AL HAROMAIN

DAFTAR

  • pakaian
  • buku

Daftar Blog

TEXT

text

zainimjkbgt

zainimjkbgt
zainimjkbgt

zainimjkbgt.blogspot.com

zainimjkbgt

alharomain

Penayangan bulan lalu

Populer

Entri Populer

11 Februari 2012

SEBUAH DOKRIN

TOKO ALHAROMAIN MENJUAL PAKAIAN JADI D 54-D55 AND B19-B20 PASAR TANJUNG

JIL Sebuah Doktrin Yang Telah Usang
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله.
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
Segala puji hanya milik Allah, yang telah melimpahkan kepada kita umat Islam berbagai kemurahan dan kenikmatan-Nya. Maha Suci Allah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian bagi umat manusia, siapakah dari mereka yang baik amalannya.
الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الحكيم
“Yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya. Dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Dan Maha Suci Allah yang telah menjadikan sebagian manusia sebagai cobaan dan ujian bagi sebagian lainnya, guna menguji dan membuktikan kepada manusia siapakah diri mereka sebenarnya:
وجعلنا بعضكم لبعض فتنة أتصبرون وكان ربك بصيرا
“Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?, dan adalah Tuhan-mu Maha Melihat.” (QS. Al Furqan: 20)
Pertarungan antara kebenaran beserta pemeluknya melawan kebatilan beserta seluruh antek-anteknya telah dimulai semenjak manusia pertama yaitu Nabi Adam ‘alaihis salaam dan istrinya Hawa melawan nenek moyang pemuja kebatilan, yaitu Iblis la’natullah ‘alaihi.
يا بني آدم لا يفتننكم الشيطان كما أخرج أبويكم من الجنة ينـزع عنهما لباسهما ليريهما سوءاتهما إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا ترونهم إنا جعلنا الشياطين أولياء للذين لا يؤمنون
“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat tertipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-peminpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al A’araf: 27)
Pertarungan antara kebenaran melawan kebatilan, antara orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir melawan para pengikut iblis dan antek-anteknya tidak mengenal batas waktu dan tempat, sehingga negri kita Indonesia tidak luput darinya. Sejarah perjalanan dan perjuangan kaum muslimin di Indonesia sejak dahulu kala hingga saat ini senantiasa diwarnai dengan adanya pertarungan-pertarungan semacam ini. Dahulu kaum muslimin bangsa Indonesia berperang melalui antek-antek para penjajah yang menjajakan agama mereka, dan setelah bangsa kita merdeka iblispun tidak putus asa untuk melancarkan permusuhannya. Melalui berbagai perangkapnya ia memperdaya para pemujanya untuk memusuhi kebenaran dan pengikutnya.
Diantara makar yang sedang marak -walau sudah usang- ialah apa yang disebut dengan ajaran JIL (Jaringan Islam Liberal), dengan koordinatornya yang bernama Ulil Abshar Abdallah (selanjutnya disingkat: UAA). UAA mempropagandakan makar usang ini dengan mengesankan sebagai upaya “menyegarkan kembali pemahaman Islam.”[1]
Ini adalah salah satu upaya yang ia tempuh guna mengelabuhi sebagian kaum muslimin yang lugu, dan kurang mengenal akan prinsip dan syariat agamanya sendiri, yaitu agama Islam.
Dan untuk sedikit membuktikan bahwa misi yang sedang ia pikul dengan segala pengorbanannya adalah misi yang telah usang, akan saya sebutkan beberapa buktinya:

Bukti Pertama: Kufur Terhadap Janji Allah dan Rasul-Nya
Saya mengajak para pembaca untuk membandingkan antara ucapannya berikut ini:
“Pandangan bahwa syari’at adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah salah satu bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme, inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.” (Islam Liberal & Fundamental hal. 13).
Bandingkan ucapannya ini dengan ucapan Abu Jahal dan kawan-kawannya ketika dijanjikan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam akan menjadi pemimpin bangsa Arab dan juga selainnya (bangsa ‘ajam/non Arab) bila mereka mengikrarkan ucapan syahadat (La ilaha illallah), ucapan mereka itu telah diabadikan dalam ayat-ayat berikut ini,
أجعل الآلهة إلها واحدا إن هذا لشيء عجاب وانطلق الملأ منهم أن امشوا واصبروا على آلهتكم إن هذا لشيء يراد ما سمعنا بهذا في الملة الآخرة إن هذا إلا اختلاق
“Apakah ia hendak menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): Pergilah kamu, dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.[2] Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir (yaitu agama nasrani), ini (mengesakan Allah) tidak lain hanyalah (kedustaan) yang diada-adakan.” (QS. Shad: 5-7)[3]
Bila Abu Jahal menganggap seruan tauhid, beribadah hanya kepada Allah Ta’ala adalah suatu hal yang mengherankan, maka UAA menganggapnya sebagai sikap tidak mampu memahami sunnah Tuhan, atau bahkan sebagai sikap malas berpikir atau sebagai pelarian dari masalah, atau sebagai wujud ketidak berdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka, dan menyelesaikannya dengan cara rasional. (Islam Liberal & Fundamental hal. 12).
Dengan demikian JIL benar-benar bodoh dan bahkan menentang kandungan syahadat (la ilaha illallahu) yang merupakan inti ajaran dan misi utama dakwah setiap nabi dan rasul, yaitu hanya beribadah kepada Allah dan berlepas diri dari segala peribadatan kepada selain-Nya:
ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت فمنهم من هدى الله ومنهم من حقت عليه الضلالة فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut (setiap sesembahan selain Allah) itu, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An Nahel: 36)
قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقومهم إنا براءاء منكم ومما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja.’” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kandungan syahadat la Ilaha illallah, yang yang merupakan misi utama dakwah para rasul sebelum Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam juga merupakan misi dahwah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, sebagai rasul terakhir. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, diantaranya dalam sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمن قال: لا إله إلا الله عصم منى ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ) متفق عليه
“Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.’” (Muttafaqun ‘Alaih)
Inilah prinsip utama agama Islam, yaitu beriman dan beribadah hanya kepada Allah dan menentang setiap peribadatan kepada selain-Nya. Sehingga setiap muslim yang benar-benar beriman, pasti meyakini bahwa penyembahan kepada malaikat, nabi, binatang, benda, patung atau syetan dll adalah bentuk-bentuk kemusyrikan yang harus diingkari dan diperangi, karena itu semua bertentangan dengan keimanan dan merupakan kekufuran. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, diantaranya, firman Allah Ta’ala berikut ini:
لقد كفر الذين قالوا إن الله هو المسيح ابن مريم وقال المسيح يا بني إسرائيل اعبدوا الله ربي وربكم إنه من يشرك بالله فقد حرم عليه الجنة ومأواه النار وما للظالمين من أنصار
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai, Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’, sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan atasnya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolong.” (QS. Al Maidah: 72)
Dan bila kita pikirkan lebih jauh, sebenarnya doktrin agama Abu Jahal ini, yaitu persatuan agama dan pengakuan bahwa tuhan itu banyak dan tidak esa, adalah misi utama bagi seluruh upaya dan daya yang ia kerahkan selama ini.

Bukti Kedua: Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam Manusia Biasa Yang Berjalan di Pasar
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi dan rasul-Nya semenjak Nabi Adam hingga rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Tugas para rasul sepanjang sejarah kenabian dan kerasulan ialah untuk menyeru umatnya agar mereka mengesakan Allah dengan segala peribadatan dan meninggalkan segala peribadatan kepada selain-Nya:
ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت فمنهم من هدى الله ومنهم من حقت عليه الضلالة فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut (setiap sesembahan selain Allah) itu, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An Nahel: 36)
Sebagaimana para rasul juga diberi tugas menyampaikan dan menjelaskan syari’at Allah Ta’ala kepada umatnya:
وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم فيضل الله من يشاء ويهدي من يشاء وهو العزيز الحكيم
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim: 4)
Tugas mulia ini juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam sabdanya:
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم). رواه مسلم
“Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash rodiallahu ‘anhu dari Rasulillah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya tidaklah ada seorang nabi-pun yang diutus sebelumku, melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan kepada ummatnya seluruh kebaikan yang ia ketahui, dan memperingati mereka dari kejelekan yang ia ketahui.’” (HSR Muslim)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban tugas mulia ini, telah dibekali oleh Allah Ta’ala dengan dua macam wahyu:
1.     Wahyu yang teks dan kandungannya merupakan firman Allah Ta’ala, dan wahyu inilah yang dimaktub dalam Al Qur’anul Al Karim.
2.     Wahyu yang kandungannya dari Allah Ta’ala, akan tetapi teks yang memuatnya diserahkan kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, dan wahyu ini disebut hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini telah dijelaskan dalam banyak dalil, diantaranya firman Allah Ta’ala:
كما أرسلنا فيكم رسولا منكم يتلو عليكم آياتنا ويزكيكم ويعلمكم الكتاب والحكمة ويعلمكم ما لم تكونوا تعلمون
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada Kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 151)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya akan kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepada mereka; berupa diutusnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat yang jelas kandungannya, dan beliau juga mensucikan diri mereka dari perangai yang hina, kepribadian yang kotor, dan perilaku orang-orang jahiliyyah. Sebagaimana beliau juga telah membawa mereka keluar dari kegelapan menuju kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al Kitab yaitu Al Qur’an, Al Hikmah yaitu As Sunnah, dan mengajarkan kepada mereka apa-apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Dahulu mereka berada dalam kegelapan jahiliyyah, berperilaku bodoh, kemudian mereka berubah –berkat risalah dan kenabian dan menjadi berkepribadian para wali dan bertingkah laku para ulama’. Dengan demikian mereka telah menjadi orang yang paling dalam ilmunya, baik hatinya, jauh dari sikap mengada-ada, dan paling jujur ucapannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/195-196).
عن المقدام بن معد يكرب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ألا إني أوتيت الكتاب ومثله معه، ألا إني أوتيت القرآن ومثله معه. ألا يوشك رجل ينثني شبعانا على أريكته يقول: عليكم بالقرآن فما وجدتم فيه من حلال فأحلوه وما وجدتم فيه من حرام فحرموه . رواه أحمد وأبو داود
“Diriwayatkan dari sahabat Miqdan bin Ma’dikarib rodiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketahuilah bahwa aku telah diberi (diturunkan kepadaku) Al Kitab dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah) bersamanya, Ketahuilah bahwa aku telah diberi (diturunkan kepadaku) Al Qur’an dan dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah) bersamanya. Ketahuilah bahwa tak lama lagi akan ada orang yang bersila diatas balai-balai dan ia dalam keadaan kenyang, berkata: ‘Hendaknya kamu mengikuti Al Qur’an (saja) sehingga apa yang kamu dapatkan di dalamnya halal, maka halalkanlah, dan apa yang kamu dapatkan diharamkan di dalamnya, maka haramkanlah.’” (HSR Ahmad dan Abu Dawud)
Oleh karena itu, ulama’ ahli ushul fiqih di seluruh mazhab fiqih, telah sepakat bahwa sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu sumber hukum.
Imam As Syafi’i rahimahullah berkata: “Seluruh ulama’ kaum muslimin telah sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah itu, karena mengikuti ucapan seseorang.” (I’ilam Al Muwaqi’in, oleh Ibnul Qayyim 1/282).
Al Imam Al Ghazali rahimahullah berkata: “Sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah hujjah (dalil), karena mukjizat beliau telah membuktikan bahwa beliau senantiasa berkata benar, dan dikarenakan Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk meneladaninya, dan dikarenakan beliau tidaklah mengucapkan sesuatu berdasarkan hawa-nafsunya, yang beliau ucapkan tiada lain hanyalah wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Akan tetapi perlu diingat, bahwa sebagian wahyu kita diperintahkan untuk beribadah dengan membacanya, yaitu yang berupa Al Kitab (Al Qur’an) dan sebagian lain tidak, yaitu yang berupa As sunnah.” (Al Mustashfa, oleh Imam Al Ghazali 2/120).
Sebagaimana para ulama’ juga telah sepakat bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam senantiasa terlindung dari kesalahan dalam hal penyampaian wahyu, dan perbuatan dosa besar. Sehingga syari’at yang beliau emban tidak ada satupun yang salah atau kurang, atau sengaja beliau sembunyikan. (Baca keterangan ulama’ ahli ushul tentang masalah ini dalam kitab: Nihayat As Sul 2/6, Irsyadul Fukhul oleh Imam As Syaukani 1/159-164).
Allah Ta’ala berfirman:
لا يأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد
“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam):
ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويدع غير النبي صلى الله عليه و سلم. رواه الطبراني في الكبير وقال عنه الهيثمي رجاله موثقون
“Tidaklah ada seorang pun melainkan sebagian ucapannya diterima dan sebagian lainnya ditolak selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, dan dikomentari oleh al Haitsami bahwa para perawinya adalah tsiqah (memiliki kredibilitas tinggi)
Dan Mujahid rahimahullah berkata:
ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم. رواه أبو نعيم الأصبهاني
“Tiada seorangpun, melainkan pendapatnya/ucapannya dapat diambil dan juga ditinggalkan, selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat Abu Nu’aim Al Ashbahani), ucapan senada juga pernah diucapkan oleh Imam Malik rahimahullah (Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Az Zahabi dalam kitabnya Siyar A’alam An Nubala’ 8/93). Ini semua sebagai pelaksanaan atas perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب
“Dan apa yang diperintah oleh Rasul kepadamu maka lakukanlah, dan apa yang dilarangnya darimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr: 7)
Dengan demikian ketaatan kita kepada perintah-perintah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang memerintahkan kita untuk menerima setiap perintahnya dan meninggalkan setiap larangannya.
من يطع الرسول فقد أطاع الله
“Barang siapa menta’ati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An Nisa’: 80)
Dan dalam hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : (من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله) متفق عليه
“Dari sahabat Abi Hurairah rodiallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku berarti ia telah bermaksiat kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi sekali lagi, UAA menyelisihi salah satu prinsip utama agama Islam ini, sehingga ia tak segan-segan untuk mengutarakan isi hati dan misi yang sedang ia emban, yaitu ketika ia menganggap bahwa uswah dan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, dan penerapan Islam yang pernah dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabatnya hanya sebatas salah satu kemungkinan saja (one among others) dari berbagai penerjemahan terhadap Islam di muka bumi. Para pembaca -yang semoga senantiasa dirahmati Allah- cermatilah ungkapan nista yang diucapkan oleh UAA berikut ini:
“Islam yang diwujudkan di madinah partikular, historis, dan kontekstual, sempurna untuk ukuran zamannya, tapi tidak sempurna untuk ukuran saat ini. Kita tidak bisa menerapkan apa saja yang diterapkan pada masa itu. Makanya, Islam pada masa Nabi one among others. Artinya, satu di antara kemungkinan untuk menerjemahkan Islam di muka bumi.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).
Kesesatan UAA ternyata tidak hanya berhenti sampai di sini saja, akan tetapi ia lebih nyata dan jelas menunjukkan jati dirinya, yaitu dengan berkata:
“Nabi itu manusia biasa, tetapi diberi kelebihan oleh Allah. Dia itu aktor sosial yang menghendaki perubahan, seperti para pemimpin revolusi di dunia. Ia membangun idealisme, tapi tak semuanya bisa terwujud, karena struktur sosial tak bisa diubah sepenuhnya.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).
Di lain kesempatan UAA mensifati Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dengan ucapannya:
“Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Idem hal 9-10).
Dari ucapan UAA diatas, jelaslah bagi kita, bahwa sebenarnya agama yang dianut oleh orang-orang JIL bukanlah agama Islam, agama yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan bila anda bertanya: “Sebenarnya agama siapakah yang dianut oleh JIL dengan koordinatornya yang bernama UAA?
Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak firman Allah berikut:
فقال الذين كفروا من قومه ما نراك إلا بشرا مثلنا وما نراك اتبعك إلا الذين هم أراذلنا بادي الرأي وما نرى لكم علينا من فضل بل نظنكم كاذبين
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’” (QS. Huud: 27)
Inilah agama yang sedang mereka anut, yaitu agama para musuh Nabi dan rasul pada setiap zaman.
Perbedaannya antara ucapan UAA dengan penentang para nabi zaman dahulu hanya pada kesimpulan terakhir, yaitu pada ucapan mereka: “Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” Bila penentang para nabi nyata-nyata mendustakan kenabian dan kerasulan mereka, akan tetapi JIL melalui koordinatornya tidak atau mungkin belum berani mengutarakannya.
Dengan memahami kesamaan antara kedua perkataan ini, kita tahu dengan gamblang ajaran siapakah sebenarnya yang dianut oleh JIL, yaitu ajaran para penentang nabi dan rasul di setiap zaman, yaitu ajaran yang berlandaskan kepada “wahyu” (bisikan) dari Iblis terlaknat. Dengan demikian ini adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya JIL (UAA) adalah pembaharu agama Abu Jahal dan konco-konconya. Na’uzubillahi min zalika.

Bukti Ketiga: Upaya Mengingkari Hari Qiyamat
Diantara ajaran Abu Jahel dan kawan-kawannya yang dikisahkan dalam Al Qur’an ialah pengingkaran terhadap, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah berikut:
زعم الذين كفروا أن لن يبعثوا قل بلى وربي لتبعثن ثم لتنبؤن بما عملتم وذلك على الله يسير
“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-keli tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitahukan kepadamu apa yang telah kamu amalkan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At Taghabun: 7)
Beriman kepada hari akhir dan seluruh kejadian yang akan terjadi setelahnya merupakan salah satu dasar keimanan yang memiliki peranan penting dalam agama Islam dan kehidupan setiap muslim. Oleh karena begitu pentingnya peranan keimanan kepada hari akhir, Allah Ta’ala dalam Al Qur’an Al Karim dan juga Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya sering menyebutnya secara bersandingan dengan keimanan kepada Allah, terutama ketika memerintahkan sesuatu atau melarang dari sesuatu. Misalnya firman Allah Ta’ala:
يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59). (Selain ayat ini, silahkan baca surat Al Baqarah, ayat: 228 & 232, surat An Nur 2, Al Ahzab 21, Al Mumtahanah 6, At Thalaq 2).
Dan contoh dari sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ialah, hadits berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول صلى الله عليه و سلم: (من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليسكت) متفق عليه
“Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti (mengganggu) tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia menghormati tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata-kata yang baik atau (kalau tidak) hendaknya ia diam.’” (HRS Muttafaqun ‘alaih)
Diantara hikmah yang dapat kita petik dari metode ini (menyandingkan antara keimanan kepada Allah dan hari akhir) ialah karena keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir senantiasa menjadi motivasi kuat bagi setiap muslim dalam menjalankan perintah agama dan meninggalkan larangannya. Yang demikian ini, acap kali seorang muslim ingat Allah Ta’ala dan hari akhir akan dengan ringan mengamalkan syari’at Islam, dan berkorban untuk memperjuangkannya, karena ia yakin bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui perbuatannya, dan pasti akan membalasnya. Bila amalannya baik, niscaya balasan yang ia akan dapatkan ialah surga, dan itu merupakan cita-cita setiap muslim. Akan tetapi bila amalannya buruk, maka balasan yang akan ia dapatkan ialah neraka, dan itu adalah hal yang paling ditakuti oleh setiap muslim.
Diantara hikmah metode ini, ialah guna mengisyaratkan kepada setiap yang membaca atau mendengarnya bahwa amal ketaatan dan meninggalkan larangan yang disebutkan sebelumnya adalah pertanda bagi keimanan pelakunya terhadap Allah Ta’ala dan hari qiyamat.
Dan inilah yang mungkin mendasari JIL berusaha memadamkan semangat perjuangan dan pengorbanan umat Islam guna memuaskan hati juragan-nya, yaitu dengan cara memerangi sumber kekuatan umat Islam, yaitu dengan mendangkalkan dan merusak keimanan mereka kepada Allah dan hari akhir. Oleh karena itu, saya tidak heran ketika membaca tulisan UAA yang sangat sungkan untuk menerjemahkan kata: “Akhirat”, sebagaimana mestinya dan malah menerjemahkannya menjadi: “dunia nanti”. Berikut cuplikan ungkapan UAA:
“man arada al dunya fa’alaihi bil al ‘ilmi wa man arada al akhirat fa ‘alaihi bi al ‘ilmi.” (barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti” juga harus pakai ilmu.” (Islam Liberal & Fundamental hal. 13).
Dan diantara yang membuktikan bahwa UAA berusaha mendangkalkan keimanan kepada hari akhir ialah, ucapannya berikut ini:
“Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah ‘proses’ yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, jumud, dan mengukung kebebasan. Ayat: ‘inna al dina ‘inda allah al Islam.’ (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai: ‘Sesunguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).’” (Idem, hal. 15).

Bukti Keempat: Pengakuan Terhadap Nabi Palsu
Umat Islam dimanapun mereka berada telah sepakat bahwa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para rasul, sehingga tidak ada lagi seorangpun yang menjadi nabi atau rasul sepeninggal beliau. Keyakinan ini berdasarkan banyak dalil, diantaranya:
ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيين وكان الله بكل شيء عليما
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40)
Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini merupakan dalil yang nyata lagi tegas yang menyatakan bahwa tidak ada nabi lagi setelah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, dan bila sudah tidak ada nabi setelah beliau, maka sudah barang tentu tidak ada rasul, karena kerasulan lebih spesifik dibanding kenabian, sebab setiap rasul adalah nabi, dan tidak sebaliknya. Dan yang demikian ini juga telah ditegaskan dalam banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam oleh beberapa sahabatnya, semoga Allah senantiasa meridhai mereka.” (Tafsir Ibnu katsir, 3/493).
Beliau juga berkata: “Diantara perwujudan rahmat Allah terhadap hamba-Nya ialah Ia mengutus kepada mereka Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, dan diantara bentuk kemulian yang dilimpahkan kepada mereka ialah dengan ditutupnya kenabian dan kerasulan dengan kenabian dan kerasulannya shollallahu ‘alaihi wasallam, dan juga dengan disempurnakannya agamanya yang lurus ini. Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang mutawatir (banyak jumlahnya) bahwa tidak ada nabi setelah beliau shollallahu ‘alaihi wasallam.
Ini semua agar setiap manusia mengetahui bahwa siapa saja yang mengaku menjadi nabi setelah beliau berarti ia adalah pendusta, pengada-ada, pemalsu, sesat lagi menyesatkan, walaupun ia menunjukkan kehebatan, keanehan, sihir dan ajimat yang beraneka ragam. Yang demikian ini karena orang-orang yang berakal dapat mengetahui bahwa seluruh yang ini tunjukkan adalah suatu hal yang mustahil lagi sesat. Sebagaimana yang telah tunjukkan oleh nabi-nabi palsu: Al Aswad Al ‘Insi di Yaman, Musailamah Al Kazzab (sang pendusta) di negri Yamamah, berupa keanehan-keanehan, berbagai kehebatan semu, dan ucapan-ucapan yang tiada artinya. Setiap orang yang berakal dan memiliki pemahaman jernih akan tahu bahwa keduanya adalah pendusta lagi sesat. Semoga Allah senantiasa melaknati keduanya dan juga melaknati setiap yang mengaku-ngaku menjadi nabi di sepanjang masa hingga hari qiyamat, dan datangnya Dajjal. Setiap orang dari para pendusta tersebut telah memiliki beberapa keanehan, yang setiap ulama’ dan orang yang beriman, akan mengatakan bahwa pelakunya adalah nabi palsu, tentu ini merupakan wujud dari rahmat Allah kepada hamba-Nya.” (Tafsir Ibnu katsir, 3/494).
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak hadits juga menegaskan bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rasul, dan tidak ada nabi setelah beliau, diantara hadits-hadits tersebut ialah:
وعن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (لا تقوم الساعة حتى تلحق قبائل من أمتي بالمشركين وحتى يعبدوا الأوثان وإنه سيكون في أمتي ثلاثون كذابون كلهم يزعم أنه نبي وأنا خاتم النبيين لا نبي بعدي) رواه أبو داود والترمذي
“Dan diriwayatkan dari sahabat Tsauban, ia berkata: rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Qiyamat tidaklah akan tiba, hingga sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrikin, dan hingga sebagian mereka beribadah kepada berhala. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya akan ada di tengah-tengah umatku tiga puluh pendusta, semuanya mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, dan tidak ada nabi setelahku.” (HRS Abu Dawud, AT Tirmizy dll)
Orang yang mengaku sebagai nabi setelah kenabian Muhammad bin Abdillah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah palsu dan disebut juga dengan sebutan Dajjal (pendusta), sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: (لا تقوم الساعة حتى يبعث دجالون كذابون قريب من ثلاثين كلهم يزعم أنه رسول الله) متفق عليه
“Dari sahabat Abu Hurairah, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Qiyamat tidak akan datang, hingga datang dajjal-dajjal para pendusta (jumlahnya) hampir tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai utusan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun JIL, maka melalui lisan koordinatornya UAA, dengan sengaja mengakui dan mungkin akan senantiasa mengikuti setiap dajjal yang datang. Lihat dan amatilah sikap mereka yang tertuang dalam beberapa ucapan koordinatornya UAA, diantaranya:
“Nabi Muhammad sebagai ‘khatiman Nabiyyin’ seperti disebut dalam Al Qur’an tak diartikan sebagai penutup para nabi. Yang lebih tepat maknanya cincin. Ibarat jari diantara jari-jari lainnya, maka jari yang memakai cincin begitu diistimewakan, Karena itu sejarah kenabian akan tetap berlangsung setelah wafatnya Rasulullah.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 244).
Dan dalam ungkapan lainnya ia berkata:
“Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah ‘proses’ yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah ‘lembaga agama’ yang sudah mati, baku, jumud, dan mengukung kebebasan. Ayat “inna al dina ‘inda allah al Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai: ‘Sesunguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).’” (Idem hal. 15).
Bila menurut JIL Islam hanyalah suatu proses yang tak pernah selesai, maka konsekwensinya JIL akan senantiasa mengakui dan mengikuti setiap yang mereka anggap “proses”, baik itu agama selain Islam, atau proses palsu yang dibawa oleh dajjal kecil, yaitu nabi-nabi palsu atau dajjal besar, seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (ما من نبي إلا وقد أنذر أمته الأعور الكذاب، ألا إنه أعور وإن ربكم ليس بأعور ومكتوب بين عينيه ك ف ر)متفق عليه
“Dari sahabat Anas bin malik ia menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiada seorang nabi-pun melainkan telah memperingatkan umatnya dari si buta sebelah lagi pendusta (dajjal), ketahuilah sesungguhnya dajjal itu buta sebelah, sedangkan Tuhan-mu tidak buta sebelah, dan tertulis diantara kedua mata dajjal (ك ف ر ).” (Muttafaqun ‘alaih)
Di kesempatan lain JIL melalui koordinatornya UAA mengatakan: “Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia.” (Idem, hal. 10).
Membaca ucapan UAA ini, saya menjadi teringat dengan dua firman Allah Ta’ala berikut:
وكذلك جعلنا لكل نبي عدوا شياطين الإنس والجن يوحي بعضهم إلى بعض زخرف القول غرورا ولو شاء ربك ما فعلوه فذرهم وما يفترون
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sehingga sebahagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)
Dan firman-Nya:
وإن الشياطين ليوحون إلى أوليائهم ليجادلوكم وإن أطعتموهم إنكم لمشركون
“Sesungguhnya setan itu mewahyukan (membisikkan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’am: 121)
Wahyu yang diturunkan oleh Iblis inilah yang hingga saat ini bekerja dan turun kepada manusia, dan wahyu inilah yang mungkin sedang di buru oleh JIL bersama koordinatornya yang bernama Ulil Abshar Abdalla.

Bukti Kelima: JIL Menyerukan Pembaharuan Ala Pendeta
Segala puji serta syukur hanya milik Allah Ta’ala yang telah berjanji akan melindungi agama ini sehingga akan tetap terjaga keutuhan dan kemurniannya hingga akhir masa.
إنا نحن نزلنا الذكرى وإنا له لحافظون
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharannya.” (QS. Al Hijr: 9)
Betapa banyak campur tangan manusia dengan berbagai wujudnya, sehingga walaupun agama Islam telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan pemeluknya telah mencapai 1/5 dari seluruh penduduk bumi, syari’at Islam menjadi asing di mata ummatnya sendiri, apalagi di mata selain mereka. Fenomena ini membuktikan kebenaran sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا فطوبى للغرباء) رواه مسلم
“Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya agama Islam datang dalam keadaan asing, dan suatu saat akan kembali menjadi asing, maka keberuntungan (surga) akan diperoleh oleh orang-orang yang asing.’” (HRS Muslim)
Imam Ar Rafi’i berkata: “Agama Islam pertama kali dikatakan asing karena agama Islam sangat menyelisihi tradisi masyarakat kala itu, berupa kesyirikan, dan berbagai perbuatan jahiliyyah. Dan Islam akan kembali asing, dikarenakan kerusakan yang menimpa masyarakat, dan munculnya berbagai fitnah, dan karena mereka mencampakkan jauh-jauh segala konsekwensi keimanan yang benar.” (At Tadwin fi Akhbar Al Qazwin, oleh Imam Ar Rafi’i, 1/139-140).
Walau demikian, kaum muslimin tidak perlu berkecil hati, tidak perlu ragu dan bimbang, apalagi menggadaikan prinsip dan aqidahnya, sebab Allah Ta’ala telah berjanji akan menjaga agama ini, dan senantiasa akan membangkitkan dari ummat Islam orang-orang yang akan berjuang menghidupkan kemurnian syari’at Islam yang telah ditinggalkan oleh manusia dan membersihkan segala penyelewengan yang dilengketkan kepadanya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله قال: إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah akan senantiasa mengutus (membangkitkan) untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang-orang yang akan memperbaharui agama mereka.” (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Ibnul Qayyim berkata: “Seandainya bukan karena adanya jaminan dari Allah yang akan senantiasa menjaga agama-Nya, dan janji Allah Ta’ala akan membangkitkan orang-orang yang akan memperbaharui rambu-rambu agama-Nya dan menghidupkan kembali syari’at-syari’at yang telah ditinggalkan oleh para penjaja kebatilan, dan menyegarkan segala yang telah dijadikan layu oleh orang-orang bodoh, niscaya tonggak-tonggak agama Islam akan tergoyahkan, dan menjadi rapuh bangunannya. Akan tetapi Allah Maha Memiliki karunia atas alam semesta.” (Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim 3/79).
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sesungguhnya Allah akan senantiasa membangkitkan untuk ummat ini pada setiap penghujung seratus tahun (setiap abad) orang-orang yang akan mengajari mereka as sunnah, dan menepis segala kedustaan atas Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami perhatikan, ternyata pada penghujung abad pertama ada Umar bin Abdul Aziz, dan pada penghujung abad kedua ada Imam As Syafi’i.” (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/46).
“Dari hadits dan beberapa penjelasan ulama’ diatas, dapat dipahami bahwa seorang mujaddid (pembaharu) tidaklah mungkin kecuali seorang ulama’ yang menguasai ilmu agama, disamping itu ulama’ tersebut cita-cita dan tekadnya siang dan malam ialah menghidupkan as sunnah, mengajarkannya, dan membela orang-orang yang mengamalkannya. Sebagaimana ia juga berjuang untuk menghapuskan praktek-praktek bid’ah, dan hal yang diada-adakan, serta memerangi para pelakunya, baik dengan lisan, tulisan, pendidikan atau dengan lainnya. Dan orang yang tidak memiliki kriteria demikian ini tidak dapat dikatakan sebagai seorang mujaddid (pembaharu), walaupun ia berilmu luas, dikenal oleh setiap orang, dan sebagai tempat mereka bertanya.” (‘Aunul Ma’bud, oleh Syamsu Al Haq Al ‘Azhim Abadi, 11/263).
Inilah pembaharuan yang ada dalam agama Islam, yaitu pembaharuan dalam wujud menghidupkan kembali ajaran syari’at yang telah ditinggalkan oleh masyarakat, dan memerangi penyelewengan yang telah merajalela. Dan sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, bahwa mujaddid (pembaharu) abad pertama ialah khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan pada abad kedua adalah Imam As Syafi’i, rahimahumallah. Sejarah telah membuktikan bahwa yang dilakukan oleh kedua orang ini adalah menghidupkan sunnah, memerangi bid’ah, dan mengembalikan metode berfikir masyarakat dalam beragama kepada metode yang diajarkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabatnya, yaitu tidak fanatik terhadap golongan, dan hanya Al Qur’an dan As Sunnah yang menjadi tolok ukur kebenaran.
Adapun pembaharuan atau penyegaran yang diajarkan oleh JIL, maka sangat berbeda dengan pembaharuan yang telah dipaparkan di atas. Penyegaran yang diajarkan oleh JIL, adalah dengan cara mematikan syari’at, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sebagaimana yang tertera dalam ucapan UAA berikut ini:
“Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh: soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 8, baca juga hal. 12, 14 & 245).
Dan dalam ucapannya berikut:
“Setiap doktrin yang hendak membentuk tembok antara ‘kami’ dan ‘mereka’ antara hizb Allah (golongan Allah) dan hizb syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara ‘Barat’ dan ‘Islam’; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.” (Idem, hal. 14).
Dengan jelas UAA mengajak umat Islam untuk mematikan syari’at dan mencampakkannya jauh-jauh dari kehidupan masyarakat.
Bukan hanya sekedar mematikan ajaran syari’at, bahkan sebaliknya, yaitu menghidupkan bid’ah dan kekufuran, sebagaimana yang tertera dalam ucapan UAA berikut:
“Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan: semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti ini, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam keluarga besar yang sama, yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Idem, hal. 15).
Penyegaran yang diajarkan oleh JIL, ternyata tidak hanya berhenti pada menghidupkan kekufuran, akan tetapi bahkan ingin menggantikan agama Islam dengan agama lainnya, sebagaimana yang tertera dalam ucapan UAA berikut:
“Umat Islam harus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.” (Idem, hal. 10).
Agar kita semua tahu, sebenarnya penyegaran (pembaharuan) model siapakah yang sedang dipropagandakan oleh JIL -yaitu dengan cara menghalalkan yang haram, dan menghalalkan yang haram, dan merekayasa agama seenaknya sendiri- saya ajak para pembaca untuk mencermati hadits berikut:
عن عدي بن حاتم رضي الله عنه قال: أتيت النبي صلى الله عليه و سلم وفي عنقي صليب من ذهب، فقال: يا عدي اطرح هذا الوثن من عنقك. فطرحته، فانتهيت إليه وهو يقرأ سورة براءة، فقرأ هذه الآية: اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله. حتى فرغ منها، فقلت: إنا لسنا نعبدهم. فقال: أليس يحرمون ما أحل الله فتحرمونه، ويحلون ما حرم الله فتستحلونه؟ قلت: بلى. قال: فتلك عبادتهم. رواه الترمذي والطبراني والبيهقي وحسنه الألباني.
“Diriwayatkan dari sahabat ‘Adi bin Haatim rodiallahu ‘anhu, ie mengisahkan: (Pada suatu saat) aku datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan di leherku tergantung sebuah salib yang terbuat dari emas, maka beliau berkata: ‘Wahai ‘Adi,campakkanlah berhala ini dari lehermu!’ Maka aku pun mencampakkannya. Dan Ketika (tadi) aku sampai kepadanya, beliau sedang membaca surat Al Bara’ah (At Taubah), dan beliau membaca ayat: ‘Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib (pendeta-pendeta) mereka sebagai tuhan selain Allah.’ beliau membaca ayat tersebut hingga selesai. Kemudian aku pun berkata: ‘Sesungguhnya kami dahulu tidak pernah beribadah kepada mereka (para pendeta dan orang-orang alim).’ Maka Rasulullah-pun bersabda: ‘Bukankah mereka (para pendeta) mengharamkan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah, kemudian kalian juga ikut-ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, dan kalianpun ikut menghalalkannya?’ Aku-pun menjawab: ‘Betul.’ Beliau kembali bersabda: ‘Itulah wujud peribadatan kepada mereka.’” (Riwayat At Tirmizy, At Thabrani, dan Al baihaqi, dan hadits ini dihasankan oleh Al Albani)
Inilah penyegaran agama yang sedang dianut dan dipropagandakan oleh JIL melalui koordinatornya UAA. Sehingga pembaharuan yang berhasil ia capai bukanlah: “agama Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia.”[4] akan tetapi yang berhasil ia capai ialah “agama Abu Jahal, dajjal, dan para pendetadan kaum salibis yang telah mendanai JIL yang sudah barang tentu lebih sesat, lebih suram dan menghancurkan maslahat manusia.”

Bukti Keenam: Antara JIL dan Orang-orang Munafik
Kemunafikan ialah perbuatan menampakkan kepada masyarakat kebaikan, akan tetapi pada waktu yang bersamaan ia menyembunyikan kejahatan. Kemunafikan dengan definisi seperti ini terbagi menjadi dua macam:
  1. Kemunafikan dalam hal amalan, (nifaq ‘amaly) yaitu menyembunyikan kejahatan selain kekufuran dan menampakkan kebaikan, misalnya membaguskan suatu amalan di hadapan manusia, berbohong dalam pembicaraan dll.
  2. Kemunafikan dalam hal aqidah (ideologi), yaitu menampakkan ke-Islaman dan menyembunyikan kekufuran. Kemunafikan macam inilah yang pelakunya akan kekal di neraka, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut:
إن المنافقين في الدرك الأسفل من النار ولن تجد لهم نصيرا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah (kerak) neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong bagi mereka.” (QS. An Nisa’: 145)

Mereka diazab oleh Allah Ta’ala dengan adzab yang paling pedih, bahkan di kerak neraka paling bawah, karena dosa mereka melebihi dosa orang-orang kafir lainnya. Mereka sama-sama kufur terhadap Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi mereka melebihi orang kafir lainnya, yaitu mereka senantiasa merencanakan berbagai tipu daya dan pengkhianatan terhadap kaum muslimin, dan memiliki berbagai kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang kafir lainnya, padahal Islam dan kaum muslimin secara lahir (dan karena tidak menyadari akan isi hati mereka) telah memperlakukan mereka layaknya kaum muslimin yang benar-benar beriman.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, oleh As Sa’dy hal. 211).
Selama perjalanan sejarah agama Islam di kota Makkah, manusia hanya ada dua golongan: Kafir dan Muslim, hal ini karena kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang layak untuk ditakuti, sehingga setiap orang yang tidak mau masuk Islam, ia dengan leluasa menunjukkan kekufurannya. Yang terjadi justru kebalikan dari kemunafikan, yaitu sebagian kaum muslimin yang lemah kedudukan sosialnya menyembunyikan keIslamannya, agar tidak di tindas oleh orang-orang musyrikin.
Akan tetapi sejarah berubah dan peta kekuatan menjadi berbalik ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin telah berhijrah ke kota Madinah, dan kebanyakan penduduk Madinah dari kabilah Aus dan Khajraj telah memeluk Islam, dan mereka berhasil mengalahkan kafir Quraisy dan membunuh para pemimpin mereka di perang Badar, yaitu pada tahun ke-2 Hijriyyah. Sebagian orang yang enggan untuk masuk Islam mulai merasa takut dan khawatir akan kedudukannya, sehingga mereka lebih memilih jalan lain, yaitu menyembunyikan kekufuran dan kebenciannya terhadap Islam, dan berpura-pura masuk agama Islam, sehingga gembong mereka yang bernama : Abdullah bin Ubai bin Salul berkata kepada para pengikutnya:
هذا أمر قد توجه فبايعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم على الإسلام، فأسلموا. رواه البخاري
“Sekarang urusan ini (agama Islam) telah jelas arahnya (yaitu semakin kuat dan berjaya), kemudian mereka pun (berpura-pura) membaiat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam atas agama Islam, dan merekapun akhirnya masuk Islam.” (Riwayat Bukhary)
Semenjak saat itulah kemunafikan muncul di tubuh umat Islam, dan mulai dirasakan ulah dan kejahatannya. (Tafsir Ibnu Katsir 1/47).
Karena hakekat orang-oang munafik seperti demikian ini, maka tidak heran bila dalam Al Qur’an Allah Ta’ala banyak menyibak kedok mereka dan memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Oleh karena itu Allah Yang Maha Suci menyebutkan beberapa kriteria orang-orang munafik, agar kaum mukminun tidak terpedaya oleh penampilan lahir mereka, sehingga bila sampai terpedaya akan terjadi petaka besar, yaitu mereka tidak waspada dari setiap perilaku mereka dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang beriman, padahal pada hakekatnya mereka adalah orang-orang kafir. Dan anggapan semacam ini merupakan dosa besar, yaitu menganggap baik orang-orang jahat.” (Idem).
Diantara kriteria orang-orang munafiq yang dijelaskan dalam Al Qur’an ialah senantiasa mengatakan bahwa mereka sedang berbuat kebaikan dari setiap ulah dan kejahatannya, sebagai contoh:
Ketika dikatakan kepada mereka agar mereka meninggalkan perbuatan kemaksiatan yang sering mereka kerjakan, mereka berdalih bahwa mereka sedang berbuat kebaikan:
وإذا قيل لهم لا تفسدوا في الأرض قالوا إنما نحن مصلحون ألا إنهم هم المفسدون ولكن لا يشعرون
“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Jangalnlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al Baqarah: 11-12)
Ulama’ Ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud dari “kerusakan” di ayat ini ialah: perbuatan maksiat, inilah kerusakan yang mereka perbuat, yaitu melanggar syari’at Allah Azza Wa Jalla, sebab setiap orang yang berbuat kemaksiatan kepada Allah Ta’ala atau menyeru kepada kemaksiatan, ia dikatakan telah berbuat kerusakan di muka bumi, sebab bumi dan langit hanya dapat menjadi makmur dengan amal shaleh. (Tafsir At Thabari, 1/125, dan Tafsir Ibnu Katsir, 49)
Sebagai salah satu bukti bagi keterangan ulama’ ahli tafsir di atas ialah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عن ابن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مضوا، ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أخذوا بالسنين وشدة المئونة وجور السلطان عليهم، ولم يمنعوا زكاة أموالهم إلا منعوا القطر من السماء، ولولا البهائم لم يمطروا) رواه ابن ماجة والبيهقي والحاكم وحسنه الألباني
“Tidaklah perbuatan fahisyah (perzinaan) merajalela di suatu masyarakat, hingga mereka berani melakukannya dengan terang-terangan, melainkan akan merajalela pula di tengah-tengah mereka berbagai wabah dan penyakit yang belum pernah menimpa umat sebelum mereka, dan tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan (berbuat curang ketika menakar dan menimbang) melainkan mereka akan ditimpa kelaparan, kesusahan dalam hidup, dan kezaliman para penguasa, dan tidaklah mereka enggan menunaikan zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi untuk mendapatkan hujan dari langit, dan kalau bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan pernah diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, serta dihasankan oleh Al Albani)
Ini adalah sebagian dampak buruk dari perbuatan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
Orang-orang munafikin dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, setiap kali dikatakan kepada mereka: janganlah kamu berbuat maksiat! Mereka senantiasa berdalih: sesungguhnya kami sedang berbuat kebaikan dan mengadakan perbaikan. Sebagai salah satu contoh nyata ialah apa yang tersurat dalam ucapan UAA berikut: “Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi ‘paket’ yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita dengan cara sederhana: take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 7).
UAA berusaha mengemas kekufuran dan kemunafikan yang sedang ia dakwahkan dalam bahasa “menyegarkan” dan “menuju kemajuan”. Maha Suci dan Maha Benar Allah Ta’ala atas segala firman-Nya, benar-benar tepat sepeti yang digambarkan dalam kedua ayat di atas.
Pada ayat selanjutnya Allah Ta’ala menyebutkan kriteria kedua yang ada pada diri orang-orang munafik:
وإذا قيل لهم آمنوا كما آمن الناس قالوا أنؤمن كما آمن السفهاء آلا إنهم هم السفهاء ولكن لا يعلمون
“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman’, mereka menjawab: ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. Al Baqarah: 13)
Mereka senantiasa merasa bahwa mereka adalah para intelektual, ahli dalam berbagai ilmu, dan memiliki metode berfikir dan sikap yang lebih maju dan lebih rasional dibanding orang-orang yang benar-benar beriman. Watak dan kriteria ini ternyata juga dengan mudah kita baca dan lihat pada orang-orang munafik di zaman kita, sebagai salah satu buktinya, silahkan baca ucapan UAA berikut ini:
“Pandangan bahwa syari’at adalah suatu ‘paket lengkap’ yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah salah satu bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme, inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima ‘kemalasan’ semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan.” (Idem, hal. 13).
Di lain kesempatan ia berkata:
“Upaya penegakan syari’at Islam adalah wujud dari ketidak berdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang menghimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara yang rasional.” (Idem hal. 12).
Tuduhan sekaligus penghinaan UAA terhadap kaum mukminin yang mengikuti syari’at agama Allah, serupa dengan tuduhan orang-orang kafir, penentang para rasul zaman dahulu, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an:
قالوا أنؤمن لك واتبعك الأرذلون
“Mereka berkata: Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang yang hina?” (QS. As Syu’ara’: 111)
Di banyak kesempatan UAA juga menganggap bahwa keimanan, keIslaman, dan segala yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh ulama’ salaf (terdahulu) adalah Islam historis, partikular, atau klasik, beku, menindas maslahat manusia. (Idem hal. 9, 10, & 10). Dan tidak segan-segannya ia menganggap bahwa Islam yang ia ajarkan adalah Islam yang lebih segar, lebih cerah dan lebih memenuhi maslahat manusia. (Idem hal. 16). Berbagai kata-kata indah ia gunakan untuk mengemas kebencian dan permusuhan terhadap agama dan umat Islam yang sedang membara dalam jiwanya.
Pada kesempatan ini saya mengingatkan kaum muslimin dimanapun mereka berada agar senantiasa mensyukuri berbagai kenikmatan Allah Ta’ala yang senantiasa menyertai setiap denyut kehidupan mereka. Betapa tidak, Allah Ta’ala dalam banyak dalil telah menjanjikan akan senantiasa membongkar kedok orang-orang munafikin, sehingga tipu muslihat dan jati diri mereka senantiasa diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang beriman,
ولو نشاء لأريناكهم فلعرفتهم بسيماهم ولتعرفنهم في لحن القول والله يعلم أعمالكم
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu, sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. Muhammad: 30)
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه يقول: من عمل عملا كساه الله رداءه، إن خيرا فخير وإن شرا فشر. رواه البيهقي
“Diriwayatkan dari sahabat Utsman bin Affan rodiallahu ‘anhu ia berkata: Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan, niscaya Allah akan menampakkan tanda-tanda amalan itu pada dirinya, bila amalannya baik, niscaya akan kelihatan baik, dan bila amalannya buruk, niscaya akan kelihatan buruk.” (Riwayat Al Baihaqi)

Tiga Alasan di Balik Gerakan JIL
Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa UAA melakukan semua ini? Atau mengapa ia dengan sengaja menutup mata kepala dan juga mati hatinya dari kenyataan yang sangat terang bahkan lebih terang dibanding sinar matahari di siang bolong seperti ini? Dan apa yang hendak ia dan kelompoknya capai?
Untuk mengetahui jawabannya, saya akan mengajak saudara-saudaraku kaum muslimin untuk sedikit menghayati beberapa firman Allah berikut ini:
وعد الله الذين آمنوا وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكننهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم الفاسقون
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menggantikan (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam keadaan ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. An Nur: 55)
Dan juga firman-Nya:
يأيها الذين آمنوا إن تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم
“Hai, orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Inilah yang hendak mereka kikis dari kaum muslimin, yaitu iman dan amal shaleh. Musuh-musuh kaum muslimin sadar benar, dan telah membuktikan, bahwa sepanjang sejarah kekuatan kaum muslimin terletak pada keimanan dan tawakkal mereka kepada Allah Ta’ala, yang didukung oleh amal shaleh yang senantiasa mereka jalankan. Dan mereka (musuh-musuh Islam) sadar bahwa selama kaum muslimin berpegang teguh dengan keimanan yang benar dan mengamalkan syari’at yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak akan mampu menaklukkan kaum muslimin.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, berkata: “Tatkala kemunafikan, amaliah bid’ah, kemaksiatan -yang semua itu bertentangan dengan ajaran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam- telah merajalela di masyarakat mereka (dinasti Umawiyyah dan Abbasiyah), maka musuh dapat menguasai mereka, sehingga orang-orang Romawi yang beragamakan Nasrani berani berkali-kali menyerang daerah Syam, dan Al Jazirah, dan akhirnya mereka berhasil menguasai benteng-bentang pertahanan Syam satu demi satu, hingga pada akhir abad keempat mereka berhasil menguasai Baitul Maqdis. Kemudian selang tak berapa lama setelah itu, mereka mengepung kota Damasqus. Dan penduduk Syam kala itu dalam situasi yang sangat buruk, kebanyakan mereka satu dari dua alternatif berikut: orang kafir Nasrani atau orang munafik lagi musyrik. Hingga akhirnya tampillah Nuruddin As Syahid sebagai pemimpin, kemudian ia mengajarkan dan menegakkan ajaran Islam, dan memerangi musuh-musuhnya…..Dan demikian juga halnya kaum muslimin di belahan bumi bagian timur, tatkala mereka menegakkan syari’at Islam, mereka mendapatkan pertolongan dari Allah dalam melawan musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang Turki, India, Cina dan lainnya. Dan tatkala mereka telah melakukan berbagai perlakuannya, berupa amaliah bid’ah, kesyirikan, dan berbagai kemaksiatan, maka orang-orang kafir berhasil menguasai mereka. ….Dan diantara penyebab keberhasilan pasukan Tar-tar masuk ke negri kaum muslimin ialah merajalelanya berbagai amaliah kesyirikan, kemunafikan, dan bid’ah, sampai-sampai Fakhrurrazi menulis bukunya yang mengajarkan peribadatan kepada bintang, berhala, dan metode-metode ilmu sihir, buku itu ia beri nama: “Al Sirr Al Maktum Fi Al Sihr wa Mukhothabah Al Nujum.” (Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 13/178-182).
Ahlul bid’ah dan orang-orang munafiqin sepanjang sejarah telah menjadi salah satu faktor utama bagi kemunduran dan kekalahan kaum muslimin. Sebagai salah satu contoh pengkhianatan ahlul bid’ah dan kaum munafiqin terhadap kaum muslimin ialah apa yang terjadi pada saat Kaum Tar-tar pada tahun 656 H, menyerang kota Baghdad ibu kota Khilafah Abbasiyah. Pada awalnya mereka merasa gentar dan takut untuk menyerbu kota baghdad, akan tetapi setelah terjadi surat menyurat antara mereka dengan salah seorang pejabat tinggi di khilafah Abbasiyyah yang ia menganut paham syi’ah, yaitu Wazir Muayyiduddin Muhammad bin Ahmad Al Qummy, maka merekapun memberanikan diri untuk menyerbu kota Baghdad, dan akhirnya terjadilah sejarah pilu yang telah panjang lebar di tuturkan oleh para ahli sejarah. (Bagi yang ingin membaca bagaimana kronologi pengkhianatan orang ini kepada kaum muslimin, silahkan baca kitab Al Bidayah wa An Nihayah, karya Imam Ibnu Katsir13/213).
Bahkan sejarah kaum muslimin juga telah membuktikan bahwa orang-orang munafiqun dan ahlul bid’ah telah berhasil melakukan banyak hal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang Nashrani atau Yahudi. Sebagai contohnya, ialah apa yang dilakukan oleh orang-orang Qaramithah (salah satu sekte kebatinan)[5] mereka dibawah pimpinan Abu Thahir Al Qirmith membantai kafilah-kafilah jama’ah haji, merampas seluruh harta perbekalan mereka. Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah mereka pada musim haji tahun 317 H menyerang kota Makkah, dan membantai jamaah haji, kemudian membuang mayat-mayat mereka ke sumur Zam-zam, dan ditambah lagi salah seorang dari mereka mencongkel hajar aswad, sambil berkata: “Dimanakah burung Ababil?! Dimanakah bebatuan dari Sijjil?! [6] Lalu mereka membawa pergi Hajar Aswad ke tempat mereka di daerah Bahrain, dan selama 22 tahun Hajar Aswad mereka simpan di negri mereka, sehingga selama itu pula kaum muslimin tidak dapat mencium Hajar Aswad ketika berthawaf mengelilingi Ka’bah, semoga Allah membalas mereka dengan azab yang setimpal, dan menumpas pengikut mereka dimanapun berada. (Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Imam Ibnu Katsir 11/172).
Ini adalah tujuan pertama, yaitu JIL mengemban tugas melemahkan kekuatan kaum muslimin, serta menimbulkan perpecahan ditengah-tengah mereka.
Dan Tujuan mereka kedua ialah untuk mengabdi kepada tuan-tuan mereka yang telah mendanai mereka, yaitu kaum salibis, kaum nashara’ guna melicinkan program kristenisasi di bumi Nusantara. Sebab bila setiap orang Islam sudah beranggapan bahwa semua agama adalah sama, maka jalan akan menjadi mulus nan licin dihadapan para misionaris, toh tidak ada bedanya (menurut anggapan JIL) antara Islam dan Nasrani, apalagi ditambah dengan iming-iming materi, sembako, pengobatan, beasiswa dll. Apalagi bagi orang-orang yang silau mata melihat kemajuan IPTEK yang ada pada orang-orang Nasrani, sehingga ia beranggapan bahwa faktor utama yang menjadikan mereka mencapai kemajuan ini adalah karena mereka memiliki kebebasan berfikir, berpendapat, bersikap, dst, tanpa ada campur tangan dari agama mereka.
Dan untuk semakin membuka lebar-lebar jalan pemurtadan bagi kaum misionaris, mereka (JIL) dan dengan mati-matian memperjuangkan bolehnya pernikahan antar agama, wanita muslimah dinikahi oleh lelaki Yahudi atau Nasrani. Hal inilah diantara yang melatar belakangi UAA berkata:
“Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam sudah tidak relevan lagi.” (Islam Liberal & Fundamental hal. 8 & 248).
Yang semakin menguatkan dugaan saya adalah ucapan UAA yang mengatakan bahwa agama Kristen lebih dewasa bila dibanding agama Islam. Berikut cuplikan dari ucapan UAA:
“Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa, terjadi di Kristen selama berabad-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar gereja. Baru pada 1965 masehi, Gereja katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam yang berusia 1,423 tahun dari hijrah nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik.” (Idem, hal. 247).
Kita semua dapat membayangkan, bila orang awam diajari bahwa semua agama adalah sama, akan tetapi ada yang lebih dewasa, yaitu agama Kristen atau Katolik, tentu proses kritenisasi akan mudah, semudah keluarnya air dari mulut guci.
Tujuan kedua ini, jauh-jauh hari telah dibongkar oleh Al Qur’an:
ولن ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah: 120)
Dan tujuan ketiga yang mungkin melatar belakangi UAA dan JIL-nya melakukan ini semua ialah rasa tamak terhadap kekayaan dan sensasi semu, sehingga menjadikannya siap untuk menggadaikan apa saja demi mencapai kepentingan dunia ini:
(قال معاذ بن جبل: إن من ورائكم فتنا يكثر فيها المال ويفتح فيها القرآن حتى يأخذه المؤمن والمنافق والرجل والمرأة والصغير والكبير والعبد والحر، فيوشك قائل أن يقول: ما للناس لا يتبعوني وقد قرأت القرآن، ما هم بمتبعي حتى أبتدع لهم غيره، فإياكم وما ابتدع فإن ما ابتدع ضلالة). رواه أبو داود والبيهقي وصححه الحاكم على شرط الشيخين.
“Sahabat Mua’az bin Jabal berkata: Sesungguhnya di masa yang akan datang akan banyak terjadi fitnah dan harta akan melimpah ruah, dan Al Qur’an akan banyak dipelajari orang, sehingga Al Qur’an akan dibaca oleh setiap orang; oleh orang yang beriman dan juga oleh orang munafiq, oleh laki-laki dan juga oleh perempuan, oleh anak kecil dan juga oleh orang dewasa, oleh budak dan juga oleh orang yang merdeka. Dan sebentar lagi akan ada orang yang berkata, ‘Mengapa orang-orang enggan mengikutiku, padahal aku telah mempelajari Al Qur’an. (Sungguh) mereka tidak akan mengikutiku, hingga aku mengadakan untuk mereka hal baru selain (ajaran Al Qur’an).’ (Kemudian Mu’az bin Jabal berwasiat): ‘Berhati-hatilah kamu dari apa yang ia ada-adakan, karena sesungguhnya hal yang ia ada-adakan adalah kesesatan.’” (Riwayat Abu Dawud, Al Baihaqi dan dinyatakan shahih dan selaras dengan persyaratan Bukhari dan Muslim oleh Al Hakim)
Semoga tulisan singkat ini sedikit membantu saudara-saudaraku umat islam dalam mengenali siapa jati diri Ulil Abshar Abdallah dengan JIL-nya. Wallahu a’alam bis shawab.
اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السَّماواتِ والأرضِ، عالمَ الغيبِ والشَّهادة، أنتَ تحْكُمُ بين عِبَادِك فيما كانوا فيه يَخْتَلِفُون، اهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فيه من الحق بإِذْنِكَ؛ إنَّك تَهْدِي من تَشَاء إلى صراط مستقيم. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعينز والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan padanya, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.”



Disebarkan di Maktabah Abu Salma al-Atsari atas izin muslim.or.id
Hak cipta berada di tangan penulis dan webmaster muslim.or.id
Risalah ini dapat disebarluaskan dan diprint/dicetak selama tidak untuk komersial dan hanya dibagikan gratis




[1] Silahkan baca artikel yang ia tulis dengan judul ini, yang di muat di harian Kompas tgl 18 Novemper 2002, dan kemudian ia bukukan dalam buku yang diberi judul: Islam Liberal & Fundamental, sebuah pertarungan wacana, diterbitkan oleh Penerbit eLSAQ PRESS, Sleman Jogjakarta, dan yang menjadi sumber tanggapan ini adalah cetakan ke-V, April 2005 M
[2] Maksud mereka dari perkataan: “hal yang dikehendaki”, ialah mereka menuduh Nabi Muhammad bahwa ia menyeru kepada ajaran tauhid, yaitu beribadah hanya kepada Allah, dan meninggalkan segala peribadatan kepada selain-Nya guna mencari kedudukan sosial, dan hanya sekedar mencari pengikut. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Jarir At Thabari dalam kitab Tafsirnya 10/551, dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 4/27.
[3] Diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat-ayat ini adalah ketika Abu Thalib paman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sedang sakit, maka datanglah Abu Jahal dengan beberapa pemuka Quraisy lainnya menemui Abu Thalib, guna memohon darinya agar ia sudi membujuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam agar tidak lagi mencela dan menjelek-jelekkan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Akan tetapi usaha mereka ini tidak membuahkan hasil apapun, karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tetap bersikukuh dengan risalahnya yaitu ajaran tauhid, beribadah hanya kepada Allah dan memerangi segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Melihat sikap Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang demikian ini, Abu Jahal menyelonong pergi sambil mengucapkan seperti yang dikisahkan oleh Al Qur’an di atas. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, At Tirmizy, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, Al Baihaqi, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
[4] Ini adalah cuplikan dari penutup tulisan UAA yang dimuat di harian KOMPAS edisi 18 Nopember 2002 M, dan kemudian dibukukan dan di beri judul: Islam Liberal & Fundamental, hal. 16.
[5] Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh tentang mereka, silahkan baca kitab Al ‘Aqa’id Al bathiniyyah wa Hukmul Islam Fiha oleh Dr. Shabir Thu’aimah.
[6] Bila ada yang bertanya: Mengapa Allah tidak menurunkan azab kepada mereka sebagaimana Allah Ta’ala turunkan kepada pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, padahal keduanya sama-sama menghina Ka’bah? Ibnu Katsir rahimahullah, menjawab pertanyaan ini dengan menukilkan firman Allah:
ولا تحسبن الله غافلا عما يعمل الظالمون إنما يؤخرهم ليوم تشخر فيه الأبصار
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (yaitu hari qiyamat).” (QS Ibrahim: 42)
Ditambah lagi bila pada zaman Abrahah ia ingin menghinakan Ka’bah karena ingin memalingkan seluruh manusia agar beribadah di gereja yang telah ia bangun di negri Yaman dan meninggalkan Ka’abah, padahal Ka’abah sebentar lagi akan dijadikan sebagai tempat peribadatan penghulu para nabi dan rasul, yaitu Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, dan agama-agama sebelumnya (Yahudi dan Nashrani) tidak mengagungkannya, sehingga keagungan Ka’abah belum tertanam kokoh di jiwa seluruh umat. Beda halnya dengan kejadian orang-orang Qaramithah, setiap kaum muslimin di penjuru dunia sudah beriman bahwa Ka’abah adalah tempat suci dan merupakan kiblat mereka, sehingga mereka semua yakin dan sadar bahwa perilaku Qaramithah adalah salah satu bentuk kejahatan yang tiada tara. Silahkan baca keterangan beliau dengan sempurna di Al Bidayah wa An Nihayah 11/173-174.