TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG Hakekat Psikologi
Islam
Sejak
pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi
kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi”
yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan,
seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya.
Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam
tiga pengertian. Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti
studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang
kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah
ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian,
persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh
Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku
organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap
sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John
Watson.[1]
Pengertian
pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa.
Psikolog di sini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses
penggaliannya didasarkan atas pendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian
pertama ini dapat mencerminkan hakekat psikologi yang sesungguhnya, sebab ia
dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi.
Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin
filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris.
Psikologi seakan-akan masih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah
satu kajiannya membahas hakekat jiwa.
Pengertian
kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga
fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi,
intelegensi, kemauan, dan ingatan. Namun pemisahan ini belum sempurna, sehingga
antara disiplin filsafat dengan psikologi masih berbaur. Pengertian psikologi
yang lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporer adalah pengertian ketiga,
karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu
yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini,
fokus kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala-gejala jiwa
yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk
hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak
dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses,
fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya dari
kalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat
jiwa. Mereka bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa
binatang. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau
stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.
Pengertian
psikologi yang dimaksud dalam buku ini lebih cenderung pada pengertian pertama.
Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih: Pertama, Psikologi
Islam sebagai disiplin ilmu yang mandiri baru memasuki proses awal. Pendekatan
yang digunakan lebih mengarah pada pendekatan spekulatif, yang membicarakan
hakekat mental dan kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses
deduktif, yang digali dari nash (al-Qur`an dan al-Sunnah) dan hasil pemikiran
para filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki wilayah
empiris-eksperimental; Kedua, Psikologi Kontemporer Barat dalam perkembangannya
mengalami distorsi yang fundamental. Psikologi seharusnya membicarakan tentang
konsep jiwa, namun justru ia mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu tentang
hakekat jiwa, sehingga ia mempelajari “ilmu jiwa tanpa konsep jiwa.”[2] Ketiga,
karena alasan ke dua di atas, psikologi kontemporer mempelajari manusia yang
tidak berjiwa. Atau, menyamakan gejala kejiwaan manusia dengan gejala kejiwaan
hewan, sehingga temuan-temuan dari perilaku hewan digunakan untuk memahami
perilaku manusia. Atas dasar ketiga alasan di atas, penulis lebih cenderung
menggunakan pengertian pertama. Pemilihan ini tidak berarti menafikan
keberadaan pengertian psikologi yang lain, tetapi penulis berharap agar ada
perimbangan atau bandingan dalam memilih model pengembangan disiplin psikologi.
Untuk beberapa tahun mendatang, barangkali Psikologi Islam dapat mengembangkan
pengertian yang ketiga, setelah kerangka konseptualnya telah mapan dan diakui
secara objektif dalam perbendaharaan Psikologi Kontemporer.
Psikologi
secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa”
dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah
al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah
al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu
al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki
asumsi yang berbeda.
Istilah
‘Ilm al-Nafs banyak dipakai dalam literatur Psikologi Islam. Bahkan Sukanto
Mulyomartono lebih khusus menyebutnya dengan “Nafsiologi.”[3] Penggunaan
istilah ini disebabakan objek kajian psikologi Islam adalah al-nafs, yaitu
aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak dapat disamakan dengan
term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer Barat, sebab al-nafs
merupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi ruhani, sedangkan
soul atau psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok
ini, penggunaan term al-nafs dalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan
doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupun nash yang melarang untuk
membahasnya. Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilah al-ruh yang
secara jelas dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).
Penggunaan
istilah ‘Ilm al-Ruh ditemukan dalam karya ‘psikolog’ Zuardin Azzaino. Istilah
itu kemudian dijadikan dasar untuk membangun ‘Psikologi Ilahiah’,[4] yaitu
psikologi yang dibangun dari kerangka konseptual al-ruh yang berasal dari
Tuhan. Boleh jadi Azzaino tidak mengikuti perkembangan literatur Psikologi
Islam, sebab literatur yang digunakan dalam bukunya tidak satupun yang
bersumber dari ’Ilm al-Nafs fi al-Islam (Psikologi Islam). Tetapi yang menarik
dari tawaran Azzaino tersebut adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian
psikologi Islam memiliki ciri unik, yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi
Kontemporer Barat. Objek kajian Psikologi Islam adalah ruh yang memiliki
dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan objek kajian Psikologi Kontemporer
Barat berdimensi insaniah (antroposentris). Karena perbedaan yang mendasar
inilah maka Azzaino terpaksa menggunakan term khusus untuk menentukan ciri unik
Psikologi Islam.
Menanggapi
kedua polemik ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs.
Selain istilah itu lebih populer dan masuk dalam perbendaharaan literatur
psikologi, secara ideologis pembahasan objek al-nafs tidak bertentangan dengan
nash. Hanya saja yang patut dipertimbangkan adalah kritikan Malik B. Badri
bahwa Psikologi Islam kini nyaris masuk dalam liang Biawak, yang sulit keluar
darinya. Kritikan itu nampaknya dapat ‘ditangkap’ dengan cermat oleh Azzaino,
sehingga ia mencoba mencari alternatif peristilahan baru. Dengan demikian,
kebolehan menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs dengan catatan tidak menyalahi
kerangka filosofis Psikologi Islam.
Hakekat
psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang
berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar
ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Hakekat
definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok; Pertama, bahwa psikologi Islam
merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki
kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi
Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam, dan sebagaianya.
Penempatan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir,
paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memilili
pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga
dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi
kontemporer pada umumnya.[5] Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka
ontologi (hakekat jiwa), epistimologi (bagaimana cara mempelajari jiwa), dan
aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan
tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti Psikopatologi Islam,
Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam,
Psikologi Sosial Islam, dan sebagainya.
Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan
perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh,
al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu’ad, al-sirr, al-fithrah,
dan sebagainya.[6] Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme,
proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Qur’an, al-Sunnah,
serta dari khazanah pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan
perilaku kejiwaan, melainkan juga apa hakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu
organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam
bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar)-nya. Dari sini
nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia
untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun
dalam kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.
Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik,
melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan demikian sebab Psikologi Islam
memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu
membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui
apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi
Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami
ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga
diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri
atau diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya
penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep
yang bernuasa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik,
yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman.
Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri
sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam
keterasiangan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains
yang objektif, bahkan boleh dikatakan telah mencapai derajat supra ilmiah.
Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiah adalah tidak benar,
sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitas suatu
ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif
melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan
dari kalangannya sendiri. Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan
kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan
pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan
dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yang sama,
yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.
Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti
Freud, Jung dan McDougall tidak hanya berijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi
juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek kedokteran
dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di antara metode dan teknik
yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah
normatif yang sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan
menjadikan psikologi kepribadan dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi
penting dalam pengembangan diskursus-diskursus lain.[7] Kondisi ini menunjukkan
bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan
ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji
secara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran
mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi
akhir-kahir ini telah membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang
di dalam khazanah Islam.[8] Mereka sadar bahwa Psikologi Barat Kontemporer baru
berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam
Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka
masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis
satu bab khusus untuk ‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang
sangat kaya dari psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama
Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak
sebagai para psikolog terapan.[9] Tasawwuf merupakan dimensi esoteris
(batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan
perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia
spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara
menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern
masuk ke dalam wilayah psikologi.
[1]Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj.
Cecilia G. Samekto, judul asli, "Dictionary of Key in
Psychology",(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237
[2]Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John
Dollard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dari Psiko-operan yang tidak begitu
tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yang menetap dan relatif
stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dapat
mengakibatkan respons-respons tertentu yang pada gilirannya membangkitkan
stimulus-stimulus yang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah
laku yang dapat diubah. Lihat!, Calvin Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori
Sifat dan Psikobehavioristik, diterjmahkan oleh Yustinus, judul asli; “Theories
of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326
[3]Lihat! “Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas
Psikologi” (1986) karya Sukanto Mulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A.
Dardiri Hasyim dengan judul “Nafsiologi; Sebuah Kajian Analitik” (1995); (2)
“Nahw 'Ilm al-Nafs al-Islâmiy” (1979) karya Hasan Muhammad al-Syarqawiy; (3) “‘Ilm
al-Nafs al-Ma’âshir fi Dhaw'i al-Islâm” (1983) karya Muhammad Mahmud Mahmud;
(4) “’Ilm al-Nafs al-Islamiy” (1989) karya Ma’ruf Zarif; dan (5) “al-Qur’an wa
‘Ilm al-Nafs” (1982) karya Muhammad Usman Najati.
[4]Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme
Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)” karya H.S. Zuardin Azzaino.
[5]Maksud keunikan di sini terutama menyangkut
masalah-masalah yang mendasar (kerangka filosofis) dan bukan masalah-masalah
teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerir masalah-masalah yang
fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkan pengkaburan
antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkan
masalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga
tidak ada salahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian
struktur manusia, Islam tidak menerima teori Sigmund Freud yang membagi
struktur jiwa manusia dengan id, ego, dan super ego. Pembagian ini menafikan
alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agama dinyatakan sebagai
delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktur al-ruh yang berdimensi
ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama
merupakan bentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian
juga masalah mimpi. Freud dan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi
hanyalah produk psikis, sedangkan dalam Islam, mimpi boleh jadi berasal dari
produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dari Tuhan dan
syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti
ia tidak mempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima
oleh Nabi melalui mimpi. Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik
analisis untuk keperluan terapi, maka tidak ada salahnya jika hal itu diadopsi
dari teori Freud atau psikolog yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar