TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG
JIL Sebuah Doktrin Yang Telah Usang
Mereka diazab oleh Allah Ta’ala dengan adzab yang paling pedih, bahkan di kerak neraka paling bawah, karena dosa mereka melebihi dosa orang-orang kafir lainnya. Mereka sama-sama kufur terhadap Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi mereka melebihi orang kafir lainnya, yaitu mereka senantiasa merencanakan berbagai tipu daya dan pengkhianatan terhadap kaum muslimin, dan memiliki berbagai kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang kafir lainnya, padahal Islam dan kaum muslimin secara lahir (dan karena tidak menyadari akan isi hati mereka) telah memperlakukan mereka layaknya kaum muslimin yang benar-benar beriman.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, oleh As Sa’dy hal. 211).
JIL Sebuah Doktrin Yang Telah Usang
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور
أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد
أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله.
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير
الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
Segala
puji hanya milik Allah, yang telah melimpahkan kepada kita umat Islam berbagai
kemurahan dan kenikmatan-Nya. Maha Suci Allah yang telah menciptakan kehidupan
dan kematian sebagai ujian bagi umat manusia, siapakah dari mereka yang baik
amalannya.
الذي خلق الموت والحياة
ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الحكيم
“Yang
menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalannya. Dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Dan Maha
Suci Allah yang telah menjadikan sebagian manusia sebagai cobaan dan ujian bagi
sebagian lainnya, guna menguji dan membuktikan kepada manusia siapakah diri
mereka sebenarnya:
وجعلنا بعضكم لبعض فتنة
أتصبرون وكان ربك بصيرا
“Dan kami
jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu
bersabar?, dan adalah Tuhan-mu Maha Melihat.” (QS. Al Furqan: 20)
Pertarungan
antara kebenaran beserta pemeluknya melawan kebatilan beserta seluruh
antek-anteknya telah dimulai semenjak manusia pertama yaitu Nabi Adam ‘alaihis
salaam dan istrinya Hawa melawan nenek moyang pemuja kebatilan, yaitu Iblis
la’natullah ‘alaihi.
يا بني آدم لا يفتننكم
الشيطان كما أخرج أبويكم من الجنة ينـزع عنهما لباسهما ليريهما
سوءاتهما إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا ترونهم إنا جعلنا الشياطين أولياء للذين لا يؤمنون
“Wahai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat tertipu oleh syaitan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-peminpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al A’araf: 27)
Pertarungan
antara kebenaran melawan kebatilan, antara orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir melawan para pengikut iblis dan antek-anteknya tidak
mengenal batas waktu dan tempat, sehingga negri kita Indonesia tidak luput darinya.
Sejarah perjalanan dan perjuangan kaum muslimin di Indonesia sejak dahulu kala hingga
saat ini senantiasa diwarnai dengan adanya pertarungan-pertarungan semacam ini.
Dahulu kaum muslimin bangsa Indonesia
berperang melalui antek-antek para penjajah yang menjajakan agama mereka, dan
setelah bangsa kita merdeka iblispun tidak putus asa untuk melancarkan
permusuhannya. Melalui berbagai perangkapnya ia memperdaya para pemujanya untuk
memusuhi kebenaran dan pengikutnya.
Diantara
makar yang sedang marak -walau sudah usang- ialah apa yang disebut dengan
ajaran JIL (Jaringan Islam Liberal), dengan koordinatornya yang bernama Ulil
Abshar Abdallah (selanjutnya disingkat: UAA). UAA mempropagandakan makar usang
ini dengan mengesankan sebagai upaya “menyegarkan kembali pemahaman Islam.”[1]
Ini adalah
salah satu upaya yang ia tempuh guna mengelabuhi sebagian kaum muslimin yang
lugu, dan kurang mengenal akan prinsip dan syariat agamanya sendiri, yaitu
agama Islam.
Dan untuk
sedikit membuktikan bahwa misi yang sedang ia pikul dengan segala
pengorbanannya adalah misi yang telah usang, akan saya sebutkan beberapa
buktinya:
Bukti
Pertama: Kufur Terhadap Janji Allah dan Rasul-Nya
Saya mengajak
para pembaca untuk membandingkan antara ucapannya berikut ini:
“Pandangan bahwa syari’at adalah
suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk
menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan
ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam
sebagai solusi atas semua masalah adalah salah satu bentuk kemalasan berpikir
atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk
eskapisme, inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.” (Islam
Liberal & Fundamental hal. 13).
Bandingkan
ucapannya ini dengan ucapan Abu Jahal dan kawan-kawannya ketika dijanjikan oleh
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam akan menjadi pemimpin bangsa
Arab dan juga selainnya (bangsa ‘ajam/non Arab) bila mereka mengikrarkan
ucapan syahadat (La ilaha illallah), ucapan mereka itu telah diabadikan
dalam ayat-ayat berikut ini,
أجعل الآلهة إلها واحدا
إن هذا لشيء عجاب وانطلق الملأ منهم أن امشوا واصبروا على
آلهتكم إن هذا لشيء يراد ما سمعنا بهذا في الملة الآخرة إن هذا إلا اختلاق
“Apakah ia
hendak menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin
mereka (seraya berkata): Pergilah kamu, dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu,
sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.[2]
Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir (yaitu agama
nasrani), ini (mengesakan Allah) tidak lain hanyalah (kedustaan) yang
diada-adakan.” (QS. Shad:
5-7)[3]
Bila Abu
Jahal menganggap seruan tauhid, beribadah hanya kepada Allah Ta’ala adalah
suatu hal yang mengherankan, maka UAA menganggapnya sebagai sikap tidak mampu
memahami sunnah Tuhan, atau bahkan sebagai sikap malas berpikir atau sebagai
pelarian dari masalah, atau sebagai wujud ketidak berdayaan umat Islam dalam
menghadapi masalah yang mengimpit mereka, dan menyelesaikannya dengan cara
rasional. (Islam Liberal & Fundamental hal. 12).
Dengan
demikian JIL benar-benar bodoh dan bahkan menentang kandungan syahadat (la
ilaha illallahu) yang merupakan inti ajaran dan misi utama dakwah setiap
nabi dan rasul, yaitu hanya beribadah kepada Allah dan berlepas diri dari
segala peribadatan kepada selain-Nya:
ولقد بعثنا في كل أمة
رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت فمنهم من هدى الله ومنهم من حقت عليه الضلالة فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان
عاقبة المكذبين
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut (setiap sesembahan selain Allah)
itu, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An
Nahel: 36)
قد كانت لكم أسوة حسنة
في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقومهم إنا براءاء منكم ومما
تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami
berlepas diri dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari
(kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian
untuk selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja.’” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kandungan
syahadat la Ilaha illallah, yang yang merupakan misi utama dakwah para
rasul sebelum Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam juga merupakan
misi dahwah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, sebagai rasul terakhir.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, diantaranya dalam
sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم
قال: (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمن قال: لا إله إلا
الله عصم منى ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ) متفق عليه
“Diriwayatkan
dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga
mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah
mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan
jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan
jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.’” (Muttafaqun ‘Alaih)
Inilah
prinsip utama agama Islam, yaitu beriman dan beribadah hanya kepada Allah dan
menentang setiap peribadatan kepada selain-Nya. Sehingga setiap muslim yang
benar-benar beriman, pasti meyakini bahwa penyembahan kepada malaikat, nabi,
binatang, benda, patung atau syetan dll adalah bentuk-bentuk kemusyrikan yang
harus diingkari dan diperangi, karena itu semua bertentangan dengan keimanan
dan merupakan kekufuran. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, diantaranya, firman Allah
Ta’ala berikut ini:
لقد كفر الذين قالوا إن
الله هو المسيح ابن مريم وقال المسيح يا بني إسرائيل اعبدوا
الله ربي وربكم إنه من يشرك بالله فقد حرم عليه الجنة ومأواه النار وما للظالمين من أنصار
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al Masih
putra Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai, Bani Israil, sembahlah
Allah Tuhanku dan Tuhanmu’, sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan atasnya surga, dan tempatnya ialah
neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolong.” (QS. Al Maidah: 72)
Dan bila
kita pikirkan lebih jauh, sebenarnya doktrin agama Abu Jahal ini, yaitu
persatuan agama dan pengakuan bahwa tuhan itu banyak dan tidak esa, adalah misi
utama bagi seluruh upaya dan daya yang ia kerahkan selama ini.
Bukti
Kedua: Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam Manusia Biasa Yang Berjalan di
Pasar
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi dan rasul-Nya semenjak Nabi Adam hingga
rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Tugas
para rasul sepanjang sejarah kenabian dan kerasulan ialah untuk menyeru umatnya
agar mereka mengesakan Allah dengan segala peribadatan dan meninggalkan segala
peribadatan kepada selain-Nya:
ولقد بعثنا في كل أمة
رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت فمنهم من هدى الله ومنهم من حقت عليه الضلالة فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان
عاقبة المكذبين
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut (setiap sesembahan selain Allah)
itu, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An
Nahel: 36)
Sebagaimana
para rasul juga diberi tugas menyampaikan dan menjelaskan syari’at Allah Ta’ala
kepada umatnya:
وما أرسلنا من رسول إلا
بلسان قومه ليبين لهم فيضل الله من يشاء ويهدي من يشاء وهو
العزيز الحكيم
“Kami
tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan
siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS.
Ibrahim: 4)
Tugas mulia
ini juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu dalam sabdanya:
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه عن رسول الله صلى
الله عليه و سلم قال: (إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير
ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم). رواه مسلم
“Diriwayatkan
dari sahabat Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash rodiallahu ‘anhu dari Rasulillah
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya tidaklah ada seorang
nabi-pun yang diutus sebelumku, melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan
kepada ummatnya seluruh kebaikan yang ia ketahui, dan memperingati mereka dari
kejelekan yang ia ketahui.’” (HSR Muslim)
Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban tugas mulia ini, telah
dibekali oleh Allah Ta’ala dengan dua macam wahyu:
1. Wahyu yang teks dan kandungannya
merupakan firman Allah Ta’ala, dan wahyu inilah yang dimaktub dalam Al Qur’anul
Al Karim.
2. Wahyu yang kandungannya dari Allah
Ta’ala, akan tetapi teks yang memuatnya diserahkan kepada Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam, dan wahyu ini disebut hadits Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam.
Hal ini telah
dijelaskan dalam banyak dalil, diantaranya firman Allah Ta’ala:
كما أرسلنا فيكم رسولا
منكم يتلو عليكم آياتنا ويزكيكم ويعلمكم الكتاب والحكمة ويعلمكم
ما لم تكونوا تعلمون
“Sebagaimana
(Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus Rasul
diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada Kamu dan mensucikan kamu
dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 151)
Imam Ibnu
Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya
akan kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepada mereka; berupa diutusnya Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Beliau membacakan
kepada mereka ayat-ayat yang jelas kandungannya, dan beliau juga mensucikan
diri mereka dari perangai yang hina, kepribadian yang kotor, dan perilaku
orang-orang jahiliyyah. Sebagaimana beliau juga telah membawa mereka keluar
dari kegelapan menuju kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al Kitab yaitu
Al Qur’an, Al Hikmah yaitu As Sunnah, dan mengajarkan kepada mereka apa-apa
yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Dahulu mereka berada dalam kegelapan
jahiliyyah, berperilaku bodoh, kemudian mereka berubah –berkat risalah dan
kenabian dan menjadi berkepribadian para wali dan bertingkah laku para ulama’.
Dengan demikian mereka telah menjadi orang yang paling dalam ilmunya, baik
hatinya, jauh dari sikap mengada-ada, dan paling jujur ucapannya.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/195-196).
عن المقدام بن معد يكرب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى
الله عليه و سلم : ألا إني أوتيت الكتاب ومثله معه، ألا إني أوتيت القرآن ومثله
معه. ألا يوشك رجل ينثني شبعانا على أريكته يقول: عليكم بالقرآن فما وجدتم فيه من
حلال فأحلوه وما وجدتم فيه من حرام فحرموه . رواه أحمد وأبو داود
“Diriwayatkan
dari sahabat Miqdan bin Ma’dikarib rodiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketahuilah bahwa aku telah diberi
(diturunkan kepadaku) Al Kitab dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah)
bersamanya, Ketahuilah bahwa aku telah diberi (diturunkan kepadaku) Al Qur’an
dan dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah) bersamanya. Ketahuilah bahwa
tak lama lagi akan ada orang yang bersila diatas balai-balai dan ia dalam
keadaan kenyang, berkata: ‘Hendaknya kamu mengikuti Al Qur’an (saja) sehingga
apa yang kamu dapatkan di dalamnya halal, maka halalkanlah, dan apa yang kamu
dapatkan diharamkan di dalamnya, maka haramkanlah.’” (HSR Ahmad
dan Abu Dawud)
Oleh
karena itu, ulama’ ahli ushul fiqih di seluruh mazhab fiqih, telah sepakat
bahwa sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu
sumber hukum.
Imam As
Syafi’i rahimahullah berkata: “Seluruh ulama’ kaum muslimin telah
sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan
sunnah itu, karena mengikuti ucapan seseorang.” (I’ilam Al Muwaqi’in,
oleh Ibnul Qayyim 1/282).
Al Imam Al
Ghazali rahimahullah berkata: “Sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam adalah hujjah (dalil), karena mukjizat beliau telah
membuktikan bahwa beliau senantiasa berkata benar, dan dikarenakan Allah Ta’ala
telah memerintahkan kita untuk meneladaninya, dan dikarenakan beliau tidaklah
mengucapkan sesuatu berdasarkan hawa-nafsunya, yang beliau ucapkan tiada lain
hanyalah wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Akan tetapi perlu diingat,
bahwa sebagian wahyu kita diperintahkan untuk beribadah dengan membacanya,
yaitu yang berupa Al Kitab (Al Qur’an) dan sebagian lain tidak, yaitu yang
berupa As sunnah.” (Al Mustashfa, oleh Imam Al Ghazali 2/120).
Sebagaimana
para ulama’ juga telah sepakat bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
senantiasa terlindung dari kesalahan dalam hal penyampaian wahyu, dan perbuatan
dosa besar. Sehingga syari’at yang beliau emban tidak ada satupun yang salah
atau kurang, atau sengaja beliau sembunyikan. (Baca keterangan ulama’ ahli
ushul tentang masalah ini dalam kitab: Nihayat As Sul 2/6, Irsyadul
Fukhul oleh Imam As Syaukani 1/159-164).
Allah
Ta’ala berfirman:
لا يأتيه الباطل من بين
يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد
“Yang
tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
Sahabat
Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam):
ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويدع غير النبي صلى الله عليه و سلم.
رواه الطبراني في الكبير وقال عنه الهيثمي رجاله موثقون
“Tidaklah
ada seorang pun melainkan sebagian ucapannya diterima dan sebagian lainnya
ditolak selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir,
dan dikomentari oleh al Haitsami bahwa para perawinya adalah tsiqah
(memiliki kredibilitas tinggi)
Dan
Mujahid rahimahullah berkata:
ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم.
رواه أبو نعيم الأصبهاني
“Tiada
seorangpun, melainkan pendapatnya/ucapannya dapat diambil dan juga
ditinggalkan, selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat Abu Nu’aim Al Ashbahani), ucapan senada juga
pernah diucapkan oleh Imam Malik rahimahullah (Sebagaimana yang disebutkan
oleh Imam Az Zahabi dalam kitabnya Siyar A’alam An Nubala’ 8/93). Ini
semua sebagai pelaksanaan atas perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
وما آتاكم الرسول فخذوه
وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب
“Dan apa
yang diperintah oleh Rasul kepadamu maka lakukanlah, dan apa yang dilarangnya
darimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al
Hasyr: 7)
Dengan
demikian ketaatan kita kepada perintah-perintah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam adalah bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena
Dia-lah yang memerintahkan kita untuk menerima setiap perintahnya dan
meninggalkan setiap larangannya.
من يطع الرسول فقد أطاع
الله
“Barang
siapa menta’ati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An Nisa’: 80)
Dan dalam
hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : (من أطاعني فقد
أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله) متفق عليه
“Dari
sahabat Abi Hurairah rodiallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada
Allah dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku berarti ia telah
bermaksiat kepada Allah.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Akan
tetapi sekali lagi, UAA menyelisihi salah satu prinsip utama agama Islam ini,
sehingga ia tak segan-segan untuk mengutarakan isi hati dan misi yang sedang ia
emban, yaitu ketika ia menganggap bahwa uswah dan sunnah Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam, dan penerapan Islam yang pernah dilakukan oleh Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam bersama sahabatnya hanya sebatas salah satu kemungkinan
saja (one among others) dari berbagai penerjemahan terhadap Islam di
muka bumi. Para pembaca -yang semoga
senantiasa dirahmati Allah- cermatilah ungkapan nista yang diucapkan oleh UAA
berikut ini:
“Islam yang diwujudkan di madinah
partikular, historis, dan kontekstual, sempurna untuk ukuran zamannya, tapi
tidak sempurna untuk ukuran saat ini. Kita tidak bisa menerapkan apa saja yang
diterapkan pada masa itu. Makanya, Islam pada masa Nabi one among others.
Artinya, satu di antara kemungkinan untuk menerjemahkan Islam di muka bumi.” (Islam
Liberal & Fundamental, hal. 246).
Kesesatan
UAA ternyata tidak hanya berhenti sampai di sini saja, akan tetapi ia lebih
nyata dan jelas menunjukkan jati dirinya, yaitu dengan berkata:
“Nabi itu manusia biasa, tetapi
diberi kelebihan oleh Allah. Dia itu aktor sosial yang menghendaki
perubahan, seperti para pemimpin revolusi di dunia. Ia membangun idealisme,
tapi tak semuanya bisa terwujud, karena struktur sosial tak bisa diubah
sepenuhnya.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).
Di lain
kesempatan UAA mensifati Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dengan
ucapannya:
“Menurut saya: Rasul Muhammad Saw
adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya
menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai
manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti
(qudwah hasanah).” (Idem hal 9-10).
Dari
ucapan UAA diatas, jelaslah bagi kita, bahwa sebenarnya agama yang dianut oleh
orang-orang JIL bukanlah agama Islam, agama yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam. Dan bila anda bertanya: “Sebenarnya agama siapakah yang
dianut oleh JIL dengan koordinatornya yang bernama UAA?
Untuk
menjawab pertanyaan ini marilah kita simak firman Allah berikut:
فقال الذين كفروا من قومه ما نراك إلا بشرا مثلنا وما نراك اتبعك
إلا الذين هم أراذلنا بادي الرأي وما نرى لكم علينا من فضل بل نظنكم كاذبين
“Maka
berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, Dan kami tidak
melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina
diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki
sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta.’” (QS.
Huud: 27)
Inilah
agama yang sedang mereka anut, yaitu agama para musuh Nabi dan rasul pada
setiap zaman.
Perbedaannya
antara ucapan UAA dengan penentang para nabi zaman dahulu hanya pada kesimpulan
terakhir, yaitu pada ucapan mereka: “Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta.” Bila penentang para nabi nyata-nyata mendustakan
kenabian dan kerasulan mereka, akan tetapi JIL melalui koordinatornya tidak
atau mungkin belum berani mengutarakannya.
Dengan
memahami kesamaan antara kedua perkataan ini, kita tahu dengan gamblang ajaran
siapakah sebenarnya yang dianut oleh JIL, yaitu ajaran para penentang nabi dan
rasul di setiap zaman, yaitu ajaran yang berlandaskan kepada “wahyu” (bisikan)
dari Iblis terlaknat. Dengan demikian ini adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya
JIL (UAA) adalah pembaharu agama Abu Jahal dan konco-konconya. Na’uzubillahi
min zalika.
Bukti Ketiga: Upaya Mengingkari Hari Qiyamat
Diantara ajaran Abu Jahel dan kawan-kawannya yang dikisahkan dalam Al
Qur’an ialah pengingkaran terhadap, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah
berikut:
زعم الذين كفروا أن لن
يبعثوا قل بلى وربي لتبعثن ثم لتنبؤن بما عملتم وذلك على الله يسير
“Orang-orang yang kafir
mengatakan, bahwa mereka sekali-keli tidak akan dibangkitkan. Katakanlah:
‘Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian
akan diberitahukan kepadamu apa yang telah kamu amalkan.’ Yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.” (QS. At Taghabun: 7)
Beriman kepada hari akhir dan
seluruh kejadian yang akan terjadi setelahnya merupakan salah satu dasar
keimanan yang memiliki peranan penting dalam agama Islam dan kehidupan setiap
muslim. Oleh karena begitu pentingnya peranan keimanan kepada hari akhir, Allah
Ta’ala dalam Al Qur’an Al Karim dan juga Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
dalam sunnahnya sering menyebutnya secara bersandingan dengan keimanan kepada
Allah, terutama ketika memerintahkan sesuatu atau melarang dari sesuatu. Misalnya firman
Allah Ta’ala:
يأيها الذين آمنوا أطيعوا
الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya,
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’:
59). (Selain ayat ini, silahkan baca surat Al
Baqarah, ayat: 228 & 232, surat
An Nur 2, Al Ahzab 21, Al Mumtahanah 6, At Thalaq 2).
Dan contoh dari sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ialah,
hadits berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه
قال قال رسول صلى الله عليه و سلم: (من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ
جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه، ومن كان يؤمن بالله واليوم
الآخر فليقل خيرا أو ليسكت) متفق عليه
“Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, ia
menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti
(mengganggu) tetangganya. Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia menghormati
tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya
ia berkata-kata yang baik atau (kalau tidak) hendaknya ia diam.’” (HRS
Muttafaqun ‘alaih)
Diantara hikmah yang dapat
kita petik dari metode ini (menyandingkan antara keimanan kepada Allah dan hari
akhir) ialah karena keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir senantiasa
menjadi motivasi kuat bagi setiap muslim dalam menjalankan perintah agama dan
meninggalkan larangannya. Yang demikian ini, acap kali seorang muslim ingat
Allah Ta’ala dan hari akhir akan dengan ringan mengamalkan syari’at Islam, dan
berkorban untuk memperjuangkannya, karena ia yakin bahwa Allah Ta’ala Maha
Mengetahui perbuatannya, dan pasti akan membalasnya. Bila amalannya baik,
niscaya balasan yang ia akan dapatkan ialah surga, dan itu merupakan cita-cita
setiap muslim. Akan tetapi bila amalannya buruk, maka balasan yang akan ia
dapatkan ialah neraka, dan itu adalah hal yang paling ditakuti oleh setiap
muslim.
Diantara hikmah metode ini,
ialah guna mengisyaratkan kepada setiap yang membaca atau mendengarnya bahwa
amal ketaatan dan meninggalkan larangan yang disebutkan sebelumnya adalah
pertanda bagi keimanan pelakunya terhadap Allah Ta’ala dan hari qiyamat.
Dan inilah yang mungkin
mendasari JIL berusaha memadamkan semangat perjuangan dan pengorbanan umat
Islam guna memuaskan hati juragan-nya, yaitu dengan cara memerangi sumber
kekuatan umat Islam, yaitu dengan mendangkalkan dan merusak keimanan mereka
kepada Allah dan hari akhir. Oleh karena itu, saya tidak heran ketika membaca
tulisan UAA yang sangat sungkan untuk menerjemahkan kata: “Akhirat”,
sebagaimana mestinya dan malah menerjemahkannya menjadi: “dunia nanti”. Berikut
cuplikan ungkapan UAA:
“man arada al dunya fa’alaihi bil al ‘ilmi wa man arada
al akhirat fa ‘alaihi bi al ‘ilmi.” (barang siapa hendak mengatasi masalah
keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan
di dunia “nanti” juga harus pakai ilmu.” (Islam Liberal & Fundamental hal. 13).
Dan diantara yang membuktikan
bahwa UAA berusaha mendangkalkan keimanan kepada hari akhir ialah, ucapannya
berikut ini:
“Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut
sebagai sebuah ‘proses’ yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga
agama” yang sudah mati, baku, jumud, dan mengukung kebebasan. Ayat: ‘inna al
dina ‘inda allah al Islam.’ (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai:
‘Sesunguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah
selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).’” (Idem, hal. 15).
Bukti Keempat: Pengakuan
Terhadap Nabi Palsu
Umat Islam dimanapun mereka
berada telah sepakat bahwa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam adalah
penutup para rasul, sehingga tidak ada lagi seorangpun yang menjadi nabi atau
rasul sepeninggal beliau. Keyakinan ini berdasarkan banyak dalil,
diantaranya:
ما كان محمد أبا أحد من
رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيين وكان الله بكل شيء عليما
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40)
Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini merupakan dalil yang nyata lagi tegas
yang menyatakan bahwa tidak ada nabi lagi setelah beliau shollallahu
‘alaihi wasallam, dan bila sudah tidak ada nabi setelah beliau,
maka sudah barang tentu tidak ada rasul, karena kerasulan lebih spesifik
dibanding kenabian, sebab setiap rasul adalah nabi, dan tidak sebaliknya. Dan
yang demikian ini juga telah ditegaskan dalam banyak hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam oleh beberapa sahabatnya,
semoga Allah senantiasa meridhai mereka.” (Tafsir Ibnu katsir, 3/493).
Beliau juga berkata: “Diantara perwujudan rahmat Allah terhadap
hamba-Nya ialah Ia mengutus kepada mereka Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam, dan diantara bentuk kemulian yang dilimpahkan
kepada mereka ialah dengan ditutupnya kenabian dan kerasulan dengan kenabian
dan kerasulannya shollallahu ‘alaihi wasallam, dan juga dengan
disempurnakannya agamanya yang lurus ini. Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam
kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam dalam
hadits-hadits yang mutawatir (banyak jumlahnya) bahwa tidak ada nabi setelah
beliau shollallahu
‘alaihi wasallam.
Ini semua agar setiap manusia mengetahui bahwa siapa saja yang mengaku
menjadi nabi setelah beliau berarti ia adalah pendusta, pengada-ada, pemalsu,
sesat lagi menyesatkan, walaupun ia menunjukkan kehebatan, keanehan, sihir dan
ajimat yang beraneka ragam. Yang demikian ini karena orang-orang yang berakal
dapat mengetahui bahwa seluruh yang ini tunjukkan adalah suatu hal yang
mustahil lagi sesat. Sebagaimana yang telah tunjukkan oleh nabi-nabi palsu: Al
Aswad Al ‘Insi di Yaman, Musailamah Al Kazzab (sang pendusta) di negri Yamamah,
berupa keanehan-keanehan, berbagai kehebatan semu, dan ucapan-ucapan yang tiada
artinya. Setiap orang yang berakal dan memiliki pemahaman jernih akan tahu
bahwa keduanya adalah pendusta lagi sesat. Semoga Allah senantiasa melaknati
keduanya dan juga melaknati setiap yang mengaku-ngaku menjadi nabi di sepanjang
masa hingga hari qiyamat, dan datangnya Dajjal. Setiap orang dari para pendusta
tersebut telah memiliki beberapa keanehan, yang setiap ulama’ dan orang yang
beriman, akan mengatakan bahwa pelakunya adalah nabi palsu, tentu ini merupakan
wujud dari rahmat Allah kepada hamba-Nya.” (Tafsir Ibnu katsir, 3/494).
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak hadits juga
menegaskan bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rasul, dan tidak ada nabi
setelah beliau, diantara hadits-hadits tersebut ialah:
وعن ثوبان قال قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم: (لا تقوم الساعة حتى تلحق قبائل من أمتي بالمشركين
وحتى يعبدوا الأوثان وإنه سيكون في أمتي ثلاثون كذابون كلهم يزعم أنه نبي وأنا
خاتم النبيين لا نبي بعدي) رواه أبو داود والترمذي
“Dan diriwayatkan dari sahabat Tsauban, ia berkata: rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Qiyamat tidaklah akan tiba, hingga
sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrikin, dan hingga
sebagian mereka beribadah kepada berhala. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
akan ada di tengah-tengah umatku tiga puluh pendusta, semuanya mengaku sebagai
nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, dan tidak ada nabi setelahku.” (HRS Abu Dawud, AT Tirmizy dll)
Orang yang mengaku sebagai nabi setelah kenabian Muhammad bin Abdillah shollallahu
‘alaihi wasallam adalah palsu dan disebut juga dengan sebutan
Dajjal (pendusta), sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عن أبي هريرة عن النبي صلى
الله عليه و سلم قال: (لا تقوم الساعة حتى يبعث دجالون كذابون قريب من
ثلاثين كلهم يزعم أنه رسول الله) متفق عليه
“Dari sahabat Abu Hurairah, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: Qiyamat tidak akan datang, hingga datang dajjal-dajjal para
pendusta (jumlahnya) hampir tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai
utusan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun JIL, maka melalui lisan koordinatornya UAA, dengan sengaja
mengakui dan mungkin akan senantiasa mengikuti setiap dajjal yang datang. Lihat
dan amatilah sikap mereka yang tertuang dalam beberapa ucapan koordinatornya
UAA, diantaranya:
“Nabi Muhammad
sebagai ‘khatiman Nabiyyin’ seperti disebut dalam Al Qur’an tak diartikan
sebagai penutup para nabi. Yang lebih tepat maknanya cincin. Ibarat jari
diantara jari-jari lainnya, maka jari yang memakai cincin begitu diistimewakan,
Karena itu sejarah kenabian akan tetap berlangsung setelah wafatnya
Rasulullah.” (Islam Liberal & Fundamental, hal.
244).
Dan dalam ungkapan lainnya ia
berkata:
“Oleh karena
itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah ‘proses’ yang tak
pernah selesai, ketimbang sebuah ‘lembaga agama’ yang sudah mati, baku, jumud,
dan mengukung kebebasan. Ayat “inna al dina ‘inda allah al Islam (QS 3:19), lebih
tepat diterjemahkan sebagai: ‘Sesunguhnya jalan religiusitas yang benar adalah
proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).’” (Idem hal. 15).
Bila menurut JIL Islam hanyalah suatu proses yang tak pernah selesai,
maka konsekwensinya JIL akan senantiasa mengakui dan mengikuti setiap yang
mereka anggap “proses”, baik itu agama selain Islam, atau proses palsu yang
dibawa oleh dajjal kecil, yaitu nabi-nabi palsu atau dajjal besar, seperti yang
disebutkan dalam hadits berikut:
أنس بن مالك قال قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم : (ما من نبي إلا وقد أنذر أمته الأعور الكذاب، ألا
إنه أعور وإن ربكم ليس بأعور ومكتوب بين عينيه ك ف ر)متفق عليه
“Dari sahabat Anas bin malik ia menuturkan: Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Tiada seorang nabi-pun melainkan telah
memperingatkan umatnya dari si buta sebelah lagi pendusta (dajjal), ketahuilah
sesungguhnya dajjal itu buta sebelah, sedangkan Tuhan-mu tidak buta sebelah,
dan tertulis diantara kedua mata dajjal (ك ف ر
).” (Muttafaqun ‘alaih)
Di kesempatan lain JIL melalui koordinatornya UAA mengatakan: “Bagi saya,
wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada
manusia.” (Idem, hal. 10).
Membaca ucapan UAA ini, saya menjadi teringat dengan dua firman Allah Ta’ala
berikut:
وكذلك جعلنا لكل نبي عدوا
شياطين الإنس والجن يوحي بعضهم إلى بعض زخرف القول غرورا ولو شاء ربك ما فعلوه
فذرهم وما يفترون
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sehingga sebahagian
mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka
ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)
Dan firman-Nya:
وإن الشياطين ليوحون إلى
أوليائهم ليجادلوكم وإن أطعتموهم إنكم لمشركون
“Sesungguhnya setan itu mewahyukan (membisikkan) kepada kawan-kawannya
agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’am: 121)
Wahyu yang diturunkan oleh Iblis inilah yang hingga saat ini bekerja
dan turun kepada manusia, dan wahyu inilah yang mungkin sedang di buru oleh JIL
bersama koordinatornya yang bernama Ulil Abshar Abdalla.
Bukti Kelima: JIL Menyerukan
Pembaharuan Ala Pendeta
Segala puji serta syukur
hanya milik Allah Ta’ala yang telah berjanji akan melindungi agama ini sehingga
akan tetap terjaga keutuhan dan kemurniannya hingga akhir masa.
إنا نحن نزلنا الذكرى وإنا
له لحافظون
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharannya.” (QS. Al Hijr: 9)
Betapa banyak campur tangan manusia dengan berbagai wujudnya, sehingga
walaupun agama Islam telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan pemeluknya
telah mencapai 1/5 dari seluruh penduduk bumi, syari’at Islam menjadi asing di
mata ummatnya sendiri, apalagi di mata selain mereka. Fenomena ini membuktikan
kebenaran sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:
عن أبي هريرة قال قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم: (بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا فطوبى
للغرباء) رواه مسلم
“Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya agama Islam datang dalam keadaan asing, dan
suatu saat akan kembali menjadi asing, maka keberuntungan (surga) akan
diperoleh oleh orang-orang yang asing.’” (HRS
Muslim)
Imam Ar Rafi’i berkata: “Agama Islam pertama kali dikatakan asing
karena agama Islam sangat menyelisihi tradisi masyarakat kala itu, berupa
kesyirikan, dan berbagai perbuatan jahiliyyah. Dan Islam akan kembali asing,
dikarenakan kerusakan yang menimpa masyarakat, dan munculnya berbagai fitnah,
dan karena mereka mencampakkan jauh-jauh segala konsekwensi keimanan yang
benar.” (At
Tadwin fi Akhbar Al Qazwin, oleh Imam Ar Rafi’i, 1/139-140).
Walau demikian, kaum muslimin tidak perlu berkecil hati, tidak perlu
ragu dan bimbang, apalagi menggadaikan prinsip dan aqidahnya, sebab Allah
Ta’ala telah berjanji akan menjaga agama ini, dan senantiasa akan membangkitkan
dari ummat Islam orang-orang yang akan berjuang menghidupkan kemurnian syari’at
Islam yang telah ditinggalkan oleh manusia dan membersihkan segala
penyelewengan yang dilengketkan kepadanya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه
عن رسول الله قال: إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها
دينها. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu dari Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah akan senantiasa mengutus
(membangkitkan) untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun,
orang-orang yang akan memperbaharui agama mereka.” (Riwayat Abu
Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Ibnul Qayyim berkata: “Seandainya bukan karena adanya jaminan dari
Allah yang akan senantiasa menjaga agama-Nya, dan janji Allah Ta’ala akan
membangkitkan orang-orang yang akan memperbaharui rambu-rambu agama-Nya dan
menghidupkan kembali syari’at-syari’at yang telah ditinggalkan oleh para
penjaja kebatilan, dan menyegarkan segala yang telah dijadikan layu oleh
orang-orang bodoh, niscaya tonggak-tonggak agama Islam akan tergoyahkan, dan
menjadi rapuh bangunannya. Akan tetapi Allah Maha
Memiliki karunia atas alam semesta.” (Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim
3/79).
Imam Ahmad bin Hambal
berkata: “Sesungguhnya Allah akan senantiasa membangkitkan untuk ummat ini pada
setiap penghujung seratus tahun (setiap abad) orang-orang yang akan mengajari
mereka as sunnah, dan menepis segala kedustaan atas Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam, kemudian kami perhatikan, ternyata pada
penghujung abad pertama ada Umar bin Abdul Aziz, dan pada penghujung abad kedua
ada Imam As Syafi’i.” (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/46).
“Dari hadits dan beberapa
penjelasan ulama’ diatas, dapat dipahami bahwa seorang mujaddid (pembaharu)
tidaklah mungkin kecuali seorang ulama’ yang menguasai ilmu agama, disamping
itu ulama’ tersebut cita-cita dan tekadnya siang dan malam ialah menghidupkan
as sunnah, mengajarkannya, dan membela orang-orang yang mengamalkannya.
Sebagaimana ia juga berjuang untuk menghapuskan praktek-praktek bid’ah, dan hal
yang diada-adakan, serta memerangi para pelakunya, baik dengan lisan, tulisan,
pendidikan atau dengan lainnya. Dan orang yang tidak memiliki kriteria demikian
ini tidak dapat dikatakan sebagai seorang mujaddid (pembaharu), walaupun ia
berilmu luas, dikenal oleh setiap orang, dan sebagai tempat mereka bertanya.” (‘Aunul Ma’bud,
oleh Syamsu Al Haq Al ‘Azhim Abadi, 11/263).
Inilah pembaharuan yang ada
dalam agama Islam, yaitu pembaharuan dalam wujud menghidupkan kembali ajaran
syari’at yang telah ditinggalkan oleh masyarakat, dan memerangi penyelewengan
yang telah merajalela. Dan sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,
bahwa mujaddid
(pembaharu) abad pertama ialah khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan pada abad
kedua adalah Imam As Syafi’i, rahimahumallah. Sejarah telah
membuktikan bahwa yang dilakukan oleh kedua orang ini adalah menghidupkan
sunnah, memerangi bid’ah, dan mengembalikan metode berfikir masyarakat dalam
beragama kepada metode yang diajarkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam
kepada sahabatnya, yaitu tidak fanatik terhadap golongan, dan hanya Al Qur’an
dan As Sunnah yang menjadi tolok ukur kebenaran.
Adapun pembaharuan atau
penyegaran yang diajarkan oleh JIL, maka sangat berbeda dengan pembaharuan yang
telah dipaparkan di atas. Penyegaran yang diajarkan oleh JIL, adalah dengan
cara mematikan syari’at, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
sebagaimana yang tertera dalam ucapan UAA berikut ini:
“Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan
Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh: soal jilbab, potong tangan,
qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi
lokal partikular Islam di Arab.” (Islam Liberal
& Fundamental, hal. 8, baca juga hal. 12, 14 & 245).
Dan dalam ucapannya berikut:
“Setiap doktrin yang hendak membentuk tembok antara
‘kami’ dan ‘mereka’ antara hizb Allah (golongan Allah) dan hizb syaithan
(golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara
‘Barat’ dan ‘Islam’; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan
menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat
manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.” (Idem, hal. 14).
Dengan jelas UAA mengajak
umat Islam untuk mematikan syari’at dan mencampakkannya jauh-jauh dari
kehidupan masyarakat.
Bukan hanya sekedar mematikan
ajaran syari’at, bahkan sebaliknya, yaitu menghidupkan bid’ah dan kekufuran,
sebagaimana yang tertera dalam ucapan UAA berikut:
“Dengan tanpa rasa sungkan
dan kikuk, saya mengatakan: semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti
ini, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah
benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam
menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam keluarga besar yang
sama, yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada
ujungnya.” (Idem, hal. 15).
Penyegaran yang diajarkan
oleh JIL, ternyata tidak hanya berhenti pada menghidupkan kekufuran, akan
tetapi bahkan ingin menggantikan agama Islam dengan agama lainnya, sebagaimana
yang tertera dalam ucapan UAA berikut:
“Umat Islam harus berijtihad
mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks
kehidupan mereka sendiri. “Islam”nya Rasul di Madinah adalah salah satu
kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan
lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah
adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.” (Idem, hal.
10).
Agar kita semua tahu, sebenarnya penyegaran (pembaharuan) model
siapakah yang sedang dipropagandakan oleh JIL -yaitu dengan cara menghalalkan
yang haram, dan menghalalkan yang haram, dan merekayasa agama seenaknya
sendiri- saya ajak para pembaca untuk mencermati hadits berikut:
عن عدي بن حاتم رضي الله
عنه قال: أتيت النبي صلى الله عليه و سلم وفي عنقي صليب من ذهب، فقال: يا عدي اطرح
هذا الوثن من عنقك. فطرحته، فانتهيت إليه وهو يقرأ سورة براءة، فقرأ هذه الآية:
اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله. حتى فرغ منها، فقلت: إنا لسنا نعبدهم.
فقال: أليس يحرمون ما أحل الله فتحرمونه، ويحلون ما حرم الله فتستحلونه؟ قلت: بلى.
قال: فتلك عبادتهم. رواه الترمذي والطبراني والبيهقي وحسنه الألباني.
“Diriwayatkan dari sahabat ‘Adi bin Haatim rodiallahu ‘anhu, ie
mengisahkan: (Pada suatu saat) aku datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam, sedangkan di leherku tergantung sebuah salib yang terbuat dari emas,
maka beliau berkata: ‘Wahai ‘Adi,campakkanlah berhala ini dari lehermu!’ Maka
aku pun mencampakkannya. Dan Ketika (tadi) aku sampai kepadanya, beliau sedang
membaca surat
Al Bara’ah (At Taubah), dan beliau membaca ayat: ‘Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib (pendeta-pendeta) mereka sebagai tuhan selain Allah.’
beliau membaca ayat tersebut hingga selesai. Kemudian aku pun berkata:
‘Sesungguhnya kami dahulu tidak pernah beribadah kepada mereka (para pendeta
dan orang-orang alim).’ Maka Rasulullah-pun bersabda: ‘Bukankah mereka (para
pendeta) mengharamkan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah, kemudian kalian juga
ikut-ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh
Allah, dan kalianpun ikut menghalalkannya?’ Aku-pun menjawab: ‘Betul.’ Beliau
kembali bersabda: ‘Itulah wujud peribadatan kepada mereka.’” (Riwayat At
Tirmizy, At Thabrani, dan Al baihaqi, dan hadits ini dihasankan oleh Al Albani)
Inilah penyegaran agama yang sedang dianut dan dipropagandakan oleh JIL
melalui koordinatornya UAA. Sehingga pembaharuan yang berhasil ia capai
bukanlah: “agama Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia.”[4]
akan tetapi yang berhasil ia capai ialah “agama Abu Jahal, dajjal, dan para
pendetadan kaum salibis yang telah mendanai JIL yang sudah barang tentu lebih
sesat, lebih suram dan menghancurkan maslahat manusia.”
Bukti Keenam:
Antara JIL dan Orang-orang Munafik
Kemunafikan
ialah perbuatan menampakkan kepada masyarakat kebaikan, akan tetapi pada waktu
yang bersamaan ia menyembunyikan kejahatan. Kemunafikan dengan definisi seperti ini terbagi menjadi dua macam:
- Kemunafikan dalam hal amalan, (nifaq ‘amaly)
yaitu menyembunyikan kejahatan selain kekufuran dan menampakkan kebaikan,
misalnya membaguskan suatu amalan di hadapan manusia, berbohong dalam
pembicaraan dll.
- Kemunafikan dalam hal aqidah (ideologi), yaitu
menampakkan ke-Islaman dan menyembunyikan kekufuran. Kemunafikan macam
inilah yang pelakunya akan kekal di neraka, sebagaimana yang disebutkan
dalam firman Allah Ta’ala berikut:
إن المنافقين في الدرك الأسفل من النار ولن تجد لهم نصيرا
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah (kerak)
neraka. Dan kamu
tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka.” (QS. An Nisa’: 145)
Mereka diazab oleh Allah Ta’ala dengan adzab yang paling pedih, bahkan di kerak neraka paling bawah, karena dosa mereka melebihi dosa orang-orang kafir lainnya. Mereka sama-sama kufur terhadap Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi mereka melebihi orang kafir lainnya, yaitu mereka senantiasa merencanakan berbagai tipu daya dan pengkhianatan terhadap kaum muslimin, dan memiliki berbagai kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang kafir lainnya, padahal Islam dan kaum muslimin secara lahir (dan karena tidak menyadari akan isi hati mereka) telah memperlakukan mereka layaknya kaum muslimin yang benar-benar beriman.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, oleh As Sa’dy hal. 211).
Selama
perjalanan sejarah agama Islam di kota Makkah, manusia hanya ada dua golongan:
Kafir dan Muslim, hal ini karena kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang
layak untuk ditakuti, sehingga setiap orang yang tidak mau masuk Islam, ia dengan
leluasa menunjukkan kekufurannya. Yang terjadi justru kebalikan dari
kemunafikan, yaitu sebagian kaum muslimin yang lemah kedudukan sosialnya
menyembunyikan keIslamannya, agar tidak di tindas oleh orang-orang musyrikin.
Akan tetapi
sejarah berubah dan peta kekuatan menjadi berbalik ketika Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam dan kaum muslimin telah berhijrah ke kota Madinah, dan
kebanyakan penduduk Madinah dari kabilah Aus dan Khajraj telah memeluk Islam,
dan mereka berhasil mengalahkan kafir Quraisy dan membunuh para pemimpin mereka
di perang Badar, yaitu pada tahun ke-2 Hijriyyah. Sebagian orang yang enggan
untuk masuk Islam mulai merasa takut dan khawatir akan kedudukannya, sehingga
mereka lebih memilih jalan lain, yaitu menyembunyikan kekufuran dan
kebenciannya terhadap Islam, dan berpura-pura masuk agama Islam, sehingga
gembong mereka yang bernama : Abdullah bin Ubai bin Salul berkata kepada para
pengikutnya:
هذا أمر قد توجه فبايعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم على
الإسلام، فأسلموا. رواه البخاري
“Sekarang
urusan ini (agama Islam) telah jelas arahnya (yaitu semakin kuat dan berjaya),
kemudian mereka pun (berpura-pura) membaiat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
atas agama Islam, dan merekapun akhirnya masuk Islam.” (Riwayat Bukhary)
Semenjak
saat itulah kemunafikan muncul di tubuh umat Islam, dan mulai dirasakan ulah
dan kejahatannya. (Tafsir Ibnu Katsir 1/47).
Karena
hakekat orang-oang munafik seperti demikian ini, maka tidak heran bila dalam Al
Qur’an Allah Ta’ala banyak menyibak kedok mereka dan memperingatkan kaum
muslimin dari kejahatan mereka.
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata: “Oleh karena itu Allah Yang Maha Suci
menyebutkan beberapa kriteria orang-orang munafik, agar kaum mukminun tidak
terpedaya oleh penampilan lahir mereka, sehingga bila sampai terpedaya akan
terjadi petaka besar, yaitu mereka tidak waspada dari setiap perilaku mereka
dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang beriman, padahal pada hakekatnya
mereka adalah orang-orang kafir. Dan anggapan semacam ini merupakan dosa besar,
yaitu menganggap baik orang-orang jahat.” (Idem).
Diantara
kriteria orang-orang munafiq yang dijelaskan dalam Al Qur’an ialah senantiasa
mengatakan bahwa mereka sedang berbuat kebaikan dari setiap ulah dan
kejahatannya, sebagai contoh:
Ketika
dikatakan kepada mereka agar mereka meninggalkan perbuatan kemaksiatan yang
sering mereka kerjakan, mereka berdalih bahwa mereka sedang berbuat kebaikan:
وإذا قيل لهم لا تفسدوا
في الأرض قالوا إنما نحن مصلحون ألا إنهم هم المفسدون ولكن
لا يشعرون
“Dan bila
dikatakan kepada mereka: ‘Jangalnlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’
mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi
mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al
Baqarah: 11-12)
Ulama’
Ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud dari “kerusakan” di ayat ini ialah:
perbuatan maksiat, inilah kerusakan yang mereka perbuat, yaitu melanggar
syari’at Allah Azza Wa Jalla, sebab setiap orang yang berbuat kemaksiatan
kepada Allah Ta’ala atau menyeru kepada kemaksiatan, ia dikatakan telah berbuat
kerusakan di muka bumi, sebab bumi dan langit hanya dapat menjadi makmur dengan
amal shaleh. (Tafsir At Thabari, 1/125, dan Tafsir Ibnu Katsir,
49)
Sebagai
salah satu bukti bagi keterangan ulama’ ahli tafsir di atas ialah sabda
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن ابن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
: (لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع
التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مضوا، ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أخذوا
بالسنين وشدة المئونة وجور السلطان عليهم، ولم يمنعوا زكاة أموالهم إلا منعوا
القطر من السماء، ولولا البهائم لم يمطروا) رواه ابن ماجة والبيهقي والحاكم وحسنه
الألباني
“Tidaklah
perbuatan fahisyah (perzinaan) merajalela di suatu masyarakat, hingga mereka
berani melakukannya dengan terang-terangan, melainkan akan merajalela pula di
tengah-tengah mereka berbagai wabah dan penyakit yang belum pernah menimpa umat
sebelum mereka, dan tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan (berbuat
curang ketika menakar dan menimbang) melainkan mereka akan ditimpa kelaparan,
kesusahan dalam hidup, dan kezaliman para penguasa, dan tidaklah mereka enggan
menunaikan zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi untuk
mendapatkan hujan dari langit, dan kalau bukan karena binatang ternak, niscaya
mereka tidak akan pernah diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, serta dihasankan oleh Al Albani)
Ini adalah
sebagian dampak buruk dari perbuatan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Orang-orang
munafikin dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, setiap kali dikatakan kepada
mereka: janganlah kamu berbuat maksiat! Mereka senantiasa berdalih:
sesungguhnya kami sedang berbuat kebaikan dan mengadakan perbaikan. Sebagai
salah satu contoh nyata ialah apa yang tersurat dalam ucapan UAA berikut: “Saya
mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana
menyegarkan kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi ‘paket’
yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita
dengan cara sederhana: take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara
demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam
adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.” (Islam Liberal & Fundamental,
hal. 7).
UAA berusaha
mengemas kekufuran dan kemunafikan yang sedang ia dakwahkan dalam bahasa
“menyegarkan” dan “menuju kemajuan”. Maha Suci dan Maha Benar Allah Ta’ala atas segala firman-Nya, benar-benar
tepat sepeti yang digambarkan dalam kedua ayat di atas.
Pada ayat
selanjutnya Allah Ta’ala menyebutkan kriteria kedua yang ada pada diri
orang-orang munafik:
وإذا قيل لهم آمنوا كما آمن الناس قالوا أنؤمن كما آمن السفهاء
آلا إنهم هم السفهاء ولكن لا يعلمون
“Dan bila
dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah
beriman’, mereka menjawab: ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang
bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang
bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. Al
Baqarah: 13)
Mereka
senantiasa merasa bahwa mereka adalah para intelektual, ahli dalam berbagai
ilmu, dan memiliki metode berfikir dan sikap yang lebih maju dan lebih rasional
dibanding orang-orang yang benar-benar beriman. Watak dan kriteria ini ternyata
juga dengan mudah kita baca dan lihat pada orang-orang munafik di zaman kita,
sebagai salah satu buktinya, silahkan baca ucapan UAA berikut ini:
“Pandangan bahwa syari’at adalah suatu
‘paket lengkap’ yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan
masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami
sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua
masalah adalah salah satu bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi,
merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme, inilah yang menjadi
sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima ‘kemalasan’
semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi
menegakkan hukum Tuhan.” (Idem, hal. 13).
Di lain
kesempatan ia berkata:
“Upaya penegakan syari’at Islam adalah
wujud dari ketidak berdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang
menghimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara yang rasional.” (Idem hal.
12).
Tuduhan
sekaligus penghinaan UAA terhadap kaum mukminin yang mengikuti syari’at agama
Allah, serupa dengan tuduhan orang-orang kafir, penentang para rasul zaman dahulu,
sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an:
قالوا أنؤمن لك واتبعك
الأرذلون
“Mereka
berkata: Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu adalah
orang-orang yang hina?” (QS. As
Syu’ara’: 111)
Di banyak
kesempatan UAA juga menganggap bahwa keimanan, keIslaman, dan segala yang
diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh
ulama’ salaf (terdahulu) adalah Islam historis, partikular, atau klasik, beku,
menindas maslahat manusia. (Idem hal. 9, 10, & 10). Dan tidak segan-segannya
ia menganggap bahwa Islam yang ia ajarkan adalah Islam yang lebih segar, lebih
cerah dan lebih memenuhi maslahat manusia. (Idem hal. 16). Berbagai kata-kata
indah ia gunakan untuk mengemas kebencian dan permusuhan terhadap agama dan
umat Islam yang sedang membara dalam jiwanya.
Pada
kesempatan ini saya mengingatkan kaum muslimin dimanapun mereka berada agar
senantiasa mensyukuri berbagai kenikmatan Allah Ta’ala yang senantiasa
menyertai setiap denyut kehidupan mereka. Betapa tidak, Allah Ta’ala dalam banyak
dalil telah menjanjikan akan senantiasa membongkar kedok orang-orang munafikin,
sehingga tipu muslihat dan jati diri mereka senantiasa diketahui oleh
hamba-hamba-Nya yang beriman,
ولو نشاء لأريناكهم
فلعرفتهم بسيماهم ولتعرفنهم في لحن القول والله يعلم أعمالكم
“Dan kalau
Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu, sehingga kamu
benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka
dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan
kamu.” (QS. Muhammad: 30)
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه يقول: من عمل عملا كساه الله
رداءه، إن خيرا فخير وإن شرا فشر. رواه البيهقي
“Diriwayatkan
dari sahabat Utsman bin Affan rodiallahu ‘anhu ia berkata: Barang siapa yang
mengamalkan suatu amalan, niscaya Allah akan menampakkan tanda-tanda amalan itu
pada dirinya, bila amalannya baik, niscaya akan kelihatan baik, dan bila
amalannya buruk, niscaya akan kelihatan buruk.” (Riwayat Al Baihaqi)
Tiga Alasan
di Balik Gerakan JIL
Mungkin
ada yang bertanya-tanya, mengapa UAA melakukan semua ini? Atau mengapa ia
dengan sengaja menutup mata kepala dan juga mati hatinya dari kenyataan yang
sangat terang bahkan lebih terang dibanding sinar matahari di siang bolong
seperti ini? Dan apa yang hendak ia dan kelompoknya capai?
Untuk
mengetahui jawabannya, saya akan mengajak saudara-saudaraku kaum muslimin untuk
sedikit menghayati beberapa firman Allah berikut ini:
وعد الله الذين آمنوا
وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكننهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم
أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم الفاسقون
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menggantikan (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam keadaan ketakutan menjadi aman sentausa.
Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barang
siapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. An
Nur: 55)
Dan juga
firman-Nya:
يأيها الذين آمنوا إن
تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم
“Hai,
orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Inilah
yang hendak mereka kikis dari kaum muslimin, yaitu iman dan amal shaleh.
Musuh-musuh kaum muslimin sadar benar, dan telah membuktikan, bahwa sepanjang
sejarah kekuatan kaum muslimin terletak pada keimanan dan tawakkal mereka
kepada Allah Ta’ala, yang didukung oleh amal shaleh yang senantiasa mereka
jalankan. Dan mereka (musuh-musuh Islam) sadar bahwa selama kaum muslimin
berpegang teguh dengan keimanan yang benar dan mengamalkan syari’at yang telah
diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak
akan mampu menaklukkan kaum muslimin.
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, berkata: “Tatkala kemunafikan, amaliah bid’ah,
kemaksiatan -yang semua itu bertentangan dengan ajaran Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam- telah merajalela di masyarakat mereka (dinasti Umawiyyah
dan Abbasiyah), maka musuh dapat menguasai mereka, sehingga orang-orang Romawi
yang beragamakan Nasrani berani berkali-kali menyerang daerah Syam, dan Al
Jazirah, dan akhirnya mereka berhasil menguasai benteng-bentang pertahanan Syam
satu demi satu, hingga pada akhir abad keempat mereka berhasil menguasai Baitul
Maqdis. Kemudian selang tak berapa lama setelah itu, mereka mengepung kota Damasqus. Dan
penduduk Syam kala itu dalam situasi yang sangat buruk, kebanyakan mereka satu
dari dua alternatif berikut: orang kafir Nasrani atau orang munafik lagi
musyrik. Hingga akhirnya tampillah Nuruddin As Syahid sebagai pemimpin,
kemudian ia mengajarkan dan menegakkan ajaran Islam, dan memerangi
musuh-musuhnya…..Dan demikian juga halnya kaum muslimin di belahan bumi bagian
timur, tatkala mereka menegakkan syari’at Islam, mereka mendapatkan pertolongan
dari Allah dalam melawan musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang Turki,
India, Cina dan lainnya. Dan tatkala mereka telah melakukan berbagai
perlakuannya, berupa amaliah bid’ah, kesyirikan, dan berbagai kemaksiatan, maka
orang-orang kafir berhasil menguasai mereka. ….Dan diantara penyebab
keberhasilan pasukan Tar-tar masuk ke negri kaum muslimin ialah merajalelanya
berbagai amaliah kesyirikan, kemunafikan, dan bid’ah, sampai-sampai Fakhrurrazi
menulis bukunya yang mengajarkan peribadatan kepada bintang, berhala, dan
metode-metode ilmu sihir, buku itu ia beri nama: “Al Sirr Al Maktum Fi Al
Sihr wa Mukhothabah Al Nujum.” (Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah
13/178-182).
Ahlul
bid’ah dan orang-orang munafiqin sepanjang sejarah telah menjadi salah satu
faktor utama bagi kemunduran dan kekalahan kaum muslimin. Sebagai salah satu
contoh pengkhianatan ahlul bid’ah dan kaum munafiqin terhadap kaum muslimin
ialah apa yang terjadi pada saat Kaum Tar-tar pada tahun 656 H, menyerang kota Baghdad ibu kota Khilafah Abbasiyah.
Pada awalnya mereka merasa gentar dan takut untuk menyerbu kota baghdad, akan
tetapi setelah terjadi surat menyurat antara mereka dengan salah seorang
pejabat tinggi di khilafah Abbasiyyah yang ia menganut paham syi’ah, yaitu
Wazir Muayyiduddin Muhammad bin Ahmad Al Qummy, maka merekapun memberanikan
diri untuk menyerbu kota Baghdad, dan akhirnya terjadilah sejarah pilu yang
telah panjang lebar di tuturkan oleh para ahli sejarah. (Bagi yang ingin
membaca bagaimana kronologi pengkhianatan orang ini kepada kaum muslimin,
silahkan baca kitab Al Bidayah wa An Nihayah, karya Imam Ibnu
Katsir13/213).
Bahkan
sejarah kaum muslimin juga telah membuktikan bahwa orang-orang munafiqun dan
ahlul bid’ah telah berhasil melakukan banyak hal yang tidak mungkin dilakukan
oleh orang-orang Nashrani atau Yahudi. Sebagai contohnya, ialah apa yang
dilakukan oleh orang-orang Qaramithah (salah satu sekte kebatinan)[5]
mereka dibawah pimpinan Abu Thahir Al Qirmith membantai kafilah-kafilah jama’ah
haji, merampas seluruh harta perbekalan mereka. Dan yang lebih mengenaskan lagi
adalah mereka pada musim haji tahun 317 H menyerang kota Makkah, dan membantai jamaah haji,
kemudian membuang mayat-mayat mereka ke sumur Zam-zam, dan ditambah lagi salah
seorang dari mereka mencongkel hajar aswad, sambil berkata: “Dimanakah
burung Ababil?! Dimanakah bebatuan dari Sijjil?! [6]
Lalu mereka membawa pergi Hajar Aswad ke tempat mereka di daerah Bahrain, dan
selama 22 tahun Hajar Aswad mereka simpan di negri mereka, sehingga selama itu
pula kaum muslimin tidak dapat mencium Hajar Aswad ketika berthawaf
mengelilingi Ka’bah, semoga Allah membalas mereka dengan azab yang setimpal,
dan menumpas pengikut mereka dimanapun berada. (Al Bidayah wa An Nihayah,
oleh Imam Ibnu Katsir 11/172).
Ini adalah
tujuan pertama, yaitu JIL mengemban tugas melemahkan kekuatan kaum muslimin,
serta menimbulkan perpecahan ditengah-tengah mereka.
Dan Tujuan
mereka kedua ialah untuk mengabdi kepada tuan-tuan mereka yang telah mendanai
mereka, yaitu kaum salibis, kaum nashara’ guna melicinkan program kristenisasi
di bumi Nusantara. Sebab bila setiap orang Islam sudah beranggapan bahwa semua
agama adalah sama, maka jalan akan menjadi mulus nan licin dihadapan para
misionaris, toh tidak ada bedanya (menurut anggapan JIL) antara Islam dan
Nasrani, apalagi ditambah dengan iming-iming materi, sembako, pengobatan,
beasiswa dll. Apalagi bagi orang-orang yang silau mata melihat kemajuan IPTEK
yang ada pada orang-orang Nasrani, sehingga ia beranggapan bahwa faktor utama
yang menjadikan mereka mencapai kemajuan ini adalah karena mereka memiliki
kebebasan berfikir, berpendapat, bersikap, dst, tanpa ada campur tangan dari
agama mereka.
Dan untuk
semakin membuka lebar-lebar jalan pemurtadan bagi kaum misionaris, mereka (JIL)
dan dengan mati-matian memperjuangkan bolehnya pernikahan antar agama, wanita
muslimah dinikahi oleh lelaki Yahudi atau Nasrani. Hal inilah diantara yang
melatar belakangi UAA berkata:
“Larangan kawin beda agama, dalam
hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam sudah tidak relevan
lagi.” (Islam Liberal & Fundamental hal. 8 & 248).
Yang
semakin menguatkan dugaan saya adalah ucapan UAA yang mengatakan bahwa agama
Kristen lebih dewasa bila dibanding agama Islam. Berikut cuplikan dari ucapan
UAA:
“Jadi, Islam bukan yang paling
benar. Pemahaman serupa, terjadi di Kristen selama berabad-abad.
Tidak ada jalan keselamatan di luar gereja. Baru pada 1965
masehi, Gereja katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam yang
berusia 1,423 tahun dari hijrah nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama
seperti Katolik.” (Idem, hal. 247).
Kita semua
dapat membayangkan, bila orang awam diajari bahwa semua agama adalah sama, akan
tetapi ada yang lebih dewasa, yaitu agama Kristen atau Katolik, tentu proses
kritenisasi akan mudah, semudah keluarnya air dari mulut guci.
Tujuan kedua
ini, jauh-jauh hari telah dibongkar oleh Al Qur’an:
ولن ترضى عنك اليهود ولا
النصارى حتى تتبع ملتهم
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu, hingga kamu mengikuti agama
mereka.” (QS. Al Baqarah: 120)
Dan tujuan
ketiga yang mungkin melatar belakangi UAA dan JIL-nya melakukan ini semua ialah
rasa tamak terhadap kekayaan dan sensasi semu, sehingga menjadikannya siap
untuk menggadaikan apa saja demi mencapai kepentingan dunia ini:
(قال معاذ بن جبل: إن من ورائكم فتنا يكثر فيها المال ويفتح فيها
القرآن حتى يأخذه المؤمن والمنافق والرجل والمرأة والصغير والكبير والعبد
والحر، فيوشك قائل أن يقول: ما للناس لا يتبعوني وقد قرأت القرآن، ما هم بمتبعي حتى
أبتدع لهم غيره، فإياكم وما ابتدع فإن ما ابتدع ضلالة). رواه أبو داود والبيهقي
وصححه الحاكم على شرط الشيخين.
“Sahabat
Mua’az bin Jabal berkata: Sesungguhnya di masa yang akan datang akan banyak
terjadi fitnah dan harta akan melimpah ruah, dan Al Qur’an akan banyak
dipelajari orang, sehingga Al Qur’an akan dibaca oleh setiap orang; oleh orang
yang beriman dan juga oleh orang munafiq, oleh laki-laki dan juga oleh
perempuan, oleh anak kecil dan juga oleh orang dewasa, oleh budak dan juga oleh
orang yang merdeka. Dan sebentar lagi akan ada orang yang berkata, ‘Mengapa
orang-orang enggan mengikutiku, padahal aku telah mempelajari Al Qur’an.
(Sungguh) mereka tidak akan mengikutiku, hingga aku mengadakan untuk mereka hal
baru selain (ajaran Al Qur’an).’ (Kemudian Mu’az bin Jabal berwasiat):
‘Berhati-hatilah kamu dari apa yang ia ada-adakan, karena sesungguhnya hal yang
ia ada-adakan adalah kesesatan.’” (Riwayat
Abu Dawud, Al Baihaqi dan dinyatakan shahih dan selaras dengan persyaratan
Bukhari dan Muslim oleh Al Hakim)
Semoga
tulisan singkat ini sedikit membantu saudara-saudaraku umat islam dalam
mengenali siapa jati diri Ulil Abshar Abdallah dengan JIL-nya. Wallahu a’alam
bis shawab.
اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ
وإسرافيلَ فاطَر السَّماواتِ والأرضِ، عالمَ الغيبِ
والشَّهادة، أنتَ تحْكُمُ بين عِبَادِك فيما كانوا فيه يَخْتَلِفُون، اهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فيه من الحق بإِذْنِكَ؛ إنَّك تَهْدِي
من تَشَاء إلى صراط مستقيم. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعينز
والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
“Ya Allah,
Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan
bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara
hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas
izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan padanya,
sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju
kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan
Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami
adalah: “segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.”
Disebarkan di Maktabah
Abu Salma al-Atsari atas izin muslim.or.id
Hak cipta berada di
tangan penulis dan webmaster muslim.or.id
Risalah ini dapat
disebarluaskan dan diprint/dicetak selama tidak untuk komersial dan hanya
dibagikan gratis
[1] Silahkan baca artikel yang ia tulis
dengan judul ini, yang di muat di harian Kompas tgl 18 Novemper 2002, dan
kemudian ia bukukan dalam buku yang diberi judul: Islam Liberal &
Fundamental, sebuah pertarungan wacana, diterbitkan oleh Penerbit eLSAQ PRESS,
Sleman Jogjakarta, dan yang menjadi sumber tanggapan ini adalah cetakan ke-V,
April 2005 M
[2] Maksud
mereka dari perkataan: “hal yang dikehendaki”, ialah mereka menuduh Nabi
Muhammad bahwa ia menyeru kepada ajaran tauhid, yaitu beribadah hanya kepada
Allah, dan meninggalkan segala peribadatan kepada selain-Nya guna mencari
kedudukan sosial, dan hanya sekedar mencari pengikut. Demikian dijelaskan oleh
Ibnu Jarir At Thabari dalam kitab Tafsirnya 10/551, dan dikuatkan oleh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya 4/27.
[3] Diriwayatkan bahwa sebab turunnya
ayat-ayat ini adalah ketika Abu Thalib paman Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam sedang sakit, maka datanglah Abu Jahal dengan beberapa pemuka Quraisy
lainnya menemui Abu Thalib, guna memohon darinya agar ia sudi membujuk
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam agar tidak lagi mencela dan
menjelek-jelekkan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Akan tetapi usaha mereka ini
tidak membuahkan hasil apapun, karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
tetap bersikukuh dengan risalahnya yaitu ajaran tauhid, beribadah hanya kepada
Allah dan memerangi segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Melihat sikap
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang demikian ini, Abu Jahal
menyelonong pergi sambil mengucapkan seperti yang dikisahkan oleh Al Qur’an di
atas. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, At Tirmizy, An
Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, Al Baihaqi, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
[4] Ini adalah cuplikan dari penutup tulisan UAA yang dimuat di
harian KOMPAS edisi 18 Nopember 2002 M, dan kemudian dibukukan dan di beri
judul: Islam Liberal & Fundamental, hal. 16.
[5] Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan
lebih jauh tentang mereka, silahkan baca kitab Al ‘Aqa’id Al bathiniyyah wa
Hukmul Islam Fiha oleh Dr. Shabir Thu’aimah.
[6] Bila ada yang bertanya: Mengapa Allah tidak menurunkan azab kepada mereka
sebagaimana Allah Ta’ala turunkan kepada pasukan gajah yang dipimpin oleh
Abrahah, padahal keduanya sama-sama menghina Ka’bah? Ibnu Katsir rahimahullah,
menjawab pertanyaan ini dengan menukilkan firman Allah:
ولا
تحسبن الله غافلا عما يعمل الظالمون إنما يؤخرهم ليوم تشخر فيه الأبصار
“Dan janganlah
sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai
hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (yaitu hari qiyamat).” (QS Ibrahim: 42)
Ditambah lagi bila pada zaman
Abrahah ia ingin menghinakan Ka’bah karena ingin memalingkan seluruh manusia
agar beribadah di gereja yang telah ia bangun di negri Yaman dan meninggalkan
Ka’abah, padahal Ka’abah sebentar lagi akan dijadikan sebagai tempat
peribadatan penghulu para nabi dan rasul, yaitu Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam, dan agama-agama sebelumnya (Yahudi dan Nashrani) tidak
mengagungkannya, sehingga keagungan Ka’abah belum tertanam kokoh di jiwa
seluruh umat. Beda halnya dengan kejadian orang-orang Qaramithah, setiap kaum
muslimin di penjuru dunia sudah beriman bahwa Ka’abah adalah tempat suci dan
merupakan kiblat mereka, sehingga mereka semua yakin dan sadar bahwa perilaku
Qaramithah adalah salah satu bentuk kejahatan yang tiada tara .
Silahkan baca keterangan beliau dengan sempurna di Al Bidayah wa An Nihayah
11/173-174.