangkauannya. Maka di dalam melaksanakan sarana teknis, atau syariat, kita harus tahu jangkauan2 pelaksanaan syariat. Mereka yang melaksanakan syariat tanpa mengetahui jangkauannya, hanya akan mendapat pahala ketaatan. Dia mendapat predikat baik dan taat, lebih dari itu tidak.

Sedangkan pemeluk Islam adalah umat Muhammad, bukan pemuja Muhammad. Tidak seperti halnya umat2 yang lain yang memuja nabi2nya, umat Islam sebagai umat terakhir bukanlah pemuja Muhammad SAW. Tetapi Muhammad adalah Uswatun Hasanah, keteladanan dan contoh yang baik, bukan idolasi. Muhammad sebagai nabi orang Islam adalah sebagai contoh untuk ditiru, dan bukan untuk dipuji. Karena walau betapapun kita memuji Rasulullah SAW, kita tidak akan mendapatkan syafaatnya. Sedangkan kalau kita meniru apa yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad, mengungkapkan apa yang diungkapkan Rasulullah Muhammad, barulah kita akan mendapat syafaatnya. Umat Islam adalah penerus ideologinya, penerus manajerialnya di muka bumi yang terpaksa dititipkan, diwariskan kepada kita karena akhirnya beliau wafat sebagaimana umumnya manusia. Rasulullah Muhammad tidak ingin hidup sampai kiamat untuk memandu umatnya, tetapi diwariskannya kepada kita. Jadi penerusnya adalah kita. Penerus dalam melestarikan bumi ini, me-manage bumi ini, adalah mereka yang menjalankan syariat Muhammad, syariat Islam. Kalau syariat dijalankan, tapi idenya untuk me-manage semesta alam tidak dijalankan, apa gunanya kita latihan syariat. Hanya akan mendapatkan pahala ketaatan. Tapi tidak mendapatkan efektifitas dari ungkapan diri, efektifitas dari proses. Sedangkan mereka yang tahu jangkauan syariat dan melaksanakannya adalah bagai seorang manajer yang kelak akan diganti oleh Allah dengan yang dinamakan Surga Illiyin, surga yang tinggi. Bukan surga yang biasa seperti Jannatul Naim atau Jannatul Firdaus, melainkan surga yang tinggi, yang diperuntukkan bagi manajer2 kehidupan. Bukan manajer perusahaan, tapi manajer2 manusia. Surganya para Rasul, Surganya para Nabi, Surga Illiyin.

Jadi jelaslah bahwa Rasulullah Muhammad SAW bukanlah idolasi. Beliau adalah Uswatun Hasanah.

"....lakum"  (Q.....?)

Telah dicukupkan, telah dipatrikan, telah ditanamkan bagi kamu di dalam diri Rasulullah Muhammad SAW, Uswatun Hasanah, keteladanan atau contoh yang paling bagus. Beliau adalah seorang pembesar, seorang yatim yang akhirnya menjadi pembesar, yang dengan perjuangan mati2an melewati ancaman2 dari kaumnya sendiri, sehingga akhirnya menjadi kepala negara, menjadi pemimpin bangsa, juga pemimpin umat, yang tidak sempat menikmati kehidupan duniawi ini, karena mencemaskan umatnya. 

Sekarang setelah kita mengikuti jalannya Rasulullah, kita mendapat perintah sholat. Apakah sholat itu? Bila kita melakukan sholat hanya karena ketaatan maka yang didapat hanyalah pahala taat, tetapi tidak bisa mengungkapkan makna kandungan dari sholat itu. Makna dari sholat adalah kembali kepada Allah, menjangkau Allah sendiri. Allah sebagai apa ketika itu? Yaitu Allah sebagai Ar-Rahman. Allah sebagai Al-Awwalu. Ketika seseorang melakukan sholat, ia menjangkau Rahmaniyah Allah, menjangkau Al-Awwalu. Ia kembali ke sebelum dirinya, tatkala itu ia mendapati kehendak dan kuasa Tuhan, Iradat dan Kodrat Allah. Karena Kodrat dan Iradat Allah-lah kita jadi. Karena kuasa Allah menciptakan fisik kita, sedangkan Iradat Allah-lah yang menciptakan kehendak kita. Kalau Allah tidak berkehendak, maka Allah tidak mau menciptakan fisik, maka kita tidak akan bisa ada. Maka kembali kepada Allah, yaitu Ar-Rahmaniyah-Nya, yaitu Al-Awwalu-Nya Tuhan, adalah menemukan Kodrat dan Iradat Allah. Kodrat Allah (Kuasa Tuhan) menciptakan realita semesta alam. Dan Iradat Allah (Kehendak Tuhan) meniupkan ruh ke dalam diri kita untuk menjadi manajer semesta alam. Maka setelah kita menjadi ada, lalu kita ingin menjangkau sebelum diri kita. Kembali ke asal sebelum kita ada. Melainkan dengan apa kita ada? Dengan Kodrat dan Iradat Allah. Inilah yang disebut Transendensi.

TIGA FORMULA TRANSENDENSI

Shalat merupakan momen transendensi (mi'raj) orang-orang beriman, yakni menghadap Allah sebagai sang Awal, yang menciptakan diri kita dengan KekuasaanNya dan IradahNya. Di dalam sholat berlangsung tiga macam transendensi yang dapat mengantarkan esensi seseorang ke puncak kesempurnaannya secara individual (Lihat Q. Al-Hijr: 99), yaitu:

1.       Transendensi 'peran jiwa' (nafsu) menjangkau 'peran Ketuhanan', dengan pernyataan 'Iyyaka na'budu' (Kepada-Mu kami mengabdi).
2.       Transendensi 'kemampuan insani' menjangkau Qudratullah' (Kuasa Tuhan) , dengan pernyataan 'Iyyaka nasta'in' (Kepada-Mu kami memohon pertolongan).
3.      
Transendensi 'kemauan insani' menjangkau 'Iradatullah' (Kehendak Tuhan),  'dengan pernyataan 'Ihdinash shirathal mustaqim' (Tunjukkan kami jalan-lurus).
Gambar 2. Tiga Formula Transendensi




Dalam formula pertama, kalimat "Iyyaka na'budu" yang bermakna “KepadaMu Ya Allah kami mengabdi”, adalah transendensi dari Peran individu untuk menjangkau Peran Ketuhanan. Dengan kalimat "Iyyaka na'budu", maka hilanglah Peran individu kita, dan yang tinggal adalah Hamba Allah, yang harus mewakili Tuhan mengurusi dan me-manage dunia. Peran Ketuhanan di sini adalah Peran Kepengurusan, atau Rububiyah, bukan Allah sebagai Ilah atau sesembahan. Peran Rububiyah adalah peran kemanajeran Tuhan. Pada mulanya kita hanya memerankan diri kita sendiri saja. Setelah kita beragama, kita tidak lagi sekedar memerankan diri sebagai seorang individu. Kita adalah hamba Allah, yang diutus untuk memperbaiki sesuatu yang tampak rusak, juga untuk mengembangkan sesuatu yang terlihat stagnan, membenahi yang kacau, mengubah dari yang buruk menjadi baik, dari salah menjadi benar, dari tersesat menjadi memiliki tujuan, dan sebagainya.

Kalimat "Iyyaka na'budu" adalah bermakna hilangnya diri kita. Bagaikan seseorang yang mengatakan pada pihak lain "aku mengadi kepadamu", maka lenyaplah diri sang abdi. Yang ada hanya kehendak Sang Majikan yang diaktualisasikan. Ketika seseorang mengatakan "aku sekarang mengabdi kepadamu" maka sejuta kehendaknya akan menjadi gugur di depan kehendak yang kita abdi, bila itu bertentangan. Itulah yang dinamakan fana. Jadi momen fana adalah ketika manusia mengatakan "Iyyaka na'budu" maka ia tidak boleh berlaku sesuatu yang tidak dalam rangka mengabdi kepada Allah. Maka ia tidak boleh bertindak atau beraktual yang tidak di dalam rangka mengambil alih manajerial Tuhan di ruang lingkup yang ia kuasai. Misalnya dalam lingkup rumah, sekolah, RT, dan sebagainya. Dan bukanlah kehendaknya sendiri, dan bukan hatinya yang memotivasi perubahan2, atau perbaikan2, melainkan perintah Tuhan, Kehendak Allah. Ini adalah sebuah Transendensi, yakni hilangnya Peran diri menjadi Peran Ketuhanan.

Dalam formula transendensi yang kedua, kalimat "wa iyyaka nastain" adalah bermakna “Kepada-Mu Ya Allah kami memohon pertolongan”. Kita telah berkata kepada Allah "aku mengabdi", padahal kita sadar bahwa  mengabdi kepada Allah itu berat. Ruang manajerial Allah adalah seluas langit dan bumi, dan kita sudah mengatakan "kepadaMu kami mengabdi". Maka bagaimana mungkin kita bisa melaksanakannya? Bagaimana cukup waktu kita? Bagaimana cukup enersi kita? Bagaimana cukup kesempatan, harta, nilai, sarana kita untuk mengabdi pada Tuhan? Semuanya tidak akan cukup. Oleh karena itu kita lalu mohon kepadaNya pertolongan. “Semua yang Kau turunkan di dalam diriku, yang telah imanen dalam diriku, kehendak baikku, potensiku, bakatku, ilmuku, yang semuanya banyak itu, tidak cukup untuk bisa mengabdi kepadaMu di muka bumi ini Ya Allah. Maka dari itu kepadaMu Ya Allah, kami mohon pertolongan”.

Di sinilah timbul dan terungkap Transendensi yang kedua. Transendensi ini berasal dari kekuatan yang sudah imanen, kemudian sekarang ditambah kekuatan tambahan atau ‘supporting power’ dari Rabbul'alamin, karena kita meminta pertolongan. Supporting power dari Rabbul'alamin ini adalah diperuntukkan bagi orang2 yang beriman dalam melaksanakan tugas manajerial Allah. Kita sadar bahwa kita bisa melakukan tugas manajerial Ketuhanan adalah bukan karena kita dan bukan karena kekuatan kita, melainkan karena kekuatan Tuhan yang ada di dalam diri. Di sinilah terjadi transendensi dari Kodrat diri atau Kuasa diri, kepada Kodrat Allah atau Kuasa Allah.

Transendensi pertama, yaitu dari Peran diri ke Peran Ketuhanan, contohnya adalah sholat, dzikir, mengajar, berkomunikasi dengan Tuhan. Sedangkan Transendensi kedua dipisahkan menjadi satu unit ibadah tersendiri yang namanya puasa. Puasa dilakukan untuk mengganti kodrat diri, kekuatan diri dengan kekuatan Allah. Jadi puasa adalah metodologi dari Tuhan untuk menggapai sesuatu, menjangkau sesuatu yang  mungkin dan juga yang tidak mungkin. Untuk menjangkau sesuatu yang alami dan yang supra alami. Sejak purba tidak ada sesuatu ilmu yang luar biasa kecuali puasa jalannya. Tidak ada orang bisa terbang, bisa menghilang, bisa mengangkat dan mencabut pohon kelapa, kecuali puasa jalannya. Tidak ada orang yang bisa ditembak tanpa luka, tidak terbakar api, kecuali puasa jalannya. Puasa adalah untuk menggapai sesuatu kekuatan adi kudrati, yaitu kekuatan Allah, Rabbul'alamin. Tetapi puasa dalam agama Islam tidaklah untuk menggapai hal yang aneh2 tersebut, melainkan untuk mencapai ridho Tuhan. Jadi jelaslah di sini bahwa orientasinya adalah tujuan.

Selanjutnya setelah kita melaksanakan puasa dan menggapai perolehan puasa, kita merasa memiliki kekuatan lebih daripada manusia. Doa kita diterima Tuhan, bahkan kita dapat menyembuhkan manusia tanpa obat, melainkan cukup dengan menyebut Bismillah. Seringkali kita terlindung dari orang yang ingin menyerang kita, bahkan sebelum orang tersebut sampai kepada kita. Semuanya adalah dari Kodrat Allah, Kuasa Tuhan. Semuanya buah-buah dari ibadah puasa. Itulah yg namanya Kodrat Allah, yang hanya bisa dicapai dengan puasa. Ada kekuatan2 yang dia sendiri tidak tahu, namun meliputi dan melindungi dirinya. Itulah kekuatan puasa. Tetapi bagaimanapun tujuan dari puasa bukanlah untuk itu. Puasa kita tujuannya adalah untuk mendapatkan Ridho Allah. Sebagaimana setiap habis (sholat) Asar, apabila berpuasa kita disunahkan untuk berdoa "Asyhadu alaa ilaha ilallah. Astaghfirullah. Inna nas aluka ridhaka wal jannah wa na'udzubika min sakhatika wannar". Dalam berpuasa itu kita memohon ampunan Allah, memohon ridho-Nya dan Surga-Nya. Setelah itu kita akan menjadi seseorang yang mempunyai kekuatan2 malaikati. Seluruh malaikat bekerja di dalam diri kita, dan timbullah potensi malaikati. Ini baru dalam taraf fisikal, sedangkan di baliknya sudah betul2 seluruh malaikat yang diciptakan Allah yg menjaga diri kita. Juga malaikat2 yang menjaga alam lain, yg menjaga galaksi yang belum pernah kita datang ke sana, seperti galaksi Orion, dan sebagainya. Jadi ada di dalam diri kita yang melatarbelakangi realita fisikal kita. (Al-Mulk/Kerajaan diri), yaitu kekuatan2 samawi, kekuatan2 malaikati (Al-Malakut/Kerajaan langit). Mereka yang sampai pada jenjang ini kadang2 menjadi tersesat, dan berubah menjadi sombong. Dianggapnya orang lain bisa selamat adalah karena dirinya. Maka supaya tidak timbul kesombongan, janganlah kita mengungkapkan diri kecuali dengan hidayah dan petunjuk Allah. Di sinilah diperlukan adanya transendensi yang ketiga. 

Dalam formula transendensi yang ketiga, kalimat "ihdinash-shiratal mustaqim" adalah bermakna “Ya Allah, tunjukilah kami Jalan yang lurus”. Atau dengan kata lain kita berdoa “Ya Allah, diriku penuh bencana sekarang. Diriku penuh bencana setelah kekuatan2 melatarbelakangi diriku. Perolehan sholat. Diriku mengancam keselamatan manusia, mengancam keselamatan dunia, setelah malaikat taat, tunduk kepadaku. Ya Allah, tunjukkanlah saya jalan yang lurus, supaya yang kuungkapkan seperti yang Engkau kehendaki”. Jadi apa yg hendak dicari manusia  dalam rangka untuk menjadi lebih berkualitas, ia bisa membuat manfaat dan membuat bencana di muka bumi. Kualitas manusia dalam budaya apapun dalam pencariannya yang paling tinggi itu ada dua. Dia bisa berbuat baik dan bisa berbuat buruk sekaligus. Itulah manusia yang sempurna menurut pandangan dunia, tapi belum menurut Allah. Tetapi ia baru bisa disebut sempurna, bila ia sanggup berbuat baik sekaligus sanggup berbuat buruk, bisa menciptakan yang baik bisa membuat kerusakan, tapi dia memilih untuk tidak membuat kerusakan, melainkan membuat kebaikan. Barulah  bisa dikatakan ia telah menang dalam melawan iblisnya sendiri. Dia bisa membikin manusia mati, tapi dia lebih memilih membikin manusia hidup. Ia bisa membuat dunia kacau balau, tetapi memilih mengungkapkan diri membuat dunia tenteram sejahtera. Di dalam dirinya ada dua kekuatan, dua kemungkinan. Kekuatan Tuhan yg sudah digapai ini bisa untuk menghancurkan alam dan bisa untuk melestarikan alam, tetapi dia tidak memilih menghancurkan alam, tetapi ingin melestarikannya. Hal ini menandakan ketinggian dirinya. Doanya: “Fasilitas yang luar biasa dariMu, Ya Tuhan, jangan sampai diriku sendiri yang menggunakannya. Jangan sampai motifnya adalah hatiku, melainkan agar motifnya adalah PerintahMu”.

Maka di sini terjadilah transendensi dari Iradah diri atau Kehendak diri, menjadi Iradatullah atau Kehendak Allah. Yang dikehendakinya hanyalah yang dikehendaki oleh Tuhan, yaitu Iradah Allah. Pada hakekatnya ini adalah merupakan suatu doa yang tertinggi, nilai yang tertinggi di dalam doa yang diungkapkan oleh kesadaran yang bernama ruh manusia. Doa tertinggi tersebut adalah "ihdinash-shiratal mustaqim", yang belum pernah diturunkan sebelumnya. Surat Al-Fatihah  adalah surat yang belum pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Bila manusia menjadi hebat, sakti, dan luar biasa, maka mereka menjadi terkenal dan namanya menjadi cemerlang dan bagus, karena mereka belum berada di dalam "ihdinash-shiratal mustaqim". Sedangkan kalau kita sudah berada di dalam "ihdinash-shiratal mustaqim", maka kekuatan dan kehebatan kita tidak akan terlihat oleh orang lain. Selain karena kita tidak akan mengungkapkannya utk membencanai orang lain, kehebatan kemampuan kita bukanlah untuk dipamerkan, melainkan hanya digunakan untuk ibadah, jadi tidak kelihatan orang lain. Maka tokoh2 yang menonjol luar biasa dapat dikatakan tak mempunyai “ihdinash-shiratal mustaqim” di dalam diri mereka, karena mereka tidak bisa menyembunyikan fasilitas yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Sedangkan mereka yang memiliki “ihdinash-shiratal mustaqim” hanya mendayagunakan kehebatannya untuk kepentingan mengabdi, dan bukan untuk dipamerkan, bukan untuk menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat. Kesederhanaan Islam ada pada "ihdinash-shiratal mustaqim". Seorang muslim cukup dengan hidayah  Tuhan, cukup dengan penilaian Tuhan, bukan ancungan jempol dari manusia.

Maka ketiga formula transendensi yang terangkum di dalam surat Al-Fatihah, dilafadzkan di dalam sholat setelah kita mengadakan pujian2 terhadap Allah, yakni membaca takbir, tahmid, dan sebagainya. Formula transendensi yang ada di dalam sholat adalah mentransendir peran diri menjadi Peran Ketuhanan. Sedangkan mentransendir kekuatan diri menjadi Kekuatan Tuhan adalah dengan ibadah puasa. Formula terakhir yaitu mentransendir iradah diri menjadi Iradah Ilahiah dicapai dengan melakukan ibadah haji. Maka setelah seseorang menggapai ini semua, siapakah dia sesungguhnya? Siapakah orangnya yang sudah bisa sholat yang di dalam sholatnya bisa mentransendir peran dirinya menjadi peran Ketuhanan, Kodrat dirinya menjadi Kodrat Allah dan iradah dirinya menjadi iradah Allah? Dirinya adalah Kodrat dan Iradat Allah. Kodrat dan iradat dirinya sudah ditinggalkan. Peran dirinya, motivasi hawa nafsunya sudah dihilangkan. Siapakah sesungguhnya orang yang begitu? Apakah wujudnya orang yang seperti itu? Dia adalah bukan manusia, karena dia adalah makhluk yang datang dari hadirat Allah. Dia adalah orang2 Tuhan. Dia adalah hamba2 Allah, manusia2 Tuhan. Dalam sebutan orang biasa ia adalah orang2nya Allah. Tapi pendapat yang lebih ekstrim menyebutnya sebagai Wujudullah itu sendiri. Wujudullah itu bukan Dzatullah. Wujudullah adalah penampilan Tuhan. Tapi tidak usah dipermasalahkan karena hakekatnya sama, hanya permasalahan bahasa. Pada pokoknya dia adalah orangnya Tuhan. Dia adalah manusia yang laksana Tuhan. Mereka adalah para Nabi, para Rasul, para orang suci, para sufi. Mereka adalah manusia biasa yang bisa ditanya dan diraba, tapi yang diraba cuma fisiknya. Dzatnya tetaplah dzat manusia, tapi wujudnya adalah wujud Tuhan. Karena perannya adalah peran Ketuhanan, kodratnya adalah Kodrat Allah, iradahnya adalah Iradah Allah. Jadi wujudnya adalah wujud Allah di dalam ruang dan waktu yang terbatas. Bukan Allah yang transenden tapi Allah yang imanen. Allah yang datang me-manage di desa dan di rumah. Allah yg datang me-manage di kantor.

Perumpamaannya adalah laksana matahari kecil yang ada di dalam ember yang berisi air. Sunan Giri mengungkapkan perumpamaan ini ketika ditanya oleh istrinya "Tunjukkan saya tentang Tuhan". Maka Sunan Giri menunjukkan daun talas dengan setetes air di atasnya. Daun talas itulah perumpamaan fisik, air adalah perumpamaan diri, sedangkan matahari yang ada di dalam air itu adalah perumpamaan kehadiran Tuhan di dalam diri. Meskipun Tuhan tidak bisa diperumpamakan, tapi ini adalah rekayasa akal untuk bisa mempersepsikan sesuatu yang tak bisa dipersepsi. Dia persis seperti matahari, bersinar putih cemerlang. Tetapi refleksi matahari ini tidak bisa dikeluarkan dari air, karena pada hakekatnya ia ada di atas sana. Begitu pula dengan manusia Tuhan, dia persis seperti Tuhan. Kehendaknya adalah kehendak Tuhan. Hidayahnya adalah hidayah Tuhan. Tetapi dimana letak Tuhan di dalam dirinya tidak dapat ditunjukkan, karena hanya pantulan semata. Seperti itulah para Nabi, para Rasul, dan para sufi besar. Hanya wujud mereka saja yang lemah tapi Peran, Kodrat, dan Iradatnya adalah milik Tuhan.

Dalam permasalahan inilah timbul perbedaan pendapat antara ahli ilmu kalam dengan ahli ilmu tasawuf. Karena para ulama hanya memahami bacaan, sedangkan ahli tasawuf menghayati kehidupan. Perolehanan para sufi adalah dari penghayatan hidup. Penghayatan dalam mencari siapakah sesungguhnya dirinya. Bukankah agama mengatakan kalau kita berbuat baik bukan kita yang berbuat baik, tapi Allah-lah yang berbuat baik, hanya melewati diri kita. Kita bukan Allah. Tapi kalau kita berbuat buruk, maka kitalah yang berbuat buruk, bukan Allah. Seperti itulah, Kodrat dan Iradatnya adalah Iradat Allah. Sebagian manusia memahamai hanya melewati suatu bahasa tinggi, bahasa falsafah. Sedang bagi para sufi ini hanya perbedaan bahasa, bukan perbedaan substansi. Jadi antara orang2 ahli ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan para ahli tasauf sesungguhnya tidak berbeda. Perbedaannya hanya perbedaan bahasa. Perbedaan kecerdasan untuk mengungkapkan siapakah Tuhan sebenarnya. Karena Tuhan dalam Ahadiyah-Nya, tak seorangpun yang tahu. Bahkan Nabi2 juga tidak tahu. Malaikat2 pun tidak tahu. Tuhan dalam kesendirian-Nya adalah tertutup, tidak ada sesuatupun yg tahu. Sehingga Rasulullah ketika ditanya bagaimana ma'rifatnya terhadap Allah, dia hanya mengatakan "Araftu...." Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku. Bukan dengan akalku, bukan dengan ibadahku, ataupun kesucianku. Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku. Yang mengenal Tuhan itu Tuhan sendiri yang hadir dalam hatinya. Seperti dalam perumpamaan dari Sunan Giri tentang matahari yang menyinar air di daun talas. Daun talas tidak tahu apakah matahari ada atau tidak. Air yang di atasnya pun tidak tahu matahari ada atau tidak. Yang mengetahui bahwa matahari ada itu hanyalah matahari kecil yang ada dalam refleksi ini. Matahari kecil ini adalah perumpamaan iman. Kehadiran Allah di dalam dada menurut istilah syariat adalah iman. Kehadiran Tuhan adalah bagai pantulan ini, yang bukan bagian diri kita karena ketika kita mengeluarkan matahari kecil ini nyatanya tidak bisa. Maka Rasulullah mengatakan “Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku”. Bukan dengan akalnya, bukan dengan perbuatan amal sholehnya, melainkan dengan Allah yang hadir pada dirinya. Itulah yang mengetahui Tuhan. Maka banyak doa yang menyeru Tuhan dengan sebutan “Wahai Dzat Yang tiada tahu siapa Dia kecuali Dia sendiri”. Yang tahu siapa Allah itu hanya Allah, yaitu Allah yang transenden. Allah Yang dalam Al-Ahadiyah-Nya. Allah Yang Tetap.

Allah dulu, kini dan akan datang, selalu dalam keadaan tetap. Tetapi Allah yang hadir, adalah Allah yang imanen, yang ditiupkan Roh Allah di dalam jiwa kita ketika kita diciptakan. Kemudian ketika kita bisa optimal mengungkapkan Iradah dan Kodrat Allah dengan penuh motivasi sebagai hamba Allah, dengan motivasi dan kehendak-Nya, maka kita adalah penampilan Tuhan. Maka dalam sastra2 yang mengisahkan munculnya suatu bencana dan kekacauan dengan tiba2 dan tidak ada yang datang menolong, maka manusia menyeru “Ooh..mengapa Tuhan tidak hadir? Ya Tuhan, kacau balau umat-Mu, mengapa Kamu tidak datang?” Maka kemudian hadirlah seseorang berkata “Tuhan hadir” sambil dia datang untuk mengatasi bencana. Jadi Tuhan hadir di dalam imanen hanya melewati seseorang. Kehadiran Tuhan hadir menyampaikan apa yang dikehendaki Tuhan adalah melewati proses, melewati manusia. Bukan melewati kerbau, bukan sapi, bukan matahari, tapi melewati proses. Mereka datang menyampaikan pesan, dan menyampaikan apa yang Tuhan kehendaki. Jadi imanensi ada di dalam diri manusia, bukan di dalam makhluk yang lain. Itulah makna dari sabda Tuhan “Sesungguhnya Aku ingin membuat wakil-Ku di muka bumi”. Wakil itu banyak, tetapi apa yang dikerjakan, apa yang dilakukan dan diaktualisasikan, adalah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dan kekuatannya disuplai dari kekuatan-Nya.

Proses transendensi telah melemparkan seseorang ke dalam kematiannya sendiri, meskipun kemudian ia hidup kembali dengan predikat, kodrat dan iradat baru yang bernasab kepada Allah (Abdillah). Hal itulah yang membuat dirinya sanggup menerima kenyataan  dan berani  menanggungnya. "Setelah bernasab kepada Allah , engkau harus menanggung segala sesuatu, karena segala sesuatu tak lagi sanggup menanggungmu." pesan An-Nifari, seorang Sufi dari zaman silam. Maka ia pun segera turun dari medan tajalliyat Tuhan (Shalat; momen transendensi) untuk menempuh kehidupan barunya sebagai Hamba Allah. Ketika itu 'ia' bukan 'ia' lagi, melainkan seorang hamba yang dikirimkan Allah dengan qodrat dan iradat dari sisi-Nya untuk melakukan transformasi di segala bidang kehidupan yang dikuasai (Lihat Q. Ali 'Imran: 110).

Setelah kita mengadakan transendensi, maka kegelapan sebelum kita lahir menjadi hilang. Samudra kegelapan pertama menjadi terang. Kita sudah tahu darimana kita datang, untuk apa kita datang, dan apa yang harus dipulangkan ketika kita datang. Tetapi jika kita masih tidak mengetahuinya, maka masih belum transendensi. Kemudian setelah manusia mati, masih ada samudra kegelapan kedua. Ini yang juga harus diperjuangkan di dalam sisa usia manusia. Inilah yang disebut Transformasi.

TIGA FORMULA TRANSFORMASI

Melakukan Transformasi adalah melakukan Shalat Wustha, yaitu shalat yang terletak di antara Shalat Maktubah (Wajib) yang satu dan yang lain. Padahal 'saat itu' berupa 'momen aktual' manusia, dengan demikian  shalat wustha adalah aktualisasi diri yang bernilai transformatif yang dapat menyampaikan seseorang kepada Tuhannya  sebagamana halnya dengan Shalat. Maka sebagaimana momen Transendensi itu memiliki tiga formula, demikian pula momen Transformasi memiliki tiga formula, yaitu:        

1.       Transformasi 'Fenomena' menjadi 'Ilmu' yang bersifat 'konstruktif' akan        menghasilkan kesadaran akan adanya 'Sumberdaya'  (Rahmat-Islam-Alami). 'Sumberdaya'   bersifat  alami. Keberadaannya menyelamatkan diri dari Alam / berada dalam Sunnatullah  (Lihat Q. Ali-'Imran: 83). 
2.       Transformasi 'Sumberdaya' menjadi 'Nilai' (Makrifat) yang bersifat 'integratif'' menghasilkan kesadaran akan 'Keharusan'  (Amer - Iman - Manusiawi). 'Keharusan'  bersifat manusiawi (adil). Keberadaannya mengamankan manusia dari  sesamanya  /  berada  dalam  Amer Allah     (Lihat Q. Al-Bayyinah: 5)
3.       Transformasi  'Keharusan' menjadi  'Citra' (Hikmah) yang bersifat 'kreatif', menghasilkan kesadaran akan 'Proses'  (Amal Shalih--Ihsan--Ilahi). 'Proses'  bersifat Ilahi. (benar). Keberadaannya menyampaikan kita pada Ridla- Allah  /   berada  dalam  Jalan Allah   (Lihat Q. Al-Qashash: 77.)

Di dalam momen transendensi 'Iradah Tuhan' akan turun ke dalam diri manusia, dan di dalam momen transformasi 'kehendak manusia' akan naik mencapai Ridla-Nya. Di dalam proses-transendensi esensi manusia naik menggapai Sang Asal / Al-Awwalu (Qudratullah dan Iradatullah / Rahmaniyah) , sedang di dalam proses- transformasi manusia berjoang meraih Sang Tujuan / Al-Akhiru (Ridwanullah / Rahimiyah), yang kedua-duanya adalah wujud Allah dalam sifatnya yang berbeda (berpasangan). Itulah sebabnya proses aktualisasi diri seorang Mukmin selalu dibuka dengan 'Basmalah', yang menyadarkannya  akan  tujuan  dan  tehnis  pengungkapannya  yang bernilai ganda (ke dalam dan ke luar).

"Peliharalah shalat-shalat(mu) dan shalat wustha, dan tegaklah karena Allah dengan penuh ketaatan." (Q. Al-Baqarah: 238).

Dengan perjalanan masuk (transendensi) dan keluar (transformasi) yang benar, seorang Abdillah telah berhasil menghapus 'kegelapan sebelum dan sesudah' kehadirannya di dunia, karena  ia telah menggenggam Al-Awwalu dan Al-Akhiru (Dimensi Kontinuiti / kesenantiasaan)  di dalam kiprah kekiniannya  (Lihat Q. Al-Isra': 80) Al-Qur'an  menyebutnya sebagai  hamba yang telah melaksanakan 'Shalat Da'im',  yang  tak akan  terpengaruh oleh panas dan dinginnya cuaca kehidupan  (Lihat Q.Al-Ma'arij:  19-23).


Gambar 3.  Tiga Formula Transformasi

Transformasi bukanlah jalan balik. Berbeda dengan transendensi yang merupakan jalan balik ke sebelumnya. Transformasi adalah jalan untuk menjangkau kepada Al-Akhir-Nya Allah, yaitu untuk mencapai Ridho-Nya. Maka kita harus merespon alam semesta dengan cara yang telah diberi metodologinya oleh Allah melewati Surat Al-Fatihah. Kalau Transendensi berhasil, maka kita akan menjadi Muttawakilin. Orang yang dicukupkan dan dijamin Allah segala2nya. Sedangkan kemudian kalau Transformasi berhasil, maka kita akan menjadi Muttaqin.

Apa yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan. Sedangkan kenyataan yang terendah adalah alam semesta. Selanjutnya bagaimanakah seharusnya kita merespon alam semesta? Yaitu semua yang hadir di depan telinga, di depan mata, di depan indra dan di depan jendela2 kita, yang kesemuanya disebut sebagai fenomena2, ayatul qauniyah,. Maka kita harus dapat mentransformasikan fenomena2 tersebut. Transformasi dari fenomena menjadi ilmu. Kemudian setelah fenomena2 terumuskan menjadi ilmu, hasilnya kita akan mendapatkan sumber daya. Timbullah kesadaran tentang adanya sumber daya. Pada awalnya fenomena2 kita tangkap dan kita rumuskan menjadi ilmu. Dengan ilmu kita tahu, dimana rahmat Tuhan disimpan, dimana sumber daya disimpan. Setelah kita mendapatkan sumber daya, kita tidak berebut sumber daya. Tapi kita transformasikan lagi sumber daya yang kita peroleh. Kita transformasikan sumber daya menjadi nilai. Apa yang disebut nilai dalam hal ini bukanlah nilai ke dalam diri, tapi nilai bagi seluruh manusia. Maka jadilah dari sumber daya menjadi nilai.

Nilai ini dari sesuatu rahmat yang kita miliki, bukan nilai dalam diri, tapi nilainya bagi kita sebagai seorang pemilik terhadap orang lain. Maka tatkala kita tukarkan sumber daya ini, atau kita berikan sumber daya ini kepada pihak lain, dalam rangka menolong atau mengembangkan, maka ini berarti sumber daya tersebut sudah hilang menjadi nilai kehadiran kita. Sumber daya, ilmu, dan harta kita, bisa mengangkat diri kita. Semua itu bisa bernilai bagi kita manakala kita baktikan pada pihak lain. Maka dia telah melompat dari sesuatu yang bersifat alami menjadi sesuatu yang bersifat manusiawi. Inilah yang dinamakan Transformasi, yaitu mengangkat sesuatu yang bernilai secara alami untuk menjadi bernilai secara manusiawi. Benda diangkat menjadi jasa. Kita menjadi tertolong oleh milik kita sendiri, karena kita menjadi berada untuk pihak lain, karena kita dapat mendayagunakan milik kita untuk menolong orang lain. Kita menjadi punya makna. Inilah yang disebut nilai, namun bukan nilai pragmatismenya, tetapi milik kita diterjemahkan, atau ditransformasikan menjadi diri. Dari nilai alami menjadi nilai manusiawi. Kita tertolong oleh harta kita, karena dengan harta kita bisa menolong orang lain. Jangan sampai kita dicelakakan harta kita, karena dengan harta kita dibenci orang lain. Jadi kalau kita merasa harus merawat harta kita, malah kita bisa dicelakakan oleh harta kita. Namun sebaiknya harta kita harus bisa menolong kita, karena dengan harta kita dicintai orang lain, dilindungi orang lain, dipagari orang lain, dan didudukkan orang lain dalam fungsi2 yang berguna di dalam manajemen masyarakat.

Transformasi sumberdaya menjadi nilai. Sesuatu yang bersifat nilai alami bila menjadi nilai manusiawi yang berguna bagi orang lain, ini disebut Ma'rifat. Transformasi sumber daya menjadi nilai akan melahirkan suatu kesadaran akan keharusan. Bila sesuatu yang alami menjadi manusiawi, maka timbul suatu keharusan. “Aku harus menolong dia, aku harus menyembuhkan dia, aku harus menyelamatkan dia, aku harus mengajar dia, aku harus melindungi dia”, dan sebagainya. Kesadaran akan keharusan ini dituntut oleh hatinya sendiri, dan bukan oleh hal-hal lainnya. Saat itulah Qur'an bukanlah Qur'an lagi, melainkan suara hatinya. Perintah bukanlah sesuatu yang dibawa oleh ustad, atau ayah ibu, tapi lahir dari hatinya. Saat itu seseorang sudah memiliki guru di dalam hatinya. Memiliki polisi di dalam hatinya yang melarang dia berbuat yang mencederai, merusak, yang destruktif. Mempunyai hakim di dalam hatinya yang menghukum dirinya sendiri apabila dia salah. Yang memiliki raja di dalam hatinya. Otoritas bukan lagi dari luar diri melainkan ada di dalam dirinya. Itulah yang disebut Ma'rifat. Orang yang sudah sanggup mentransformir sumber daya menjadi nilai. Sesuatu yang materi bisa menjadi manusiawi.



Transformasi yang ketiga adalah ketika kesadaran akan keharusan tersebut ditransformasikan lagi menjadi citra. Suara2 hati yang membisikkan kebaikan untuk mengamalkan sesuatu, atau untuk menolong orang lain, sudah menjadi citra dalam dirinya. Bila tidak diungkapkan maka hatinya akan berontak dan menganggap dirinya bukan manusia. Ia merasa mengingkari diri sendiri. Citra selanjutnya menjadikan proses, yaitu berakhir dengan falsafah proses. Ia akan menjelma menjadi proses. Maka bila suara hati yang baik seperti apapun, bila tidak menggugah diri, tidak menantang diri, bila tidak mengancam diri sendiri untuk diaktualisasikan, maka ia tidak akan menjadi proses. Namun bila diaktualisasikan akan terjadilah perjalanan menuju yang sesuatu yang lebih agung, yang lebih sempurna, dan yang lebih abadi. Hal inilah yang disebut Hikmah. Maka lengkaplah perjalanan transformasi dari ilmu, ma'rifat, dan hikmah. Ilmu bersifat alami, berarti Islam. Ma'rifat bersifat insani, berarti Iman. Proses dan Hikmah bersifat Ilahi, berarti Ihsan.

Jadi bila kita sudah sampai membaur dengan semesta alam, barulah bisa disebut Islam. Islam itu sesuai dengan undang-undang alam semesta, yang di dalamnya menampilkan fenomena2 yang harus kita transformir menjadi ilmu. Maka dalam Islam diwajibkan kepada pemeluknya untuk mencari ilmu. Orang bodoh itu belum Islam. Orang jahilliyah itu belum Islam. Islam itu harus sanggup mentransformir fenomena-fenomena, yaitu ucapan alam dan informasi alam, untuk menjadi ilmu. Yaitu menjadi sesuatu yang dengannya kita tahu bahwa di dalamnya tersimpan rahmat Allah. Semesta alam itu menyimpan rahmat Allah untuk kesejahteraan umat manusia. Maka menjadi Islam itu haruslah jujur dan ikhlas sebagaimana alam itu jujur, alam itu ikhlas. Alam semesta tidak pernah menyalahi undang-undang dan selalu berada dalam keteraturan dan terus tertata. Maka Islam itu bersifat sesuai dengan alam.

Kemudian taraf selanjutnya setelah Islam adalah peningkatan menjadi Iman. Iman itu bersifat manusiawi. Maka kita harus adil dan tidak memperlakukan orang lain seenak hati kita. Kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Sebelum kita melakukan perbuatan pada orang lain, pikirkanlah dulu seandainya perbuatan itu dilakukan orang lain terhadap diri kita. Bila kita tidak mau diperlakukan seperti itu, maka janganlah kita lakukan hal itu pada orang lain. Keadilan sedang diperjuangkan seluruh bangsa yang ada di dunia dan belum pernah berhasil. Adil itu sesuai dengan insan, yaitu memperlakukan manusia setara dengan diri kita. Itulah tanda iman. Bila kita belum bisa adil, jangan katakan diri kita beriman.

Belum iman seseorang kamu sebelum mencintai saudara2mu sesama manusia sebagaimana mencintai diri sendiri. (Q.....?)

Jadi iman adalah tanda ma'rifat. Seorang beriman tahu siapakah manusia itu. Orang lain itu adalah seperti dirimu. Semua orang punya kebutuhan, butuh untuk mencari sarana dan mencari ilmu. Manusia tidak mau diganggu, tidak mau dipaksa, tidak mau dipotong, tidak mau dicerca, dan sebagainya. Maka kita harus hati-hati dalam menanggapi manusia. Kalau kita bisa mensiasati manusia dengan baik, maka kita adalah orang beriman. Orang lain itu adalah juga seperti diri kita sendiri. Mereka ingin merdeka, ingin mencari hal yang baik, yang halal. Kalau kita menemui orang lain yang tersesat, maka kita haruslah berhati-hati dalam memperingatkan, dan jangan sampai mereka tersinggung. Kalau menemui orang berbuat salah, kita juga harus berhati-hati dalam memperbaiki mereka, jangan sampai mereka merasa dirinya bodoh dan menganggap kita tinggi. Maka di dalamnya ada kebijakan.

Selanjutnya setelah Iman adalah Ihsan. Ihsan itu bersifat Ketuhanan. Maka bila seseorang berbuat baik, maka sesungguhnya Allah-lah yang berbuat baik melewati dirinya. Kalau kita menolong orang lain, sesungguhnya adalah Allah yang menolong orang itu lewat diri kita. Kita hanyalah digunakan oleh-Nya. Maka Nabi Isa AS berkata “Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. Jadi perbuatan baik manusia itu adalah refleksi perbuatan Tuhan, karena contohnya adalah seperti Allah berbuat baik kepada kita. Jadi perbuatan baik itu adalah refleksi perbuatan Tuhan. Bukan milik manusia, melainkan milik Allah.

            Pernah Sayidina Ali bertanya kepada anak-anaknya, Hasan dan Husein, yang ketika itu sudah bisa menunaikan sholat, “Wahai anakku, apakah kamu sudah bisa syahadat atau sholat?” Jawab mereka, “Oh sudah ,ayahanda, saya sudah bisa melaksanakan syahadat dan sholat wajib”. “Kalau begitu kamu belum bersyahadat, kalau begitu kamu belum melakukan sholat”, kata Sayidina Ali. “Lho, bagaimana? Saya sudah melakukannya”, kata mereka. “Belum”, kata Sayidina Ali, “Siapakah yang sesungguhnya melakukan? Apakah kamu merasa membuat daging dan tulangmu? Apakah kamu membuat otakmu, kamu membuat hatimu, membuat niatmu, dan membuat perbuatanmu? Ketika daging itu bergerak, ketika lidah itu bergerak, mengucapkan Allahuakbar Asyhadu ala ilaha ilallah, apakah kamu yang melakukan? Kamukah yang membuat lidah? Kamukah yang membuat hati dimana ada niat di sana? Kamukah yang membuat akal yang menyusun kata-kata? Kamukah yang membuat? Ketika dia berbuat mengabdi kepada Allah, kamu yang mengabdi. Allah yang berbuat, karena Allah yang menciptakan. Allah menciptakan mata, kita mengakui kita yang melihat? Allah menciptakan tangan, ketika berbuat baik kita yang mengakui? Ini hakikat. Kita tidak pernah merasa menciptakan apapun. Allah yang menciptakan. Ketika dia melakukan yang baik, bagaimana kita bisa mengakui itu perbuatan kita? Padahal kita tidak menciptakan apa2. Dan tubuh ini, andil apa yang kita berikan?” “Kalau begitu bagaimana, wahai ayahanda?”, tanya Hasan dan Husein. “Sesungguhnya itulah Kodrat. Yang menciptakan itu Kodrat. Yang berbuat itu Kodrat dan dititipkan kepada Iradat. Jadi kodratmu itu Kodrat Allah. Ditiupkannya kuasa Tuhan di dalam tanah, dan itulah yang menyusun semua kekuasaan, yaitu Ruh”. Jadi kita berbeda dengan binatang2. Kita memiliki Kodrat yang seterusnya dititipkan pada kehendak manusia. Kehendak manusia inilah yang kemudian dipengaruhi oleh lingkungan sehingga tujuannya menjadi
tidak berarah. Maka untuk itu haruslah ada transendensi dari kehendak diri menjadi kehendak Allah, supaya kita selalu lurus di dalam menjalankan, mengaktualisasikan, atau mendayagunakan Kodrat Allah yang ada di dalam diri.


Gambar 4. Bagan Falsafah Proses selengkapnya


Adalah kewajiban semesta untuk meng-alamisasi-diri-kan. Diri kita dialamisasikan, kita cocokkan dengan alam. Supaya kita tahu apa yang ada di dalam alam, yaitu disiplin2nya, kejujurannya, dan sebagainya. Jadi transformasi fenomena menjadi ilmu adalah mengalamisasikan diri. Selanjutnya transformasi sumber daya menjadi nilai adalah memanusiawikan alam fisikal. Kemudian transformasi keharusan menjadi citra adalah memberi sikap Ketuhanan pada kesadaran di dalam berproses. Kita lebur di dalam alam, kita lebur di dalam insan, dan kita lebur di dalam Allah sekaligus lewat tiga tahap Transformasi. Kini nyatanyalah bahwa apa yang ditawarkan oleh Al-Fatihah dan apa yang ditawarkan oleh sholat yang kita lakukan, adalah adanya suatu kewajiban besar yang meliputi sejak alam diciptakan untuk menyelamatkan diri kita, yaitu sejak Al-Awalu ketika Allah menciptakan alam hingga Al-Akhiru ketika Allah mengadili kita. Dengan demikian jadilah  ungkapan diri kita adalah betul-betul ungkapan perbuatan Tuhan. Tuhan berbuat melewati diri kita di dalam me-manage alam semesta.

"..taqila..." "wa man tawakal..."
"wa huwa hasbuh.." "Ina..amri"  (Q.....?)

Jadi kita tidak hanya mendapatkan Ridha Allah. Siapa yang takwa kepada Allah maka diberi jalan keluar, dari segala stagnasi, dari segala dilema dan disuplai rezeki dari arah yang tak bisa diduga oleh pikiran. Kemudian siapa yang bertawakal dan berserah diri kepada Allah, yaitu melakukan transendensi, atau mi'raj, maka Allah cukup baginya. Allah akan mencukupi semuanya. Sesungguhnya Allah akan melaksanakan urusannya. Maka tidak ada lagi yang perlu dikuatirkan, karena urusan kita adalah urusan Allah juga, yaitu bila kita telah dapat melakukan mi'raj, atau telah melaksanakan sholat dengan benar. Bukankah Tuhan yang sekuat-kuatnya, yang sekaya-kayanya, dan yang sepandai-pandainya. Maka kita tidak akan gentar menghadapi waktu, dan tidak akan sedih menghadapi ruang. Kita telah menjadi tawakal. Sehingga diri kita menjadi senilai semesta alam, menjadi senilai semua yang dibuat oleh Allah, sejak para malaikat sampai benda terkecil. Bahkan kita lebih berharga dari semua itu. Itulah yang disebut Insan Kamil. Hendaklah kita mengetahui bahwa bumi ini diciptakan, alam ini diciptakan, hanya untuk kehadiran kita. Surga diciptakan, neraka diciptakan untuk kita. Bahwa semesta alam ini kecil di depan Tuhan dibandingkan dengan kita. Kitalah yang tertinggi di depan Tuhan. Semuanya dibuat karena kita. Surga ada, neraka ada, karena kita. Semua kalah beratnya, kalah bobotnya, dibandingkan perhatian Tuhan dengan diri kita. Semuanya tidak ada bila tidak karena kita. Demikianlah kedudukan kita di depan Tuhan.

"wa..." "wa malaikatu.." (Q.....?)
"yukhrijul...."

Dialah Allah yang memuji-muji kepada kita dan seluruh malaikat-Nya diajak memuji-muji kepada manusia. untuk mengeluarkan kita dari kegelapan ke cahaya yang terang benderang. Jadi kita tahu betapa Tuhan mencintai, dan meluhurkan kita, memuji-muji kita, dan bahwa tidak ada yang lebih penting bagi Allah kecuali diri kita. Sehingga kita tahu apa yang semestinya kita lakukan.

"wa mana bil mu'minin..."
"tahiyatu..." "wa man..." (Q.....?)

Dan kepada orang2 mu'min, Allah senantiasa kasih. Penghormatan Allah kepada mereka di hari perjumpaan setiap insan dengan Allah, atau hari liqa, adalah "Sejahteralah kamu, salam buatmu". Jadi penghormatan Allah terhadap orang2 beriman ketika berjumpa dengan mereka adalah mendapat ucapan salam dari Allah. Kemudian ditambah bagi mereka itu pahala yang sangat agung, dan mereka tidak akan berduka lagi.

Maka janganlah kita menghina diri sendiri. Karena ketika kita menghina diri sendiri, berarti kita menghina Tuhan. Merusak diri sendiri berarti kita merusak kehendak Tuhan, dan mengacaukan rencana Tuhan. Maka muliakanlah diri kita dengan mengungkapkan perbuatan mulia. Hormatilah diri kita dengan melakukan perbuatan yang terpuji. Inilah falsafah proses yang bisa dipersembahkan Islam kepada pemeluk2nya, yang boleh jadi ada falsafah yang sejenis dari Barat, tapi silahkan menanding antara keduanya. Biasanya falsafah proses yang ada di Barat tidak ada transendensi, hanya ada transformasi. Transformasi pun tidak seakurat yang diberikan oleh Al-Fatihah, karena jenjangnya masuk akal, dan tidak ada sesuatu yang bisa disisipkan atau ditambahkan. Memang kita adalah alam, dan kita adalah insan, dan kita adalah utusan Tuhan. Dan juga dalam transendensi kita kepada Allah, kita harus menghancurkan peran diri menjadi Peran Tuhan, kodrat diri menjadi Kodrat Allah, dan iradah diri menjadi Iradah Allah. "Iyyaka na'budu wa iyyaka nastain. Ihdinashshiratal mustaqim".

Mudah-mudahan Al-Fatihah senantiasa menjiwai, mewarnai, memberi nafas bagi gerak dan langkah proses kita di dalam menjadi hamba yang sholeh, menjadi hamba yang wujudnya Wujud Allah, dan menjadi hamba yang betul2 merupakan manifestasi dari ungkapan2 kehendak 







Tidak ada komentar: