01. Beragama
Islam
Allah berfirman dalam
beberapa ayat berikut:
"...Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
menguasai orang-orang yang beriman"
(Q.S. An-Nisaa' : 141)
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
orang-oarang kafir itu; dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka..." (Q.S.Al-Mumtahanah : 10)
"...Mereka
tiada henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa
yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran,
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat; dan mereka
itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."(Q.S. Al-Baqarah : 217)
"...Janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik daripada orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya..."(Q.S. Al-Baqarah : 221)
Penjelasan:
Menurut ahli Tafsir, ayat
pertama dinyatakan sebagai suatu ketentuan melarang orang Islam mengangkat
orang kafir menjadi pemimpinnya atau penguasanya. Termasuk dalam pengertian
mengangkat orang kafir sebagai pemimpin atau penguasa adalah menjadikan
laki-laki non-muslim sebagai suami bagi wanita muslim, karena suami
memiliki kekuasaan terhadap istrinya.
Ayat kedua menerangkan
bahwa kaum muslimin dilarang menyerahkan wanita muslim kepada laki-laki
kafir, termasuk mengawinkan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim.
Ayat ketiga menjelaskan
bahwa orang-orang kafir baik yang beragama Yahudi, Nasrani, maupun yang
lain, selalu berusaha untuk menghancurkan agama Islam dan mengembalikan
orang-orang yang beragama Islam kepada kekafiran. Oleh karena itu, untuk
mencegah agar wanita-wanita muslim tidak menjadi sasaran usaha pemurtadan
oleh orang-orang non-muslim, kaum muslimin dilarang mengawinkan
wanita-wanita muslim dengan laki-laki kafir, apapun agamanya.
Ayat keempat melarang
kaum muslimin umumnya, dan wali atau orang tua dari perempuan-perempuan
muslim khususnya, untuk mengawinkan para perempuan ini dengan laki-laki
musyrik atau kafir.
Ketentuan-ketentuan di
atas dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan muslim
agar mereka tidak menjadi obyek bagi musuh-musuh islam dalam usahanya
melemahkan kaum muslimin dan menghancurkan Islam dari pemerkuaan bumi ini.
Perkawinan merupakan
jalan bagi orang-orang kafir untuk memaksakan kehendaknya dengan leluasa
terhadap keluarga agar mengikuti agama mereka.
Hal ini bisa terjadi
sebab suami oleh Islam ditempatkan sebagai pemimpin dan penguasa dalam
rumah tangga yang harus ditaati oleh istri. Dengan kekuasaannya para suami
kafir mudah sekali memurtadkan istri dari Islam dan mengajak anak-anaknya
mengikuti agamanya. Dengan cara semacam ini jumlah kaum muslimin
lama-kelamaan akan menjadi berkurang dan kekuatannya menjadi lemah. Hal
semacam ini sudah tentu sangat membahayakan perkembangan umat Islam dan
sekalipun merusak kemurnian ajaran Islam.
Karena kekuasaan dan
wewenang untuk memimpin keluarga diberikan kepada suami, Islam menegaskan
adanya larangan bagi kaum muslimin untuk mengawinkan perempuan-perempuan
mereka dengan laki-laki non-muslim atau kafir.
Bilamana ada orang yang
beranggapan bahwa tidak semua laki-laki non-muslim berusaha menghancurkan
atau merusak islam, setidak-tidaknya merusak keislaman wanita muslim yang
menjadi istrinya atau anak-anaknya kelak, anggapan semacam ini SALAH!
Dikatakan demikian sebab hal tersebut bertentangan dengan penegasan Allah
bahwa:
1.Orang Yahudi atau
Nasrani tidak akan senang kepada orang Islam sebelum yang bersangkutan
dapat dikafirkan. (Q.S. Al-Baqarah : 217)
2.Orang musyrik yang lain
juga bersikap semacam hal tersebut di no.1 kepada orang Islam. (Q.S
Al-Baqarah : 105)
3.Orang Islam tidak boleh
berkumpul jadi satu dengan orang kafir atau musyrik. (Q.S. An-Nisaa' : 140)
4.Orang Islam tidak boleh
dipimpin oleh orang kafir dalam urusan apapun, termasuk urusan keluarga.
(Q.S. Ali Imran : 118)
Wanita muslim yang kawin
dengan lelaki non-muslim, apakah dia Nasrani, Hindu, budha, Kong Hu Cu,
atau yang lain-lain, berarti telah melakukan yang haram. Dikatakan demikian
sebab wanita muslim hanya dihalalkan bersuamikan seorang laki-laki muslim.
Wanita muslim yang
melanggar ketentuan ini berarti telah melakukan perkawinan yang tidak sah
walaupun menurut hukum negara perkawinannya sah. Hubungan seksual dilakukan
dinilai sebagai perbuatan zina. Oleh karena itu, anak yag dilahirkan dari
perkawinan semacam ini adalah anak zina.
Apabila ia bersikeras
kawin dengan laki-laki non-muslim dengan mengabaikan ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, yang bersangkutan telah murtad dari agamanya karena telah
mengingkari ketentuan tegas dari Allah dan Rasul-Nya.
Wanita muslim yang kawin
dengan laki-laki non-muslim akan mengalami kerugian duniawi dan ukhrawi. Di
dunia ia akan mengalami kemerosotan aqidah sehingga kecintaannya kepada
agama semakin lemah dan semangatnya untuk dekat dengan Allah semakin
luntur. Kondisi kejiwaan semacam ini pasti akan menimbulkan kebimbangan dan
keraguan dan akhirnya akan menimbulkan perasaan bingung dan cemas bila
menghadapi problem kehidupan yang serius. Adapun kerugian ukhrawi kelak
ialah dia akan menghadapi adzab dan siksa dari Allah sejak masuk ke liang
kubur sampai hari kebangkitan yang kemudian diteruskan dengan adzab neraka.
Kerugian semacam ini sudah pasti merupakan penderitaan mahaberat, karena
yang bersangkutan tidak dapat menyelamatkan diri dari kepungan siksa dan
adzab tersebut.
Setiap muslim atau orang
tua atau walinya haruslah lebih dahulu mengecek keislaman laki-laki yang
meminta dirinya atau anak atau perempuan dibawah perwaliannya sebagai
istri.
Untuk mengetahui apakah
laki-laki calon suami itu seorang muslim atau bukan, ia dapat menanyai yang
bersamgkutan. Jika kurang puas dengan jawabannya, mereka dapat menyelidiki
keluarganya. Jika ternyata keluarganya non-muslim, hal ini bukan berarti
dirinya juga bukan muslim, sebab boleh jadi dia sendiri muslim.
Keyakinan yang
bersangkutan dapat juga ditanyakan kepada tetangga dekatnya atau tokoh muslim
di tempat tinggalnya atau teman-teman dekatnya yang sehari-hari mengetahui
perilaku yang bersangkutan dalam beragama. Selain itu, dapat juga ia
meneliti keterangan yang tercantum dalam KTP-nya (Id-Card) atau mengujinya
tentang beberapa prinsip mengenai Islam.
Pertanyaan-pertanyaan
prinsip itu antara lain tentang rukun islam, rukun iman, syarat-syarat
sholat, shalat-shalat wajib dan jumlah raka'at tiap-tiap shalat, waktu
puasa, rukun puasa, hari raya dalam Islam, dan permulaan hitungan tahun
Islam. Dengan cara-cara di atas kita dapat mengetahui
apakah laki-laki tersebut benar-benar muslim atau bukan.
Jika dia bukan seorang muslim, perempuan tersebut harus menolak
lamarannya. Bila ternyata laki-laki tersebut mau memeluk Islam, hendaklah
yang bersangkutan diuji dulu keislamannya beberapa lama sehingga dapat
dibuktikan apakah dia beragama Islam secara ikhlas atukah hanya
berpura-pura. Insya Allah, dengan cara ini akan dapat menghindarkan
perempuan muslim dari perangkap laki-laki kafir.
Ringkasnya, perempuan muslim tidak boleh bersuamikan laki-laki
non-muslim karena hal itu sudah pasti akan merusak agamanya dan melanggar
larangan Allah. Menjadi istri orang kafir berarti berada di bawah
kepemimpinan orang kafir yang dilarang oleh Islam dan mengingkari hukum Allah.
Hal ini berarrti telah murtad dari agamanya. ***
02. Taat Beragama dan Baik Akhlaqnya
Disebutkan dalam Hadits sebagai berikut:
"Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridhai
agama dan akhlaqnya, hendaklah kamu nikahkan dia, karena kalo engkau tidak
mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan
yang meluas."(H.R. Tirmidzi dan Ahmad)
Penjelasan:
Hadits di atas memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin, khususnya
para orang tua atau wali, untuk benar-benar memperhatikan ketaatan beragama
dan akhlaq laki-laki yang akan menjadi suami dari anak atau perempuan di
bawah perwaliannya. bila ada laki-laki yang taat beragama dan baik
akhlaqnya namun tidak mampu membiayai diri untuk kawin, masyarakat muslim
diharuskan memberikan pertolongan kepada yang bersangkutan agar dapat
menikah dengan baik.
Jika masyarakat tidak mau membantu bahkan membiarkannya membujang
karena tidak mendapatkan perempuan yang mau dijadikan istri, mereka akan
mengalami kerugian sendiri. Mungkin sekali lingkungan mereka akan menjadi
rusak karena banyaknya pembujangan. Orang-orang yang membujang boleh jadi
terjerumus ke dalam penyelewengan seksual. Jika hal ini meluas di tengah
masyarakat, sudah tentu malapetaka ini akan membahayakan kesejahteraan
mereka.
Dari penjelasan Hadits di atas kita dapat memahami adanya keharusan
bagi setiap perempuan muslim untuk selalu memperhatikan dengan seksama
faktor akhlaq dan ketaatan calon suaminya dalam beragama. Hal ini perlu
dilakukan karena kelak laki-laki ini akan menjadi pemimpin rumah tangganya
samppai saat yang dikehendaki oleh Allah.
Seorang perempuan sering kali lebih memperhatikan kemampuan materi dari
laki-laki yang akan menjadi calon suaminya dan mengabaikan sisi agama dan
tanggung jawabnya dalam merealisasikan kehidupan beragama sehari hari. ia
menganggap bahwa yang lebih penting dalam rumah tangga adalah kemampuan
materi seorang suami sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bagi
keluarganya. Ia tidak mempedulikan masalah akhlaq dan ketaatan beragama
karena menganggap bahwa kesejahteraan keluarga dapat diperoleh walaupun
mereka tidak taat beragama.
Anggapan semacam ini ternyata hanya membawa malapetaka pada diri mereka
sendiri. Hal ini bisa terjadi sebab suami yang beranggapan bahwa yang
penting adalah pemenuhan kebutuhan harta benda tidak akan mau peduli akan
pemberian pelayanan akhlaq yang menyenangkan terhadap istrinya. Dia merasa
bebas dan merdeka untuk berbuat apa saja selama dapat memenuhi kebutuhan
materi keluarganya. Kenyataan semacam ini dapat
kita saksikan di masyarakat kota-kota besar. Secara materi, mereka
berkecukupan tetapi menderita tekanan mental dan mengalami gangguan
psikologis akibat perbuatan sewenang-wenang suami atau perselingkuhan suami
dan lain-lainnya.
Ada lagi orang yang beranggapan bahwa kualitas ketaatan calon suami
pada agama tidaklah penting, karena hal tersebut bisa diperbaiki dan
ditingkatkan secara bertahap setelah yang bersangkutan sah menjadi suami.
Dalam perjalanan rumah tangga nanti istri berusaha untuk memperbaiki,
membina dan meningkatkan keagamaan suami agar menjadi seorang yang shalih.
Hal semacam ini mungkin bisa berhasil, tetapi kemungkinan gagal lebih
besar. Artinya, muslimah yang beranggapan bahwa memperbaiki ketaatan
beragama calon suami sesudah menjadi suaminya merupakan hal yang mudah,
perlu mempertimbangkan lagi pemikirannya. Mereka perlu mengetahui bahwa
merubah orang yang kurang baik menjadi baik bukan suatu pekerjaan yang
mudah. Siapakah yang berani menjamin bahwa laki-laki semacam itu kelak
dengan mudah menjadi laki-laki yang shalih sehingga memenuhi kriteria suami
yang taat pada agama? Bukankah faktor yang bisa memicu suami yang kurang
taat beragama menjadi semakin jauh dari agama umunya lebih besar, terutama
sekali dalam lingkungan masyarakat yang serba materialis pada era modern
ini?
Seorang muslimah yang benar-benar lebih mengutamakan keselamatan
agamanya daripada sekedar mengejar keinginan hawa nafsunya, hendaklah
menjauhkan diri dari langkah mencoba-coba yang membahayakan keselamatan
agama dirinya dan anak-anaknya kelak. Jangan sampai terjadi dia yang selama
ini sangat taat beragama menjadi orang yang meninggalkan agama sesudah
bersuami, misalnya meninggalkan sholat, melepas jilbab, melakukan pergaulan
bebas dan lain-lainnya, yang merupakan perbuatan-perbuatan durhaka kepada
Allah.
Untuk mencegah agar perempuan muslim tidak terjerumus dalam perangkap
laki-laki yang merugikan kehidupan agama dan rumah tangga mereka kelak,
setiap perempuan muslim atau orang tua atau walinya perlu mengadakan
penelitian seksama terhadap laki-laki yang meminta dirinya atau anak atau
perempuan di bawah perwaliannya menjadi istri. Mereka bisa menempuh cara
antara lain :
1)Menanyakan dan menyelidiki dengan seksama seberapa jauh laki-laki
tersebut beragama dan bagaimana akhlaqnya. Segi-segi yang diselidiki antara
lain :
a)ketaatannya menjalankan sholat lima waktu;
b)ketaatannya menjalankan puasa Ramadhan;
c)kepatuhan kepada orang tua;
d)kerukunannya dengan tetangga; dan
e)perilakunya terhadap yang lemah atau miskin.
2)Memperhatikan teman-teman pergaulannya apakah dia bergaul dengan
orang-orang yang taat menjalankan agama atau dengan orang-orang yang suka
berbuat maksiat. Jika yang bersangkutan bergaul dengan orang-orang yang
taat menjalankan agama, besar kemungkinan ia orang yang taat dalam beragama
dan baik akhlaqnya. Sebaliknya, jika teman-teman pergaulannya adalah
orang-orang yang suka mabuk, berjudi, main perempuan, berlaku curang dan
lain-lainnya, orang semacam ini jelas memiliki indikasi sebagai orang yang
berakhlaq rusak.
Mengingat seorang laki-laki yang menjadi suami harus bisa menjadi
pemimpin dan contoh yang baik bagi keluarganya, perempuan muslim atau orang
tua atau walinya tidak boleh menganggap remeh masalah kualitas keagamaan
laki-laki yang menjadi calon suaminya atau calon suami anak atau perempuan
di bawah perwaliannya.
Para perempuan muslim harus benar-benar seksama mencermati masalah
kualitas keagamaan dan akhlaq laki-laki tersebut agar kelak dirinya tidak
terjerumus ke dalam kehidupan rumah tangga yang menyimpang dari ajaran
Islam. Insya Allah, dengan suami yang benar-benar berpegang pada akhlaq
yang baik dan menjalankan agama yang lurus, istri dan anak-anak kelak akan
menikmati suasana rumah tangga yang penuh bahagia dan sejahtera, bagaikan
di dalam syurga.***
03. Menjauhi Kemaksiatan
Allah berfirman dalam QS At-Tahiriim Ayat 6 :
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu
dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah atas perintah Allah kepada mereka dan selalu taat pada apa yang
diperintahkan."
Disebutkan juga dalam hadits berikut :
"Tiga golongan yang Allah haramkan masuk syurga
yaitu : peminum minuman keras, orang yang durhaka terhadap ibu bapaknya,
dan orang yang berbuat dayyuts yang menanamkan perbutan dosa kepada
keluarganya."(H.R. Nasa'i)
Penjelasan :
Menjauhi kemaksiatan ialah menjauhi perbuatan yang diharamkan oleh
agama, terutama yang tergolong dosa besar, seperti syirik, berjudi,
berzina, mabuk, mencuri dan lain-lainnya.
Ayat di atas menegaskan bahwa kepala keluarga bertanggung jawab untuk
menjauhkan anggota keluarganya dari segala macam dosa. Kepala keluarga yang
membiarkan keluarganya berbuat dosa, apalagi memberi contoh melakukan
perbuatan-perbuatan dosa, berarti menyiapkan diri masuk ke dalam neraka.
Hal semacam ini dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Adapun dalam Hadits di atas dengan tegas Islam melarang kepala keluarga
membiarkan terjadinya perbuatan-perbuatan dosa besar dalam rumah tangganya
(dayyuts). jadi seorang suami atau ayah berdosa membiarkan istri atau
anak-anaknya minum minuman keras, malakukan kumpul kebo, dan melakukan
dosa-dosa lain di dalam rumahnya, apalagi memberi contoh melakukan
perbuatan dosa kepada anggota keluarganya. Semua perbuatan ini dilaknat
oleh Allah.
Karena para suami dinyatakan sebagai orang yang paling bertanggung
jawab untuk membersihkan anggota keluarganya dari perbuatan maksiat, dengan
sendirinya dia harus dapat dijadikan contoh sebagai orang yang bersih dari
perbuatan maksiat. Dia harus menjadi orang yang taat menjauhi
larangan-larangan agama, terutama yang tergolong dosa-dosa besar. Bila
seorang suami ternyata suka melakukan perbuatan maksiat, dia tak layak
untuk menjadi kepala keluarga. Dikatakan demikian sebab dia sendiri tidak
dapat memelihara dirinya dari perbuatan yang menjerumuskannya ke dalam
neraka, padahal seorang suami bertanggung jawab untuk menyelamatkan diri
dan keluarganya dari siksa tersebut.
Syarat seorang calon suami harus menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan maksiat adalah suatu hal yangmutlak menurut ketentuan
agama. Oleh karena itu, para perempuan muslim wajib dengan seksama dan
teliti menyelidiki laki-laki calon suaminya apakah ia seorang yang bersih
dari perbuatan-perbuatan maksiat atau sebaliknya.
Setiap perempuan muslim tidak boleh terpesona hanya karena keluasan
pengetahuan agama calon suaminya. orang yang pengetahuan agamanya baik atau
cukup belum tentu taat dalam beragama. Adakalanya mereka memanfaatkan
pengetahuan agamanya untuk memutarbalikkan yang haram menjadi halal. Ini
perlu diperhatikan karena dampaknya sangat luas dalam kehidupan agama diri
dan anak-anaknya kelak. Mungkin saja perempuan muslim yang tadinya
berjilbab, tekun menjalankan sholat, dan rajin mengkaji Al-Qur'an, berubah
menjadi sebaliknya karena suaminya tidak menyukai ketaatannya kepada agama.
Banyak terjadi di lingkungan masyarakat kita suami melarang istrinya
berjilbab, padahal istrinya benar-benar menyadarai dosanya tidak berjilbab.
Karena tekanan suaminya, akhirnya dia melepaskan jilbabnya.
Orang-orang yang beranggapan bahwa calon pasangan yang suka berbuat
maksiat mungkin sekali bisa diperbaiki kelak sehingga menjadi orang shalih,
barangkali ada benarnya. Akan tetapi, berapa persenkah orang-orang yang
telah menjalaninya berhasil merubah keadaan semacam itu? Bukti-bukti yang
menunujukkan keberhasilan merubah pasangan suka berbuat maksiat menjadi
orang shalih sangatlah kecil. Bahkan yang sering terjadi sebaliknya, orang
yang semula shalih ikut terseret berbuat maksiat.
Untuk mengetahui apakah calon suami suka berbuat maksiat atau membenci
kemaksiatan dapatlah ditempuh cara-cara antara lain:
1.Menanyakan kepada dirinya atau tetangga dekatnya tentyang latar
belakang kehidupannya apakah ia pernah berjudi, minum minuman keras,
melakukan pergaulan sex bebas atau tidk dan bagaimana sikapnya terhadap
teman yang berjudi atau minum minuman keras atau melakukan pergaulan sex
bebas.
2.Mengetes pengetahuannya tentang perbuatan-perbuatan yang dipandang
dosa besar dalam Islam.
Para perempuan seharusnya benar-benar memeperoleh keyakinan bahwa calon
suaminya adalah orang yang tidak suka, bahkan sangat benci kepada
kemaksiatan. Ia seharusnya tidak mengabaikan hal ini hanya karena dorongan
cinta dan birahi semata, yang kelak bisa berakibat fatal bagi kehidupan
agama dirinya sendiri dan keluarganya. Mendaqatkan suami yang tidak peduli
dengan perbuatan maksiat sama halnya dengan mendapatkan teman yang
menjerumuskan diri dan keluarganya ke dalam neraka. Hal semacam ini wajib
dihindari jauh sebelumnya sehingga hidupnya tidak menderita di dunia maupun
di akhirat kelak.
Jadi, perempuan muslim sebaiknya benar-benar berpegang pada prinsip
yang termaktub dalam QS At-Tahriim di atas, yaitu memilih suami yang
benar-benar dapat memelihara dirinya dan keluarganya dari siksa neraka. Hal
ini berarti bahwa laki-laki yang menjadi suaminya harus benar-benar orang
yang tidak suka berbuat maksiat dan berjuang melenyapkan kemaksiatan dari
lingkungannya, terutama di keluarganya. ***
04. Kuat Semangat Jihadnya
Allah berfirmaan dalam surat Q.S. Ath-Thuur ayat 21 :
"Orang-orang yang beriman dan yang anak cucu
mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya."
Penjelasan :
Maksud jihad di sini ialah kesungguhan untuk membentengi dan membela
kepentingan Islam dari rongrongan musuh-musuhnya, baik musuh yang sudah ada
sekarang maupun yang akan datang.
Ayat di atas menerangkan bahwa bila orang tua mengutamakan kehidupan
agama dan memperjuangkan dengan gigih sehingga perilakunya benar-benar
berdasarkan pada tuntunan agama Allah, yang bersangkutan pasti akan
mendidik anak-anaknya hidup semacam itu. Orang-orang ini kelak akan Allah
pertemukan menjadi satu keluarga di dalam syurga, sehingga kakek, nenek,
anak, cucu dan cicitnya dapat berkumpul menjadi satu di syurga.
Setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, wajib mempertahankan
Islam dari segala serangan musuh. Bila seorang muslim berdiam diri dalam
menghadapi musuh-musuh Islam yang berusaha melenyapkan Islam, baik yang
dilakukan secara halus maupun kasar, berarti ia tidak peduli dengan jihad
dan tergolong lemah imannya.
Tindakan peduli dengan jihad antara lain menyampaikan dakwah kepada
non-muslim dengan tulisan atau lisan, mengajarkan Islam kepada kaum
muslimin agar lebih menguasai agamanya, menentang rongrongan musuh terhadap
Islam, baik melalui tulisan, lisan maupun fisik.
Adapun tindakan tidak peduli dengan jihad yaitu lebih senang berteman
dengan orang yang suka minum minuman keras, dengan orang yang suka main
perempuan, dengan orang yang suka berjudi dan mengikuti pergaulan bebas
atau melakukan dosa-dosa lainnya. Bahkan dia tidak senang melihat, apalagi
bergaul dengan orang-orang yang tekun beribadah dan suka menegakkan syiar
Islam.
Seseorang yang tidak peduli dengan jihad boleh jadi tetap melakukan
sholat. Akan tetapi, ia melakukannya hanya sebagai kebiasaan yang tertanam
sejak kecil di lingkungan keluarganya, bukan sebagai tanggung jawabnya
kepada Allah dan kesungguhannya untuk menegakkan syiar Islam.
Seorang perempuan muslim tidak akan dapat melaksanakan kewajiban
mempertahankan Islam dari segala macam bentuk serangan musuh Islam jika
berumah tangga dengan suami yang tidak peduli dengan keselamatan agamanya.
Semangatnya untuk menjaga syiar Islam mungkin sekali menjadi lemah karena
suaminya tidak mendukung atau bahkan menentangnya.
Seorang muslimah tidak boleh memilih suami dari laki-laki yang tidak
memiliki semangat jihad karena suami semacam ini sudah pasti hanya akan
merugikan kepentingan akhiratnya. Maksudnya, dengan sikap suami yang tidak
peduli dengan jihad, ia akan terjerumus ke neraka karena tidak berjuang
menegakkan syiar Islam dalam kehidupannya di dunia.
Oleh karena itu, sebelum melangkahkan kakinya untuk membentuk rumah
tangga ia perlu melakukan pembuktian dan pengujian terhadap calon suaminya
apakah memiliki semangat jihad atau tidak. Ini perli dilakukan mengingat
sangat pentingnya peranan suami dalam memelihara dan menyalakan semangat
jihad, terutama di lingkungan keluarganya. Cara yang bisa dilakukan antara
lain:
1.Menanyakan kepada teman-teman dekatnya apakah ia suka mengikuti
kegiatan dakwah, mengurus masjid, membantu pengajian, dan lain-lain atau
tidak.
2.Mengamati dan mencermati keadaan keluarganya apakah mereka suka
membantu kegiatan dakwah atau tidak.
3. Mengetes yang bersangkutan dengan beberapa kasus pelanggaran atau
pelecehan terhadap agama, apakah yang bersangkutan merasa terpanggil untuk
membela agamanya atau tidak. Ia amati bagaimana sikapnya bila mengetahui
ada masjid dibakar oleh orang non-Islam, misalnya apakah dia diam atau
marah.
Ringkasnya, para perempuan muslim berkewajiban memilih suami yang
memiliki semangat jihad tinggi. Tujuannya agar keluarganya terbentengi dari
berbagai macam kemaksiatan dan kehidupan keagamaannya benar-benar dapat
berjalan dengan baik dan diridlai oleh Allah. Bilamana kepala rumah tangga
memiliki semangat jihad lemah dan apriori terhadap agama, kemungkinan besar
kehidupan keagamaan keluarganya pun akan menjadi lemah. Hal semacam ini
akan merugikan kehidupan akhirat dirinya dan anak-anaknya. ***
05. Dari Keluarga Yang Shalih
Disebutkan dalam Hadits berikut :
Dari Rifa'ah bin Rafi', sesungguhnya Nabi SAW
bersabda kepada 'Umar RA : "Kumpulkan kaummu kepadaku", lalu ia
kumpulkan mereka. Setelah mereka tiba di depan pintu Nabi SAW, 'Umar masuk
kepada beliau, lalu ujarnya: "Kaumku sudah kukumpulkan kepada
Tuan". Orang-orang Anshar mendengar kejadian ini, lalu mereka berkata:
"Wahyu telah turun tentang Quraisy". Sesaat kemudian datanglah
orang-orang yang mendengar dan menyaksikan apa yang diucapkan kepada
mereka, lalu Nabi SAW keluar kepada mereka seraya sabdanya: "Apakah
ada orang lain di tengah kalian?" Mereka menyahut: "Ada, di
tengah kami ada teman-teman setia kamu, keponakan-keponakan kami, dan
maula-maula (keluarga dekat) kami". Nabis SAW bersabda:
"Teman-teman setia kita, keponakan-keponakan kita, dan maula-maula kita
adalah bagian dari kita sendiri. Harap kalian dengarkan bahwa orang-orang
yang menjadi teman-teman dekatku diantara kalian adalah orang-orang
bertaqwa; jika kalian seperti mereka, kalian termasuk golongan tersebut;
jika tidak, kalian harus pikirkan, sebab pada hari qiamat kelak orang lain
akan datang kepadaku dengan membawa amal-amal mereka, tetapi kalian datang
dengan membawa bekal lain, lalu kalian ditolak..."
(H.R. Bukhari, Hadits Hasan)
Penjelasan :
Hadits di atas menyebutkan bahwa Nabi SAW tidak berani menjamin
seseorang masuk syurga hanya karena ikatan keluarga dengan Nabi. Beliau
menjelaskan bahwa yang bisa menjamin seseorang masuk syurga adalah amal
shalih yang dilakukan karena Allah. Oleh karena itu, beliau memerintahkan
kepada keluarganya untuk beramal shalih dan tidak membanggakan diri karena
ikatan keluarganya dengan Rasulullah.
Dalam Hadits tersebut Rasulullah menegaskan supaya anggota keluarganya
bertaqwa kepada Allah, sebab dengan taqwa itulah mereka akan berbahagia di
dunia dan di akhirat. Suatu keluarga dikatakan shalih jika mereka bertaqwa
kepada Allah.
Keluarga yang shalih akan selalu berusaha melakukan segala sesuatu
dengan baik sehingga membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Mereka
tidak akan pernah mau sedikit merugikan hak orang lain, apalagi dengan
sengaja menjerumuskan orang ke dalam kesulitan dan penderitaan. Mereka
selalu takut kepada Allah sehingga berusaha menjauhkan segala macam
tindakan dan sifat yang buruk, baik menguntungkan dirinya maupun merugikan.
Tegasnya, keluarga yang shalih selalu menegakkan kebenaran dan menjauhi
kebatilan.
Anak-anak dari keluarga yang shalih akan selalu berusaha agar dirinya
berbuat amal shalih dan dapat membantu orang lain melakukan kebajikan bagi
dirinya atau masyarakat. Anak-anak semacam ini tidak pernah berniat untuk
merugikan orang lain, apalagi dengan sengaja menyengsarakannya.
Anggota keluarga yang shalih baik untuk dijadikan teman atau dijadikan
suami bagi perempuan muslim. Laki-laki dari keluarga semacam ini akan dapat
menuntun istri dan anak-anaknya ke jalan yang diridlai oleh Allah dan
menjauhkan mereka dari segala perbuatan yang dimurkai oleh Allah.
Berdampingan dengan suami semacam ini seorang muslimah akan meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Para perempuan muslim tentu sangat mendambakan suaminya benar-benar
berasal dari keluarga yang shalih. Dengan laki-laki semacam ini ia akan
terpelihara dari segala macam perbuatan yang dimurkai oleh Allah karena
suami memimpinnya ke jalan yang diridlai oleh-Nya.
Untuk mendapatkan suami semacam ini perlulah dirinya mengadakan
penelitian dan pengamatan terhadap yang bersangkutan. Ia bisa melakukan
cara-cara antara lain:
1.Mengecek keluarga yang bersangkutan bagaimana shalatnya, puasanya,
usaha mendapatkan rizkinya, kewajiban membayar zakatnya, dan lain-lain.
2.Mengecek lingkungan tempat tinggalnya apakah tetangganya orang-orang
yang shalih ataukah orang-orang yang suka berbuat maksiat dan di kampungnya
terdapat masjid atau tidak.
3.Mengecek lingkungan kerjanya apakah ia bekerja di tempat yang
melakukan usaha secara halal atau haram dan apakah teman-teman kerjanya
suka melakukan perbuatan maksiat atau taat kepada agama.
Dengan melakukan pengecekan dan penelitian seperti di atas seorang
muslimah dapat mengetahui asal-usul calon suaminya. Jika terbukti bahwa
yang bersangkutan berasal dari keluarga dan lingkungan yang shalih, dapat
diharapkan kelak ia akan menjadi suami yang dapat memimpin istrinya
menempuh kehidupan keluarga yang diridlai oleh Allah. Sebaliknya, jika
calon suaminya berasal dari keluarga dan lingkungan yang kurang baik, besar
kemungkinan sulit terbina rumah tangga yang diwarnai oleh suasana sakinah,
kasih sayang dan beriklim akhlaq yang diridlai oleh Allah.
Ringkasnya, unruk menjauhkan diri dari bencana yang tidak diinginkan
dalam kehidupan rumah tangga, setiap perempuan muslim seharusnya memilih
calon suami yang berasal dari keluarga yang melaksanakan perintah agama
dengan baik. Dengan memperoleh suami yang sejak kecilnya hidup di
lingkungan keluarga yang shalih, insya Allah sangat besar kemungkinan
dirinya kelak dapat menikmati suasana kehidupan rumah tangga yang diridlai
oleh Allah.***
06. Taat Kepada Orang Tuanya
Disebutkan dalam Hadits berikut:
Dari Mu'awiyah bin Jahimah, sesungguhnya Jahimah
berkata: "Saya datang kepada Nabi SAW, untuk minta izin kepada beliau
guna pergi berjihad, namun Nabi SAW bertanya: "Apakah kamu masih punya
ibu bapak (yang tidak bisa mengurus dirinya)?". Saya menjawab:
"Masih". Beliau bersabda: "Uruslah mereka, karena syurga ada
di bawah telapak kaki mereka"."(H.R.
Thabarani, Hadits hasan)
Disebutkan pula dalam Hadits berikut:
Dari Ibnu 'Umar RA ujarnya: "Rasulullah SAW
bersabda: "Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya kelak
anak-anak kalian berbakti kepada kalian; dan peliharalah kehormatan
(istri-istri orang), niscaya kehormatan istri-istri kalian
terpelihara".(H.R. Thabarani, Hadits hasan)
Penjelasan :
Anak yang taat kepada orangtua yaitu anak yang mematuhi perintah orang
tua dan tidak melanggar larangannya selama hal yang diperintahkan atau yang
dilarangnya sesuaidengan syari'at Islam. Anak semacam ini mendapat jaminan
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Hadits pertama menjelaskan bahwa mengurus kepentingan orang tua yang
telah lanjut usia atau sedang sakit lebih utama daripada pergi berperang
melawan musuh-musuh agama.
Ketaatan anak kepada orang tua dalam rangka menjalankan perintah agama
menjadikan mereka ridla. Keridlaan ibu dan bapak kepada anaknya dapat
mengantarkan anaknya masuk syurga kelak di akhirat. Hal ini membuktikan
bahwa ketaatan anak kepada orang tua atau ibu bapak merupakan kunci pokok
bagi keselamatan anak dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Anak yang
taat kepada orang tua dapat diharapkan akan bisa memimpin keluarganya ke
jalan yang diridlai oleh Allah.
Hadits kedua menerangkan bahwa seorang anak yang berbakti kepada ibu
bapaknya kelak menjadi orang tua yang ditaati oleh anak-anaknya karena dia
telah memberi teladan kepada anak-anaknya secara konkret dalam berbakti
kepada orang tua. Keteladanannya sangat berpengaruh pada anak anaknya.
Sekalipun anak-anaknya tidak menyaksikan secara angsung ayah dan ibunya
taat kepada orang tuanya, perilaku dan tutur katanya yang baik selalu
menjadi kepribadian mereka. Hal semacam ini menjadi bekal diri mereka dalam
membina rumah tangga.
Anak dapat merasakan pancaran batindari orang tua yang taat kepada
orang tuanya sehingga hal tersebut secara psikologis dirasakan oleh
anak-anaknya, kemudian mendorong mereka untuk taat kepada orang tuanya
juga. Rahasia psikologis semacam ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam
hadits di atas sebagai bukti bahwa pengaruhperbuatan shalih seorang anak
terhadap orang tuanya akan dapat berpancar pula pada anaknya kelak.
Karena pentingnya seorang muslimah mendapatkan suami yang mengerti
tanggung jawab dan taat kepada orang tuanya, hendaklah perempuan perempuan
muslim memperhatikan hal ini. Para perempuan muslim tidak seharusnya hanya
melihat keadaan fisik dan penampilan lahir seorang laki-laki tanpa
mempedulikan sikap dan perilakunya apakah ia orang yang taat kepada orang
tuany ataukah durhaka kepada mereka.
Bila ternyata calon suaminya orang yang durhaka kepada orang tuanya,
tidak mustahil ia akan berlaku durhaka pula kepada istrinya. Hal ini bisa
terjadi sebab hika terhadap orang tuanya sendiri saja sudah durhaka, sudah
tentu ia menganggap satu hal yang remeh bila memperlakukan istrinya secara
tidak baik. Hati nurani seorang semacam ini sudah tidak baik sehingga
kemampuan untuk menimbang baik buruk suatu perbuatan pun menjadi lemah. Ia
hanya mengejar egonya sendiri sekalipun bertentangan dengan aturan agama
atau bertentangan dengan kepentingan orang lain.
Bila ternyata sikap dan perilakunya sehari-haari sering menyakitkan
hati orang tua atau menyusahkan atau melawan perintah dan larangannya,
dapat diduga bahwa lelaki semacam itu mengalami gangguan mental. Mungkin
sekali yang bersangkutan berada dalam suasana kejiwaan yang memerlukan
perawatan kesehatan mental. Menghadapi orang semacam ini tentu tidak mudah
sebab kepribadiannya biasanya mudah goyah dan cenderung tidak bertanggung
jawab.
Setiap perempuan sudah tentu tidak akan menyukai laki-laki yang menjadi
suaminya memiliki mental labil dan tidak mengerti tanggung jawab secara
benar. Sebaliknya, ia mengharapkan laki-laki yang mentalnya sehat dan memiliki
tanggung jawab tinggi dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama
melaksanakan tanggung jawab terhadap keluarga.
Untuk mengetahui apakah calon suami termasuk orang yang taat kepada
orang tua atau suka menentang dan menyalahi kehendak baiknya, seorang
muslimah dapat menyelidiki dengan menanyakan hal tersebut kepada anggota
keluarga atau kerabat dekat atau tetangga dekatnya.
Mengingat sangat pentingnya perilaku baik seorang suami dan
kecintaannya kepada anggota keluarga, hendaklah para perempuan muslim lebih
dahulu meneliti sikap calon suaminya terhadap orang tuanya. Bila ia
termasuk laki-laki yang taat dan berbakti kepada ibu bapaknya, laki laki
semacam ini baik untuk dujadikan suami. Insya Allah , kelak rumah tangganya
akan berbahagia.***
07. Mandiri dalam Ekonomi
Rasulullah SAW bersabda :
"Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu
ada yang mampu (untuk membelanjai) kawin, hendaklah ia kawin, karena kawin
itu akan lebih menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan
barangsiapa belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu
ibarat pengebiri"(H.R. Ahmad, Bukhari dan
Muslim)
Penjelasan :
Dalam Hadits di atas Rasulullah SAW berseru kepada para pemuda yang
telah mampu mencari nafkah sendiri sehingga sanggup memikul beban belanja
perkawinan dan berumah tangga, agar segera kawin.
Kita semua menyadari bahwa hidup berumah tangga mengharuskan adanya
pembiayaan. Siapakah yang wajib memikul tanggung jawab ini? Islam
menetapkan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah suami.
Oleh karena itu, mereka yang dibenarkan untuk segera kawin atau berumah
tangga adalah yang mandiri membiayai keperluan hidup dirinya dan
keluarganya.
Kebutuhan yang cukup mencakup keperluan makan dan minum sehari-hari,
tempat tinggal dan pakaian. Mungkin sekali seami hanya bisa menyediakan
tempat tinggal sewaan. Akan tetapi, selama ia bisa membayar sewanya, dia
dianggap bisa memenuhi kebutuhan tempat tinggal istrinya. Sebaliknya,
bilamana ternyata penghasilan riil suami tidak cukup untuk membiayai
kebutuhan sehari-hari yang minimal sekalipun, padahal dia sudah berusaha
keras, dia dikategorikan tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara cukup.
Prinsip suami bertanggung jawab membiayai keperluan berumah tangga
merupakan suatu ketentuan yang mengharuskan setiap suami atau laki-laki
yang hendak beristri mempunyai penghasilan sendiri. Ia tidak boleh
mengharapkan pemberian orang lain atau subsidi keluarga guna menopang
keperluan hidupnya. Jadi, kemampuan untuk mendapatkan nafkah sendiri
menjadi tolok ukur layak tidaknya seorang laki-laki menjadi suami.
Islam menetapkan bahwa setiap orang wajib memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan bekerja sendiri dan melarang meminta-minta, sekalipun pada
keluarganya. Menadahkan tangan kepada orang lain adalah perbuatan tercela,
apalagi bila dilakukan setiap hari, sudah tentu lebih tercela, baik menurut
ajaran agama maupun menurut pandangan masyarakat.
Sekalipun Islam menganjurkan agar anggota masyarakat yang mampu
memberikan bantuan kepada mereka yang miskin supaya dapat berumah tangga
atau memberikan bantuan kepada mereka yang telah berumah tangga tetapi
mengalami kekurangan, hal ini tidak boleh dijadikan sandaran utama untuk
mendapat bantuan. Demikianlah, sebab orang-orang yang kekurangan tidak
hanya satu dua orang, tetapi banyak. Walaupun masyarakat yang kaya atau
mampu mau memberi bantuan, tentu akan banyak pula yang tidak memperolah
bagian jika jumlah orang yang membutuhkannya jauh lebih banyak.
Oleh karena itu, seorang perempuan muslim yang hendak membina rumah
tangga harus benar-benar memperhatikan calon suaminya apakah telah mendiri
dalam membelanjai kebutuhan hidupnya ataukah masih bergantung pada orang
lain. Sekiranya yang bersangkutan sudah bekerja dan mendapatkan penghasilan
tetapi tidak cukup untuk kebutuhan dirinya sendiri, laki-laki semacam itu
dianggap orang yang belum mampu membelanjai kebutuhannya. Dia masih butuh
bantuan orang lain.
Untuk mengetahui apakah laki-laki calon suami benar-benar orang yang
mampu mandiri dalam memenuhi nafkah keluarga, dapatlah ditempuh upaya
penelitian dan pembuktian dengan menanyakan secara langsung atau menanyakan
kepada keluarganya dan teman-teman dekatnya atau para tetangganya apakah
dia benar-benar sudah bekerja atau belum. Bilamana ia telah bekerja, perlu
juga ditanyakan apakah penghasilannya layak untuk bersuami istri atau
belum.
Bilamana ternyata yang bersangkutan belum mampu untuk membelanjai
dirinya sendiri dari hasil usahanya, apalagi belum bekerja, sebaiknya
perempuan yang hendak menjadi calon istrinya mempertimbagkan pemilihannya
dengan baik. Ini perlu diperhatikan sebab bila kelak ternyata suaminya
tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga,
sudah tentu hal semacam ini dapat menimbulkan malapetaka keluarga.
Para perempuan yang hendak berumah tangga, boleh saja menerima
laki-laki yang masih menganggur atau berpenghasilan tidak cukup untuk hidup
berumah tangga. Menurut syari'at Islam, perkawinannya tetap sah. Akan
tetapi, perbuatan semacam ini jelas bertentangan dengan seruan Rasulullah SAW
di atas. Maksudnya, dari sisi tanggung jawab membina rumah tangga pemilihan
suami pengangguran merupakan suatu tindakan yang tercela walaupun tidak
haram.
Muslimah yang telah rela bersuamikan laki-laki yang belum mandiiri
dalam ekonomi bilamana mengalami penderitaan dan kegagalan membangun rumah
tangga yang penuh ketentraman, kasih sayang dan kesejahteraan, hendaklah
tidak menyalahkan orang lain. Dia harus menanggung resiko sendiri sebab
langkah awal yang dia ambil sudah melanggar anjuran rasulullah, yaitu tidak
memilih suami yang benar-benar memiliki kemampuan materi untuk memikul
beban rumah tangga.
Ada kalaya seorang muslimah rela tidak dibelanjai oleh suaminya, bahkan
bersedia membantu kehidupan suami. Hal semacam ini adalah amal baik istri
kepada suami. Oleh karena itu, selama seorang muslimah rela bersuamikan
seorang laki-laki miskin sedang dia bermaksud memelihara agama dan
kehormatan suaminya, langkahnya dinilai sebagai suatu amal shalih yang
sangat terpuji.
Ringkasnya, perempuan muslim atau orang tua atau walinya hendaklah
benar-benar memperhatikan kemandirian atau kemampuan materiil calon
suaminya atau calon menantu atau calon suami perempuan di bawah
perwaliannya. Kemampuan tersebut haruslah dapat dibuktikan secara konkret
sebelum menempuh perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar begitu mereka
memasuki dunia rumah tangga, kebutuhan hidup sehari-harinya dapat tercukupi
walaupun minimal. Dengan cara semacam ini, insya Allah akan terjaga
kehormatan diri mereka dan terjauh pula mereka dari perbuatan meminta-minta
bantuan kepada orang lain.***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar