TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG MOJOKERTO
PERANG SABIL versus PERANG SALIB
PERANG SABIL versus PERANG SALIB
Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda
Datangnya Portugis dan Belanda ke Indonesia, selain untuk
menjajah juga untuk mengkristenkan umat Islam Indonesia. Kedua tujuan tersebut
dilaksanakan dalam ruang lingkup Perang
Salib yang tidak pernah padam dalam dada umat Kristen Barat. Kesimpulan ini
berasal dari data yang tertera di bawah ini:
a. Th. Muller Kruger, guru besar Sekolah Tinggi Kristen di Jakarta, pernah
menulis antara lain:
Tentulah orang-orang
Portugis ini bukan saja ingin untuk menemukan negeri-negeri lain, melainkan
mereka ingin pula menaklukkan negeri-negeri tersebut, serta mencari kekayaan
dunia. Tetapi tak dapat disangkal bahwa yang mendorong mereka ialah
"hasrat untuk mengkristenkan daerah-daerah yang ditemukan dan ditaklukannya
itu". Tiada percuma pada layar-layar kapal mereka tertera "tanda
salib". Mereka hendak menenamkan salib di tengah-tengah bangsa kafir,
bahkan dapat juga dikatakan bahwa merupakan semacam "perang salib"
apa yang mereka lakukan. Perang Salib yang penghabisan tidak mengikuti lagi
jalan-jalan yang semula. Sekarang "musuh Islam" ini diserang dari
belakang; maksudnya untuk memotong dari sumber penghidupannya. Penyebaran Injil
sudah menjadi tujuan yang utama, bukannya sebagai pekerjaan sambil lalu saja,
sebagaimana halnya dengan usaha-usaha bangsa Belanda dan Inggris kemudiannya.1
b. d'Albuquerque, komandan Portugis tatkala menaklukkan Malaka pada tahun
1511, yang pada saat itu dikuasai oleh kerajaan Islam, Sultan Mahmud Syah.
Setelah membakar semua kapal-kapal umat Islam, d'Albuquerque berpidato di depan
pasukannya, antara lain:
Jasa yang akan kita
berikan pada Tuhan dengan mengusir orang Moor (Islam Arab) ari negeri ini,
adalah memadamkan api dari agama Muhammad, sehingga api itu tidak akan menyebar
lagi sesudah ini saya yakin benar, jika kita rampas perdagangan Malaka ini dan
mereka (umat Islam) Kairo dan Mekah akan hancur.2
Karena misi utama kedatangan Portugis dan Belanda ke
Indonesia untuk melanjutkan perang salib terhadap umat Islam Indonesia, maka
perlawanan umat Islam seperti Perang Padri, Perang Jawa, Perang Banjar, Perang
Aceh, dan lain-lain adalah PERANG SABIL, dimana panji-panji Islam menjadi
lambang perjuangan. Demikian ungkap W.F. Wartheim
Bogor, 5 Jumadil Awal 1420 H / 20 Agustus 1999 M
Catatan kaki:
1Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia; BPK, Jakarta, 1959, hal. 18-19.
2Hamid Algadri; C. Snouck Hugronye, Politik Belanda Terhadap Islam dan Arab;
Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hal. 76-77.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
PERANG MALUKU
Konfrontasi umat Islam
dengan penjajah Portugis-Kristen tidak hanya terjadi di Jawa dan Sumatera,
tetapi juga terjadi di Maluku.Seperti telah diungkapkan di muka bahwa
kedatangan Portugis ke Maluku bersamaan waktunya dengan kedatangan Spanyol
yaitu pada tahun 1521. Kedatangan Portugis Kristen ke Maluku, semula disambut
baik oleh kedua kesultanan Islam di Tidore di bawah pimpinan Sultan Mansur dan
di Ternate di bawah pimpinan Sultan Khairun.
Kedatangan
Portugis-Kristen bukan saja bermaksud untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah seperti cengkeh dan pala, tetapi juga bertujuan untuk mengkristenkan
umat Islam Maluku. sebab pada tahun 1546 rombongan missi Kristen Katholik di
bawah pimpinan. propagandis terkenal Franciscus Xaverius telah turut terjun
mengkristenkan umat Islam di Maluku. Methoda yang dilakukan, bukan saja dengan
da'wah tetapi lebih
banyak dengan jalan
paksaan, melalui kekerasan militer dan senjata sebagaimana dilakukan di Spanyol
pada akhir abad-ke-15.
Perjanjian persahabatan
dan dagang antara Sultan Khairun dengan gubernur Portugis-Kristen de Mesquita
yaxxg ;di tanda-tangani pada tahun 1564, dianggap seolah-olah Sultan Khairun
itu di bawah jajahan Portugis-Kristen. Pada suatu kali Sultan Khairun
ditangkap oleh Gubernur de Mesquita dan dibawa ke Goa, pusat jajahan
Portugis-Kristen di Timur.
Dari Goa sultan di bawa
ke portugal di Eropa. Di dalam pertemuan antara Raja Portugis dengan Sultan
Khairun berjalan tidak seimbang, sehingga keputusan yarig diambil sangat
menguntungkan Portugis-Kristen. Persetujuan perjanjian yang diperbaharui itu
menyebutkan bahwa hak-hak sultan sebagai mana biasa diakui, tetapi
Portugis-Kristen berhak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate dan
usaha missi KristenKatholik untuk kristenisasi tidak boleh dihalang-halangi
oleh sultan. Dan jika terjadi perselisihan antara sultan dengan gubernur
Portugis-Kristen, maka raja Portugislah yang berhak menyelesaikannya.
Perjanjian yang sangat
merugikan ini, mengakibatkan posisi kesultanan Ternate makin terjepit, apalagi
sultan-sultan Tidore, Jailolo (Gilolo) dan Bacan boleh dikatakan telah kehilangan
kekuasaannya. Tidore semenjak meninggalnya Sultan Mansur praktis telah
kehilangan kedaulatan; Sultan Bacan telah dipaksa memeluk agama Kristen dan
Jailolo telah sepenuhnya dikuasai Portugis-Kristen. Melihat kondisi seperti
itu, tinggal Sultan Khairun masih berdiri tegak menghadapi penjajah
Portugis-Kristen.
Baru saja satu tahun
perjanjian Sultan Khairun dengan Raja Portugis-Kristen berjalan, ternyata
Gubernur de Mesquita sebagai pelaksana perjanjian itu telah menganggap bahwa
kesultanan Ternate sebagai daerah jajahannya saja. Akhirnya Sultan Khairun
kehilangan kesabarannya dan membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut
serta sekaligus menyatakan perang kepada Portugis-Kristen. Keputusan ini
dilanjutkan dengan tindakan militer yaitu pasukan tentera Islam diperintahkan
mengusir semua orang Kristen, baik Portugis maupun penduduk asli, dari kekuasaan
Sultan Ternate. Pelaksanaan perintah ini menimbulkan pertempuran, yang
mengakibatkan beratus-ratus missionaris dan umat Kristen mati terbunuh dan
beribu-ribu orang Kristen yang sempat melarikan diri ke Ambon dan Mindanao.
Peristiwa ini
menimbulkan kemarahan Gubernur de Mesquita dan pimpinan missionaris, sehingga
cepat-cepat meminta bantuan dari Malaka dan Goa. Datangnya tentara
Portugis-Kristen dari Malaka dan Goa, tidak menyebabkan pasukan tentera Islam
di bawah pimpinan Sultan Khairun menjadi gentar, bahkan menumbuhkan semangat
untuk mati syahid di medan pertempuran, pertempuran yang gagah-perkasa dari
pasukan tentara Islam Ternate ini, mengakibatkan kerugian yang besar bagi
pasukan tentara Portugis-
Kristen. Oleh karena itu
Portugis-Kristen yang licik ini, cepat-cepat mengajak damai.
Ajakan damai diterima
oleh Sultan Khairun dengan syarat bahwa semua pemeluk Kristen harus keluar dari
Ternate sekaligus dan tidak boleh ada lagi kegiatan Kristenisasi di Ternate.
Perjanjian perdamaian dan persahabatan ditanda-tangani lagi antara Sultan
Khairun dengan Gubernur de Masquita, dengan masing-masing memegang Kitab Suci,
A1 Qur'an bagi Sultan Khairun dan Injil bagi Gubernur de Masquita. Kemudian
atas inisiatif Gubernur de Masquita akan diselenggarakan resepsi peresmian
perjanjian perdamaian itu di kediaman gubernur sendiri.
Di saat resepsi
berlangsung, di mana Sultan Khairun dengan rombongannya duduk berhadap-hadapan
dengan gubernur de Masquita, tiba-tiba seorang pengawal dari tentara
Portugis-Kristen telah menikam Sultan dari belakang, akibatnya terjadi
perkelahian berdarah, sehingga sultan dan sebagian dari rombongannya meninggal
dunia, hanya sebagian kecil yang dapat menyelamatkan diri dan pulang ke
Ternate. Pengkhianatan ini terjadi pada 28 Februari 1570.
Peristiwa ini sepenuhnya
dilaporkan kepada Pangeran Babullah, putera Sultan Khairun, di Ternate.
Pengkhianatan keji Portugis-Kristen ini menimbulkan amarah umat Islam di
Ternate, dan secepat mungkin mengangkat Pangeran Babullah menjadi Sultan Ternate
menggantikan ayahnya. Dalam pelantikan Sultan Babullah menyentakkan pedang
pusaka ayahnya dan meminta sumpah-setia dari rakyatnya untuk berperang dengan
Portugis-Kristen, sampai Portugis-Kristen terusir dari Ternate dan tuntutan
bela atas kematian ayahnya terlaksana, semua rakyat yang hadir dalam upacara
pelantikan sultan ini, menyatakan kesetiaannya dengan Penuh ruhul jihad dan
mati syahid.
Pasukan tentara Islam
dibawah pimpinan Suitan Babullah sendiri bergerak menuju kedua jurusan: satu
pasukan tentara Islam dikirim untuk menghancurkan benteng pertahanan
Portugis-Kristen di Ternete dan satu pasukan tentara Islam lainnya ditugaskan
untuk menghancurkan benteng Portugis-Kristen di Ambon. Raja Bacan yang telah
menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya memberi bantuan kepada Portugis-Kristen,
sedangkan Sultan Tidore menyokong tentara Islam Ternate.
Pertempuran dahsyat tak
terhindar, sehingga korban dikedua belah-pihak banyak yang berguguran. Berkat
semangat mati syahid yang dimiliki oleh pasukan Sultan Ternate, maka akhirnya
benteng pertahanan Portugis Kristen di Ambon berhasil di bakar, sehingga hanya
sebagian kecil pasukan Portugis-Kristen dapat menyelamatkan diri dan terus ke
Malaka. Tinggallah para pemeluk Kristen di Ambon menjadi panik dan cemas,
khawatir disembelih oleh tentara Islam Ternate.Tetapi begitu pasukan tentara
Islam tiba, dengan tegas mereka menyatakan bahwa umat Kristen Ambon akan
diampuni dan tidak akan dipaksa masuk agama Islam, asal mengakui tunduk kepada
kekuasaan Sultan Babullah.Yang dikejar dan harus dibunuh adalah penjajah
Portugis-Kristen sebagai pengkhianat yang keji.
Walau benteng pertahanan
Portugis-Kristen Ambon telah ditaklukkan, tetapi benteng pertahanan Portugis-Kristen
di Ternate sendiri masih mampu bertahan selama lima tahun lamanya. Benteng
pertahanan Portugis-Kristen di Ternate yang terkurung selama lima tahun lamanya
dan bantuan dari tentara Portugis-Kristen yang didatangkan dari Malaka dan Goa
tidak mampu menembus blokade pasukan Sultan Ternate, akibatnya timbul kelaparan
dan penyakit yang melanda pasukan Portugis-Kristen yang terkurung itu. Dan
alternatif satu-satunya tidak lain adalah menyerah kalah kepada tentara Islam
Ternate.
Mendengar penderitaan
dan kesengsaraan yang diderita oleh tentara Portugis-Kristen di dalam benteng
yang terkurung itu maka Sultan Babullah mengirim utusannya kepada mereka yang
terkurung di dalam benteng untuk menerima usul Sultan. Isi usul atau
tawaran Sultan itu
antara lain berbunyi: "Apabila orang-orang Portugis mau mengakui
kekalahannya dalam 24 jam ini, Sultan bersedia memberi izin tentara
Portugis-Kristen meninggalkan benteng itu dengan senjatanya sekaligus dan terus
berangkat ke Malaka atau tempat lain. Bahkan jika bangsa Portugis-Kristen
bersedia menyerahkan hidup-hidup Gubernur de Masquita ketangan Sultan, untuk
menjalankan hukum "qishas", maka sultan bersedia untuk melakukan perjanjian
persahabatan kembali dengan Portugis-Kristen, dengan tidak mengurangi
kedaulatan Sultan Ternate atas negeri dan rakyatnya.
Akhirnya pada akhir
tahun 1575 tentara Portugis-Kristen menyerah kepada Sultan Babullah, dan
berkibarlah bendera pemerintahan Islam di benteng tersebut untuk
selama-lamanya, menggantikan bendera Portugis-Kristen.
PERANG MAKASSAR
Apabila suasana yang
agak tenang setelah "perang laut" dipergunakan oleh Sultan Agung
Mataram untuk menaklukkan Giri, maka Belanda menggunakan suasana ini untuk
menaklukkan Kesultanan Hasanuddin di Makasar. Konfrontasi antara kekuasaan
Hasanuddin dengan Belanda telah berjalan agak lama, yaitu sejak Hasanuddin mampu
menyatukan semua sultan-sultan Makasar dan Bugis di bawah satu panji-panji
Islam. Kesatuan ini menumbuhkan kekuatan yang dapat menyaingi kekuatan Belanda
di laut Jawa dan bahkan di laut Maluku dalam perdagangan rempah-rempah.
Konfrontasi Belanda-Hasanuddin
menyulut perang terbuka di antara kedua kekuatan tersebut. Pada tahun 1633,
Belanda mengepung pelabuhan Makasar dengan jalan blokade dan sabotase, tetapi
sia-sia. Sebab kekuatan pasukan Sultan Hasanuddin mampu mendobrak blokade itu
dan mematahkan semua sabotase yang dilakukan Belanda. Kegagalan ini mendorong
pihak Belanda mengadakan damai dengan Sultan.
Kemudian pada tahnn 1654
sekali lagi Belanda-Kristen mengerahkan armadanya yang besar untuk menyerang
Makasar. Pertempuran berkobar dengan dahsyat, tetapi berkat keberanian tentara
Islam Hasanuddin berhasil memukul mundur dan memporak-perandakan armada
Belanda-Kristen. Dan untuk kesekian kalinya Belanda mengajak damai dengan
Sultan.
Dari kegagalan
penyerangan yang kedua ini, Belanda mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang
kondisi psikologis dan politik Kesultanan Hasanuddin. Akhirnya didapatkan
bahwa kekuasaan Sultan Hasanuddin Makasar sangat tidak disenangi oleh
sultan-sultan bawahannya dari Bugis. Ketidak-senangan ini dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Belanda dengan jalan mengundang Aru Palaka, Sultan Bugis
di Bone untuk datang ke Batavia dalam rangka kerjasama, politik dan militer.
Pertemuan antara Aru Palaka dengan Gubernur Jenderal Brouwer menghasilkan
perjanjian kerjasama politik-militer, yaitu Aru Palaka dan Belanda akan
bersama-sama menyerang Makasar; dan jika serangan ini berhasil mengalahkan
Makasar, maka Aru Palaka akan diangkat menjadi Sultan Bugis di Bone secara
penuh dan bersahabat hanya dengan Belanda.
Pada tahun 1666 armada
laut Belanda yang berkekuatan 20 buah kapal dengan prajurit 600 orang, dibawah
pimpinan Laksamana Cornelis Speelman menyerang pasukan Makasar dari laut dan
pasukan Aru Palaka Bone yang dipersenjatai oleh Belanda menyerang dari arah
darat melalui Sopeng. Menghadapi serangan dari dua jurusan pasukan Sultan
Hasanuddin bertekad bulat untuk mati syahid, mempertahankan Islam dan kehormatan
kaum muslimin. Pertempuran dahsyat terjadi, perang tanding antara pasukan
Makasar dengan pasukan Aru Palaka berjalan sangat mengerikan dan pasukan
Belanda secara gencar menembakkan meriam-meriamnya dari laut, sehingga korban
berjatuhan tak terhingga banyaknya, terutama di pihak pasukan Makasar.
Dalam kondisi yang
demikian, Sultan Hasanuddin mengundurkan pasukannya sambil melakukan konsolidasi
yang lebih baik. Setelah konsolidasi dilakukan, pertempuran dimulai lagi
dengan penuh semangat mati syahid. Tetapi karena kekuatan tak seimbang, baik
dalam bentuk jumlah pasukan maupun persenjataan, akhirnya pada tahun 1667
menyerahlah Sultan Hasanuddin. Penyerahan Sultan ini tertuang dalam
"Perjanjian Bongaya". Dalam isi perjanjian ini disebutkan bahwa
daerah-daerah taklukan Sultan Hasanuddin seperti Ternate, Sumbawa dan Buton
kepada Belanda. Aru Palaka menjadi Sultan di Bone dengan daerah yang lebih luas
dan senantiasa dalam perlindungan Belanda. Sedangkan Sultan Hasanuddin hanya
memperoleh daerah Goa dan kota Makasar saja.
Kekalahan Makasar ini,
mengakibatkan banyak di antara para pejuang dan panglima pasukan Sultan
Hasanuddin ini yang berhijrah ke Jawa, seperti Kraeng Galesung dengan
pasukannya yang menggabungkan diri dengan Trunojoyo di Jawa Timur dan sebagian
lagi dibawah seorang ulama besar Syekh Yusuf menggabungkan diri dengan pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dalam melawan Belanda.
PERANG BANTEN
Kemenangannya dengan
Sultan Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang lebih besar bagi Belanda
untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Strategi ini
ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah Islam yang paling
dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan ketenteraman
Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah mengadakan
perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan Amangkurat
I, putera Sultan Agung.
Sebelum konfrontasi
bersenjata antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya diketahui
tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia
naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya Sultan Abul
Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan martabatnya,
sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten ramai
dikunjungi oleh kapal-kapal dagang darl Pilipina, Jepang, Cin:a, India, Persia dan
Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat kehadiran seorang ulama
besar dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang besar, dalam
peningkatan Islamisasi di Banten; menyebabkan ia diambil menjadi menantu oleh
Sultan.
Setelah sepuluh tahun
memerintah dengan sukses, Sultan mencoba menyiapkan penggantinya yaitu puteranya
Pangeran Ratu untuk memegang kekuasaan di dalam negeri.
Untuk meningkatkan
komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah mengutus puteranya
Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar untuk melawat
ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini memakan waktu
kurang lebih dua tahun.
Sekembalinya dari
perlawatannya, ia diberikan kembali jabatan sebagai Sultan Muda, yang
memerintah dalam negeri Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya dengan
para pejabat dan pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten mempengaruhi
pandangan hidupnya. Apalagi setelah di ketahui bahwa adiknya pangeran Purbaya,
yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi oleh
para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya itu
akan beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat
menjadi sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang
sehari-harinya banyak bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat
persekongkolan antara Sultan Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan
Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya berjalan dengan rapi.
Peristiwa perompakan
atau pembajakan kapal milik Banten yang pulang dari Jawa Timur oleh kapal-kapal
Belanda, menimbulkam amarah Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ia menyatakan
perang kepada Belanda. Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh anaknya Sultan
Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada tanggal 1 Maret 1680, Sultan Haji
menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan dan mengangkat
dirinya menjadi Sultan Banten.
Tindakan pemecatan
Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para bangsawan Banten di
bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di bawah pimpinan
Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui kepemimpinan Sultan
Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka berkumpul dihadapan Sultan Ageng
Tirtayasa untuk menyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk
menurunkan Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya.
Pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa telah berhasil menguasai seluruh Banten, kecuali istana Sultan Haji
yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti itu,
sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan
pasukan Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan
seketika itu pula armada pasukan Beianda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De
Saint Martin pada tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat
pasukannya, Belanda mengirimkan lagi satu armadanya di bawah pimpinan
Laksamana Tak.
Pada tanggal 7 April
1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng dibawah pimpinannya langsung,
didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf melakukan
serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan pasukan
Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan Tak
menyodorkan 'surat perjanjian' kepada Sultan Haji untuk ditanda-tangani, jika
bantuan pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mempertahankan hidupnya
dan kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat
merugikan itu untuk selama-lamanya.
Setelah perjanjian
selesai ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-meriam besar milik
pasukan Belanda-Kristen dimuntahkan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulk.an korban yang banyak
sekali, gugur menjadi syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang,
mengakibatkan pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia,
bersama pasukannya mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang.
Tetapi tidak lama
kemudian pasukan Belanda mengejarnya dan mengepung kota tersebut. Atas
perintah Sultan Ageng, istana di bumi hanguskan, dan ia bersama Pangeran
Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya mengundurkan diri ke pedalaman dan
membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari sini Sultan Ageng melancarkan
pertempurannya dengan Belanda selama hampir setahun. Tetapi kemudian dalam pertempuran
itu kerugian senantiasa diderita oleh pasukan sultan, bahkan Syeikh Yusuf sendiri
tertangkap.
Karena sudah tidak ada
lagi kekuatan untuk melanjutkan peperangan, akhirnya pada bulan Maret 1683,
Sultan Ageng Tirtayasa menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di Batavia sampai
wafatnya pada tahun 1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda dibuang
mula-mula ke Sailan (Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia wafat,
sedangkan Pangeran Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di daerah
Periangan, tetapi akhirnya juga menyerah.
Selanjutnya, isi
perjanjian antara Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani pada
saat-saat genting itu berisi antara lain:
(a) Semua hamba-sahaya
(budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten, wajib dikembalikan
kepada Belanda;
(b) orang-orang Belanda
yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan Banten, seperti Cordeel,
wajib diserahkan kepada Belanda;
(c) Banten tidak boleh
turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon dan daerah-daerah
lain yang berada di bawah wewenang Mataram;
(d) Segala kerugian yang
diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap milik Belanda,
wajib ganti rugi di bayar oleh Banten;
(e) orang-orang asing
tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten, kecuali
orang-orang Belanda.
Sultan Haji yang
mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680 sampai
wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen dan
menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan darah
ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten.
Setelah Sultan Haji
wafat pada tahun 1687, ia digantikan oleh puteranya dengan gelar Abu Fadl
Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan Yahya
wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar sultan
setelah kekuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya 'sultan boneka Belanda',
sebab yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda.
Selanjutnya berdasarkan
keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798 Verenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606 dinyatakan bubar; segala
hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
Keputusan itu berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya
daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda
dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan dengan nama 'Nederlandsch Indie'
(Hindia Belanda).
Dengan keputusan ini,
secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda. Untuk mengelola
Hiindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman Willem Daendels
telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada hari
keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari
1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808 dan pada tanggal 15
Januari 1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat
tertinggi V OC terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa
tertinggi Hindia Belanda dilangsungkan di Batavia.
H.W Daendels yang
mempunyai tugas utama mengkonsolidir kekuatan militer Hindia Belanda untuk
menghadapi kemungkinan serangan Inggeris, maka pekerjaan pertama adalah
membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak, Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan
proyek ini H.W Daendels telah mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa yang terdiri
dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang di luar batas kemanusiaan
mengakibatkan tidak kurang 1500 orang telah meninggal dunia.
Melihat nasib rakyat
yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari Banten menolak
untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi mau
mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah
Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap
Patih Wargadireja; yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan
memerintahkan sultan untuk memindahkan istananya ke Anyer serta harus mengirimkan
setiap hari 1000 tenaga kerja paksa ke proyek-proyek Daendels.
Pasukan Belanda yang
dikirimkan kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat Banten, kemudian
dibunuh semuanya: Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan
pegawai-pegawai Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu
dan dibunuh. Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial
Belanda yang bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang
menyulut seluruh Banten.
Dalam menghadapi gerakan
perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah mengirimkan pasukan militer
yang besar sekali dari Batavia. Ibukota kesultanan Banten diserang
habis-habisan dengan jalan pembunuhan massal dan perampokan harta milik rakyat
Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan Belanda. Patih Wargadireja yang
mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh
tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan dibuang ke Ambon dan seluruh
daerah kesultanan dirampas, serta langsung dalam penguasaan Belanda dari
Batavia. Untuk basa-basi putera mahkota diangkat menjadi Sultan Banten dengan
gelar Sultan Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil saja dari
daerah kesultanan Banten.
Kekejaman dan kebiadaban
yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan matinya ruhul jihad
(semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan
yang dilakukan oleh penjajah kafir Kristen. Di bawah pimpinan Pangeran Ahmad
kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat
Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat
besar yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempurann perlawanan
rakyat Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda-Kristen. Berulang
kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan
rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senantiasa kandas dan
gagal.
Perlawanan rakyat
Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka proyek jalan raya
dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000 km, dengan tenaga
kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten dalam
proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang
pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan
Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses perlawanan rakyat
Banten-Lampung. Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa
ditumpas oleh Belanda.
Kekejaman dan kebiadaban
penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia, selain pandangan hidup
yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang menganggap umat Islam adalah keturunan
palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena dasar untuk
mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa hukum. Sebab
hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya di Batavia dengan nama
'Statuta Betawi', yang berlaku untuk daerah 'Bataviase Ommelanden', dengan
batas-batasnya:
-sebelah barat yaitu
sungai Cisadane;
-sebelah utara yaitu
teluk Batavia;
-sebelah timur yaitu
aungai Citarum;
-belah selatan yaitu
samudera Hindia.
Kemudian bagi beberapa
daerah para penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi dari hukum adat, untuk
mengadili penduduk yang tunduk pada hukum adat, misalnya:
(a) Kodifikasi hukum
adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di sekitar pusat kekuasaan VOC;
(b) Kodifikasi pepakem
Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera (penduduk asli) di
Cirebon dan sekitarnya;
(c) Kodifikasi Kitab
Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di Semarang dan
sekitarnya;
(d) Kodifikasi hukum
adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera Bone dan Goa.
Dari fakta-fakta tentang
hukum positif yang digambarkan di atas jelas bahwa penguasa VOC sebagai
penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari sejak tahun
1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan 'kekuasaan' dan bukan
berdasarkan hukum.
Begitu pula penguasa
Hindia Belanda yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan dari VOC tidak
mendasarkan pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata berdasarkan
kepentingan kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa Hindia
Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di. Nederland telah mengeluarkan
pengumuman Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB
1847, No. 23.
Pada saat berlakunya
'Tata Hukum Baru' itu maka terhapuslah ketentuan Hukum Belanda Kuno dan Hukum
Romawi; demikian juga segala peraturan dengan nama 'verordeningen, reglementen,
publication, ordonansien, instruksien, plakkaten, statuten, costumen; dan pada
umumnya segala peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
yang.di Indonesia mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak tegas dipertahankan
untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya.
Pada pasal 1 dari
keputusan Raja Belanda itu, mengatur antara lain tentang:
(a) Ketentuan umum
tentang perundang-undangan;
(b) Peraturan tentang
susunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan;
(c) Kitab Hukum Perdata;
(d) Kitab Hukum Dagang.
Sedangkan pengaturan
tentang Hukum Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja tersebut di
atas.
Tetapi penyusunan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat direalisasikan pada tahun 1886, di
mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat Kitab Undang-undang Hukum
Pidana sendiri yang bernama 'Nederlandsch Wetboek van Strafrecht'.
Bagi Indonesia yang
menjadi daerah jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai penguasanya, waktu
itu dibuatkan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana guna masing-masing golongan
sendiri-sendiri, yaitu:
(a) Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan
dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai tindak
kejahatan saja;
(b) Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi putera dan
timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya mengenai
tindak kejahatan saja;
(c) Algemeene Politie
Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Ordonansi
tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak pelanggaran saja;
(d) Algemeene Politie
Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan
ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915.
Uraian historis tentang
hukum positif yang digunakan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda di
Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya baru
bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda yang
mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan
sejak Januari 1808, dengan Gubernur Jenderal. Daendels sebagai penguasa
tertingginya, maka roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata
berdasarkan kekuasaan sampai pada tahun 1886.
Oleh karena itu hukum
dan peraturan yang berlaku di Indonesia selama hampir 100 tahun Hindia Belanda
berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan penguasa kolonial.
Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya tergantung
kepada pertimbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda. Kriteria
mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali
kepada benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu
abad penguasa Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang
berlaku adalah hukum rimba.
Kekejaman dan kebiadaban
yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W.
Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum rimba yang diwarisi
turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka angkat kaki dari
Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik
Indonesia.
Kekejaman dan kebiadaban
yang tak terperikan itu, yang melahirkan perlawanan umat Islam sepanjang masa,
dalam periode kekuasaan kolonial Belanda.
PERANG JAWA
Sebelum kita melangkah
lebih jauh untuk membicarakan sekitar 'Perang Jawa', sebaiknya kita berbicara
serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa tersebut, untuk
mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan.eksistensi
kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.
Pangeran Diponegoro,
menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Menado,
menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan
hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di
Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal
bersama neneknya di Tegalrejo.
Di tempat ini, selain
memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan syari'at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang senang
mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di
kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi
Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya
diharuskan.
Pada waktu ia berumur 20
tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga seringkali keliling
mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian lain
dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang,
ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu
Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang
bernama gunung Rasamani, seorang diri.
Diponegoro segera
mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia berjumpa dengan
Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan jubah (pakaian
khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera; dengan celana
dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa
sebabnya ia memanggil Diponegoro adalah karena ia mewajibkannya untuk memimpin
prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau ada orang yang menanyakan
padanya, kata Ratu Adil, "siapa yang memberi kuasa padanya?"
Diponegoro harus menjawab, bahwa: "yang memberi kuasa padanya adalah
Al-Qur'an".
Di bagian lain
Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di bawah pohon
beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat menjadi
Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah.
Oleh karena itu
Diponegoro dalam memimpin "Perang Jawa" ini senantiasa diwarnai oleh
ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di dalam daerah
kekuasaannya.
Hal ini dapat dilihat
dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam
bahasa Jawa, antara lain berbunyi "Surat ini datangnya dari saya Kanjeng
Gusti Pungeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta
Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami
sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki
maupun perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun
orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat
undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan 'betulkan
agama Rasul'. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya
ini, maka dia akan kami penggal lehernya…" Kamis tanggal 5 bulan Kaji
tahun Be (31 Juli 1825).
Kiai Mojo adalah seorang
ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasehat keagamaan
Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada perjuangan yang
dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan
bersama-sama anaknya di daerah Solo.
Sebelum 'perang Jawa'
pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang dicetuskan
ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinys bergabung dengan pasukan
Diponegoro.
Alibasah Abdul Mustafa
Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja III yang gugur di
dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek Alibasah)
adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari silsilah
keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan
darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim.
Pada saat 'perang Jawa'
pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yang
penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh agama Islam juga
sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan Kiai Mojo.
Dilihat dari para pelaku
utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan
penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan
tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya petang tersebut. Kesimpulan
ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa
faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat
tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena
sekarang mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.
Para penguasa kolonial
Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia mendorong
mereka untuk mempersatukan.diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera
Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum. Ini dapat
disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada itu
keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para 'ekstremis' di
antara kiai itu untuk menggunakan senjata "Perang Sabil".
Sebagaimana telah
diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada tanggal 2
April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah
mengeluarkan peraturan yang mensederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti
Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi.
Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang
dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya
Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara
Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan
kepada Belanda guna mendapat hukuman.
Tuntutan Daendels ini
ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda
untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan
pasukan sultan; tetapi kekalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden
Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada
bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya Adipati
Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.
Sultan Hamengku Buwono
III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono
II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri),
turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur
26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak kepada Sultan
Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.
Kemarahan Sultan Sepuh
dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenang-wenang menurunkannya dari
tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro
dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta
dirampas oleh Belanda.
Peran Daendels sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16
Mei 1811, dan digantikan oleh J.W.
Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan
saja, sebab setelah itu pasukan Inggeris menyerbu Belanda, di mana akhirnya
Belanda menyerah kalah di Kali Tunntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan
kekuasaan antara Belanda kepada Inggeris, dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan
Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan sultan sepuh memerintahkan agar Patih
Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan Belanda.
Kehadiran Thomas
Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa kolonial Inggeris di
Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui
Sultan sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah
Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.
Tetapi tatkala Raffles
meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan dari
Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan
Hamengku Buwono III)
menerimanya bahkan membantu Inggeris. Pertentangan ini menjadi alasan bagi
Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan
Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan dibuang ke
Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggeris menjadi Sultan Hamengku Buwono III
pada tanggai 28 Juni 1812.
Untuk memberikan imbalan
jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka
Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi
seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten
Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung
Secadiningrat (Maret 1813).
Hal ini tentu saja suatu
pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena
kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak
yang hilang.
Seperti halnya Daendels,
maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta,
seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk memperoleh penghasilan bagi
penguasa kolonial Inggeris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan dan
pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan
pajak tanah. Para petani diharuskan menyerab:kan sepertiga dari hasil buminya
kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.
Selanjutnya pada tanggal
3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia
digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai
Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu.
Karena usia sultan masih
sangat muda, maka dibentuklah sebuah 'Dewan Perwalian' dengan Pangeran
Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal
19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggeris di
Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal
Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sultan Hamengku Buwono
IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822 wafat; ia digantikan
oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari 1820), bernama
Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V Karena Sultan Bamengku Buwono V
masih kecil, maka dibentuk 'Dewan Perwalian' yang terdiri atas: Kanjeng Ratu
Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran
Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) dan
Diponegoro sendiri.
Dewan perwalian, yang
hampir sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda, yang menyimpang
dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi wali
model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah
Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan
istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.
Peran penguasa kolonial
Belanda dan Inggeris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan
kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan jalan merampas
dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam
paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul,
yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai
harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap
kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa
sendiri.
Perasaan kesal dan marah
tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yang
menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial, baik di daerah kekuasaan
kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan sampai ke kraton.
Dominasi Cina di dalam
bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung Mataram (1613-1646)
sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814), dimana sebagian orang
kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan
pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah. bentuk-bentuk
kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan
dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar
yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang jatuh ke
tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli oleh Cina, baik di daerah
kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga
menjadi melarat dan sengsara.
Padahal sejak kehadiran
Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan Mataram, Cina
senantiasa membantu dan bekerjasama dengan penguasa kolonial Belanda
menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya tinggal menunggu
waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi
lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi
kebakaran yang sulit untuk dipadamkan.
Moment yang tepat itu
ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada
awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan
pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain
menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah
milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya.
Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut
tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih
Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut
supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku
Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap
mempertahankan Patih Danureja IV.
Suasana tegang ini
dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan
menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah
terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan
mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini
menimhulkan kegelisahan
Langkah pertama yang
ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat
Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para
tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi:
"Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-saudara mencintai
saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja
yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur."
Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah
dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah
Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!
Seruan ini disambut baik
oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama
barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan
'perang sabil' terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo
dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah
pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang
sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir
seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya
Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di
kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah
Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro
ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari
Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi
sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke
Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah
melakukan bai'ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan
Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus
kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan
Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding
menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang
ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat
kediaman Diponegoro,
mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan
rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan
untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan
yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20
Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan "Perang Jawa".
Yogyakarta seperti
antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan
pangeran Mangkubumi melengkapi "Perang Jawa" yang dahsyat.
Strategi perang gerilya
yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik "serang dengan tiba-tiba
pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi", merupakan strategi dan
taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada
awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang
Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia.
Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk mengirimkan
pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus
De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825
Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi
militer terhadap pasukan Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda
yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim
dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan
Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda
berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama,
menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan
dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong, markas besar
pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah
mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di
perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga
menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di
kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan
Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng
Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda
mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara
dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna
menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung.
Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden
Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah
pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas
Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke
Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda
yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan
diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama
tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi
surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia
memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat:
pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan
Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun
dari Susuhunan
Surakarta, semuanya
dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena
kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan
militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan
Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi
Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan
lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan
pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan
lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade
pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan
komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan
pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.
Pertempuran antara
pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar
Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan,
Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin
meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan.
Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial
Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong;
tidak berhasil menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama
(1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan
pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu
daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu
lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.
Tetapi sejak tahun 1827
pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang
didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang
selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia
melaksanakan "sistem benteng" dalam operasi militernya. Pasukan
Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali.
Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga
pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan
Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi
sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan
mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi
lumpuh.
Daerah-daerah yang
dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir,
Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede,
Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.
Di daerah-daerah
pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar,
Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan
lain-lain.
Di daerah-daerah
pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit,
Panjer, Merden dan lain lain.
Sistim benteng ini
memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang
telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara
psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.
Oleh karena itu, berkat
usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827,
Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya
beserta para pengikutnya
lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik.
Penyerahan Pangeran
Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang
Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan
daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah
dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan
pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan
hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede
Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di
bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda.
Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan
Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto.
Pertempuran terus
berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah
kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang
menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro
di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan
Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di
Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak
membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang
diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya
syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan
kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo.
Perundingan yang gagal
pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi
pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di
daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer
Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober
1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan
perundingan perdamaian
antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh
Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan
dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumenggung Mangun Prawira. Tetapi
perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari'at Islam,
seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi
Belanda.
Kegagalan perundingan
kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah
pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan
Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827
pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di
Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar.
Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang
oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan
hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo,
terus masuk ke kota Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi
setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar
Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu,
Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah,
pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul
berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala bantuan,
termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota
Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di
Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu
sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di
timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup
berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan
Belanda.
Keunggulan Belanda di
bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada
tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira
20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan
Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu;
bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran
Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera
kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk
ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan
Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang
semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan
akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer
Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan
menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha
berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige
di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak
yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat
mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro
yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus
terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan,
tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi
semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan;
sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan
pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan
senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober
1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda
di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton
Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda,
berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember
1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.
Ketika perundingan
gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa
diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan
Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai
Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk
dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh
Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten.
Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya
memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan
yang menang perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten,
Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung,
sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo
ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang
lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo
beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan
dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya
tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan pertempuran,
seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari.
Kiai Mojo beserta
stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman
Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke
Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya
dipergunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang
lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.
Pada awal Januari 1829,
Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai
Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di
Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas perjuangan
Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi
Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar
suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer.
Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi
Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat
kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan memerintahkan
agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin
selamat.
Pada bulan Februari 1829
Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock
mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh
Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara
lain menjamin kebebasan bepergian bagi Alibasah dengan pasukannya di daerah
kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk
pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau
berdamai.
Taktik licik Belanda ini
mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh
pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat
diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan.
Dalam kesempatan
gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim
surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran
Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut
dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.
Setelah gencatan senjata
berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka
pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di
antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh
Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia,
dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop
sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi
karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829
meninggal dunia, maka praktispimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih
tetap berada ditangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei
1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi
yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain
agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro,
untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei
1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh
pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan
Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran
Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan
dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan
Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya
dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda.
Operasi militer untuk
menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk
mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah
menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi
agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut
dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan
gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh
Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong
untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan
Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di
bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van
Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan
kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda
dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain
Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.
Operasi militer terus
ditingkatkan oleh Belanda terhadap "kantong kantong" persembunyian
pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni
Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel
Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini dipergunakan untuk melemahkan
semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro
Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan
pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus
1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro.
Dalam usaha konsolidasi,
karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat
pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan
pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi,
pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah
pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829.
Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak,
antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan
efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya
dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat
dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.
Bersamaan dengan operasi
militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah
sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah
kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman.
Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro
melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah
pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban,
diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold.
Seiring dengan operasi
militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7
Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga
Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya
Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan
pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.
Dengan posisi pasukan
Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh
Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah
berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada
Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung
Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September
1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal
De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda
di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama
dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21
September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock
mengeluarkan pengumuman tentang 'hadiah besar' bagi setiap orang yang dapat
menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi:
"Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada
penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda
sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan
hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan
diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas".
Pengumuman yang menyayat
hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei
bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829
benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi
Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas
Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta
rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda
tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera
Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada
tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya
untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829
Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan
(di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes
dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari
menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena
secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran
Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran
Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri.
Menyerahnya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro,
benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik
Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan.
Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara
Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23
Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena
syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:
(a) Memberikan uang
jaminan sebesar £ I0.000.-
(b) Menyetujui
pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan
seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam;
(c) Memberikan 400 - 500
pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini
langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan
sultan atau pembesar bangsa Indonesia;
(e) Mereka bebas
menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan
minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya
memakai surban.
Tawar-inenawar
syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara
delegasi Alibasah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan
waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis
Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal
20 Oktober 1829, antara lain berisi: "...saya telah menulis surat kepada
Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan
hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti
Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita
..... seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab
itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah
berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun
hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita."
Surat Jenderal De Kock
ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25
Oktbber 1829, antara lain berbunyi: "Pemerintah pada dasarnya setuju
dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan
segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan
kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah
ke pihak pemberontak.
Melihat isi surat-surat
pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi
syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen
Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan
pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De
Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat
lainnya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan
penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De
Kock datang ke kota Yogyakarta untuk
menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan
pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan
upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya
Pangeran Mangkubumi, Alibasah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta
tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka
secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang dialami
oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya
sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang
demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati
syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara.
Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!
Setelah menyerahnya
Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan
pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu.
Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus
ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain
pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih
ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya
beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi
kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran
Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).
Memasuki tahun 1830,
musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada
tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap
oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro
menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan
Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas
tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha
perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada
tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro
dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka
perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.
Pertemuan perdamaian
tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus
dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia;
setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat
itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu
kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus
menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu
perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang
masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh
karena itu; untuk memudahkan jalan pe. rundingan Diponegoro dengan pasukannya
harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar
pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari
1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830
Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah
tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan
perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan
ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal
De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya
jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul
Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang
sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan
putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka
berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret
1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel
Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota
Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa
Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya
harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret
1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang.
Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk
memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba.
Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan
pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro
dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung
keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan
staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak
Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden
Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai
Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk,
Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru
bicara.
Letnan Kolonel De Kock
van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk
melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di
kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung
keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah
diperintahkan oleh Jenderal De Kock.
Kolonel Cleerens yang
mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil
merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi
penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di
kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi
pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang
tidak hadir.
Babak pertama Jadwal
perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi
perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus
langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi
tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi
perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar
ucapan: "Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu
adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan
dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik
kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami
datang kemari."
Ketika pihak Jenderal De
Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh
Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan
tegas dan gamblang, yaitu antara lain: "Mendirikan negara merdeka di bawah
pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa".
Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira
bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi
jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat
dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan
babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika perundingan
ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk
mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan
rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap
Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata:
"Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas."
Mendengar ucapan ini,
Diponegoro dengan marah menjawab : "Jika demikian, maka tuan penipu dan
pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke
tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal."
Jenderal De Kock berkata
lagi: "Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi."
Diponegoro menjawab: "Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut
berperang?"
Tiba-tiba Jenderal De
Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk
menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam
posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan
dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro
dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan
pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju
Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya
dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa
ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari
keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834
Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada
tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah
menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun.
Perang Jawa yang dahsyat
dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang
Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya
negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap,
baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang
memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari'at
Islam di dalam kehidupan
pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan
yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan
pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara
Islam di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita
oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah,
tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan,
perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu
Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang
dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.
Tipu muslihat yang licik
dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan
jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial
Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun
Belanda-Kristen Protestan.
PERANG PADRI
Apabila diteliti masa Perang Padri
di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:
(a) Priode 1809 - 1821
Priode
ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan
oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan
bertentangan dengan syari'at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran
antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.
(b) Priode 1821 - 1832
Priode ini adalah merupakan
pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam
masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial
Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa
bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai
penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri.
(c) Priode 1832 - 1837
Priode ini adalah
merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum Padri dan
golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-Kristen.
Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para
ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk
mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.
Latar belakang lahirnya
kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia,
yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul
Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang
mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya,
sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum
'Muwahhidin' yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan
landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin
(Wahabi) ini antara lain:
(a) Yang boleh dan harus
disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah,
adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang
meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang
memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama
Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo'a adalah termasuk
perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat
berjamaah adalah nierupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala
bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala
bentuk kemunkaran dan kemaksiatan;
(g) Umat Islam, harus
hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi
yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang sanggup membangkitkan
kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam
keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa'ud dan Abdul
Azis Ibnu Sa'ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang
keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang
berdaulat di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.
Paham dan gerakan Wahabi
inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji
Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari
Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun
1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.
Sesampainya di Sumatera
Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam
namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati.
Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka
mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan
hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat
perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat.
Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan
tantangan.
Kepindahan Haji Miskin
ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia mendapatkan sahabat-sahabat
perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan Renceh di. Kamang, Tuanku
di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di
Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur. Itulah tujuh orang yang
berbai'ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para
ulama yang berbai'ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan
sebutan 'Harimau Nan Salapan'.
Harimau Nan Salapan ini
menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana mendapat sokongan
daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di
Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih
lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia
bersedia menjadi 'imam' atau pemimpin gerakaa ini. Tetapi setelah
bertukar-pikiran berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian
Harimau Nan Salapan hendak dengan segera menjalankan syari'at Islam di setiap
nagari yang telah ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tetapi Tuanku Nan Tuo
mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila telah ada orang beriman
di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka
yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada
setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya,
ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib
mantri dan dubalang.
Pendapat yang berbeda
dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan Harimau Nan Salapan
sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat
menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi masalah ini, Harimau
Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Mansiangan
Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang
muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan
Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.
Karena yang diangkat
menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan
Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal hakikatnya yang
menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh;
sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.
Kaum Harimau Nan Salapan
senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kesucian dan kebersihan,
dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama 'Gerakan Padri'.
Setelah berhasil
mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini, maka Tuanku Nan
Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan Salapan
mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah Kameng.
Untuk dapat melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni, tidak ada
alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan
politik itu berada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh
kekuasaan politik itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari
tangan para penghulu. Karena Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka
kekuasaan penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil
dengan baik.
Sementara itu para
penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin
membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam perjuangan
mereka untuk melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni. Bertempat di
Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan
sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-minuman
keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan
para pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu
merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari'at Islam secara
keras.
Tentu saja tantangan ini
menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala persenjataan yang
ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak, cangkul,
sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk
membubarkan pesta 'maksiat' yang diselenggarakan oleh golongan penghulu
(penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan pertempuran
oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan mati syahid,
pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya dimenangkan
oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti permulaan
peperangan Padri.
Kemenangan pertama yang
gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan
ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan Padri. Tindakan
ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah
Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian
seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.
Dari Kamang operasi
pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk jatuh ketangan
kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804 seluruh
daerah Luhak Agam telah berada di dalam kekuasaan kaum Padri.
Keberhasilan kaum Padri
menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi
masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah
Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku
Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis.
Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.
Operasi pasukan Padri ke
daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab penghulu daerah ini
bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap membantu setiap
saat untuk kemenangan kaum Padri.
Dengan berkuasanya kaum
Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam kekuasaannya diadakan perubahan
struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari diangkat seorang 'Imam dan
seorang Kadhi'. Imam bertugas memimpin peribadahan seperti sembahyang
berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan
dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran
dijalankannya syari'at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban
Umum.
Di daerah Luhak Tanah
Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah Luhak Adam dan
Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini
pasukan kaum Padri
mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab
Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan
itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di
waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin Muning
Syah.
Pada pemerintahan
Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja yang berkuasa
yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang
Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh
Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah
yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah
yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa
Empat Balai yang berkedudukan sebagai
menteri dalam pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di
Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai
Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga
kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah
lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas
menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang
bertugas menjaga kelancaran syari'at atau agama.
Di samping Basa Empat
Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang bertindak sebagai
Panglima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama pasukannya untuk
mengamankannya.
Kekuasaan Raja
Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam kehidupan
sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang sangat
luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala
nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam
nagari baru dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten
sekarang). Kalau masih belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk
selanjutnya diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada
masalahnya. Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan
diputuskan oleh Raja Minangkabau.
Oleh karena itu gerakan
Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya besar, sebab
gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan pun
cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap,
jika kaum Padri berkuasa.
Pertempuran sengit di
daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan Raja berjalan
sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke
pusat kekuasaan Minangkabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan,
terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat direbut kembali oleh pasukan
raja.
Walaupun begitu, pasukan
Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan para penghulu makin lama
makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi para penghulu,
akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat Balai
mengadakan perundingan dengan kaum Padri.
Perundingan itu
dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam tahun gerakan
kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu dipimpin oleh
Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu
dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya
hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena
gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.
Tetapi sekonyong-konyong
keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai. Karena kesalah-pahaman
antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo dengan para staf raja,
yang berakibat meledak menjadi perkelahian dan pertumpahan darah.
Raja dan hampir sebagian
terbesar staf dan keluarganya mati terbunuh dalam perkelahian itu, hanya ada
beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja yang dapat selamat
meloloskan diri sampai ke Kuantan.
Mendengar peristiwa
berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri sangat
marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan
senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.
Dengan peristiwa ini,
maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum Padri tanpa perlawanan,
karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.
Untuk mengokohkan
gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang muridnya
yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, untuk membuat
sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri. Pemilihan Malin
Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo nntuk membuat benteng besar, guna
menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku Mudo)
seorang murid yang pandai, alim dan berani.
Perintah Tuanku Nan
Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari Tuanku Mudo,
dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil memilih
tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit
Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitarAlahan
Panjang, di mana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya
'Benteng Bonjol' yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan
dengan ukuran panjang kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas
kira-kira 90 hektar, tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di
sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.
Di tengah-tengah benteng
Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap dengan perkampungan
pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat mengerjakan sawah
ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka
benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna setiap saat
siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku
Mudo yang bertindak sebagai 'imam' dari masyarakat benteng Bonjol, yang sesuai
dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tanku Mudo digelari
dengan 'Imam Bonjol'.
Setelah benteng Bonjol
selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan
Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat
memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan
para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini
melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan
Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan
pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan diderita
olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak
diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.
Keberhasilan Imam Bonjol
menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian diangkat menjadi pemimpin
Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol
mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai
Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis,
Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.
Setelah seluruh Pasaman
dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke utara,
didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke
sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedangkan
benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini
berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Dengan mengangkat Tuanku
Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di Tapanuli Selatan, gerakan
Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang
berarti. Daerah-daerah di sini bagitu setia untuk menjalankan syari'at Islain
secara penuh, sesuai dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.
Sementara kaum Padri
bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat Minangkabau,
Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah seorang pemimpin di
Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari
Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu
kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi
perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo dari
Tapanuli Selatan berkebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam
Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui
kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.
Belanda yang tahu bahwa
daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang
telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut
daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa
kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan
Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada
tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan
Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
Kemenangan yang
diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan Padri, menumbuhkan
semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya telah lepas.
Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan perjanjian
kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu yang
mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian
kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy.
Dengan terjalinnya
kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum Padri akan
menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Tuanku Nan Renceh,
Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820
wafat. Kekosongari ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas
persetujnan para perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan
Padri untuk menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.
Pada tahun 1821
pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri; sedangkan pasukan
Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk menguasai medan,
pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama 'Benteng atau Fort
van der Capellen'. Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu menyerang kedudukan
pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah
pasukan Belanda-Penghulu terjebak.
Perlawanan yang sengit
dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat pasukannya di Padang.
Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari Batavia di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang lengkap
persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan pasukan
Padri.
Operasi militer yang
dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke daerah yang dianggap
strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang
berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan
mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit
terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan yang
tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah Lintau
setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar.
Usaha pengejaran
dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan bantuan dari
Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya dapat
dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.
Setelah Belanda
memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade daerah
Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak
Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda, tetapi
usahanya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak
Agam di bawah pimpinan Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit.
Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak
Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah
melalui pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang
kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Pada akhir tahun 1822
pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan serangan balasan terhadap
pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah didudukinya. Pertama-tama Air
Bangis mendapat serangan pasukan Padri. Operasi ke Air Bangis ini langsung
dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira pasukan Padri dari
Tapanuli Selatan. Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan dibantu dengan
tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan pasukan
Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah Luhak Agam.
Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah Sungai
Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.
Awal tahun 1823 Kolonel
Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari Batavia. Dengan kekuatan baru,
pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran untuk merebut seluruh
Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara
pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga
Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu
diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang. Pertempuran
sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena
kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat
direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan
jalan melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki
maupun perempuan.
Pengalaman pertempuran
selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali. Sebab banyak daerah
yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh pasukan Padri.
Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia terbukti
tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan
konsolidasi, Belanda berusaha untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata.
Usaha ini berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan
senjata di Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.
Perjanjian Masang hanya
dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab Belanda dengan
tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak
Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dapat
sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan nama
Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan
Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol
dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh
berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.
Sementara itu pada tahun
1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya perang Jawa ini, kekuatan
pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk menghadapi perang Padri
yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa
yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan
dapat mengancam eksistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial
Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer harus
dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.
Untuk itu perlu ditempuh
satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali dengan kaum Padri di
Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan senjata dengan
kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di beberapa
daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian
damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik pasukannya
dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700 orang saja
lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk
menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.
Setelah Perang Jawa
selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda, maka kekuatan
militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat untuk
menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda melakukan
serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan
kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan
Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau, Kamang
dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda pada
tahun 1834.
Kejatuhan daerah-daerah
pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang memusatkan kekuatannya
di benteng Bonjol, mencari jalan jalur perdagangan melalui sungai Rokan,
Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari
sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut
sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat
dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh
Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol
mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan
persenjataan.
Kemenangan yang
gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan kecemasan para golongan
penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan yang diharapkan para
penghulu dapat dipegangnya kembali, ternyata setelah kemenangan Belanda
menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang dipertontonkan oleh
pasukan Belanda-Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai tempat asrama
militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah
mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-wanita, memanjakan
orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian rakyat, akhirnya
menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada Belanda.
Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk
mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan
kaum Padri.
Uluran tangan golongan
penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama dan ikrar antara
golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari tanah
Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung
Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin
langsung oleh Imam Bonjol.
Dalam perjanjian dan
ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan bahwa tanggal 11
Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat Sumatera Barat
secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat
Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama
di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk
melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel
Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di daerah
Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali serdadu
Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa
orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena
semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak
buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk
bisa kembali ke Bukittinggi.
Apabila di daerah Alahan
Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat Minangkabau dan
berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah Datar dan Luhak
Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya ialah banyak
daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat;
disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga
informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang
dicurigai segera ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu
atau kepala adat yang tetap setia kepada Belanda.
Timbulnya perlawanan
serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi ikrar Tandikat,
memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada tanggal 23 Agustus
1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang dilakukan
oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan
Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng
Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum
terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan, dan
mereka sangat mungkin kelak menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi
Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan
paling lambat tanggal 10 september 1853 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir
tersebut meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan
pada tanggal 16 September 1833.
Meskipun demikian, kedua
opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana yang telah diputuskannya,
sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya. Pertama, karena
mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne harus menyerang Bonjol
dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh Kota, dan satu kolonne
dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan kolonne ketiga dari
Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan pula satu kolonne
yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan Padri
mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol,
kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di
sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam.
Rakyat Padang Datar
umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat kekejaman dan
kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada kaki-tangan Belanda yang
bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam.
Sementara itu, Mayor de
Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk Imam Bonjol supaya suka
berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol menyatakan kepada Tuanku
Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu tempat yang telah ditetapkan.
Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.
Dalam kesempatan
perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan dengan
sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping diharapkan
pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka Mayor de
Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima Puluh
Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak Lima
Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.
Pasukan Padri ternyata
tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan tentara Belanda itu, sehingga.
semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya dengan pelbagai
rintangan, dikiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.
Di satu bukit, di tepi
jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang kerap kali
ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan. Dari
sini dapat diperhatikan segala gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh.
Kubu pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui, oleh Belanda.
Karenanya pada tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat
Agam yang setia kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha
penaklukan kubu ini gagal total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati
dan luka-luka, dan memaksa mereka kembali ke Bukittinggi.
Besok paginya, yakni
tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang tentaranya yang dilengkapi
dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat dari Batipuh dan Agam.
Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki bukit pertahanan
pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu pertahanan, dengan
sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan Belanda.
Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban
berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri
mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang
pematang-pematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya,
dengan sangat cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit
untuk dikejar oleh pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya
yang ditinggalkan pasukan Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh
pasukan Belanda. Walaupun pasukan Padri kalah, tetapi di pihak Belandapun
banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan dengan susah payah mereka dapat
kembali ke Bukittinggi.
Setelah kubu pertahanan
di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda, maka Jenderal
Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya diharuskan
menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang dekat
kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada 600
orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340
orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 orang dari
Tambangan; seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda
datang di Pantar, pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa
tersebut telah dibumi-hanguskan oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah
menjadi lautan api, Belanda membuat kubu pertahanan untuk menahan serangan-serangan
pasukan Padri. Tetapi pasukan Padri pun mengerti bahwa serangan pasukan
Belanda ini hanya merupakan pancingan, karenanya mereka tetap bertahan di
kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.
Sementara itu pasukan
Padri memperkuat Kota Lalang guna menaban tentara Belanda yang datang dari arah
Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13 September 1833 pasukan
Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar, sehingga
perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 September 1833 tentara
Belanda melanjutkan serangannya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan
gigih oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka.
Pertempuran berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak
mengerahkan semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih
kecil dan lebih sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan
belantara yang sulit dikejar oleh tentara Belanda.
Kota Lalang yang
ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan tentara
Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh Kota
meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini pasukan
Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang
bersembunyi di hutan lebat.
Serangan gerilya pasukan
Padri dengan taktik "serang dengan tiba-tiba dan lenyap secara
tiba-tiba", menimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan
karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-pasukan adat yang membantunya.
Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga
menyulitkan pasukannya untuk melanjutkan penyerbuan. Hujan yang turun
terus-menerus menambah kesulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan
yang basah kuyup hampir mati kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan
perlengkapan perang yang terdiri dari pribumi, banyak yang tak tahan dan
akhirnya melarikan diri. .
Dengan sisa-sisa kekuatan,
pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di lembah ini, yang sisi-sisi
tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai kubu pertahanan
dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah lembah. Dalam posisi
yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan pasukannya di lembah yang
agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri. Daerah terbuka yang
digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan Padri. Kelemahan ini
benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang dengan
tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda, dimana
akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan rencana
penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari meninggalkan
medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan korban yang mati
maupun yang luka-luka banyak sekali.
Dari front barat,
pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan menyerang dari
Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit Maninjau dan
Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak membantu
pasukan Belanda.
Kolonne Belanda yang
menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout. Mereka
berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di daerah ini saja pasukan
Belanda telah mendapat perlawanan pasukan Padri yang cukup sengit, hanya
karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa mundur ke
daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di Pangkalan;
pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju
Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur
dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.
Dari dataran tinggi Kota
Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan melalui Tarantang
Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout pergi ke Tanjung
untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna mendapat petunjuk
jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar memberi
petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti
akan menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang
perbekalan pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan
telah habis dibakar oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel
Elout sebagai komandan pasukan Belanda dari sektor barat memutuskan untuk
mengundurkan diri.ke Kota Merapak. Gerakan mundur pasukan Belanda diketahui
oleh pasukan Padri, kesempatan dan
peluang ini digunakan
sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik gerilya.
Serangan gerilya yang
dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja ratusan tentara
Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua
perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas.
Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan
dan badannya.
Kolonne ketiga dari
pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao dipimpin oleb Mayor
Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat, diberikan kelonggaran,
jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di sebelah utara Alahan
Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya
harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari
timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang
lain, Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari Tuanku Yang
Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya yang hanya terdiri
'atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan 1000 orang Rao, 400 orang
Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor
Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat
perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun
pertempuran frontal dari benteng ke benteng.
Pada tanggal 18
September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua kilometer
dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat perlawanan yang
luar biasa oleh pasukan Padri, pertempuran sudah sampai satu lawan satu.
Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun
luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda
mengundurkan
diri ke Bonjol Hitam.
Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus dengan serangan-serangan
pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.
Karena terancam oleh
kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur maupun barat telah
mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September 1833 memutuskan
untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari sergapan
pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah malam.
Pada saat maghrib tiba,
disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk melarikan diri,
tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat dan keras.
Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan
meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak
mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan
komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda.
meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata
lainnya. Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu
saja, sampai mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa
pasukan Belanda pada tanggal 20 September 1835, baru dapat selamat ke
pangkalan.
Pengunduran diri pasukan
Belanda adalah atas persetujuan Jenderal Van den Bosch; karenanya ia datang
sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-pasukan yang kalah itu.
Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: "Bila keadaan memang
tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan
boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimanapun Bonjol
harus ditaklukkan".
Pada tanggal 21
september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia bahwa
penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna
penyerangan selanjutnya.
Selama tahun 1834 tidak
ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menaklukkan
Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali pertempuran kecil-kecilan untuk
membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan pusat pertahanan dan benteng
Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang mengarah ke jurusan
Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja
paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan mobilitas
pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.
Baru pada tanggal 16
April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan serangan besar-besaran
untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal
21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang berkumpul di Matur dan
Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu banjir, mereka menyeberangi
juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan
menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan Padri yang
dipasang disekitar tepi jalan.
Pada tanggal 23 April
1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang Ganting, terus
menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada satu jalan
sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan
sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan
Datuk Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju
pasukan Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil
menahan secara total.
Sesampainya di Sipisang,
pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri berjalan sangat
kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban
di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang jauh tak
sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba dan
menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda
untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Selain itu, satu kolonne
pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju daerah Simawang
Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan hanya 500
orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan kekuatannya
jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot; walau
akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.
Satu kompi pasukan
tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan Tanah Datar
bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah Simawang
Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan Tanah Datar
berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi disini telah
menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju pasukan
Belanda. Usaha ofensi pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis, Batipuh
dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir sebagian
terbesar mati terbunuh.
Kalaulah tidak segera
bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat
diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah seluruhnya.
Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisa-sisa
pasukanriya yang telah cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri,
sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai
oleh Belanda.
Kampung Melayu terletak
di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak berapa jauh ke hilir
sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang. Kampung Melayu
tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit tinggi yang
terjal.
Pasukan Padri yang
mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di bukit-bukit terjal
dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit pasukan Belanda
yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang
pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya nihil,
bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.
Selama tiga hari pasukan
Belanda melakukan konsolidasi dengan menambah pasukannya. Baru pada tanggal 3
Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi, baru saja dimulai, Letnan
Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena ranjau. Di saat
pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras diserang oleh pasukan Padri,
sehingga banyak pasukannya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang
digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang
tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan
Belanda jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan meninggalkan
kubu-kubu pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang
diperoleh pasukan Belanda di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama
pasukan Padri datang menyerang dengan kekuatan sekitar 500 orang.
Karena merasa daerah ini
kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum meninggalkannya telah melakukan
perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk dan ladang-ladang, sehingga
menjadi daerah yang hangus terbakar.
Laju pasukan Belanda
menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk bisa
mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan Panjang adalah
Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada tanggal 8
Juni 1855 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas dihambat
dengan, pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang besar
dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai
front Padang Lawas.
Pada tanggal 11 Juni
1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan Panjang, sedangkan
pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang bersembunyi di
benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya dari pasukan
Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat maju dan
bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.
Kampung Bonjol kira-kira
1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta lebarnya, sebab bagian selatan
dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke belakang. Letak kampung ini antara
1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang. Di timur dan
tenggaranya terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir lurus
keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit
ini Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya.Di atas
bukit ini pasukan Padri membuat beberapa kubu pertahanan yang kuat dan baik
letaknya, dan dari sana mereka menembakkan meriam yang bermacam kaliber kepada
musuh di seberang barat Alahan Panjang.
Di kampung itu banyak
rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar dinaungi oleh hutan bambu,
pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah barat dan utara kampung
Bonjol terbentang sawah luas.
Di sebelah timur Bonjol
membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti oleh hutan lehat. Di
balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di
sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan berbukit
batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini dipergunakan oleh pasukan Padri
sebagai benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam
Bonjol. Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di sekitar
Bonjol ini, sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak mudah dilihat
dari luar. Di tengah lembah mengalir dan berliku-liku sungai Batang Alahan
Panjang dari utara ke selatan.
Pada tengah malam
tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan yang kira-kira
hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan meriggunakan houwitser, mortir dan meriam
besar, menemhaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriam-meriam pasukan
Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang menguntungkan
pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh karena itu
Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan bala
bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala bantuan
itu datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan
Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Bonjol. Sebelum pasukan
musuh sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak dan Kota mendapat
perlawanan yang sengit dari pasukan rakyat dan Padri.
Di Bonjol yang merupakan
markas besar pasukan Padri telah berkumpul komandan-komandan pasukan Padri yang
datang dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari
Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh Kuta, Agam, Rao dan Padang Hilir. Semua
bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah
penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Melihat kokohnya benteng
Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan luka-luka, pasukan Belanda
tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol tetapi melakukan blokade
terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan
senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak efektif,
karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan perbekalannya
yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada di belakang
pasukan musuh.
Usaha untuk melakukan
serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala bantuan tentara, walau di
sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada awal Agustus 1835, sekitar
14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan tentara Belanda yang terdiri
dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan dilakukan
terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu
persatu kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan
pasukan musuh.
Pada tanggal 5 September
1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan
musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan keberanian yang luar biasa pasukan
Padri menyerang benteng-benteng Belanda, yang banyak menelan korban di kedua
belah pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan Padri segera masuk kembali ke
dalam benteng.
Sementara itu pasukan
Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh Letnan Kolonel Bauer maju
menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda ini harus melalui desa
Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat melakukan
perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air Papa dan
terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol dari
jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal.
Kegagalan menyerang
Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9 September 1835,
serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal, bahkan pasukan
Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer yang menderita
sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor Prager.
Kebijaksanaan Mayor
Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai datangnya bala bantuan
baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam kesempatan yang terluang ini,
pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda,
memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang mesiu bukan saja daerah di
sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke Kumpulan, Sirnawang Gadang
dan Puar Datar.
Blokade yang
berlarut-larut, menimbulkan keberanian rakyat untuk memberontak terhadap
pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa Alahan Mati
dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu mengatasi
pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga mendatangkan pasukan bantuan dari
serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat
memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama,
yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.
Gerakan maju pasukan
Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa ratus kilometer, dalam
tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti, malah
sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali pemberontak; dan tidak
sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan
dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri.
Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata
ditolak oleh Imam
Bonjol. Peluang waktu
ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk membangkitkan rakyat yang tinggal di
garis belakang pasukan musuh untuk berontak..
Setelah kegagalan
perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah tiba, maka pada
tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran
terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan
dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk
menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi
serangan balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga
terusir keluar benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban.
Kegagalan penaklukkan
benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda
mengirimkan panglima tertingginya Mayor Jenderal Coclius ke Bukittinggi untuk
memimpin langsung serangan ke benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Dengan
mengunakan pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar untuk memboboIkan
benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan Belanda
meinulai lagi serangannya ke benteng Bonjol.
Serangan yang bertubi-tubi
dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih memerlukan waktu yang cukup
lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit Tajadi jatuh pada tanggal 15
Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang anggun
dapat ditaklukkan. Tetapi tak berhasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat
mengundurkan diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan
terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsolidasi
terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah lebih 3
tahun bertempur melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit saja lagi
pasukan yang masih siap bertempur.
Melihat kenyataan
semacam ini, Imam Bonjol menyerukan ke pada pasukannya yang terserak di mana-mana
untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing, untuk memulai hidup baru
sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi semangat
berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.
Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari
hutan ke hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang
makan, kurang tidur, sakit dan lelah
mengakibatkan para pengawalnya hampir-hampir mati semuanya. Dalam kondisi
seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang
untuk mengajak Imam Bonjol berunding.
Setelah dirundingkan
bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran perundingan dari Residen
Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh, di mana Imam Bonjol akan
bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal 28 Oktober 1837 Imam
Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang menuju Pelupuh. Sesampainya di
pelupuh, bukannya perundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda telah
siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya tidak
membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya dengan mudah
pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari Pelupuh Imam Bonjol di
bawa ke Bukittinggi dan terus ke Padang. Pada tanggal 23 Januari 1838
dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 itu juga Imam Bonjol
dipindahkan ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol dipindahkan ke
Menado. Di sini ia menemui ajalnya pada tanggal 8 Nopember 1864, setelah
menjalani masa pembuangap selama 27 tahun lamanya.
Dari fakta-fakta sejarah
yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak awal timbulnya
gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol
sebagai pemimpin Padri terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut
kekuasaan guna dapat menjalankan Syari'at Islam dengan utuh dan murni. Umat
Islam Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan Perang
Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu negara yang melaksanakan
ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan Diponegoro
dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu yaitu berdirinya Negara Islam.
PERANG BANJAR
Sultan Tahmidillah I
(1778 - 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai
sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam
perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I,
berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan
Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata
diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan
Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari
Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari
pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah
II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya
Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan
Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan
daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai
seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak
kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan
dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar
agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang
dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas,
jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari.
Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan
ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi
rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan
Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah
hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa
ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai.
Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda
mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat
menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam.
Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran
Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang
yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap
rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi
seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil
ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi
kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua
potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkumi. Pada
pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April
1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan
Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dialog yang terjadi di
rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut.
"Begini, Hidayat!
Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar ...."
"...Sebentar
!" Pangeran Hidayat memutus. "Siapa yang Paman maksudkan, dengan
rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?"
Pangeran Antasari dengan
sabar menjawab: "Rakyat yang selama ini ditindas dan diperlakukan
sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk mengakhiri
penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !".
"Dan Paman termasuk
pula di antara pejuang-pejuang itu?" sela Pangeran Hidayat.
"Itu bukan suatu
hal yang aib!" Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. "Dan kau pun
akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan
siapa kau baktikan hidupmu ini sebhik-baiknya".
"Jadi apa yang
Paman harapkan dari saya ?" tanya Pangeran Hidayat.
"Kesediaanmu untuk
berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua perjuangan ini nanti
!" Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.
Pangeran Hidayat bangkit.
Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. "Tapi ini berarti pemberontakan
besar-besaran, Paman !"
Pangeran Antasari
menjawab: "Pemberontakan adalah bahasa yang dipergunakan oleh Belanda.
Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap
kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai
bahasa kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !"
"Apapun bahasa yang
Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa
telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera
kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai".
"Bagus, dan ironis.
Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah
perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan
Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap
kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka:
merabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku,
bagaimana caranya kita menunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan
yang tidak berperikemanusiaan ini ?"
Pangeran Hidayat nadanya
melemah: "Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang
sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita."
"Kau lupa, Hidayat.
Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau
takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan
membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut
dari perjuangan ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah
dan mati untuk Allah!" ucap Pangeran Antasari bersemangat.
Namun Pangeran Hidayat
merasa belum yakin. "Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini,
Paman" tanyanya kemudian.
"Ada!"
Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. "Dan jalan satu sudah dan sedang
kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja,
sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!"
Pangeran Hidayat
tersinggung. "Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata:
mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu," bantahnya.
"Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas
ini, sama besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri
saya. Jika karena itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka ".
"Aku tidak
menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini," Pangeran
Antasari balas menyanggah. "Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang-pejuang
Banjar masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan
yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di
tanganmu."
"Hanya yang tidak
bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk
mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangkubumi!"
"Belum lagi kering
air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan
Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang
penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah malapetaka
yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu
sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!"
"Kemudian baru-baru
ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah menyanggupi kepada Residen Belanda
untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan
perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya!
Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?" Jawab Pengeran Antasari
dengan getir.
"Ingatan paman
sangat baik," jawab Pangeran Hidayat. "Apa yang Paman katakan itu
semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan
itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya
malah menjerumuskannya!"
"Paman, saya tidak
bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya,
saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian
besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya
percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan
tanpa kita harus saling membunuh."
"Sungguh akan
menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan
berbondong-bondong datang mendengarkan khotbahmu! Hidayat, apa kamu masih juga
percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang
ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di
muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?"
Sejurus Pangeran
Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kita yang sudah
banyak mengaji mengetocui benar," lanjutnya, "bahwa Allah tidak akan mengubah
nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya".
"Saya tidak tahu
lagi, Paman,'' Pangeran Hidayat terdesak. "Saya tidak tahu lagi apa yang
harus saya katakan."
"Kamu boleh tidak
tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau
lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!" desak Pangeran
Antasari.
"Mengapa Paman
masih terus mengharapkan supaya saya memimpinnya?"
"Karena kau adalah
ahli waris yang sah dari kerajaan ini."
Pangeran Hidayat
menyanggah : "Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang
sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini," katanya
jujur.
"Saya tidak terlalu
berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan
dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari
datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni.
Sedangkan saya...," ia menggeleng-geleng. "Tidak, Paman. Mengapa
tidak Paman sendiri meneruskan memimpinnya."
"Jangan kita
seperti anak kecil, Hidayat," keluh orang tua itu kesal.
"Membangkit-bangkit kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah
terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan adanya pertalian darah diantara
kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak
mengharapkan lebih daripada kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula
rakyat masih percaya penuh kepada wasiat kakekmu almarhum."
"Tetapi wasiat itu
telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi
sekarang ini...Namun demikian", jawab Pangeran Antasari, "Bagi mereka
kau tidsk saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha
utama bagi mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas,
lambang dari perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan
segala-galanya untukmu."
Pangeran Hidayat
berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. "Siapa
diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?" tanyanya.
"Aku telah
menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan
dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut
dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama Tumenggung
Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda yang
jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin
oleh orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak
kepada kita."
"Yang terakhir ini
sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan
Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga
menjadikannya
besan."
"Ini suratan jodoh
semata-mata," jawab Pangeran Antasari.
Setelah. itu keduanya
terdiam merenung sejenak. "Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?"
tanya Pangeran Hidayat.
"Kau jangan
menyangsikan lagi", sahut pengeran Antasari tegas.
"Apakah Paman yakin
bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?"
"Kita harus yakin,
bahwa kita akan memenangkan kebenaran dari peperangan ini,"
Dua minggu kemudian,
tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran
Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang
dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan
pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan,
yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin,
Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Pertempuran
mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan
benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu
pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada
tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan
menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu Pangeran
Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan
rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya
Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial
Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11
Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen
Hindia Belanda.
Perlawanan semakin
meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat
barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung
memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi
karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah posisinya.
Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi
kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Pangeran Hidayat
menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran
Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai
pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin
perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14
Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
"Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah," seluruh rakyat,
pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara
bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi 'Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin'.
Tidak ada alasan lagi
bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang
dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung
jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Dengan pengangkatan ini
menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala
Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang
berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan
Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang
oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat
benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat
di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran
Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang
dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said
(keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.
Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan
yang sulit dan letaknya jauh-jauh.
"Adakah kabar
penting Lehman ?" Khalifah membuka percakapan.
"Oo tidak ... Tidak
ada hal-hal yang terlalu luar biasa," jawab Lehman. "Hanya saja kami
semua mendengar bahwa Khalifah-sakit."
"Seperti yang kamu
lihat sendiri, Lehman .... penyakit orang-orang telah berumur. Tapi Insya
Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini
kuserahkan kepada mereka bertiga ini ....," jawab Khalifah, Gusti Muhammad
Seman, Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas
pula oleh Kiai Demang Lehman.
Selanjutnya Kiai Demang
Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu Sungai dan Tanah Laut, yaitu
Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir pada saat pelantikan
Khalifah serta permohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat sembuh.
"Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah
berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan
bertempur terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata'ala
memberikan daya dan kemampuan kepada kami."
"Alhamdulillah…,"
ucap Khalifah. "Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih
tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku.
Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah
tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan
melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari'at Islam. Kepadamu
semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan
berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan
manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung
sepanjang usia umat manusia.
Pembicaraan dalam pertemuan
ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah, dimana antara lain ia
berucap: "Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan ini. Medan
yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama,
bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh
satu persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh
semangat perang sabil.
"Inilah…,"
tekannya. "Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban
benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita
cintai. Dan saya sendiri sudah kehilangan seorang isteri, ipar dan mertua
dalam perang ini. Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku.."
Kembali ia terdiam
merenung, lanjutnya: "Perang adalah sungguh-sungguh kesengsaraan.
Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak!
Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!" katanya bersemangat.
"Biar seribu kali
Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-nyebut bahwa
tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat,
memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang
buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita
menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita,
semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh
membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah ... Menyerah setelah
sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan
kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda
tanya tentang menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman
adalah orang yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan."
Kiai Demang Lehman
mengangguk, menunduk sebentar kemudian mengangkat muka. "Mungkin sebagian
kesalahan itu ada pada saya," ia mulai dengan suatu pengakuan yang jujur.
"Dan jika itu dinamakan kesalahan juga, maka kesetiaan itulah saya kira
asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang
pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan
dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam
senjata ini," katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya.
"Kesetiaan saya
adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang dicintainya dan
sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang diharapkan
membimbing rakyatnya keluar dari penindasan dan kesengsaraan. Dan di atas
segala-galanya kesetiaan kepada manusia."
Pembicaraannya terhenti.
Kemudian ia lanjutkan: "Saya iba melihat Pangeran Hidayat dan keluarganya
terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata dan penghidupan
rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut, maka saya
mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa penyerahannya
akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar dugaan
saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck
tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan
senjata."
"Ini menyalahi sama
sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa Pengeran Hidayat tidak
akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah menempuh suatu
cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya haram untuk
dipercayai!" Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan rasa
geramnya atas pengkhianatan Belanda.
"Tetapi ketika Kompeni
membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin, saya kerahkan rakyat
Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api tersebut; dan berhasil.
Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali menyerah untuk kedua
kalinya," katanya menyesal.
"Adapun saya
sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat kedua
kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi
dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!" ujarnya dengan
hati berkobar tapi penuh taqwa. "Baru kemudian terasa, bahwa selain
keimanan terhadap Agama, kesetiaan terhadap perjuangan juga menuntut dan
mengatasi kesetiaan-kesetiaan lainnya"
Khalifah yang semenjak
tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: "Yah…, kesalahan semacam itu bukan
tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa
kita telah belajar dari pengalaman pahit," ujar khalifah lebih lanjut.
"Mayor Verspyck ini
telah mengirim surat kepadaku dengan perantaraan orang kepercayaannya Kiai
Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawankawan seperjuangan
ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada Kompeni, maka Kiai
itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapatkan pengampunan dari
Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?" tanyanya kepada
Tumenggung Surapati.
"Sungguh surat yang
mentertawakan," jawab Tumenggung Surapati. "Menyerah dan meminta
ampun dengan perantaraan surat ? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun haram kami
menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki tangan
Kompeni semacam Niti Negara itu !"
Khalifah mengangguk,
membenarkan pandangan itu. "Aku telah membalas surat itu, Lehman",
katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya! Aku
menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi
kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang
kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!"
"Semua orang-kultt
putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan segala macam
perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin
usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana
ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada
kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak dengan tegas. Kami akan
berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang
penting, Lehman."
"Kita tidak, akan
mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi menyerah!
Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita,
akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai
atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan
pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan
Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita
semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian."
Pertemuan diakhiri
setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa
hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah
wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti
Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa.
Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan
Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai
Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum
gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara
lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur
penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di
dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh
Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian
Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada
tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran
di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Gambaran singkat dari
Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat
dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan
semboyan "Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah", dengan jalan
perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin,
dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang
Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.
PERANG ACEH
Sebagaimana diketahui
bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang diperintah oleh
seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat Syah, dan mencapai titik
kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa (1607-1636).
Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran, dengan pertentangan diantara para
pewaris, sehingga menimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah. Walau.
demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh
Portugis, Inggeris maupun Belanda, sampai tahun 1873.
Untuk menjaga
netralisasi kesultanan Aceh; Inggeris dan Belanda negara kolonial yang berkuasa
di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 telah mengadakan
perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, dimana antara
lain berisi:
(a) Belanda mengundurkan
diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan Malaka dan Singapura
kepada Inggeris;
(b) Inggeris
mengundurkan diri dari Indonesia dengan Jalan menyerahkan Bengkulu dan Nias
kepada Belanda;
(c) Belanda harus
menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara itu.
Netralisasi kesultanan
Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 secara diam-diam tidak diakui lagi oleh
Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang de jure berada di bawah
kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda, dimana
dinyatakan bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia.
Dengan perjanjian ini,
Sultan Mahmud telah memberi konsesi kepada Belanda untuk membuka perkebunan
tembakau secara besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang sangat menguntungkan.
Pada tahun 1864 penguasa kolonial Belanda telah dapat mengekspor tembakau ke
Negeri Belanda dengan keuntungan yang sangat menggiurkan.
Untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 setelah didirikan satu
perusahaan tembakau dengan nama 'Deli Maatschappij', yang kantor pusatnya
berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada tahun pertamanya perusahaan baru itu
telah mengeluarkan 200% dividen; pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga
1300%. Perusahaan Deli Maatschappij telah memberi keuntungan yang luar biasa
kepada penguasa Hindia Belanda.
Pembukaan Terusan Suez
pada tahun 1869, merubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi
melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo terus
ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya Aceh menjadi
sangat strategis.
Aceh yang telah
mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez dan posisinya di kemudian hari yang
sangat strategis dalam alur pelayaran internasnonal, serta sangat mungkin menggiurkan
negara-negara kolonial seperti Inggeris dan Belanda untuk mencaploknya, maka
pada tahun 1868 delegasi kesultanan Aceh berlayar menuju Istambul untuk memohon
kepada Sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan kekuasaan tertinggi
atas Negara Islam Aceh. Turki yang dalam posisi sangat lemah, karena menghadapi
negara-negara Kristen Eropa, terutama Perancis dan Inggeris, tidak mampu untuk
memberikan payung pengaman kepada Negara Islam Aceh yang letaknya begitu jauh
dari Turki. Dengan demikian missi delegasi Aceh gagal.
Selain itu keberhasilan
penguasa kolonial Hindia Belanda dalam menumpas peperangan-peperangan Banten,
Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa superioritas yang angkuh, bahwa
seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum terjamah oleh Belanda
hanyalah Aceh.
Sesuai dengan watak
kolonialis Eropa-Kristen, khususnya Belanda, hal-hal tersebut diatas seperti keuntungan
dan terbukanya terusan Suez dan keberhasilan menumpas perlawanan umat Islam,
mereka berbulat hati untuk melakukan ekspansi kekuasaan kolonialnya ke Aceh.
Rencana untuk mencaplok
kesultanan Aceh; dimulai oleh pertemuan Menteri Jajahan Belanda E. de Waal
dengan duta besar Inggeris Harris di Denhaag pada tahun 1869. Hasil dari
persekongkolan E.de Waal dan Harris (Belanda dan Inggeris) membuahkan laporan
Kepada Raja Belanda, di mana de Waal pada bulan Juni 1870 menulis berdasarkan
perundingan-perundingan dengan Inggeris, bahwa Aceh demi kepentingan politik
yang mendesak harus dikuasai Belanda.
Sejalan dengan hasil
perundingan ini, maka Inggeris meminta pendapat gubernurnya di Singapura, Sir
Harry St, untuk memberikan pertimbangannya. Pada tanggal 9 Desember 1859, Sir
Harry memberi jawaban bahwa direbutnya Aceh oleh Belanda akan sangat menguntungkan
bagi perdagangan Inggeris. Pendapat Sir Harry dipublisir oleh media massa di
Singapura, antara lain "Penang Gazette" tertanggal 10 Nopember 1871,
di mana berbunyi "Makin cepat ada suatu negara Eropa yang berwenang campur
tangan di Aceh, makin cepat pula daerah-daerah ini yang dahulu begitu subur
dengan hasil-hasil bumi timur akan hidup kembali dan akan pulih dari
keruntuhannya sekarang".
Pada akhir Nopember 1871
lahirlah apa yang disebut Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas
"Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana pun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan".
Usaha-usaha untuk
menyerbu Aceh, makin santer didengarkan baik Nederland maupun di Batavia,
sehingga mendorong Multatuli pada bulan Oktober 1872 menulis surat terbuka
kepada Raja dimana antara lain berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku
dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan
provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh,
dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu, Tuanku, perbuatan ini tidak
berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana."
Peringatan yang
dilancarkan oleh Multatuli, tidak dihiraukan sama sekali, dianggap angin lalu
saja. Persiapan-persiapan kearah operasi militer terus dilakukan. Setelah
telegram program menyerbu dari Den Haag tertanggal 18 Februari 1873 di terima
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, London, maka segera ia mengangkat
Nieuwenhuyzen, ketua Dewan Hindia Belanda dan dalam kedudukan ini nomor dua
dalam hierarki Hindia; sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima
tertinggi militer ekspedisi dan penyerbuan ke Aceh ialah Mayor Jenderal J.H.R.
Kohler, komandan teritorial Sumatera Barat. Sebab Kohler telah lama mendapat
perintah dari London untuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh.
Bahkan di atas kertas telah diperhitungkan berapa banyak pasukan yang diperlukan
untuk opresai militer tersebut.
Kohler dibantu oleh
Kolonel E.C. van Daalen, yang menjabat sebagai wakil komandan operasi.
Dengan cepat sekali
Kohler dan van Daalen mulai menghimpun kekuatan pasukan yang terdiri atas tiga
batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa, di samping itu juga suatu batalyon
'Barisan Madura', pasukan-pasukan bantuan di bawah pimpinan perwira-perwira
Eropa. Mengingat musim barat biasanya jatuh bersamaan hujan badai besar di
Sumatera Utara pada akhir bulan April, maka dengan alasan itu operasi militer
terhadap Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar harus telah
dilaksanakan.
Tidak mudah
menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan kavaleri.
Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang; sekitar seribu orang tamtama dan bintara
Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai tukang
pikul, narapidana yang harus melakukan kerja paksa di luar pulaunya sendiri.
Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 wanita Indonesia sebagai tenaga kerja
dapur dan teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon; yang menurut ketentuan
tradisional-operasi militer, delapan orang setiap kompi; dan akhirnya tiga
ratus orang pelayan perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil
kantin.
Mengumpulkan operasi
yang demikian pun sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah mempersenjatai infantri
secara layak. Pasukan Belanda (NIL) tengah beralih dari penggunaan bedil cara
lama yang diisi dari depan menjadi penggunaan bedil Beaumont modern yang diisi
dari belakang, sebenarnya larasnya masih juga panjang-panjang, dan dengan
sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu.
Tetapi setidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip menembak cepat;
tentunya kalau orang mahir menggunakannya.
Dan inilah justru
kekurangan batalyon-batalyon pasukan Belanda di Aceh. Batalyon ke-XII sedikit
banyaknya telah dapat berlatih dengan Beaumont, Batalyon ke-IX memperoleh
bedil-bedil baru itu tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III masih harus
menggunakan senapan yang diisi dari depan. Memang ada satu batalyon yang
terlatih baik. menggunakan bedil-bedil baru itu, tetapi tidak mungkin menarik
pasukan pilihan dari seluruh Jawa tidak diikut-sertakan. Karena menurut
dugaan, perang Aceh tidak akan sehebat itu.
Mengerahkan pasukan
militer sebanyak itu memang tidak mudah. Mempersenjatai pasukan ekspedisi sebanyak
itu lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh ruang kapal untuk
mengangkut pasukan ekspedisi. Seperti dikawatkan Loudon ke Den Haag, keadaan
angkutan ekspedisi laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel uapnya
bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadi enam kapal kecil siap berlayar.
Dua kapal pemerintah dan enam kapal milik Nederlands Indische Stoomvaart
Maatschappij, akan mengangkut pasukan militer Belanda dengan sejumlah kapal
layar tua yang ditarik.
Keinginan Gubernur
Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873 akan mengirimkan
Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan ekspedisinya akan
menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk, sehingga baru
pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar.
Nieuwenhuyzen berangkat
pada tanggal 7 Maret 1873. Kendatipun dia terlambat berangkat, Loudon dan
Franser van de Putte masih belum juga sependapat mengenai instruksinya yang
menjadi pertanyaan ialah sang Sultan Aceh serta-merta harus dihadapkan pada
pilihan mengakui kedaulatan Belanda atau perang; Loudon menganggap hal itu
mutlak perlu. Fransen van de putte (Menteri Jajahan Belanda) sedikit masih
samarsamar. Terutama ketika hari keberangkatan Nieuwenhuyzen dengan
pasukannya ke Aceh.
Perasaan geram terbukti
dari telegram-telegram Loudon; seperti pada telegram tanggal 9 Maret 1873:
"…tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali pengakuan kedaulatan.
Tanpa ini ekspedisi tidak ada artinya. Harap segera berikan saya perintah
tegas atau membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri
seluruhnya…"
Nieuwenhuyzen berada
dalam perjalanan, dia sudah berada di depan pinang (artinya pada kantor
telegraf yang terakhir) dan masih juga mendapat telegram bertubi-tubi dari
Menteri Fransen yang tetap bersikeras bahwa alternatif tegas Loudon. (tuntutan
pertama), di sini ataupun di tempat lain, akan memberikan kesan buruk.
Pendiriannya tetap. Mulai dengan meminta pada Aceh kejelasan,
pertanggungjawaban, penyelesaian yang memuaskan, mengadakan perjanjian.
Dan kalau ini tidak
diberikan? Jelas, hal ini bergantung pada keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1873
Nieuwenhuyzen meneruskan perjalanan ke Aceh.
"Situasi yang
kritis ini bagi Aceh sangat menyedihkan. Sebab Sultan yang naik tahta pada
tahun 1870 baru berusia 14 tahun, sehingga kesultanan diwakilkan oleh para
pembantunya. Sedangkan HabibAbdurrahman A1 Zahir yang menjabat sebagai perdana
Menteri belum kembali dari missi diplomatiknya ke Turki dan Amerika Serikat dan
Inggeris dalam rangka mencari bantuan senjata guna menghadapi penyerbuan
Belanda.
Sebagaimana diketahui
bahwa peran Habib Abdurrahman A1 Zahir sebagai Perdana Menteri dan seorang
ulama telah berhasil memadamkan intrik dan dendam kesumat di kalangan para
hulubalang dan kaum bangsawan di istana kesultanan Aceh. Ia telah berhasil menghimpun para ulama dan
rakyat Aceh untuk bahu-membahu membentuk pasukan militer dalam menghadapi
segala kemungkinan penyerbuan Belanda, ia pula yang berulang kali memimpin
delegasi Aceh ke Turki dan Timur Tengah.
Sikapnya yang tegas
terhadap negara-negara asing, seperti diungkapkan dalam percakapannya dengan
Kraayenhoff, di mana antara lain berisi: "Aceh bersahabat dengan Inggeris,
Perancis dari Turki serta negara-negara lain, karena tidak dilukai oleh negaranegara
ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ingin mempererat persahabatan,
tetapi tidak mengekang diri untuk merampas bagian-bagian dari Kesultanan
Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang dinamakan persahabatan?"
Ilmu yang luas dan wibawanya yang besar, baik di kalangan para hulubalang
maupun para ulama, merupakan benteng yang kokoh yang sulit untuk ditumbangkan;
pada saat awal-awal Perang Aceh," demikian menurut kesan C. Snouck
Hurgronye.
Walaupun demikian Aceh
telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan pasukan Belanda, dengan
jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai yang
diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh. Pada tanggal 19
Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R.
Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada dilepas pantai Aceh. Dari kapal
'Citadel van Antwerpen' melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan
ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: "
..... Kemudian daripada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh,
agar hendaknya negeri kami jangan dihancurkan".
Dalam surat ini sultan
tidak menyinggung secara langsung ultimatum pengakuan kedaulatan Belanda atas
Aceh. Karenanya Belanda mendesak agar Aceh memberikan jawaban yang tegas,
seperti surat yang dilayangkan kembali dari kapal Citadel van Antwerpen, yang
berisi antara lain : "Karenanya saya minta kembali agar seri paduka tuanku
sultan mengemukakan dengan tegas apakah sri paduka tuanku bersedia mengakui kedaulatan
sri baginda raja Belanda atas kerajaan Aceh. Tergantung kepada bentuk jawaban
surat ini, akan dapat saya menetapkan apakah penyerangan dapat dihentikan atau
tidak ". Surat ini ditandatangani oleh Kolonel Nieuwenhuyzen.
Sultan memberikan
jawaban, yang berbunyi : "Mengenai permakluman yang dimaksud
dalam surat kami kemarin
itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kami tidak ada
tumbuh sedikit pun keinginan untuk merubah hubungan persahabatan yang sudah
diikat. Sebab kami hanya seorang miskin dan muda dan kami sebagai juga
Gubernur Hindia Belanda; berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa.
Akhirul kalam kami sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian…"
Dalam jawaban surat
sultan ini terlihat dengan jelas, bahwa Aceh tidak mau mengakui kedaulatan
Belanda, Aceh hanya mengakui kedaulatan Tuhan.
Jawaban sultan tentunya
sangat tidak memuaskan Belanda, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwenhuyzen
menyataan perang kepada Aceh. Pagi berikutnya, kapal yang ditumpangi
Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen, melepaskan tembakan ke arah sebuah
benteng pantai, yang baru saja selesai dibangun oleh pasukanAceh.
Di Den Haag sejak
tanggaI 19 Maret 1873 sama sekali berada dalam ketidak-pastian. Pada tanggal 2
April 1873 koran-koran Belanda menerbitkan sebuah telegram Reuter dari Pinang,
yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah Belanda tidak menerima berita
apapun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwenhuyzen. Frans van de Putte
telah meminta Loudon menyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar pada
waktu yang bersamaan ia dapat memberikan berita ke Den Haag dan Batavia.
Loudon menjawab bahwa
tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku kode. Jelas dia takut akan
tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April 1873 kabel laut
antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang pernyataan
perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April 1873, Den Haag sendiri sehari
kemudian pada hari-hari pasukan pendaratan untuk melakukan pengintaian.
Pendaratan pasukan utama Belanda baru menyusul dua hari kemudian. Sejak saat
yang pertama, Perang Aceh secara militer pun lain daripada semua perang yang
terdahulu.
Bila di nusantara
dianggap 'normal' bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar dihadapi
dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum, pertempuran di
Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat, sembilan orang
tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang. Hanya
dengan sangkur yang tidak praktis, serdadu-serdadu Belanda itu sempat
mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat pasukan tentara Islam Aceh. Artileri orang
Aceh pun lebih baik daripada yang pernah pasukan Belanda hadapi. Pada hari
pertama, Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam.
Rencana perang Kohler
sederhana sekali. Akan didirikannya sebuah pangkalan di sekitar muara Sungai
Aceh, dan dari sini pasukan Belanda maju menuju keraton kediaman Sultan; yang
sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut pengertian
pasukan Belanda (NIL) telah terlaksana pekerjaan yang utama. Begitu pusat
pemerintahan dikuasai, menurut anggapan Belanda, Aceh pasti akan menyerah.
Tetapi di mana tepatnya
letak kraton, orang Belanda tidak tahu persis. Bagaimana amat
miskinnya-informasi mereka, ternyata dapat dilihat dari Buku Saku Ekspedisi
pasukan Belanda di Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Di dalamnya
dikemukakan bahwa keraton adalah 'sebuah tempat yang luas dan besar yang
terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawah, lapangan, kebun kelapa,
serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim'.
Dalam kenyataannya, tempat sultan bersemayam paling-paling hanya
beberapa ratus orang penghuninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana
sungai dibandingkan dengan desa-desa yang sedikit banyak tergabung di dalamnya
dan kampung Cina yang kecil.
Pada uraian ini di sertakan
dengan sebuah 'gambar' bagan figuratif Afdeling Utama Aceh, dengan menggunakan
gambar-gambar perlambang, yang sebenarnya sangat tidak figuratif kelihatannya.
Kuala sungai di situ sudah sama saja salah letaknya seperti juga keratonnya
sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan jalan semuanya tidak cocok dengan
yang digambarkan. Keterangan-keterangan beberapa orang mata-mata yang turut
serta dibawa ternyata tidak ada harganya. Di antara mereka ini terdapat Arifin.
Dia turut dalam ekspedisi pasukan Belanda tetapi tidak mempunyai peranan
apapun.
Pantai Aceh yang
berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang di belakangnya tidak memungkinkan
melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari keraton, pada
tanggal 11 April 1873 ditemukan sebuah benteng yang semula di duga adalah
keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa ruangan bangunan di
dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian
dipertahankan bagaikan sultan sendiri yang bersemayam di sini. Masjid itu
ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat di
pihak pasukan Belanda. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggalkan
benteng masjid itu, karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat
bertahan dalam posisi yang begitu terancam.
Segera pula pasukan Aceh
menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan perangnya terdengar
menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini lagi-1agi merupakan
tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari kemudian
Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan masjid dengan
menderita kerugian besar bagi pasukannya. Dia sendiri merupakan korban dalam
kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu masjid itu pada tanggal 14 April 1873
sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh pasukan
Belanda kehilangan semangat.
Mestinya orang sudah
meragukan strategi seorang panglima tertinggi yang mula-mula menduduki suatu
kubu musuh seperti itu, lalu meninggalkannya dan kemudian menyuruh
menaklukkannya lagi. Tetapi penggantinya Kolonel Van Daalen tidak ditinggalkan
suatu rencana perang apapun. Kohler sama sekali tidak pernah menceritakan
apa-apa kepadanya.
Dalam keadaan yang tidak
menguntungkan barisan, pasukan Belanda maju lagi menuju keraton. Garis hubungan
dengan markasnya dipantai, yang hanya beberapa kilometer dari masjid letaknya,
senantiasa terancam oleh pasukan-pasukan gerilya Aceh, yang pejuangpejuangnya
memakai baju putih tanpa takut mati, ya, bahkan ingin mati, menyerbu
batalyon-batalyon serdadu Belanda itu. Tengah malam terjadi sergapan dan penembakan.
Pada tanggal 16 April 1873 dua dari tiga batalyon itu menyerang keraton. Mereka
dipukul mundur dengan seratus orang mati dan luka-luka dipihak pasukan Belanda.
Malam hari itu Van
Daalen melakukan sidang dewan di medan. Para kolonel umumnya berpendapat harus
mengundurkan diri. Di Aceh diperlukan sarana-sarana yang lain sekali daripada
yang dimiliki. Dengan diketuai oleh Nieuwenhuyzen kemudian dimusyawarahkan di
kapal Citadei Van Antwerpen tentang nasib pasukan militernya. Menurut para
perwira 'ternyata sudah musuh gigh yang melawan lebih besar kekuatannya'. Komandan
Angkatan Laut berpendapat bahwa musim barat telah tiba dengan turunnya
hujan-hujan pertama, yang menjadikan perkemahan tergenang air. Baik keamanan
kapal-kapal maupun 'hubungan tanpa gangguan antara pelabuhan dan darat tidak
terjamin, sehingga pengiriman bala bantuan yang telah diputuskan oleh Batavia
pun tidak akan ada artinya lagi.
Nieuwenhuyzen minta
diberi kuasa untuk memerintahkan pasukan penyerbunya kembali dan ini
diperolehnya pada tanggal 23 April 1873. Dua hari kemudian pasukan Belanda pun
masuk kapal. Kekuatan inti tetap tujuh belas hari berada di darat. Dari tiga
ribu anggota, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan
41 orang bawahan luka dari pasukan Belanda yang berasal dari Eropa dan hampir
400 orang serdadu lainnya yang mati dan luka, yang berasal dari pasukan
pribumi. Jadi, hampir lima ratus dari tiga ribu serdadu Belanda yang mati dan
luka-luka; itulah akibat kerugian Perang Aceh pertama, yang ulang-alik
perjalanannya belum sampai memakan waktu enam minggu.
Usaha pasukan Belanda
untuk menguasai Aceh gagal. Namun, berdasarkan kebiasaan masih pula dibentuk
panitia penyambutannya di Batavia bagi kembalinya pasukan yang kalah. Ketuanya
Tuan Kleijn bekas komandan artileri. Tiada pesta pora; tetapi penembak meriam
ini berseru kepada pasukan, yang kembali pada tanggal ll Mei 1873: "Anda
berhak dihormati, Anda telah berjasa terhadap Nederland dan Raja, Anda telah
mempertinggi kemasyhuran tentara Hindia yang gagah perwira!"
Dari ucapan terima kasih
Kolonel Van Daalen ternyata bahwa tidak setiap orang di Batavia, sependapat
dengan sang penembak meriam yang gagah perwira itu. "Anda menunjukkan
bahwa Anda tidak tertolong dalam tumpukan besar arang tolol, yung menilai suatu
ekspedisi militer semata-mata dari hasil yang dicapai, tanpa memperhatikan
keagungan dan kemasyhuran yang tercapai karenanya," kata-katanya pahit.
Dan benarlah, tumpukan
orang tolol demikian memang ada; dan ke dalamnya termasuk orang-orang seperti
Gubernur Jenderal sendiri yang harus mendukung dan mempertanggungjawabkan
beban kegagalan itu. Tidak diketahuinya apa yang memang dipahami orang-orang
sejati 'tempo dulu', bahwa suatu ekspedisi militer yang kalah bukanlah berarti
kalah perang, tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap usaha perang
kolonial di nusantara ini.
Tidakkah sudah tiga
ekspedisi yang dikirim ke Bali, Sulawesi Selatan, dan ke Kalimantan pun entah
sudah berapa ? Tidakkah baru sesudah dua puluh tahun lamanya perang Padri
Sumatera Barat ditaklukkan dan dua setengah tahun lamanya dilakukan pengepungan
terus menerus dengan empat ribu orang pasukan Belanda (NIL) yang diperlengkapi
dengan meriam-meriam gunung dan artileri penembak kubu pertahanan di sana,
dapat merebut benteng Bonjol di gunung dari kaum Padri ? Nah, pasukan Belanda
akan mengambil balas pula di Aceh.
Tetapi kali ini akan
terbukti jauh berbeda dari harapan pasukan Belanda. Operasi militer Belanda selanjutnya,
hanya perlengkapannyalah yang lebih baik dari yang sudah-sudah; tetapi hasilnya
belum bisa menaklukkan Aceh. Kegagalan akan terus menghantui pasukan Belanda
di Aceh sepanjang masa.
Pada tanggal 18 Mei 1873
Raja Willem III mengadakan kunjungan belasungkawa kepada ayah Jenderal Kohler
yang tewas dalam perang Aceh pertama, yang tinggal di Groningen. Peristiwa itu
merupakan semacam peristiwa nasional bagi bangsa Belanda. Kunjungan itu
diabadikan pada sebuah lito yang dibuat oleh J.W. Egenberg, yang memperlihatkan
Raja bersama-sama ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri dekat si
orang yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal.
Peristiwa kunjungan
belasungkawa ini menumbuhkan semangat bagi rakyat Belanda untuk melakukan
balas dendam atas kekalahannya kepada rakyat Aceh. P Haagsman telah mengarang,
satu Lagu Militer untuk Perang Aceh yang lengkap dengan musiknya. Sajian
Haagsman yang penuh penghinaan terhadap rakyat Aceh, telah diperjual-belikan dan
dilagukan di mana-mana, antara lain berisi:
Ke Aceh, keraton sarang
segala kejahatan,
Persekongkolan,
pembajakan dan khianat berkecamuk;
Tumpas semua selingkuh,
hajar si laknat;
Dengan sang Tiga Warna
Belanda 'peradaban' tumbuh.
Tanda kutip pada kata
peradaban seluruhnya menjadi tanggungjawab penyair; yang menutupnya dengan:
Ke Aceh keraton itulah
semboyan kita kini;
Kita gugur atau hidup,
terserah Tuhan;
Tapi Aceh pasti jatuh,
atau kami tak kembali lagi,
Menang atau mati, demi
kehormatan Belanda.
Tidak ada yang begitu
besar pengaruhnya dalam membuat perang Aceh kedua menjadi kenyataan di negeri
Belanda, hingga perang itu adalah perang orang Belanda melawan Aceh, yaitu
dengan diangkatnya Jenderal Van Swieten menjadi panglima tertinggi penyerbuan
kedua. Dulu pun pernah terjadi pasukan-pasukan dikirimkan ke Hindia, tetapi
tidak terjadi seorang jenderal turut serta. Pengangkatan Jenderal Van Swieten
menjadi panglima tertinggi perang Aceh kedua; karena pengalamannya yang banyak
tentang Indonesia. Ia pernah ikut dalam perang Jawa dan Bali, juga dalam
penaklukkan Bone serta pernah menjadi Gubernur di Sumatera Barat.
Pada tanggal 6 Juni
1873, belum sebulan setelah kembali pasukan Belanda dari perang Aceh pertama,
Loudon mengirimkan telegram kepada Fransen van de Putte, yang kata-kata
pertamanya mangandung arti: "Dengan rahasia sedalam-dalamnya saya ajukan
saran untuk mengirimkan Jenderal van Swieten sebagai komisaris sipil dan
panglima militer ke Aceh. Prestise besar Nieuwenhuyzen tidak mungkin. Dan Verspijk
dapat menjadi pemimpin kedua."
Pemerintah Belanda
mengambil alih usul tersebut dan bertindak cepat sekali. Putusan Raja, yang menugasi
kembali Van Swieten dalam dinas aktif, tertanggal 11 Juni 1873. Dalam satu hal
Den Haag menunjukkan kegembiraan lebih daripada yang dapat diterima Loudon
dengan senang hati.
Keberangkatan Van
Swieten dari Nederland pada bulan Juli 1873 merupakan kemenangan Fransen van de
Putte mengadakan jamuan malam di Wisma Renang Kota Scheveningen di mana
Pangeran Mahkota Willem, semua menteri dan semua duta hadir. Pangeran, dan
menteri jajahan mengangkat gelas untuk kemenangan penyerbuan tentara Belanda ke
Aceh itu.
Ketika berangkat dari
Den Haag beberapa orang menteri dan beberapa pejabat tinggi lain berada pula di
stasiun. Seorang gadis putri Fransen van de Putte mempersembahkan bunga. Di
Rotterdam kereta api khusus dengan jenderal dan stafnya itu, disertai oleh
Komisaris Raja di propinsi Holland Selatan, disambut oleh Walikota Joost van
Vollenhoven dan sebuah korps musik. Ketika naik kapal di Bellevoetsluis ada
lagi upacara kecil-kecilan. Keberangkatan yang luar biasa, yang tidak pernah dialami
oleh pengangkatan seorang Gubernur Jenderal sekalipun.
Suasana perang untuk
menaklukkan Aceh secepat mungkin dilaksanakan dengan cara bagaimanapun telah
ditulis oleh Busken Fuet dalam koran Algexeen Dagblad voor Nederlandsch Indie
di Batavia, dimana antara lain berbunyi: "Siapa di nusantara ini tidak
memihak kita, menentang kita, dan siapa menentang kita, kita tumpas. Bukan Sultan
Aceh yang mewakili peradaban, tetapi kita, dan kepada kitalah, bukan dia yang
berhak menguasai lautan ini. Bagi kita kedaulatan senenuhnya atas pulau-pulau
di nusantara ini merupakan soal hidup-mati. Bersamanyalah jatuh atau tegaknya
negara kolonial, dan dari padanyalah kita peroleh nama orang Belanda. Kekuasaan
itu merupakan hak kita."
Penyerbuan pasukan
militer Belanda ke Aceh yang pertama gagal, karena pelaksanaannya terlalu
tergesa-gesa, perlengkapan buruk, dan tidak ada rencana peperangan, dernikian
dalih mereka. Hal ini tidak akan terjadi pada Van Swieten. Sudah sejak di
negeri Belanda dia mempertimbangkannya secara panjang lebar dengan Fransen van
de Putte. Pemerintah Belanda menaikkan anggaran belanja Perang Aceh dan
memasukkannya dalam anggaran belanja negeri tersebut. Sebab Belanda menyadari
bahwa prestise nasional, internasional dan kolonial harus dipulihkan dengan
tercapainya suatu kemenangan hebat. Anggaran belanja Hindia Belanda dinaikkan
dengan 5,5 Juta gulden, dimana setengah daripadanya disediakan untuk angkatan
laut, yang memang begitu parah keadaannya. Segala yang dapat berlayar di Hindia
dikumpulkan antara ekspedisi militer pertama ke Aceh dan kedua, asal saja dapat
dipasangi sebuah meriam.
Di Negeri Belanda
militer diperkenankan merekrut dua ribu orang pasukan militer untuk Hindia,
dengan menaikkan uang persen menjadi empat ratus gulden, dan gaji untuk tugas
dua tahun di Aceh mendapat gratifikasi 1500 gulden. Walaupun begitu,
tenaga-tenaga militer yang direkrut belum mencukupi, karena banyak yang takut
mendengar beratnya Perang di Aceh. Karenanya pemerintah Belanda menaikkan
gratifikasi menjadi 4500 gulden.
Persenjataan mendapat
banyak perhatian. Artileri memiliki 72 meriam dan dua mitralyur. Seluruh kekuatan
tentara Belanda untuk menyerbu Aceh yang kedua ini berjumlah hampir 13.000 ribu
orang: 389 perwira, 8.156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 narapidana, dan
243 wanita. Mereka harus diangkut ke Aceh dari Batavia dan beberapa kota
garnisun lain di Jawa. Untuk Indonesia jarak ini tidak terlalu jauh, tetapi
bagaimanapun selalu lebih jauh dari dua ribu kilometer. Sembilan belas kapal
pengangkut disewa, pendeknya apa saja yang bisa didapat di Batavia dan
Singapura.
Pelayaran dengan maut di
kapal --bukan sebagai panjar atas kesulitan-kesulitan yang diharapkan akan
terjadi di Aceh-- tetapi sebagai warisan salah satu wabah kolera berkala, yang
terjadi pada akhir oktober 1873 tepat mencapai Batavia. Ribuan orang yang masuk
kapal itu mudah sekali menjadi mangsa penyakit kolera. Keberangkatan yang
ditetapkan pada tanggal 1 Nopember 1873 diundurkan sepuluh hari tanpa adanya
upacara. Sebelum armada angkutan pasukan Belanda tiba di Aceh, telah meninggal
enam puluh orang di dalam kapal. Begitu kapal mendarat, jumlah korban meningkat
setiap hari. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng becek, dan terasa kekurangan
tenaga dokter
Pada tanggal 9 Desember
1873, satu dari tiga brigade (yang keempat dalam cadangan dikirim ke Padang)
sesudah melancakan gerakan tipu, didaratkan ke pantai rawa. Pendaratan itu
dilakukan terlalu cepat, karena bila tinggal lebih lama di kapal yang kotor dan
menyesakkan napas, bencana kolera akan menimpa. Empat belas hari lamanya
dengan gerakan berhati-hati, barulah pasukan induk ditempatkan di sekitar
kampung Peunayong di tepi Sungai Aceh, letaknya satu setengah kilometer dari
keraton.
Pada akhir Desember 1875
pasukan Belanda yang meninggal sebanyak 150 orang terserang kolera. Dalam rumah
sakit tenda, yang sebentar-sebentar harus dipindahkan ke tempat yang lebih
kering, dirawat lima ratus pasien; 'dirawat' berarti ditempatkan dalam suatu
perkemahan dengan jerami basah tanpa perawatan. Delapan belas orang Perwira dan
dua ratus orang bawahan harus dibawa dalam keadaan sakit ke Padang, karena
rumah sakit darurat yang ada sudah tidak menampungnya. Mereka dibawa dengan
kapal-kapal pengangkut, tanpa lebih dahulu diadakan pembasmian hama kolera,
lalu diangkut lagi pasukan-pasukan pengganti: Jadi, sebelum penyerbuan yang
benar-benar dimulai, pasukan Belanda telah kehilangan 10% dari kekuatannya.
Sebelum mendarat, Van
Swieten telah mengirimkan beberapa orang utusan dengan surat kepada sultan muda
usia itu bersama para penasehatnya. Surat-surat yang mengultimatum untuk
menyerah tidak dijawab, bahkan para utusan Belanda dibunuh. Sesudah pendaratan
dilakukan, memang beberapa orang pemuka yang rendah pangkatnya di pesisir
menyatakan takluk. Di antara mereka terdapat pemuka turun-temurun dari daerah
Marasa, Teuku Nek. Di luar Aceh orang akan menamakannya 'raja', tetapi di situ
dia disebut 'hulubalang'.
Tidak seorang pun dalam
kubu Belanda yang mengetahui arti Teuku Nek. Daerahnya berada di delta segitiga
Sungai Aceh, salah satu dari masyarakat Mukim yang banyak jumlahnya. Di Aceh
ada pembagian kekuasaan berdasarkan mukim-mukim, yang masing-masing terdiri
dari desa-desa masyarakat muslim. Sesuai dengan jumlah mukim pada permulaannya,
maka mukim tersebut dinamakan mukim IX.. Mukim-mukim dipersatukan lagi menjadi
tiga federasi besar, yaitu ketiga sagi di Aceh, yang juga disebut menurut jumlah
mukim yang dipunyainya.
Sagi Mukim XXV meliputi
daerah tepi kiri hilir sungai Aceh, Sagi Mukim XXVI lembah lebar tepi kanan.
Lebih ke hulu, Sagi Mukim XXII pada kedua tepi sungai membentuk titik segitiga
delta yang bersama-sama membentuk ketiga sagi.
Daerah di muara sungai
yang sebenarnya --dengan tempat kediaman sultan, dengan keraton sebagai intinya--
adalah satu-satunya daerah yang langsung atau lebih tepat atas nama sultan
diperintah oleh para pejabat, yang seperti juga para kepala sagi memperoleh
kebebasan yang besar dari Yang Dipertuan. Selain keraton, daerah sultan
meliputi beberapa kampung asing pada sungai, masjid raya --tempat Kohler
tewas-- dan beberapa kampung Aceh Asli.
Semuanya itu, yaitu
daerah sultan ditambah beberapa sagi, merupakan sebagian kecil dari Aceh:
tidak lebih dari delta, tanah subur diantara gunung-gunung yang melingkungi
pantai barat Aceh. Bagian terbesar dari Aceh yang jumlah penduduknya setengah
juta jiwa, dan mungkin 250.000 jiwa tinggal di delta, seluruhnya bebas dan
diperintah oleh hulubalang.
Satu-satunya kekuasaan
yang dapat dilaksanakan oleh sultan atas seluruh konfederasi adalah kekuasaan
moral, yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat lemah, terutama di
daerah-daerah pedalaman seperti Tanah Gayo dan Alas. Kewibawaan sultan pada
akhir tahun 1875, karena ditopang oleh perdana Menterinya yaitu Habib
Abdurrahman Al Zahir, yang mengatasi para hulubalang, karena keahlian
diplomatik, kealiman ilmunya dan luasnya pengetahuan duniawinya. Kepentingan
bersama antara sultan dan para hulubalang adalah sama yaitu mengusir pasukan
penjajah Belanda dari Aceh.
Mengenai ini semua, Van
Swieten, ketika mendarat pada bulan Desember 1873, tidak banyak tahu seperti
juga Kohler dan Nieuwenhuyzen delapan bulan sebelumnya. Ketika Teuku Nek
datang menyatakan takluk, Van Swieten tidak mengetahui bahwa dalam hal ini
perselisihan dengan hulubalang-hulubalang dari mukim bersebelahan memainkan
peranan. Yang bisa diketahui Van Swieten dari stafnya adalah bahwa daerah Teuku
Nek terletak dalam lini serangan pertama pasukan Belanda (NIL) dan bahwa karena
itulah dia datang melapor.
Lebih curiga lagi mereka
beberapa minggu kemudian terhadap tawanan Teuku Nya Cut Lam Reueng, panglima
sagi Mukim XXVI melalui surat yang disampaikannya untuk menyatakan takluk
dengan imbalan delapan ribu ringgit Spanyol. Menurut keterangannya, sang
panglima ingin membagi jumlah ini di kalangan para hulubalangnya. Perbedaan
antara kedua pemuka, Teuku Nek kepala mukim yang sederhana dan Teuku Nya Cut
Lam Reueng kepala sagi yang perkasa, tidak berarti suatu apapun bagi Van
Swieten, karena kebodohannya. Dia haya melihat bahwa orang yang satu menyatakan
dirinya takluk tanpa minta apa-apa dan tidak bermaksud mencari keuntungan,
sedangkan orang yang kedua meminta delapan ribu ringgit Spanyol, Dalam benak
sang jenderal tentunya berpikir: masa aku gila.
Tetapi tanpa
diketahuinya Van Swieten dalam hal ini kehilangan kesempatan besar yang pertama
dapat digunakannya untuk memainkan peranan penting dalam konflik-konflik
intern Aceh. Teuku Nya Cut Lam Reueng sedang dalam pertentangan sengit
menghadapi seorang saingan. Dia belum dapat memastikan kedudukannya sebagai
kepala sagi, karena ketika penggantian mahkota berdasarkan keturunan, sultan
belum sempat memberikan kepadanya hadiah sultan yang dianugerahkan secara
tradisional, yang selanjutnya harus dibagi kepada sagi di antara kepala mukim.
Dengan membayar delapan ribu ringgit, Van Swieten seharusnya akan dapat
memastikan salah seorang dari mereka yang paling utama di Aceh untuk patuh
kepadanya. Hal ini tidak dilakukannya.
Sesudah terjadi beberapa
pertempuran kecil, ketika maju dari pantai ke Peunayong tempat didirikannya
perkemahan yang tetap, Van Swieten melancarkan pukulan besar pertamanya pada
tanggal 6 Januari 1874. Yaitu serangan terhadap masjid raya, untuk ketiga kalinya
dalam waktu sepuluh bulan harus direbut oleh pasukan Belanda. Lagi-lagi pasukan
kolonial Belanda menderita kerugian besar. Serangan itu dilakukan oleh suatu
brigade lengkap yang terdiri dari 1.400 prajurit militer.
Seusai pertempuran,
jumlah serdadu Belanda yang luka parah dua ratus orang, dan empat belas perwira
luka. Bagi suatu perang 'modern' dengan tembakan gerak cepat senapan-senapan
otomatis, korban demikian mungkin tidak merupakan kerugian besar demi merebut
kedudukan yang begitu penting. Van Swieten menghitung kerugian lain. Dalam
pertempuran ini pada satu hari saja sepertujuh dari suatu brigade sudah tidak
berdaya. Karena itu, serangan terhadap keraton sendiri diminta agar
persiapannya lebih sempurna dengan pengintaian dan tembakan artileri yang
kontinyu.
Atas nasehat Teuku Nek
dilakukan gerakan mengitari, mengepung keraton. Lubang-lubang perlindungan pun
digali lalu meriam-meriam besar penyasar benteng diseret. Juga sekoci-sekoci
bermeriam kecil turut melakukan penembakan. Ketika pada tanggal 21 Januari 1874
akhirnya diberikan tanda untuk menyerbu, ternyata musuh pada malam hari telah
berangkat. Daerah keraton yang dilindungi tembok serta bangunan besar dan
kecil reot-reot yang tidak satupun menyerupai 'istana' tanpa pertempuran suatu
apa pun, jatuh ke dalam tangan pasukan kolonial Belanda.
Jatuhnya keraton
dianggap di Batavia dan negeri Belanda sebagai hasil terpenting yang dapat
dicapai pasukan penyerbu April 1873 telah ditebus pada bulan Januari 1874.
Van Swieten
memerintahkan musik staf memainkan Wien Nederlands Bloed (Siapa Berdarah
Belanda) dan menawari tuan-tuan perwira minum sampanye yang khusus dibawa untuk
tujuan itu. Perintah hariannya kepada pasukan disusun dalam gaya militer yang
terbaik (Keraton telah kita kuasai, dan rakyat Aceh yang angkuh terpaksa
menyerah kalah terhadap kegagahan dan keberanian serta keahlian perang Anda),
dan ditambahkannya kecaman yang diterimanya bahwa terlalu lama dia menghabiskan
waktu menempuh jarak dari daerah pendaratan sampai ke tempat kediaman Sultan,
hampir memakan waktu tujuh minggu sejauh lima belas kilometer garis lurus.
"Bahwa keraton ini
tidak akan dapat direbut dengan serangan besar, saya tahu, dan bahwa memang
demikian keadaannya yang dapat disaksikan oleh setiap orang yang sempat
melihat tembok-temboknya dengan pertahanan yang ada di depannya. Karena itu
tidak perlu kita sesali bahwa pertahanan musuh ini baru 47 hari sesudah
pendaratan dapat hita kuasai. Karena kemenangan cukup cepat tiba, bila dia
diperoleh dengan hanya sedikit kerugian, dan inilah terutama yang menjadi
tujuan gerakan yang kita lakukun dengan sekop dan sodok," demikian ucapan
Van Swieten dengan sombongnya. Padahal hasil yang dicapai ini hanya
fatamorgana bagi pasukan kolonial Belanda.
Segera setelah Van
Swieten mengirimkan telegram ke Den Haag dan Batavia sekaligus, terbit nomor
ekstra Berita Negeri Belanda dengan suatu buletin berjudul 'Kraton kita
kuasai'. Di kota-kota di Hindia dan Negeri Belanda dikibarkan bendera
tiga-warna dari gedung-gedung pemerintah kolonial. Malam hari orang membakar
petasan, di Gedung Kesenian Kerajaan di Den Haag sesudah musik tiup dari ruang
orkes berkumandang lagu kebangsaan Belanda, orang pun berpandangan satu sama
lain dengan linangan air mata sebagai tanda gembira.
Pendeknya, hari ini hari
pesta yang luar biasa bagi Belanda. Meriam-meriam perunggu yang tidak terpakai
dalam keraton Aceh dikirim ke Negeri Belanda sebagai kenang-kenangan. Beberapa
buah diantaranya sebuah howitzer 61 senti dari abad ke-17 dengan lambang
Jacobus Rex Inggeris, mungkin sebuah hadiah lama Inggeris, ditempatkan di
Bronbeek dan masih merupakan kebanggaan museum pasukan Belanda di sini. Yang
lain-lainnya telah dilebur untuk menempa medali Perang Aceh, yarg diberikan
kepada para peserta penyerbuan pertama dan kedua ke Aceh.
Tetapi kemenangan tidak
dimulai dari keraton. Berbeda sama sekali dengan pola tradisional, ternyata
jatuhnya tahta sultan tidak ada artinya bagi penaklukan Aceh. Bahkan
mangkatnya sang sultan remaja, karena terserang kolera yang dibawa masuk oleh
pasukan kolonial Belanda, sedikitpun tidak mempengaruhi perlawatan rakyat
Aceh. Penembakan-penembakan dari keraton dan masjid raya dan sergapan-sergapan
atas perkemahan pasukan Belanda tetap terjadi siang malam. Orang Aceh tidak
memiliki pasukan-pasukan tetap, paling hanya ada puluhan atau ratusan orang
yang bersama-sama bertindak, tetapi dengan itu diawalilah gerilya yang mereka
lakukan dengan hebat, bagaikan telah mendapat latihan yang sempurna.
Dan memanglah rakyat
Aceh demikian adanya. Makin jelas bahwa pembagian tanah Aceh menjadi daerah
kecil-kecil dengan hulubalang menjadi kepala di tiap-tiap daerah, melumpuhkan
strategi Belanda dalam dua segi. Pertama, ternyata rencana politik Van Swieten untuk
mendesak sultan menandatangani suatu traktat model Siak adalah suatu yang
sia-sia. Tidak ada seorang sultan pun yang dapat mengikat rakyat Aceh tanpa
topangan para hulubalang.
Kedua, puluhan tahun
berlangsungnaya otonomi yang luas telah menjadikan rakyat Aceh terbiasa
melakukan gerilya tetap. Tiap kampung berbenteng, tiap laki laki menyandang
bedil, kelewang dan rencong. Kini pejuang-pejuang itu tidak saja dapat
berperang sepuas hatinya, beberapa minggu tinggal di rumahnya di pedalaman dan
kemudian melakukan darmawisata ke daerah kecil yang diduduki Van Swieten dengan
pasukannya. Di samping itu rakyat Aceh berkeyakinan akan dapat memperoleh
syurga, karena melakukan perang sabil terhadap kaum kafir.
Van Swieten terpaksa
merombak strategi politiknya dan strategi militernya secara mendasar sesudah
sultan mangkat, dengan proklamasi tanggal 31 Januari 1874, ia menyatakan, bahwa
karena sekarang "rakyat telah dikalahkan, keraton telah direbut, maka
berdasarkan hak menang perang negeri menjadi milik pemerintah Hindia
Belanda."
Belanda tidak akan
mengakui sultan Aceh yang baru dipilih dan akan melaksanakan sendiri
pemerintahan. Para panglima ketiga sagi, jika mereka menyatakan dirinya takluk
secara tetulis, akan dapat memerintah daerahnya atas nama pemerintah Hindia
Belanda. Daerah Sultan yang lama langsung diperintah oleh pejabat-pejabat
militer Belanda.
Untuk sementara pasukan
Belanda kelabakan menolak kawula-kawula Belanda baru itu masuk dan melindungi
daerah Teuku Nek dari serangan tetangga-tetangganya, karena itu sejak tanggat
31 Januari 1974 tidak ada lagi yang datang menyatakan takluk. Ketika Van
Swieten pada tanggal 16 April 1874 bersama dengan pasukan inti akan berangkat
ke Batavia, pasukan militernya ketika akan berlayar masih harus menderita kekalahan
serius. Usaha merebut suatu benteng Aceh yang baru dibangun tepat di depan
keraton itu gagal. Peristiwa ini pertanda buruk bagi pasukan Belanda yang masih
tinggal di Aceh.
Dari 389 orang perwira
dan 8.000 orang bawahan yang menjadi anggota pasukan penyerbu, telah meninggal
dunia di Aceh masing-masing 28 orang perwira dan 1.700 orang bawahan. Karena
sakit atau luka, seribu orang lagi dipindahkan melalui laut pada bulan-bulan
sebelumya. Jadi, dalam lima bulan Van Swieten kehilangan sebagian dari kekuatan
militernya.
Angka kematian di
kalangan narapidana yang dijadikan kerja paksa membantu pasukan Belanda jauh
lebih tinggi. Dari tiga ribu orang yang masuk kapal di Batavia, seribu orang
meninggal dunia. Jumlah mereka itu diganti, tetapi dari tiga ribu orang yang
ditinggalkan Van Swieten pada bulan April 1874 dibawah pimpinan penggantinya,
Kolonel J.H. Pel, tahun itu juga meninggal dunia sembilan ratus orang. Sedang
dua ribu orang harus diungsikan ke Padang atau ke Jawa karena sakit, dan harus
diganti oleh yang baru lagi. Demi hasil yang bagaimana dengan pengorbanan yang
begitu besar?
Sebuah keraton kosong
diduduki, yang tidak lama kemudian oleh Belanda disebut Kutaraja, kota sultan,
sebagai inti pertahanan mereka, walaupun tidak pernah lagi seorang bersemayam
di sana. Di daerah hulu sepanjang sungai dibangun beberapa tangsi yang berbenteng
kuat. Suatu wilayah beberapa kilometer luasnya namanya saja dikuasai. Dari
tujuan-tujuan politik tidak ada satu pun yang tercapai!
Penyerbuan kedua, Perang
Aceh kedua, pada hakikatnya merupakan bencana. Sambutan meriah terhadap
pasukan-pasukan di Jawa dengan gapura-gapura kehormatan, anggur kehormatan dan
karangan-karangan bunga kehormatan. Dan sambutan meriah terhadap
Van Swieten di Negeri
Belanda lima bulan kemudian dengan pesta jamuan lagi, yang dihadiri oleh
pangeran-pangeran dan menteri-menteri di Wisma Renang Scheveningen, tidak
dapat lama menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Van Swieten telah
menasehatkan pada penggantinya, Kolonel Pel, agar sementara waktu mengambil
sikap menanti, dengan perkiraan bahwa lama kelamaan akan lebih banyak pemuka
Aceh yang akan datang melapor. Baru saja Van Swieten kembali ke Negeri Belanda,
dan dielu-elukan sebagai Pemenang di Aceh, Pel pun atas permintaannya yang
mendesak telah menerima bala bantuan dari Jawa. Bahkan dengan itu pun hampirhampir
dia tidak mampu mengisi sederetan pos benteng yang dibuatnya sendiri, yaitu
kubu-kubu dari tanah menurut model Aceh; sekitar pangkalan terdepan yang
terancam.
Menurut pendapat Pel, perlu
sekali bersama dengan beberapa pasukan mengikuti hulu sungai Aceh agar musuh
dapat dipaksa mundur. Baru pada ketika bulan Desember 1874 tenaga-tenaga
tempurnya dibandingkan dengan bulan April 1784 menjadi dua kali lipat, hal
yang demikian dapat dipikirkannya. Tetapi ketika itu pun seluruh kekuatan
tentara Belanda yang tersedia dikerahkan. Yang masih berada di kota-kota
garnisun di Jawa dalam keadaan sakit atau luka.
Baru pada bulan Desember
1874, operasi militer secara b esar-besaran oleh Belanda; terhadap pasukan
gerilya Muslim Aceh dilakukan, tetapi justru saat itu seluruh Lembah Aceh Besar
dilanda banjir. Sungai Aceh dengan tepinya yang terjal dan semua anak sungainya
banjir hebat sekali. Jembatan yang dipasang oleh pihak zeni beberapa kilometer ke
hilir keraton dekat Peunayong, untuk menghubungkan kedua tepi tangsi yang
besar antara kedua tepi sungai, hancur sama sekali.
Berminggu-minggu lamanya
hubungan tetap sulit. Sungai yang hampir tidak dapat diseberangi dengan kapal
sama sekali. Juga sebagian besar keraton tergenang. Maka, jelas sekarang
mengapa ada bidang dari lapangan di dalam tembok dulu tetap tidak diterjakan:
semuanya terlanda banjir di sini. Celakanya pula, justru disinilah letak
barak-barak rumah sakit yang baru dibangun. Maka, terpaksalah korban-korban
kolera dipindahkan
Juga semua pos dan
tangsi pasukan Belanda, kecuali satu, dilanda banjir di lembah.Harus segera
ditinggalkan dan diganti oleh bivak-bivak sementara di lapangan terbuka yang
tinggi letaknya. Satu-satunya sarana pengangkutan adalah perahu-perahu kecil.
Berbeda dengan pasukan Belanda, pasukan gerilya Aceh tahu bahaya-bahaya apa
yang akan ditimbulkan oleh sungai Aceh, seperti waduk dan saluran keluarnya air
hujan dan gunung-gunung di sekitarnya. Mereka berdiam di rumah-rumah tiang
atau tanah-tanah yang lebih tinggi agar tidak banyak gangguan.
Dengan kondisi medan
seperti ini, barulah Kolonel Pel dengan pasukannya pada akhir Desember 1874
dapat melaksanakan operasi militernya. Salah satu sasarannya adalah Kampung
Lueng Bata, yang jaraknya menurut garis lurus tidak sampai dua kilometer dari
keraton ke arah hulu. Di tempat itu terdapat Masjid Lueng Bata, tempat yang
terpenting, yang menjadi pusat mukim dengan nama yang sama. Di sini pula tempat
kediaman kepala mukim yang sangat berpengaruh, Imam Lueng Bata namanya.
Imam Lueng Bata adalah
salah seorang tergolong 'raja pemilih' dan dalam tahap perjuangan rakyat Aceh
ini, ia menjadi jiwa perlawanan terhadap Belanda. Sesudah sultan mangkat,
bersama Panglima Polim kepala sagi Mukim XXII dan dengan Teungku Hasyim, dia
tampil sebagai wali sultan terpilih yang baru.
Kini pun para hulubalang
pemilih menetapkan bahwa yang menjadi sultan adalah seorang anak, yaitu Tengku
Muhammad Daud yang masih berusia tiga tahun, cucu salah seorang bekas sultan.
Ketiga wali ini, dengan tidak adanya Perdana Menteri Abdurrahman Al Zahir, yang
bermukim di luar negeri, kelompok yang memimpin di Aceh, yaitu Imam Lueng Bata,
Panglima Polim dan Teungku Hasyim.
Sejauh mana pel
setepatnya mengetahui kedudukan imam Lueng Bata, tidaklah dapat dipastikan.
Satu hal yang dia tahu pasti dari ketiga orang pemimpin perlawanan; seorang
berada di pedalaman yang tidak dapat terjangkau yaitu Panglima Polim, yang
kedua yakni Teungku Hasyim tidak ditemui, dan hanyalah yang ketiga menjadi
pusat kekuasaan yang mudah terjlangkau, yaitu Imam Leung Bata.
Pada tanggal 1 April
1875 akhirnya operasi militer Belanda, benar-benar dapat dilaksanakan. Pukul
lima pagi pasukan telah dikumpulkan di depan suatu pasukan mobil diam bivak dekat
keraton. Dinas mereka telah mulai tengah malam dan malahan lebih dahulu lagi
waktunya bagi kompi-kompi yang harus datang dengan berjalan kaki dari tempat
pendaratan, Olehleh.
Mereka terdiri dari
sebuah batalyoa infanteri atau menurut pembagian ketika itu dua paruh batalyon
yang melakukan operasi tersendiri, satu bateri tembakan medan, dua
bagian mortir; dan satu
kompi anggota yang melakukan pekerjaan zeni. Semuanya kira-kira seribu orang
pasukan militer, sebagian besar terdiri pasukan Eropa, yang lebih dipercayai
untuk melakukan jenis operasi mihter ini daripada pasukan 'bumiputra'. Menurut
rencana, pertempuran dibentuk tiga pasukan kecil. Yang dua akan menyeberang
langsung melalui lapangan, yang ketiga akan berbaris sepanjang sungai yang
tinggi, sehingga di Lueng Bata pasukan dapat bersatu kembali.
Pada hari-hari
belakangan ini air agak menurun, tetapi sawah semuanya masih tergenang air dan
pematang-pematang sawah, yang seharusnya digunakan sebagai jalan, menjadi alur
lumpur. Kendati demikian, pasukan Belanda berbaris menurut cara biasa
seakan-akan menempuh jalan dari Meester Cornelis ke Buitenzorg (Jatinegara ke
Bogor), bukan pematang sawah. Jadi, seebanyak mungkin terkumpul, meriam
lapangan di tengah-tengah kolonne, dan panji di depan sekali. Lebih baik
rasanya dengan menggunakan pakaian seragam serba-biru, kaus panjang putih dan
senapan-senapan panjang tidak praktis menjadi sasaran bagi jago-jago tembak
pasukan Aceh.
Pasukan Belanda bukan
main takutnya terhadap kelewang Aceh. Dengan parang yang begitu tajamnya,
seorang Aceh yang tangkas --dan kebanyakan mereka ini tangkas-tangkas-- dengan
sekali ayun bisa membelah bahu orang miring sampai ke jantungnya. Menghadapi
serangan kelewang, pasukan Belanda tidak dapat berbuat lain selain
mempergunakan sangkurnya yang tidak praktis terpasang pada senapan panjangnya
yang lebih tidak praktis.
Pada setiap rumpun
bambu, di belakang setiap pematang sawah, pasukan Aceh berkelompok sambil duduk
untuk menembak. Berkali-kali mereka mendekati kolonne-kolonne itu dengan
teriakan perang (Allahu Akbar) yang seram dan mengayunkan kelewang serta
rencong dekat sekali. Pejuang-pejuang muslim yang fanatik, yang sekarang pun
ingin memasuki syurga sebagai syahid, dengan pakaian putih-putih menyerbu
dengan menari-nari dan dengan hasrat ingin mati syahid menghadapi
sangkur-sangkur pasukan Belanda kafir. Semenjak subuh para mujahidin muslim ini
di masjid telah bersiap mati syahid dan berada dalam kondisi mental yang
tinggi.
Dalam medan yang
demikian, tidak mungkin pasukan Belanda kafir untuk melepaskan tembakan gencar
yang beraturan dari pematang sawah. Meriam lapangan yang dengan susah payah
dihela oleh dua pasang kuda, tidak bisa cepat-cepat dipasang untuk segera
ditembakkan bila pasukan gerilya muslim Aceh datang menyerang berlompatan
melalui pematang.
Kedua kolonne darat itu
merambat maju sendiri-sendiri dengan susah payah dan hilang dari pandangan
masing-masing, dari pukul lima pagi sampai pukul setengah tiga petang, dalam
panas yang menyengat, mereka sampai pada satu titik yang jarak garis lurusnya
hanya kira-kira dua kilometer jauhnya dari keraton. Sebagian besar waktu
sesungguhnya hilang karena meriam-meriam itu berulang kali meluncur ke dalam
sawah karena licin. Pasukan perintis terus-menerus menebas membuat jalan menerobos
pagar-pagar, belukar lebar berduri yang melingkari setiap pasang rumah. dan
mengitari sawah.
Mestinya pasukan Belanda
sudah tiba di Lueng Bata, tetapi entah di mana mereka sekarang. Pada suatu saat
kolonne-kolonne darat mendengar kolonne sungai meniup isyarat terompet
Wilhelmus van Nassauwe. Kedua komandan ini masing-masing menyimpulkan bahwa
rekannya telah berhasil mencapai Leung Bata dengan menyusuri sungai. Karena
mereka (kedua kolonne darat ini) tidak melihat kemungkinan sampai ke situ dan
beranggapan bahwa tujuan gerakan telah tercapai, kemudian untuk kembali ke
keraton.
Tetapi isyarat itu lain
sekali artinya. Komandan kolonne sungai --dua kompi infanteri tidak lengkap dan
dua peleton zeni-- menyuruh meniup terompet untuk memberitahukan bahwa mereka
berada dalam kesulitan. Batalyonnya memang dapat jauh lebih cepat maju
daripada yang lain-lain. Kira-kira tengah hari mereka telah mencapai Masjid
Lueng Bata dan mendudukinya, dan ada perintah lewat kurir untuk terus bergerak
menuju sebuah benteng tidak jauh dari situ. Dengan mencari-cari tujuannya,
beberapa kilometer, selanjutnya mereka tiba di Kampung Lhong yang diperkuat,
yang diserbunya dengan melakukan pertempuran hebat.
Ketika sang Komandan
pasukan Belanda telah kehilangan sepuluh orang tewas dan lima orang luka-luka
berat dari kira-kira 150 orang anggotanya, sedangkan tidak seorangpun yang
luput tanpa cedera, dekat dari situ terdengar olehnya suara tembakan mendatang.
Pikirnya tentu salah satu kolonne darat berada di sekitar tempat itu. Di Lhong
keadaannya lebih sulit lagi. Dengan meniup isyarat Wilhelmus van Nassouwe serta
memancangkan bendera Belanda di pohon yang tertinggi dalam kampung itu, dia
ingin minta perhatian dan minta komandan-komandan rekannya membantu dia.
Alangkah terperanjatnya
ketika dia mendengar orang meniup sebagai jawaban isyarat "Batalyon X
kembali Pulang". Dari cepatnya suara tembakan-tembakan menjauh dapat
disimpulkan bahwa kolonne darat itu merasa kira-kira jauh lebih gembira harus
pulang kembali daripada terus.
Namun, tampaknya masih
belum gawat. Sebagian dari kolonne sungai tertinggal di Masjid Lueng Bata, dan
tentunya akan datang membantu. Akan tetapi peleton yang tinggal ini setengah
mati keadaannya di masjid itu, bahkan ditembaki dengan lila, yaitu meriam kecil
Aceh yang dapat dibawa ke mana-mana.
Pukul setengah enam
komandan pasukan Belanda di Lhong menganggap posisinya tidak dapat dipertahankan
lagi. Bayangan harus bermalam di kampung yang terkepung ini sangat berbahaya,
diputuskannya untuk pulang kembali ke masjid, tapi dalam kebingungan dia
mengambil jalan lain daripada yang ditempuhnya pagi-pagi. Sesudah dilalui
beberapa ratus meter ternyata jalan ini buntu.
Betul-betul panik mereka
dan lari pontang-panting ketika kelompok kecil ini masuk ke dalam sawah.
Dengan dikelilingi pasukan Aceh yang bertakbir menghabisi pasukan Belanda yang
telah jatuh terluka, pelarian-pelarian ini mencoba menyelamatkan nyawanya.
Beberapa orang yang luka, bunuh diri atau memohon pada teman-temannya agar
menembak mati mereka. Yang lain-lain, di antaranya seorang mati tenggelam di
dalam rawa.
Hanya dengan susah payah
sebagian pasukan Belanda dari Lhong dapat mencapai masjid Lueng Bata untuk bergabung
dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di sana. Markas besar pasukan
Belanda, segera mengirimkan bala bantuan, karena kolonne sungai yang tidak
pulang-pulang. Baru kira-kira pukul enam petang, bala bantuan datang.
Dengan bala bantuan baru
itu, pasukan Belanda baru dapat kembali pada malam yang pekat, disertai dengan
iringan pasukan gerilya muslim Aceh, yang setiap saat menyerang pasukan Belanda
yang sedang jalan kembali pulang. Serangan-serangan gerilya semacam ini jauh
lebih berbasil, karena pasukan Belanda yang kecapaian, sulit untuk melakukan
serangan balasan terhadap gerilya, sehingga kematian biasanya jauh lebih besar
dibandingkan dengan pasukan yang bergerak maju.
Tahun 1876, akhir Perang
Aceh kedua ini, memecahkan semua rekor. Kekuatan pasukan Belanda di Aceh
rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, lima ribu pasukan pribumi, dan
180 orang pasukan Afrika. Sebagai tukang-pikul dan pekerja diturut-sertakan
tiga ribu narapidana, dan lima ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu meninggal
dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa. Karena
sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke
Padang atau Jawa. Jadi dalam satu tahun diperlukan tujuh belas ribu orang
militer untuk memelihara suatu kekuatan pasukan yang terdiri dari delapan ribu
orang. Dan masih lagi kekuatan ini seluruhnya terikat pada lima puluh benteng
besar dan kecil dalam lingkungan terdekat sekitar Kutaraja.
Di kota-kota terpenting
di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. Gubernur Jenderal memberi kuasa
bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang hingga sekarang
ini dikerjakan dengan
bantuan tenaga narapidana, untuk mengambil kuli-kuli lepas. Siapa yang bernasib
sial bagi narapidana pada Perang Aceh mendapat hukuman tambahan untuk
melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati sajalah.
Besar sekali kebutuhan pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota
pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua
pengangkutan harus dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun
tenaga narapidana kerja paksa Jawa tidak dapat terus-menerus mengantar
penyediaan yang diserap oleh Aceh.
Salah seorang korban
perang Aceh adalah Kolonel Pel sendiri, yang kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi
Mayor Jenderal. Dia meninggal dunia pada bulan Februari 1875, sebelum ia
memperoleh kesempatan melaksanakan rencananya untuk menutupi seluruh Lembah
Aceh dengan deretan pos ganda dari laut. Memang terus juga diperintahkan untuk
membangun benteng lagi, dengan titik terjauh sembilan kilometer dari Kutaraja,
tetapi dengan demikian kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah-pecah. Bila
pos-pos ini seminggu sekali harus dibawakan perbekalan, maka kolonne-kolonne
yang bertugas harus bertempur merintis jalan menuju benteng-benteng yang
terkepung itu.
Tidak lama sebelum Pel
meninggal, telah iewas 45 dari 60 orang pasukan pengawal dekat keraton pada
pengangkutan demikian. Banyaknya korban yang jatuh pada peristiwa-peristiwa
demikian di kalagan para tukang pikul, telah biasa terjadi.
Berbatalyon-batalyon lengkap di kirim ke benteng-benteng yang terjauh letaknya
untuk melindungi pengangkutan dan `masih juga terjadi kolonne ini harus kembali
dengan sia-sia.
Kian menjadi jelas bahwa
pasukan Aceh tidak lagi bertindak liar sewaktu-waktu, tetapi mereka beroperasi
secara teratur. Orang yag mengatur segalanya ini adalah Habib Abdurrahman A1
Zahir.
Setelah usaha diplomatik
yang diusahakan semenjak awal Perang Aceh tidak berhasil, terutama untuk
mendapatkan bantuan senjata dari Turki, maka Habib Abdurrahman A1 zahir, dengan
mencukur jangkut dan rambut kepalanya, dan mengenakan pakaian orang Keling, ia
menyamar masuk ke Aceh. Dengan menyamar demikian, dia berlayar dengan sebuah
kapal uap kecil pada awal tahun 1875 ke seberang di pantai Aceh. Di tengah laut
kapalnya ditahan; tetapi ternyata surat-suratnya beres, dan Habib tidak
dikenali, walaupun semua kapal blokade Belanda telah diberitahu akan
kedatangannya di negeri pantai Aceh yang kecil, Idi, yang ditujunya, tidak
suiit orang mengenalnya.
Kedatangannya kembali ke
Aceh merupakan suatu kemenangan. Lebih dari dua tahun dia menghilang, tetapi
tidak dilupakan. Di Pedir (Pidie), negeri terbesar dari konfederasi Aceh,
dihimpunnya sebuah tentara yang terdiri dari ribuan orang, dan dibawanya ke
Indrapuri melalui pegunungan, sebuah kota dalam Sagi Mukim XXII di hulu sungai
Aceh. Di mana-mana di tengah jalan orang-orang bersenjata menggabung padanya,
dengan memberikan uang dan hadiah kepadanya. Pada suatu pertemuan para
hulubalang, dia diangkat menjadi panglima besar Perang Aceh.
Bantuan yang lebih
penting untuk memperkokoh pasukannya adalah datangnya dari pihak ulama, terutama
Teungku di Tiro yang termasyhur bersama pasukan pengikutnya, sesudah Habib
Abdurrahman Al Zahir menetapkan markas besarnya di Montasik, yang letaknya
hanya kira-kira dua belas kilometer dari Kutaraja. Teungku di Tiro berasal dari
pusat Islam Tiro di Pidie tempat keluarga-keluarga Aceh sejak dahulu
mengirimkan puteranya untuk memperdalam ajaran agama Islam. Ia besar
pengaruhnya, juga di luar Pidie. Turut sertanya dalam perjuangan menentang
Belanda kafir ini mengabsahkan sifat suci perang ini, yaitu perang suci (perang
sabil) terhadap kaum kafir kepada para pejuang yang melakukan perjuangan
menurut ketentutan-ketentuan Islam, apabila wafat berhak menjadi syuhada.
Teungku di Tiro dan para
ulama yang lain memberikan gambaran terinci kenikmatan-kenikmatan yang diberikan
kepada seorang yang mati syahid. Di Aceh beredar tulisan-tulisan suci,
anjuran-anjuran perang, dengan uraian panjang lebar dan terinci: pada waktu
tiba di akhirat sejumlah bidadari dengan tubuhnya yang putih bagaikan pualam
dan mata yang jeli bagaikan mata kijang, tetirah beberapa hari di taman
syurgawi dengan pepohonan rimba dan pancuran sejuk, akhirnya mencapai
penyempurnaan nikmat.
Dengan semangat perang
sabil yang maksimal, pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir, yang disokong
sepenuhnya oleh apara ulama, mampu menggerakkan satuan-satuan gerilyanya
menyusup terus sampai dekat Kutaraja.
Pada pertengahan tahun
l877 Jenderal K. van der Heijden diangkat menjadi Gubernur militer Aceh.
Gerakan Pertamanya, ia melakulaan operasi militer dengan mengerahkan tiga ribu
pasukan tentara dan sepuluh kapal perang dan kapal pengangkut untuk menyerbu
daerah Samalanga. Daerah ini merupakan wilayah yang makmur dengan tiga puluh
ribu orang penduduk di pantai timur laut. Para pemimpinnya pada tahun 1876 dan
1877 telah melarang mengerjakan sawah, agar semua laki-laki dapat digunakan
untuk pertempuran di Aceh Besar. Bagi Jenderal K. van der Heijden sangat
menjengkelkan, karena daerah-daerah pesisir sama saja keadaannya, peperangan
yang berlangsung jauh dari daerah yang mereka alami, tidak sampai menyulitkan
mereka untuk mengirimkan ribuan pejuang gerilya Aceh ke Aceh Besar guna
menyerang Belanda.
Pendaratan pasukan
militer yang besar itu --yang sama besarnya dengan seluruh pasukan penyerbuan
Perang Aceh I-- tidak banyak mengalami rintangan. Sesudah melakukan pertempuran
seru dalam waktu singkat di wilayah pesisir, pemimpin Samalanga menandatangani
Ikrar Panjang, yang terdiri atas delapan belas pasal, yang memuat pengakuan
akan kedaulatan Belanda. Walau begitu Van der Heijden tidak dapat merebut Batu
Iliek (Batee Iliek), walau berulang kali diadakan serbuan ke sana.
Batu Iliek merupakan
pusat kerohanian, kira-kira dapat disamakan dengan Tiro di Pidie. Benteng ini
dipertahankan oleh para santri yang penuh dengan ruhul jihad memimpin Samalanga
tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Dengan daerah pedalaman yang demikian,
tidaklah mengherankan bila ia sama sekali tidak mempedulikan pelaksanaan Ikrar
Panjang dalam praktek. Pada tahun 1880 dikirim lagi pasukan militer Belanda
untuk kedua kalinya menyerang Batu Iliek, tetapi kali ini Jenderal K. van der
Heijden sendiri yang kena hajar. Dia sendiri kehilangan sebelah matanya dalam
pertempuran ini, sehingga kemudian dalam cerita rakyat Aceh ia disebut Jenderal
Mata Sebelah.
Operasi-operasi militer
di Aceh Besar yang diiakukan oleh Jenderal K. van der Heijden lebih berhasil.
Pada tahun 1878 pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir memasuki mukim XXV. Di sini
terjadi pertempuran yang sengit dan seru, sehingga Gubernur Jenderal Van
Lansberge mengirimkan empat batalyon bala bantuan dari Batavia untuk membantu
Van der Heijden, yang sedang kewalahan menghadapi pasukan Habib Abdurrahman Al
Zahir.
Van Lansberge
menginstruksikan kepada Jenderal van der Heijden, yang bunyinya antara lain:
"Serbuan dalam Mukim XXV merupakan tindakan permusuhan yang begitu berat,
sehingga tidak boleh tidak harus dilakukan penghukuman yang tiada taranya. Hal
ini pada mulanya telah begitu rupa mengguncangkan prestise kita dan
kepercayaan pada kekuatan kita, sehingga tidak cukup bagi kita hanya melakukan
penghukuman, tetapi mutlak haruslah ditaklukkan seluruhnya kepada kita bagian
Aceh Besar yang bermusuhan sikapnya, sekiranya kita tidak ingin mempertaruhkan
hasil yang telah kita peroleh dengan begitu banyak mengorbankan harta dan
darah."
Van der Heijden tidak
memecah-mecah bala bantuan barunya pada puluhan pos di lembah itu, yang tidak
akan dapat mencegah suatu serangan di bagian yang paling ditakuti di situ. Dia
membentuk kolonne mobile yang kuat, yang terdiri dari dua pasukan militer
dengan seribu orang tukang pikul. Pertama-tama ia membebaskan Krueng Raba yang
terkepung, kemudian maju menuju markas besar Habib Abdurrahman A1 Zahir di
Montasik, yang baru saja direbutnya, sekitar bulan Juli 1878. Pada bulan-bulan
berikutnya Van der Heijden diperintahkan untuk mengejar pasukan Abdurrahman Al
Zahir yang kecil-keci1 yang bersembunyi di Mukim XXII dan XXVI.
Penyerbuan pasukan Belanda
ke pusat. pertahanan pasukan Habib Abdurrahman al Zahir berhasil, di mana pada
tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan Habib Abdurrahman muncul di pos
Belanda Lam Baro dengan membawa permohonan tertulis meminta ampun dan minta
berunding tentang penyerahan. Dalam hubungan tertulis itu ternyata Habib
Abdurrahman bersedia menghentikan pertempuran, bila ia dan empat ratus orang
anggota keluarga dan pengikutnya diperkenankan berangkat ke Arab dengan kapal
Belanda dan menerima pensiun di sana.
Tuntutan itu tidak
kecil. Tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin bahwa penyerbuan
Abdurrahman akan membuat peperangan ini lain sekali jalannya. Pada bulan
Oktober 1878 menyusul persetujuan setelah ada izin dari pemerintah Belanda.
Habib Abdurrahman akan diangkut ke Mekah bersama dengan dua puluh orang
pengikut naik kapal Belanda dan di sana menerima pensiun untuk seumur hidupnya
dengan sepuluh ribu ringgit tiap-tiap tahunnya.
Sebelum berangkat pada
tanggal 24 Desember 1878, melalui surat tertulis, ia menganjurkan kepada para
pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda, tetapi tidak mendapat tanggapan
sedikitpun. Para pemimpin dan ulama Aceh, yang selama ini telah berperang
dengan pasukan Belanda kafir; telah bertekad bulat untuk mengusirnya dari bumi
Aceh. Gabungan para pemimpin dan ulama Aceh dengan Habib Abdurrahman Al Zahir,
pada saat-saat terakhir memang sudah goyah, dan kepercayaan yang diberikan
kepadanya telah hilang, karena sikapnya yang banci.
Oleh karena itu, kesan
terakhir di saat ia menyerah kepada Belanda, tidak ada kata lain yang terbaik,
kecuali 'pengkhianat'.
Jenderal Van der Heijden
telah berhasil menaklukkan Lembah Aceh Besar, sehingga pada bulan Januari 1880
kenaikan pangkatnya pun dipercegat menjadi Letnan Jenderal. Ini merupakan hadiah
yang indah, sekiranya dia sebulan sebelumnya tidak menerima sepucuk surat yang
agak aneh dari Gubernur Jenderal van Lansberge yang memberitakan bahwa dia
diberi kuasa oleh Raja "…bila van der Heijden akan berhenti kelak…"
untuk membentuk pemerintahan sipil di Aceh. Karena itu "…ingin saya
mengetahui dari anda, kiranya pada saat mana pada awal tahun depan ini arida
merasa waktu yang sebaik-baiknya untuk meletakkan jabatan anda, hingga saya
dengan demikian dapat mengharapkan diajukannya permintaan berhenti anda…"
Sama sekali Van der
Heijden tidak mempunyai rencana ke arah itu. Berlawanan dengan kehendaknya,
bersama dengan residen Palembang, A. Pruys van der Hoeve, dia diangkat menjadi
komisaris untuk penyusunan kembali pemerintahan sipil di Aceh. Dan Lansberge
ingin sekali mengakhiri Perang Aceh semasih dalam masa pemerintahannya. Secara
militer memang Van der Heijden-lah yang menaklukkannya, secara politik keadaan
aman akan diresmikan dengan diberlakukannya pemerintahan sipil biasa. Ternyata,
kedua kesimpulan itu salah perhitungan.
Gubernur Jenderal dapat
mengharapkan bahwa penggantinya selambat-lambatnya akan diangkat pada tahun
1881. Ia mengusahakan dengan cepat menyusun rencana-rencana perubahan
pemerintahan. Pada bulan Oktober 1880 Van der Heijden dan Pruys sudah
memasukkan laporan mereka. Kedua orang itu berpendapat bahwa lama lagi baru
Aceh siap melaksanakan pemerintahan sipil. Paling-paling dalam prinsip pemerintahan
karesidenan di Jawa, yaitu dengan residen dengan kepalanya, tiga orang asisten
residen, dan sepuluh orang kontarolir; tetapi residennya (dalam hal ini dengan
pangkat gubernur langsung di bawah Batavia karena keadaannya yang luar hiasa)
haruslah seorang militer, sekaligus merangkap menjadi komandan angkatan
bersenjata setempat. Usul ini ditolak oleh Gubernur Jenderal di Batavia.
Maka pada tahun 1881
Pruys van der Hoeven dengan resmi diangkat menjadi Gubernur sipil pertama di
Aceh. Ketertiban dan keamanan akan dijaga oleh polisi yang baru. Dia hanya
sedikit memberikan perhatian kepada gangguan-gangguan dan serangan-serangan
yang dilakukan oleh pasukan gerilya Aceh baik yang dilakukan oleh para ulama
yang fanatik maupun oleh kelompok Teuku Umar.
Ketika Pruys van der
Hoeven pada bulan Maret 1883 menyerahkan jabatannya kepada pejabat pemerintahan
P.F. Laging Tobias, dia memberikan gambaran yang menggembirakan tentang keadaan
Aceh. Persoalannya, menurut dia, hanyalah melanjutkan suatu politik yang akan
menjamin diperolehnya bantuan para hulubalang Aceh untuk kepentingan Belanda.
"…Para pemuka yang sah harus menduduki tempat yang menjadi haknya…"
daripada kita "…menolak mereka karena tidak sadar akan bahaya
mereka…" Bila suatu kebijaksanaan demikian digabungkan dengan suatu
pengaturan pengawasan yang bijaksana atas pelayaran-pelayaran di negeri-negeri
pesisir, maka seluruh keamanan Aceh hanyalah soal menanti dengan tenang.
Tetapi optimisme yang
berlebihan ini, tidak cocok dengan kenyataan, sebab serangan-serangan pasukan
gerilya Aceh, baik yang dipimpin oleh para ulama maupun para hulubalang makin
hari makin meningkat. Laging Tobias segera menyalahkan pendahulunya dan meminta
bala bantuan militer, karena keadaan di daerah terdekat dengan Kutaraja saja
sudah tidak aman. Jalan perhubungan yang terpenting dari Kutaraja ke Anenk
Galong di perbatasan lembah, praktis tidak dapat digunakan lagi. Pos-pos
polisi sedikit pun tidak ada gunanya.
Pemimpin-pemimpin
pasukan Perang Aceh yang baru tampil ada yang terdiri dari ulama Teungku di
Tiro, yang tegar dan fanatik, serta di pihak lain seperti Teuku Umar, yang
berani dan licin, mulai memperoleh tenaga tempur yang baru untuk menghadapi
pasukan kolonial Belanda. Selama tahun 1883 kelihatannya perang Aceh ketiga
akan pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi Gubernur
Jenderal s' Jacob, yang sempat mengunjungi Aceh pada bulan Agustus 1883 untuk
menyelidiki apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat
dilakukan pengurangan biaya perang secata drastis.
Kekecewaan ini menjadi
panik, karena pada tanggal 8 Nopember 1883 kapal uap Inggeris Nisero kandas di
pantai daerah kecil Teunom dekat Kampung Pangah di pantai barat Aceh. Kapal itu
berukuran 1.800 ton dan membawa muatan gula dari Surabaya menuju Marseille.
Awak kapalnya terdiri dari segala bangsa. Sembilan belas orang Inggeris, dua
orang Belanda, dua orang Jerman, dua orang Norwegia, dua orang Italia dan satu
orang Amerika.
Daerah Teunom yang pada
tahun 1882 pernah diserang habis-habisan oleh Belanda dari laut, membuat
perhitungan terhadap kapal Nisero yang terdampar di pantainya. Semua awak kapal
Nisero ditangkap dan dibawa ke pedalaman. Pemimpin Teunom melakukan tekanan
besar kepada Belanda, dengan menuntut uang tebusan sebanyak 25.000 ringgit
Spanyol dan jaminan tidak ada lagi blokade oleh Belanda atas pantai Teunom untuk
membebaskan para sandera.
Laging Tobias
berpendapat bahwa suatu aksi militer terhadap Teunom akan memerlukan pasukan
militer yang terdiri dari beberapa batalyon, sedangkan ada kemungkinan para
sandera itu sudah terbunuh. Perkara yang menyakitkan hati ini, tetapi dapat
diperhitungkan dengan cukai masuk dan keluar daerah Teunom sendiri.
Dikirimkannya Residen Van Langen dengan 25.000 ringgit Spanyol tunai kepada
pemimpin Teunom. Tetapi sang pemimpin menolak bicara dengan dia dan hanya mau
berurusan dengan perunding-perunding Inggeris. Sia-sia Van Langen kembali ke
Kutaraja. Karena terpaksa, Gubernur menyetujui usul Inggeris dari Singapura,
yaitu sebuah kapal perang Inggeris kecil, disertai oleh dua kapal perang
Belanda, dikirim ke Teunom untuk mengadakan kontak bersama.
Keputusan yang didukung
oleh s'Jacob tetapi tidak disetujui oleh Den Haag ini mempunyai akibat-akibat
diplomatik. Sekarang Laging Tobias sendiri turut serta, tetapi dengan sangat
geram ia mengalami nasib buruk, karena sang pemimpin Teunom hanya mau berbicara
dengan orang-orang Inggeris. Ia menaikkan harga tuntutannya menjadi tiga ratus
ribu ringgit dan harus ada jaminan Inggeris tentang berlakunya pelayaran bebas
di pantainya, yang ditandatangani sendiri oleh Ratu Victoria. Perundingan mengalami
jalan buntu.
Pada tahun 1884
pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk bertindak keras kepada Teunom.
Pada tanggal 7 Januari 1884, sebuah detasemen militer Belanda dari Kutaraja
mendarat dekat pantai Teunom, dengan jalan menembaki pantai itu dari laut.
Hasil satu-satunya yang diperoleh dari operasi miiiter Belanda ini ialah bahwa
para sandera diseret lebih jauh ke pedalaman, dan pemimpin Teunom menaikkan
uang tebusannya menjadi empat ratus ribu ringgit.
Sesudah kegagalan ini,
dengan tekanan Inggeris yang berat, Belanda menyetujui agar seorang dewan
pemerintah Singapura, Sir Williem Maxwvell menjadi perunding dan perantara
untuk berbicara dengan pemimpin Teunom. Hampir sebulan lamanya dia terus
berbicara dengan pemimpin Teunom dan tidak saja mengenai sandera Nisero, tetapi
juga mengenai pengaturan perdamaian dengan Aceh yang umum dengan
jaminan-jaminan Inggeris. Dan inilah yang ditakutkan oleh Den Haag.
Kekhawatiran Den Haag benar-benar menjadi kenyataan, sebab pada tanggal 26
April 1884, Menteri luar negeri Inggris, Lord Granville, memberi nota kepada
Den Haag, bahwa Inggris bersedia menjadi perantara untuk memulihkan perdamaian
di Aceh.
Nota Menteri Luar Negeri
Inggris ini tidak dijawab oleh Den Haag, karena secara diam-diam Gubernur
Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri dari orang-orang
Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Teuku Umar yang
sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan untuk
memimpin operasi militer ini.
Teuku Umar dengan
pasukannya yang dibawa oleh kapal perang Belanda, diperlakukan sangat tidak
enak. Ia harus tidur di geladak sebagai kuli-kuli saja. Rasa dendamnya
dipendamnya selama ia dan pasukannya di kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku
Umar dengan pasukannya didaratkan oleh sebuah sekoci, maka semua awak kapal
dari sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri
dengan rakyat Teunom.
Kegagalan yang ketiga
kalinya untuk merebut sandera dari tangan rakyat Teunom, mendorong Jenderal
Van Swieten untuk mengirimkan surat ke dewan menteri Belanda. Dengan kata-kata
singkat diusulkannya agar Inggeris dan Belanda bersama-sama mengirimkan pasukan
penyerbu untuk menghukum rakyat Teunom. Menurut Van Swieten, ini tidak akan
merendahkan prestise Belanda di nusantara, tetapi justru menaikkannya. Sebab,
dengan ini akan ternyatalah bahwa tidak timbul pertentangan antara Belanda dan
Inggeris. "Menurut saya akan merupakan langkah politik jitu bila panglima
skuadron Inggris diminta membuka perundingan atau mengajukan tuntutan. Maka;
dia pun bertindak bagai penuntut yang meminta warga negaranya dibebaskan."
Usul Van Swieten
diterima oleh Dewan Menteri Belanda dan juga oleh Inggris, sehingga pada
tanggal 12 Agustus 1884, skuadron Inggris-Belanda dengan pimpinan Maxwell dan
Laging Tobias mengepung daerah Teunom dan tanpa perdebatan yang berarti,
pemimpin Teunom menyerahkan para sandera dengan imbalan tebusan sebanyak
seratus ribu ringgit dan pelabuhannya tidak diblokade lagi.
Setelah masalah kapal Nisero
selesai, pada tanggal 20 Agustus 1884, penguasa kolonial Belanda memulai
memasang Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan Kutaraja
sebagai jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng,
dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu benteng
dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata lima kilometer,
dari titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira merupakan setengah bulatan
dengan bagian terbuka ke arah laut.
Rel trem menghubungkan
benteng-benteng itu yang jumlah penghuninya masing-masing berbeda, dari 160
orang dengan lima perwira dalam benteng terbesar, sampai 60 orang dengan
seorang perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya tanah
dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih di baluarti yang
menjorok di pojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun sebelah tembok-tembok
itu dapat tersapu oleh tembakan meriam.
Pembuatan Lini
Konsentrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya kembali pemerintah militer di
Aceh dan memakan waktu setengah tahun. Baru pada bulan Januari 1885, pos-pos
yang berada di luar Lini Konsentrasi dikosongkan oleh pasukan Belanda, tetapi
segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh.
Sistem Lini Konsentarsi
pasukan Belanda ini, dinilai oleh para pemimpin perjuangan Aceh sebagai suatu
taktik kekalahan Belanda. Hal ini merupakan dorongan semangat untuk melanjutkan
perjuangan bagi rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kafir. Teungku di Tiro yang
masih tetap tegar dan tidak kenal damai serta beberapa ulama lainnya; memainkan
peranan penting untuk melanjutkan peperangan di Aceh sampai penguasa kolonial
angkat kaki dari bumi Aceh.
Walau sistem Lini
Konsentrasi dianggap yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata masih saja banyak
pasukan gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan melakukan
serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai.
Di samping itu sistem
Lini Konsentrasi menimbulkan kejenuhan bagi pasukan Belanda, keadaan terkurung
dan tidak ada operasi militer yang dapat meningkatkan prestasi, apalagi sesudah
bulan Agustus 1885 setelah beberapa sergapan pasukan gerilya Aceh dalam lini
terjadi, hampir semua lalu lintas dengan luar tertutup dan semua bahan makanan
harus didatangkan dari laut; akibatnya wabah beri-beri yang parah, pelanggaran
disiplin dan desersi besar-besaran menimpa pasukan Belanda.
Pengaruh demoralisasi
kehidupan dalam Lini Konsentrasi dengan baik dilukiskan oleh banyaknya jumlah
mereka yang lari. Berapa banyak pasukan Belanda yang berasal dari penduduk bumi
putera yang melakukan desersi tidak diketahui, tetapi pastilah ratusan, karena
semua berita sependapat mengemukakan bahwa jumlahnya jauh lebih besar daripada
pasukan Belanda yang berasal dari Eropa. Sedangkan jumlah seratus untuk
gologgan yang terakhir ini (pasukan asal Eropa) tidak dilebih-lebihkan.
Pada tahun 1896 pasukan
Belanda menyerang tempat kediaman Panglima Polim, kepala sagi Mukim XXII, di
Gle Jeung yang terletak di Sungai Aceh. Banyak keterangan yang mereka peroleh
bahwa di sana sudah sejak lama tidak boleh tidak berdiam sekumpulan desertir
(pelarian) dalam jumlah banyak. Bukti yang paling kurang ajar adalah sepucuk
surat dalam bahasa Belanda yang mereka tujukan kepada paaukan Belanda. Dalam
surat itu dimintanya agar detasemen pasukan Belanda bila kembali ke Kutaraja
mau meninggalkan sedikit jenewer.
Dalam kelompok pelarian
ini terdapat pula seorang jago tembak bangsa Belanda yang bernama Carli dari
batalyon XVI. Ia pandai berbahasa Aceh dan menggabungkan diri dengan pasukan
Panglima Polim. Pada pertempuran tahun 1896 dan 1897 yang dilakukan oleh
pasukan Panglima Polim, Carli dengan menggunakan senapan Besumon modern
menyerang pasukan Belanda dengan gigih, sehingga pihak belanda menjadi
kewalahan.
Sistem Lini Konsentrasi
ternyata tidak menjamin keamanan dan ketenteraman kedudukan penguasa kolonial
Belanda, karena ternyata pasukan gerilya Aceh masih mampu melakukan serangan
sampai ke daerah-daerah yang terdekat dengan Kutaraja. Untuk mengatasi
serangan gerilya Aceh, maka pada tanggal 20 April 1890, seorang Jaksa pada
pengadilan di Kutararja, bernama Muhammad Arif, menasehatkan kepada Gubernur
militer Aceh ketika itu Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya yang bernama
J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen mobil kecil-kecil yang
terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilya dan melawannya
dengan senjata-senjata mereka sendiri. Kontra gerilya sebagai jawaban atas
gerilya. Usul ini diterima. Nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya
ia dimaksudkan sebagai polisi militer.
Pembentukan pertamna
korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang
masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa dibawah
pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada iahun 1897
menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi;
semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi
yang berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan
pasukan Marsose.
Dalam kisah-kisah
romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan 1200 orang Marsose
inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentera yang
sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif,
kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Beutsz lebih besar
daripada kekuatan-kekuatan sebelumnya.
Di bawah pimpinan
beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak
terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade marsose, yang
mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta
anak-anak yang terbunuh secara menyedihkan.
Kemandirian brigade
merupakan rahasia besar marsose. Persenjataannya adalah sebaik-baik persenjataan
pada masa itu, yakni karaben pendek --bukan senapan panjang-panjang, kelewang
dan rencong-- sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan topi. Memang
brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut perlengkapan
mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan marsose
adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan berbagai
cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara.
Pasukan marsose tahun
1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando, pasukan payung, dan
pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Merekapun merasa sebagai
pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk ditempatkan
pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan yang terjahat
berasal dari pasukan marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh penguasa
kolanial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan.
Ketika pada tahun 1912
pasukan marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan, setelah kedua
brigadenya di Tangse selama tiga tahun mengejar-ngejar pasukan gerilya dibawah
pimpinan ulama Tiro terakhir, keempat puluh satu anggota pasukannya ini
semuanya memperoleh dua bintang Militaire Willemsorde kelas tiga, sebilah
Pedang Kehormatan, tiga Militaire Willemsorde kelas empat, dua Bintang
Perunggu, dan sepuluh pernyataan Kehormatan dalam perintah-perintah harian.
Pada bulan Januari 1891,
rakyat Aceh mendapat musibah yang sangat besar. Karena kedua tokoh utama
perjuangan rakyat Aceh meninggal dunia karena sakit, yaitu Panglima Polim dan
Teungku di Tiro. Dengan wafatnya kedua tokoh utama Aceh ini, maka kekuatan
pasukan perlawanan terhadap Belanda menjadi terpecah-pecah, sebab para
penggantinya tidak mempunyai kekuatan moral sebagaimana para pendahulunya.
Dalam situasi seperti
itu, Teuku Umar tampil menjadi pemimpin Aceh dengan caranya sendiri, yang membingungkan
setiap penulis sejarah Aceh. Pada tahun 1891, daerah Mukim VI, sebelah barat
Lini Konsentrasi telah diserang oleh pasukan gerilya Aceh yang dipimpin oleh
para ulama. Teuku Umar, yang telah bebilang kali membelot dan mengkhianati
Belanda, menawarkan diri nntuk membantu Belanda guna membasmi pasukan gerilya
yang senantiasa mengancam pasukan Belanda bila pemerintah kolonial Belanda
mengampuninya dan membantu sepenuhnya. Tawaran ini diterima oleh Gubernur
militer, Deijkerhoff di Aceh. Atas seizin Gubernur Jenderal Pijnacker Mordijk,
Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata untuk menumpas pasukan
gerilya Aceh, terutama yang beroperasi di sekitar Mukim VI.
Pada bulan Juli dan
Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan bantuan Belanda
untuk membersihkan Mukim XXV dan XXVI dari sarang para gerilya Aceh. Hasilnya
sangat besar. Penduduk yang melarikan diri kembali pulang, dan para hulubalang
penting dari kedua sagi menggabungkan diri dengan Teuku Umar. Pada tanggal 30
Desember 1893, atas jasa-jasanya, Teuku Umar diangkat menjadi 'panglima perang
besar' oleh pemerintah Belanda yang dilaksanakan upacara militer di Kutaraja.
Sebutan geiar yang diberikan kepadanya adalah Teuku Johan Pahlawan.
Pada bulan-bulan
terakhir tahun 1893, Teuku Umar telah memiliki dua ribu pasukan lengkap dengan
senjata yang diberikan oleh Belanda untuk melakukan operasi militer terhadap
pasukan perlawanan Aceh. Pada tanggal 30 Oktober 1893, pasukan Teuku Umar menaklukkan
daerah Anenk Galong, pusat kekuatan Panglima Polim (muda).
Keberhasilan Teuku Umar
dalam menumpas pasukan perlawanan Aceh, maka pada tanggal 1 Januari 1894, ia
diberi izin untuk membentuk pasukan legiun inti sebanyak 250 orang, yang
seluruh biaya, persenjataan dan perlengkapan ditanggung oleh pemerintah
kolonial Belanda. Kolonel Deijkerhoff dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal.
Keadaan Aceh sejak tampil Teuku Umar menjadi Johan Pahlawan membantu Belanda
relatif agak aman dan serangan-serangan gerilya tidak lagi sebesar tahun-tahun
sebelumnya.
Namun demikian,
kebijaksanaan Deijkerhoff masih mendapat kecaman pedas dari seorang penasehat
Guber nur Jenderal di Batavia, yaitu C. Snouck Hurgronye. Kecaman pedas yang
dilakukan oleh C. Snouck Hurgronye, bertitik tolak dari hasil penelitiannya di
Aceh yang diselenggarakaa pada tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892.
Menurut Snouck dalam 'Laporan Politik Agama' yang disampaikannya kepada
Gubernur Jenderal di Batavia, bahwa di Aceh ada tiga kekuatan yang saling
mempengaruhi rakyat Aceh untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Dari ketiga pihak ini,
pihak sultan adalah pihak yang bisa disisihkan dan pihak adat adalah pihak yang
bisa diajak kompromi. Sedangkan pihak ulama, adalah pihak yang paling tidak
kenal damai dan paling tegar. Karenanya harus dipukul habis, agar tidak tumbuh
kembali menjadi kekuatan potensial menentang pemerintah kolonial Belanda. Sebab
menurut ajaran Islam, demikian Snouck, setiap muslim diwajibkan untuk menentang
kekuasaan kafir yang bersifat menjajah, selama kaum muslimin masih mempunyai
kekuatan dan keberanian untuk menghadapi musuh.
Pada awal tahun 1896
tampillah di Aceh seorang komandan lini baru, yaitu Letnan Kolonel F.W.
Bisschof van Heems kerck. Di markasnya yang berkedudukan di benteng Lam Baro
dengan 150 orang anggota pasukannya, dirasakannya bahwa optimisme Jenderal
Deijkerhoff tentang politik Teuku Umar sangat berlebihan.
Sebab hampir setiap hari
pos-pos pasukan Belanda, terutama yang berada di luar Lini Konsentrasi, seperti
sagi Mukim XXII, yang pernah dibersihkan oleh pasukan Teuku Umar, senantiasa
ditembaki pasukan gerilya Aceh. Bila pos yang terjauh seperti Anenk Galong
(bekas pusat pertahanan Teuku di Tiro) akan diberi perbekalan, maka untuk itu
diperlukan pengawalan dengan satu kolonne yang kuat. Sebab kaum gerilya Aceh
yang terampil menggunakan senjata-senjata modern mampu menembak jitu
pengawal-pengawal perbekalan tersebut.
Pada tanggal 7 Maret
1896 jatuhlah giliran patroli pertama kepada Kapten R.F.T. Blokland. Bolehlah
dikatakan seluruh kekuatan operasi militer Anenk Galong dikerahkannya untuk
berangkat. Baru saja patroli maju beberapa ratus meter, lalu ada tembakan dari
kampung yang pertama sekali, yaitu Klieng. Segera sesudah itu beberapa puluh
pasukan gerilya Aceh menyerang patroli Belanda dengan kelewang. Pasukan Belanda
yang telah lama tidak berperang karena hanya menjaga saja di Lini Konsentrasi,
menjadi tidak terampil dan menjadi panik, sehingga lari pontang-panting. Ketika
Kapten Blokland memeriksa anak buahnya sewaktu pertempuran berhenti sebentar,
ternyata sisa-sisa pasukannya yang masih tinggal hanya dua belas orang asal
Eropa dan sepuluh orang asal Indonesia. Beberapa puluh orang yang mati dan
luka-luka, sedangkan sebagian terbesar melarikan diri masuk ke markas mereka.
Peristiwa ini merupakan
tamparan yang hebat terhadap Jenderal Deijkerhoff, yang selama ini dianggap
telah berhasil mengamankan daerah Aceh. Namun, ia tidak segera untuk menghukum
Teuku Umar sebagai Johan Pahlawan, malah dia meminta agar Teuku Umar
mengamankan daerah-daerah yang selama ini telah dinyatakan aman itu. Permintaan
Deijkerhoff tidak mudah disanggupi oleh Teuku Umar, sebab memang sejak sebelum
peristiwa 7 Maret 1896, kegiatan para gerilya Aceh dibawah pimpinan para ulama
mulai aktif secara mencolok. Pos-pos Belanda pernah diserang dengan meriam
lapangan, empat buah granat telah dilemparkam ke dalam benteng di Lam Raya.
Dalam keadaan yang
demikian, Teuku Umar menjadi bimbang untuk melaksanakan tugas yang telah
diminta oleh Jenderal Deijkerhoff. Untuk mengelakkan tugas itu, ia meminta
diperlengkapi lagi persenjataannya, dengan alasan, bahwa senjata-senjata yang
dimilikinya tidak cukup untuk melakukan operasi militer secara tuntas. Dan
ternyata tuntutan Teuku Umar untuk memperoleh perlengkapan dan persenjataan
dipenuhi oleh sang Jenderal. Pada tanggal 26 Maret 1896, Teuku Umar telah
menerima 380 senapan kokang modern dan 500 senapan lantak kuno, 25.000 butir
peluru, 500 kilo mesiu, 120.000 sumbu mesiu dan 5.000 kilo timah, ditambah
dengan uang operasi sebanyak l8.000 ringgit Spanyol.
Setelah Teuku Umar
menerima tambahan perlengkapan dan persenjataan untuk memulai operasi militer,
sebagaimana yang dimintakan oleh Deijkerhoff, terbetik berita bahwa ia akan
melakukan pembelotan kepada pasukan perlawanan Aceh. Berita ini terbukti tidak
benar, sebab pada tanggal 28 Maret 1896 Teuku Umar hadir dalam konferensi
Gubernur yang diselenggarakan di Kutaraja.
Kehadirannya dalam
konferensi gubernur itu, membuat pemerintah kolonial Belanda menjadi lega,
tetapi besoknya tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar membuat satu kejutan yang
membelalakkan mata Jenderal Deijkerhoff, disana ia menyatakan secara resmi
menanggalkan jabatannya sebagai "Panglima Perang Besar Teuku Johan
Pahlawan", menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff, dan
wakil-wakil panglimanya pada hari itu juga memanfaatkan dengan baik
senjata-senjata barunya untuk melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda.
Pada tauggal 30 Maret
1896, dari tempat kediamannya Lampisang, Teuku Umar mengirimkan sepucuk surat
kepada Gubernur dengan pemberitahuan bahwa ia harus beristirahat sementara
waktu. Dia mengeluh tentang perlakuan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pangreh praja dan perwira-perwira Belanda terhadap dirinya dan dia menyarankan
Deijkerhoff agar menyuruh mereka saja menaklukkan mukim-mukim Lam Krak.
Di Kutaraja terjadi
panik setelah tersebar berita-berita tentang pembelotan itu. Orang khawatir
kota akan diserbu besar-besaran, dan bersiap-siap menghadapinya. Serangan itu
tidak terjadi. Tetapi memang beberapa hari kemudian hampir semua hulubalang
yang berada di luar Lini Konsentrasi membelot ke pihak Teuku Umar.
Teuku Umar dengan pasukannya
membentuk garis pertahanannya di sebelah timur Lini Konsentrasi dengan markas
besarnya bertempat di Lam Pisang, tempat kediamannya sendiri. Daerah ini sangat
strategis, karena letaknya dalam sebuah lembah yang sempit. Hanya dalam
beberapa hari saja di Aceh Besar keadaannya telah berubah menjadi daerah yang
mencekam dan menakutkan.
Gubernur Jenderd Van der
Wijck, setelah mendengar laporan tentang pembelotan Teuku Umar, secepat mungkin
memberhentikan Deijkerhoff dan menggantikannya dengan Jenderal Vetter.
Diperintahkannya secara telegrafis bala bantuan dari Padang ke Kutaraja,
diberangkatkannya satu baterai meriam lapangan dari Jawa dan dipersiapkannya
dua buah baterai meriam yang lain, dan ditempatkannya sejumlah besar perwira
sementara untuk Aceh, diantaranya Letnan Kolonel Van Heutsz. Operasi militer
besar-besaran, dengan lebih dari dua ribu anggota militer dan seratus perwira,
pada tanggal 7 April 1896 telah berada di Kutaraja.
Jenderal Vetter tidak
ingin kehilangan waktu untuk segera melakukan serangan terhadap pasukan Teuku
Umar. Komandan militernya Kolonel J.W. Stemfoord, pada tanggal 8 April 1896
telah bertolak dengan sebuah kolonne yang kuat terdiri dari seribu orang
pasukan, yang sebagian besar terdiri dari pasukan asal Eropa. Tugas utamanya adalah
untuk membebaskan pos-pos luar yang telah dikepung oleh pasukan Teuku Umar.
Semua hubungan dengan
sebagian besar pos ini telah putus, kawat-kawat telepon telah diputuskan,
jalan-jalan dirusakkan oleh pasukan Teuku Umar. Vetter dan Stemfoord sependapat
bahwa pos-pos di luar lini sebanyak enam belas buah harus dibebaskan dan
kemudian dihancurkan. Dalam waktu satu minggu usaha pembebasan pos-pos ini
berhasil. Jembatan besi indah yang menghubungkan Anenk Galong dengan Montasik
di seberang sungai Aceh, harus diledakkan sendiri oleh pasukan Belanda.
Kian lama pengosongan
berlangsung, kian besar perlawanan Aceh. Pada tanggal 17 April 1896, pos Anenk
Galong, Lam Sut, Senelop dan Lam Barik mendapat serangan pasukan Teuku Umar dan
gerilyawan Aceh lainnya; walau dipertahankan oleh empat batalyon infanteri,
delapan brigade marsose dan dua baterai meriam lapangan. Operasi pembersihan
yang dilakukan oleh pasukan Belanda pada hari itu, tidak lebih dari jarak tiga
kilometer di luar lini dengan kerugian delapan orang tewas, lima puluh orang
luka-Iuka, tiga ekor kuda mahal, sebuah meriam, sebuah mortir, sebuah mitralyur
dan berpeti-peti peluru jatuh ketangan pasukan gerilya Aceh.
Pada tahun 1896 dan awal
1897, Vetter dengan pasukannya telah melakukan penghancuran total terhadap
lembah di Aceh Besar itu, yang paling sempurna dibumi-hanguskan ialah tempat
kediaman Teuku Umar. Di pos lini Lam Jau dipasang sebuah baterai meriam khusus
dengan dua belas meriam dan delapan mortir berat, yang selama enam belas hari
enam belas malam nonstop memuntahkan pelurunya ke Lam pisang, pusat pertahanan
Teuku Umar, sehingga pada tanggal 24 Mei 1896 Lam Pisang jatuh ke tangan
pasukan Belanda dalam keadaan hancur total.
Atas perintah Jenderal
Vetter, rumah kediaman Teuku Umar diledakkan dan puing-puingnya dibakar
hangus. Di seluruh daerah Mukim VI dan daerah-daerah di luarnya dibakar menjadi
abu. Kampung Lamasan diratakan lumat. Dengan perlindungan sepuluh kompi
infanteri, dua seksi zeni, delapan ratus orang narapidana kerja-paksa dan empat
ratus orang kuli Cina, mulai tanggai 30 Mei sampai tanggal 3 Juni 1896 sibuk
untuk melakukan pekerjaan ini. Ketika itu semua rumah dan bangunan lainnya
seperti mushalla, masjid, madrasah diratakan dengan tanah, semua pohon
ditebang, kuburan-kuburan digali. Siapa yang mencari daerah Lamasan pada
tanggal 3 Juni 1896 hanya akan mendapatkan tempat hangus besar di tanah gundul.
Tidak pernah lembah di Aceh Besar ini timbul lagi.
Peristiwa pembelotan
Teuku Umar memberikan kesan yang sangat menghancurkan di negeri Belanda.
Bagaimana besarnya rasa ketakutan dan kebencian terhadap Teuku Umar, tampak
dari lagu-lagu yang diciptakan saat itu dan sempat bertahan sampai lebih dari
setengah abad lamanya. Lagu itu antara lain berbunyi: "Teuku Umar mesti
digantung. Gantung di tali, gantung di tali, Teuku Umar dan isteri."
Perang Aceh yang dimulai
sejak tahun 1873 sampai tahun 1896, bagi pemerintah kolonial Belanda telah
menderita kerugian sebanyak lima ratus juta gulden, kira-kira sepuluh ribu
pasukan militer Belanda yang tewas, lima belas ribu orang narapidana
kerja-paksa yang mati. Sedangkan di pihak pasukan perlawanan Aceh diperkirakan
tiga puluh lima ribu orang menjadi syahid, sekarang pada tahun 1896 harus
dimulai baru lagi.
Tindakan-tindakan biadab
pasukan Belanda-kafir di lembah Sungai Aceh telah mengakibatkan kehancuran yang
tidak terlukiskan. Aceh Besar begitu dihabisi penduduknya, sehingga puluhan
tahun kemudian para pengunjung dari luar masih merasa heran mendapati
kampung-kampung yang ditinggalkan dan sawahsawah yang tidak dikerjakan,
pengairan yang tidak bisa lagi diperbaiki.
Tidak kurang dari
sepuluh ribu sampai dua puluh ribu orang Aceh meninggalkan kampung halamannya
sesudah tahun 1896, dan bermukim di Pinang dan Malaka. Dan puluhan ribu yang
lain keluar dari Aceh Besar menuju daerah-daerah pantai. Daerah ketiga sagi,
yang dulu merupakan salah satu wilayah makmur di Aceh, telah menjadi salah satu
wilayah yang paling miskin. Tidak pernah daerah ini pulih dari pukulan yang
dideritanya.
Sampai kemana buasnya
pasukan kolonial Belanda dalam menghadapi pasukan perlawanan Aceh, secara tepat
dilukiskan oleh sebuah tanda kenangan yang dipajang di beranda belakang rumah
sakit tentara Belanda, di Kutaraja, pada tahun I897. Ada sebuah stoples besar
berisi alkohol, dan di dalamnya terapung kepala Teuku Nya Makam. Pemimpin
gerilya Aceh ini, pada tahun 1896 tertangkap oleh pasukan Belanda dalam keadaan
sakit parah. Dia diletakkan di atas tandu dan bersama dengan.keluarganya
dihadapkan pada komandan kolonne Letnan Kolonel Soeters.
Perwira ini menyuruh
melemparkannya dari tandu serta diperintahkannya agar dia ditembak mati di
tempat. Di hadapan isteri dan anak-anaknya, kepalanya pun dipancung. Kolonel
Stemfoort menyuruh memajang kepala Teuku Nya Makam ini sebagai tanda kenangan.
Seorang saksi mata yang tersayat hatinya menulis: "Kebiadaban ini dan
yang semacamnya tidaklah membantu menaklukkan dan mengamankan Aceh, sebaliknya
pasukan Belanda akan memperoleh ribuan dan ribuan musuh yang tidak kenal
damai."
Lembah Aceh memang bisa
saja dihancurkan dan ditaklukkan, tetapi yang jelas perang di luar Aceh besar
tidak akan berakhir. Snouck Hurgronye menganjurkan kepada Gubernur Jenderal Van
der Wijck agar melakukan penyerbuan yang besar ke pedir (Pidie), dengan
argumentasi bahwa orang
yang dapat menaklukkan negeri ini yang dapat menjajah daerah Aceh seluruhnya.
Usul Snouck Hurgronye ini disetujui oleh Van der Wijck sehingga ia
memerintahkan Van Vliet untuk menyerang Pidie dengan kekuatan batalyon lewat
laut dan dua batalyon lewat darat dari Selimun.
Di samping itu Van der
Wijck juga menginstruksikan kepada Van Heutsz untuk membantu serangan ke Pidie ini melalui pantai utara, dengan
diperlengkapi satu baterai meriam gunung dan satu skuadron kavaleri. Bukan dua
minggu waktu yang diperlukan, sebagaimana yang direncanakan oleh pasukan
Belanda, tetapi tiga bulan diperlukan untuk bertempur melawan pasukan gerilya
Aceh.
Penyerbuan ke Pidie yang
dimulai pada tanggal 1 Juni 1898, yang langsung dipimpin oleh Van Heutsz dan
didampingi Snouck Hurgronye, adalah merupakan penyerbuan terbesar yang luar
biasa dari seluruh perang Aceh. Dari Selimun dan Sigli berangkat dua kolonne
yang semuanya berjumiah 7500 orang pasukam. Dibawa 15 km rel kereta api kecil
untuk memasang lintasan (line) trem sementara dari Sigli ke pedalaman. Semua
anggota militer diberi senjata modern Mauser, dan marsose diberi karaben mauser
lima puluru, dengan diperlengkapi makanan dalam kaleng.
Tidak banyak terjadi
pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan gerilya Aceh. Tetapi
harapan dan khayalan Belanda untuk sekali pukul dapat menyingkirkan Panglima
Polim, Teuku Umar dan Sultan, lenyap sama sekali. Sebab tokoh-tokoh perlawanan
yang diduga berada di daerah Pidie, ternyata tidak dijumpai sama sekali. Berbulan-bulan
waktu yang diperlukan oleh pasukan Belanda untuk bisa menghancurkan pasukan
gerilya Aceh.
Akhirnya, pada tanggal
10 Februari 1899, Van Heutsz menyerang tempat yang dipergunakan oleh Teuku Umar
sebagai markasnya, yang berada di sekitar Meulabohe. Dalam pertempuran ini,
pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh pasukan Teuku Umar. Tetapi korban
dari pasukan Teuku Umar cukup banyak, bahkan ia sendiri tewas. Tetapi
isterinya, Cut Nya Dien, bersama-sama pasukan yang masih tinggal, melanjutkan
perjuangan suaminya, Teuku Umar, dengan cara bergerilya di daerah pedalaman
pantai barat, selama lebih dari enam tahun.
Pada tahun 1905, Cut Nya
Dien terserang penyakit rematik, matanya setengah buta dan lumpuh. Walau dalam
keadaan begitu, ia tidak pernah berniat untuk menyerah kepada Belanda. Karena
pengkhianatan seorang panglimanya, yang bernama Pang Lot, pasukan Belanda
mengetahui dan menyergap tempat persembunyian Cut Nya Dien. Dia ditangkap dan
kemudian dibuang ke Jawa sampai meninggal, tanpa sesaatpun berdamai dengan
pasukan Belanda kafir
Setelah Teuku Umar tewas
dan pasukannya mulai cerai-berai, Belanda merasa bahwa mereka telah berhasil
untuk menaklukkan seluruh Aceh, padahal masih terlalu banyak daerah-daerah yang
masih secara utuh dikuasai oleh pasukan gerilya Aceh, dan pasukan Belanda belum
mampu untuk menjejakkan kakinya di sana. Salah satu daerah itu adalah
Samalanga, di mana terdapat sebuah benteng gunung. Batu Ilieq.
Jenderal Heijden, yang
dinobatkan menjadi Jenderal Mata Sebelah oleh orang Aceh, karena matanya buta
terkena peluru pasukan santri Batu Ilieq, telah berulang-ulang tidak berhasil
menaklukkan benteng tersebut. Bahkan sesudah daerah Samalanga dapat takluk
kepada Belanda, tetapi benteng Batu Ilieq masih tetap berfungsi sebagai pusat
perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.
Batu Ilieq adalah sebuah
desa, di mana terdapat pusat pendidikan pondok pesantren yang dipimpin oleh
para ulama dengan ratusan santrinya. Di desa inilah didirikan benteng-benteng
pertahanan yang mengambil lokasi di puncak gunung yang dihubungkan oleh
terowongan-terowongan perlindungan. Benteng Batu Ilieq ini sepenuhnya
dipertahankan oleh pasukan santri.
Pada tahun 1901 pasukan
Belanda di bawah pimpinan Van Heutsz menyerbu benteng Batu Ilieq dengan
menggunakan meriam-meriam kapal jarak jauh dan howitzer berat. Peluru-peluru
meriam dan howitzer berat itu dimuntahkan ke mulut-mulut benteng Batu Ilieq ini
secara nonstop berhari-hari, tetapi tidak dapat merobohkan benteng dari
pasukan santri, tidak bergeming sedikitpun.
Oleh karena itu serangan
harus langsung dilakukan dengan cara menaiki bukit melalui lapangan depan yang
ditaburi ranjau, dan menentang arus batu dan gumpalan-gumpalan karang yang
digelindingkan oleh pasukan santri yang bertahan di benteng. Belum lagi disebut
tentang tembakan-tembakan yang terbidik baik dari senapan-senapan mauser yang
begitu tangkas digunakan para santri, selancar mereka membaca ayat-ayat
Al-Qur'an.
Penyerangan harus
dilakukan oleh Belanda, pasukan marsose yang berasal dari Ambon menerobos ke
dalam benteng yang dihadang oleh pasukan santri dengan gagah perkasa, sehingga
pertempuran sengit terjadi. Tetapi, karena kekuatan yang tak seimbang antara
pasukan Belanda dengan pasukan santri, benteng Batu Ilieq sebagian telah jatuh
ke tangan Belanda. Dalam keadaan kritis semacam itu, seorang ulama tua yang
berjanggut putih, dengan obor menyala meledakkan tempat persediaan mesiu,
sehingga benteng itu ambruk. Dalam pertempuran sengit ini, pasukan Belanda yang
mati berjumlah lima orang dan yang luka-luka berat berjumlah 27 orang,
sedangkan di pihak santri dan ulama seluruhnya berjumlah 71 orang menjadi
syuhada, tak satu pun yang masih hidup.
Jatuhnya benteng Batu
Ilieq, tidak berarti perlawanan rakyat Aceh telah berhenti, sebab hampir setiap
daerah baik di pantai maupun di pedalaman, yang belum sempat dijelajah oleh
pasukan Belanda, masih tetap mengkonsolidasikan diri dengan benteng-benteng
pertahanan, untuk setiap saat menghadapi serangan pasukan Belanda. Para
hulubalang terutama para ulama di daerah tersebut tetap tegar untuk menentang
setiap bentuk kolonial, walau harus ditempuh dengan pertumpahan darah.
Operasi militer yang
dilakukan oleh Van Heutsz senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat Aceh,
walau akhirnya kemenangan diperoleh pasukan kolonial. Dalam posisi terdesak,
maka pada tanggal 10 Pebruari 1903 Sultan menyerah. Dan pada tanggal 6 Desember
1903 Panglima Polis menyerah pula.
Van Heutsz, setelah
diangkat menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh, pada bulan Februari 1904,
telah memerintahkan Letnan Kolonel G.C.E. Van Daalen memimpin pasukan marsose
untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas, yang letaknya di tengah-tengah pegunungan
Aceh. Serangan pertama direncanakan ke Gayo Laut, kedua ke Gayo Linge, ketiga
ke Gayo Lues dan serangan keempat ke Tanah Alas.
Daerah Gayo dan Alas
dapat dianggap merupakan benteng terakhir rakyat Aceh, dan daerah terakhir
dalam perang terbuka yang dilancarkan oleh pasukan Belanda, dalam sejarah
perang kolonial dalam usahanya untuk menjajah seluruh Aceh.
Serangan pasukan Belanda
ke daerah Gayo dan Alas pada tahun 1904 ini, dilancarkan setelah perang Aceh
berlangsung selama 31 tahun, sejak meletusnya Perang Aceh pada tahun 1873. Vaan
Heutsz ingin cepat-cepat menaklukkan daerah Gayo dan Alas, daerah yang selama
ini masih utuh dikuasai oleh rakyat Aceh, agar kekuasaan Belanda benar-benar
merata di Aceh, selama ia masih menjadi gubernurnya.
Pada tanggal 8 Februari
1904, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen berangkat dari Kutaraja
menuju Gayo dan Alas, dengan kekuatan sepuluh brigade bersenjata lengkap,
dibantu oleh 450 orang narapidana kerja-paksa. Pasukan ini merupakan pasukan
'induk' karena masih ada lagi pasukan mobile yang dipimpin oleh Kapten Creutsz
Lecheitmerer dengan kekuatan 150 pasukan tentara yang bergerak dari arah timur
dari Kuala Simpang.
Dengan demikian maka
jumlah seluruh pasukan Belanda yang digunakan untuk menyerbu Gayo dan Alas
tidak kurang dari 500 orang pasukan militer bersenjata lengkap, ditambah dengan
kira-kira 1.000 orang tenaga kesehatan, narapidana kerja-paksa dan
tukang-tukang pikul perlengkapan perang dan makanan.
Pada tanggal 12 Februari
1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan, yaitu di daerah Gayo Laut,
kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda menginjakkan
kakinya di desa dekat Ketol, disambut dengan pertempuran sengit yang pertama,
di mana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.
Dalam perjalanan menuju
Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat perlawanan, Sampai
mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer ari
Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan
operasi militer di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo
cukup sengit, dan hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi
pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan
kolonial.
Setelah pasukan Belanda
berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju Gayo Lues,
dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu
daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo
Laut, di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang
dibangun dari tanah dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu
berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu
berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis.
Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau.
Di bagian dalam benteng
dibuat lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang penembak di
bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan
untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng
pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh
lebih kuat dan modern.
Benteng-benteng semacam
ini tersebar di daerah Gayo Lues dan Alas, serta tidak kurang dari sepuluh
benteng yang besar dan kokoh yang dipertahankan mati-matian oleh rakyat Gayo,
dalam pertempurannya dengan pasukan Belanda.
Salah satu bukti tentang
pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah berhari-hari
bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas : antaranya
168 orang laki-laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan yang
luka-luka sebanyak 47 orang: antaranya seorang pria, 26 orang wanita dan 20
orang anak-anak. Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, dimana 3 orang
wanita dan 9 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya
dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.
Pertempuran di benteng
Rikit Gaib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih berimbang,
sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak. Di pihak rakyat
Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41
orang wanita dan anak-anak, hanya seorang laki-laki dan dua orang wanita yang
tertangkap hidup-hidup oleh Belanda. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang
mati, diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka-luka berat, diantaranya 15
orang perwira.
Pertempuran dari benteng
ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang dari sepuluh buah
banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh. Hanya dengan
cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo, sehingga pada tanggal 2 Juni
1904, Van Daalen berhasil mengumpulkan penghulu-penghulu Gayo sebanyak dua
belas orang untuk memaksa mereka takluk kepada penguasa kolonial Belanda.
Setelah daerah Gayo
berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda
melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen
dimana tinggal seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar dengan
pondok pesantrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum
muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan
semuanya berkumpul di benteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh sebelum
pasukan musuh datang.
Pertempuran dahsyat dan
bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan musuh dengan pasukan
kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ke tangan
pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan benteng itu
tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak.
Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang
anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak.
Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.
Pada tanggal 20 Juni
1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan
penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah
berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang
bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan
88 orang anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, diantaranya
2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup
hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang
dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten
Watrin.
Daerah Alas dapat
dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24
Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654
orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130
orang. Sedangkan yang luka-luka seorang pria, 16 orang wanita dan 32 orang
anak anak. Di pihak musuh hanya 4 orang mati dan 28 orang luka-luka.
Sebagaimana telah
terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak
mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka
'perang gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan
Belanda. Di Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan
Alas adalah daerah bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang
gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan
sebaliknya pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah
yang didudukinya, karena mendapat serangan gerilya.
Walaupun perang kontra
gerilya dengan pasukan marsose yang dianggap berani dan kejam, sebagaimana
digariskan oleh Van Heutsz, dinilai berhasil dengan gemilang, tetapi tidak
berarti pasukan gerilya muslimin Aceh dianggap pengecut dan senantiasa kalah.
Bahkan terkadang pasukan gerilya muslimin Aceh jauh lebih berani dan lebih
lincah dari pasukan marsose yang paling dibanggakan. Hal ini terbukti dari
pengalaman salah seorang komandan marsose yang paling terkenal, Kapten
M.J.J.B.H. Campion, yang pada tahun 1904 di daerah Meulaboh di pantai barat,
dengan kekuatan setengah divisi melakukan penyerbuan terhadap pasukan gerilya
Teuku Keumangan dan kakaknya, Teuku Johan.
Pada bulan Maret 1904
sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160
orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan
sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar
biasa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan
rencong terhadap pasukan marsose yang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda
sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, termasuk Kapten Campion yang mati
karena luka-luka berat.
Pasukan gerilyawan
muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap pasukan
Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926
dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk
mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda
mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda.
Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak
oleh pasukan gerilyawan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total.
Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh
pasukan gerilyawan.
Idola gerilyawan
muslimin Aceh terlukiskan dalam person tokoh ulama Aceh Teungku di Tiro Syeikh
Saman. Ia mempunyai lima orang pntera, yang tertua bernama Muhammad Amin, yang
gugur pada pertempuran dengan pasukan Belanda pada tahun 1896. Empat orang
putera lainnya dan dua orang cucu semuanya gugur sebagai syuhada pada
pertempuran antara tahun 1904 dan 1911.
Pada bulan Desember
1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan gerilyawan
muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan gerilyawan
muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua brigade pasukan
marsose, Schmidt secara sistimatis menyerang dan menangkap pasukan gerilyawan
muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir
seluruhnya tertangkap.
Keberhasilan pasukan
Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena
pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi
kolaborator Belanda. Tetapi tidak seorang pun dari pimpinan gerilyawan
muslimin Tiro ini yang menyerah hidup-hidup. Akhirnya keturunan Syeikh Saman,
tokoh gerilyawan muslimin Tiro, tinggal seorang lagi, seorang pemuda remaja
yang terus bergerilya menyerang pasukan Belanda kafir.
Letnan Schmidt meminta
bantuan tokoh-tokoh Aceh untuk bisa membujuk tokoh pemuda-remaja gerilyawan
muslimin Tiro ini supaya menyerah dengan jaminan oleh Gubernur Jenderal tidak
akan dijatuhi hukuman. Hasilnya, tidak mungkin menyerah. Hidup mulia atau mati
syahid itulah semboyan gerilyawan muslimin Tiro.
Pada bulan Desember
1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat persembunyian
gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi.
Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas
menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama Cit Ma'az (Ma'at),
adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan
wafatnya Cit Ma'az, yang baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga
generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.
Perang gerilya yang
berkepanjangan tidak hanya dilakukan oleh gerilyawan muslimin Tiro, tetapi juga
dilakukan oleh pasukan gerilyawan Teuku di Mata Ie, Teungku di Barat dan Pang
Naggru di daerah-daerah sekitar Lhok Seumawe dan Lhok Sukon. Daerah medannya
yang berubah-ubah dari gunung-gunung sampai ke laut, sangat memungkinkan
pasukan gerilyawan muslimin ini dapat melakukgn gerakan yang sulit untuk
diketahui dan dikejar oleh pasukan Belanda.
Pasukan gerilyawan
dibawah pimpinan Pang Nanggru , masih aktif sampai tahun 1910, pasukan
gerilyawan Teungku di Barat aktif sampai tahun 1912. Sedangkan pasukan
gerilyawan Teungku di Mata Ie masih terus aktif sampai tahun 1913, dan wafat
pada tahun 1917 karena luka-luka kena peluru.
Perang Aceh tidaklah
berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah
sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang pada
tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka
lagi.
Dengan demikian perang
Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun
1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya, adalah perang terlama
di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia. Perang Aceh yang melanda
hampir setiap daerah Aceh, dari mulai pantai sampai ke puncak- puncak gunung,
dengan pertempuran tanpa henti dan lelah, adalah bentuk perang yang spesifik
bagi Aceh.
Keberanian, pengorbanan
dan daya tahan yang mengagumkan bagi setiap orang yang mempelajari sejarah
Perang Aceh, adalah berkat keyakinan yang kokoh terhadap ajaran Islam, yang
telah dimiliki sejak kelahiran Kesultanan Aceh pada tahun 1507.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENUTUP
Demikianlah data dan fakta sejarah tentang Perang Sabil yang
dilakukan oleh umat Islam penuh heroisme yang tak mengenal takut, bahkan ingin
mati syahid di medan pertempuran. Dengan semboyan hidup mulia atau mati syahid,
umat Islam berperang tak mengenal lelah dan menyerah. Selama 300 tahun lamanya,
dari generasike generasi, dari ujung paling timur sampai ujung paling barat,
dari Ternate sampai Aceh, darah syuhada membasahi persada Indonesia.
Sebaliknya, Perang Salib yang dilakukan oleh penjajah
Portugis dan Belanda-Kristen, licik-tengik, kejam-sadis bagaikan iblis yang
buas, menyebabkan bangsa Indonesia 350 tahun hidup melarat-sengsara, bodoh
terhina.
Apakah Perang Sabil dan Perang Salib akan berulang kembali
di Indonesia? Gejalanya telah ada! Peristiwa Ketapang-Jakarta, Banyuwangi-Jawa
Timur, Kupang, Poso-Sulawesi Tengah, Ambon-Maluku, Sambas, Aceh. Kemungkinan
sejarah berulang lagi, dan umat Islam diminta darah syahidmu demi Islam!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR KEPUSTAKAAN
AG. Pringgodigdo:
Ensiklopedi Umum; Kanisius, Jakarta, 1973.
Hamid Algadri: C. Snouck
Hugronye, Potitik Belanda Terhadap Islam dan Arab; Sinar Harapan, Jakarta,
1984.
HAMKA: Ayahku, Uminda,
Jakarta., 1982.
HAMKA: Sejarah Umat Islam
IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.
Helius Sjamsuddin:
Antasari, Balai Pustaka, Jakarta, 1982.
Mardjani Martamin:
Tuanku Imam Bonjol, P dan K, Jakarta, 1985.
Muhammad Radjab: Perang
Paderi; Badai Pustaka; Jakarta, 1964.
Mustafa Kamal, Chusnan
Yusuf, A. Rosyad Sholeh: Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam;. Persatuan Yogya,
1976.
Nugroho Notosusanto:
Sejarah Nasional Indonesia II, Baiai Pustaka, Jakarta, 1997.
Paul Van' T Veer: Perang
Aceh (terjemahan); Grafitipers, Jakarta, 1985.
Peter Carey: Changing
Javanese Perceptian of the Chinese Communities in Central Java, 1755-1825;
Cornell, 1984.
R. Soesilo: Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana; Politea, Bogor 1964.
R. Tresna: Asas-Asas
Hukum Pidana; Tiara, Jakarta, 1959.
Sagimun M.D.: Pahlawan
Diponegoro; Gunung Agung, Jakarta, 1986.
Saifuddin Zuhri: Sejarah
Kebangkitan Islam di Indonesia; Al-Ma'arif, Bandung, 1981.
Th. Lebdoto dan
Soendhoro: Sejarah, Bahagia; Jakarta, 1976.
Th. Muller Kruger:
Sejarah Gereja di Indonesia; BPK, Jakarta, 1959.
TK Ismail Yakub: Cut
Meutia; Faizan, Semarang, 1979.
Y. Wiramiharja dan
Djuhaeni: Sejarah I-B; Binacipta, Bandung, 1977.
TENTANG PENULIS
Abdul Qadir Djaelani dilahirkan di Jakarta (putera Betawi)
pada tanggal 20 Oktober 1938, dari kalangan keluarga sederhana yang taat
beragama. Pendidikan tingkat dasar diperolehnya melalui Sekolah Rakyat 6 tahun
dan Madrasah Diniyah 6 tahun (1947 - 1953). Pendidikan tingkat lanjutan pertama
ditempuh di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri 4 tahun (1953-1957), kemudian
dilanjutkan ke Pendidikan Guru Agama Atas Negeri selama dua tahun yang berhasil
diselesaikannya pada tahun 1959.
Setelah menamatkan pendidikan tingkat lanjutan ini, Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat ditekuninya sampai tingkat Doktoral II akhir,
yaitu pada tahun 1959 hingga 1963. Namun cita-citanya untuk menyelesaikan
Sarjana Hukumnya terpaksa terhenti, karena dirinya ditahan oleh Pemerintah Orde
Lama selama lebih dua setengah tahun.
Aktivitasnya dalam organisasi, selain pernah menjadi Ketua
Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta tahun 1960-1961, Sekretaris Jenderal
Pengurus Syarikat Tani Islam Indonesia (STII) pada tahun 1967-1972, Ketua I
Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (GPI) antara 1972-1975, Ketua Umum PP GPI
tahun 1976 hingga 1996, Ketua Umum Komite Kewaspadaan Nasional Muslimin
Indonesia (KOWASNAMI), Ketua Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah
Jakarta, juga Ketua Parta Bulan Bintang (PBB).
Aqbdul Qadir Djaelani beberapa kali keluar masuk penjara.
Pada tahun 1960-1961, karena menyebarkan pamflet tuntutan pembubaran PKI di
seluruh Indonesia, mengikuti jejak pembekuan PKI di selatan (Sumatera Selatan,
Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan), menyebabkan ia harus mendekam di
tahanan militer Jakarta Raya.
Pada tahun 1963-1965, karena anti komunis dan dituduh
menggagalkan pesta olehraga Ganefo di Jakarta, kembali kehidupan tahanan
dilaluinya di tahanan Badan Pusat Intelijen (BPI) selama lebih dari dua
setengah tahun.
Peranannya sebagai pemimpin demonstrasi meentang masuknya
Aliran Kepercayaan, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ke dalam GBHN pada Sidang Umum MPR
tahun 1978, menyebabkan ia kembali menghirup udara tahanan selama dua setengah
tahun, antara 1978-1981.
Terakhir, karena memelopori menentang Asas Tunggal Pancasila
dan Rancangan Undang-undang Keormasan dalam Siang MPR RI tahun 1983, ia masuk
penjara dalam waktu yang relatif lama, yaitu sembilan tahun, antara 1984-1993.
Dalam bidang profesi, dunia pendidikan rupanya menjadi
pilihannya. Terbukti sejak 1959 ia telah mengajar di SD, SLTP dan SLTA,
kemudian pada tahun 1969-1970 ia aktif mengajar di Pondok Pesantren.
Pengalaman sebagai dosen luar biasa pada bidang studi agama
Islam di Institut Pertanian Bogor (IPB), antara tahun 1970-1978 dilanjutkan
sebagai dosen pada Perguruan Tinggi Da'wah Islamiyah (PTDI) Jakarta dan
Perguruan Tinggi Islam Assalafiyah (PTIA) Jakarta pada tahun 1981-1984, Rektor
PTDII Jakarta merupakan bukti besarnya minat di dunia pendidikan, disamping aktivitasnya
sebagai mubaligh sejak tahun 1959.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar