TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG Bertengkar Itu Indah
Buat Yang Udah Nikah, Mau Nikah, punya Niat untuk nikah. Bertengkar
adalah phenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada
seseorang berkata: "Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya
!" Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah
berdusta. Yang jelas kita perlu menikmati sa'at-sa'at bertengkar itu,
sebagaimana lebih menikmati lagi sa'at sa'at tidak bertengkar.
Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja
dihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam
bertengkarpun kita bisa mereguk hikmah, betapa tidak, justru dalam
pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat
dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan pesannya terasa
kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi.
Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus
dilakukan kala kita bertengkar, dari beberapa perbincangan hingga waktu yang
mematangkannya, tibalah kami pada sebuah Memorandum of Understanding, bahwa
kalau pun harus bertengkar, maka :
1.
Kalau bertengkar tidak boleh berjama'ah.
Cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada
tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang
berjama'ah, seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika ia marah
dan saya mau menyela, segera ia berkata "STOP" ini giliran saya !
Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati
: "kamu makin cantik kalau marah, makin energik ...." Dan dengan diam
itupun saya merasa telah beramal sholeh, telah menjadi jalan bagi
tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi... "duh kekasih ...
bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega, maka dipadang kelegaan
perasaanmu itu aku menunggu ...."
Demikian juga kalau pas kena giliran saya "yang olah raga otot
muka", saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang
tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan
saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri saya maka kini giliran dia yang harus bersedia
jadi keranjang sampah. Pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus
berjama'ah, sebab ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama'ah
selain marah
2.
Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat masa.
Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa
silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun
tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai
hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan,
bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai
harapan, hanyalah sebuah, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa,
menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.
Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan
itu sekeras apapun kecamannya, adalah "ungkapan rindu yang keras". Tapi
bila itu dikaitkan dgn seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan
kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.
Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas
apapun saya marah, maka itu adalah "harapan ingin disayangi lebih
tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan dgn kesalahannya kemarin dan tiga hari
lewat, tuduhan "Sudah tidak suka lagi ya dengan saya", maka saya
telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu,
ups saya telah membunuhnya, membunuh cintanya. Padahal kalau cintanya mati,
saya juga yang susah ... OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak
hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini.
.....
3.
Kalau marah jangan bawa-bawa keluarga !
Saya dengan isteri saya terikat baru beberapa masa, tapi saya dengan ibu
dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia
dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung
kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).
Saya tidak akan terpancing marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau
ibu saya diajak serta, jangan coba-coba. Begitupun dia, semenjak saya
menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia,
karenanya mengapa harus bawa-bawa barang lain ke kancah "awal cinta yang
panas ini".
Kata ayah saya : "Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu
banyak". Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari ma'afnya
dari pada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri saya..". Dunia
sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah-tambah dengan memusuhi mertua!
4.
Kalau marah jangan di depan anak-anak !
Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia
tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton
komedi liar rumah kita.
Anak yang melihat orang tua nya bertengkar, bingung harus memihak siapa.
Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu 'kan bapak saya. Ketika
anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
* Ibu : "Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu
datang main suruh begitu, emang saya ini babu
!!"
* Bapak : "Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan
aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada, emang
saya ini kuda ????!!!!
* Anak : "...... Yaaa ...ibu saya babu, bapak saya kuda .... terus
saya ini apa ?"
Kita harus berani berkata : "Hentikan pertengkaran !" ketika anak
datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada
tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata basi
hati kita ???
5.
Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat !
Pada setiap tahiyyat kita berkata : "Assalaa-mu 'alaynaa wa 'alaa
'ibaadilahissholiihiin" Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba
hambamu yg sholeh .... Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah
salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustai Nya,
padahal nyawamu ditangan Nya.
OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti lho
itu janji dengan Ilahi ..... Marahlah habis shubuh, tapi jangan lewat waktu
dzuhur, Atau maghrib sebatas isya ... Atau habis isya sebatas....??? Nnngg....... Ah kayaknya kita sepakat kalau
habis isya sebaiknya memang tidak bertengkar ...
6.
Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema'afkan (Hikmah yang ini
saya dapat belakangan, ketika baca di koran resensi sebuah film).
Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah
"proses belajar untuk mencintai lebih intens" Ternyata ada yang masih
setia dengan kita walau telah kita maki-maki. Ini saja, semoga bermanfa'at,
"Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk bersedia
dibatasi". Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia
pintar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar