AL HAROMAIN

DAFTAR

  • pakaian
  • buku

Daftar Blog

TEXT

text

zainimjkbgt

zainimjkbgt
zainimjkbgt

zainimjkbgt.blogspot.com

zainimjkbgt

alharomain

Penayangan bulan lalu

Populer

Entri Populer

5 Februari 2012

MENJAWAB

TOKO ALHAROMAIN MENJUAL PAKAIAN JADI D 54-D55 AND B19-B20 PASAR TANJUNG MOJOKERTO


MENJAWAB UPAYA MELONTARKAN SYUBUHAT DI SEPUTAR AL QUR’AN


PENDAHULUAN
Al Quran merupakan perkataan Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, lafdzan wa ma’nan dengan perantaraan malaikat Jibril, terjaga dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membaca Al Quran bernilai ibadah dan di dalamnya terkandung mu’jizat, petunjuk, dan ilmu pengetahuan[1]. Melalui pengertian yang demikian secara tersirat sangat jelas pandangan umat Islam terhadap kitab suci mereka bahwa keotentikan Al Quran merupakan sebuah harga mati. Dengan demikian tidak mengherankan apabila upaya-upaya perusakan Islam masuk melalui proyek-proyek yang berusaha mendekonstruksi Al Quran dan menjauhkan umatnya dari pemahaman yang selama ini telag menjadi kesepakatan seluruh umat Islam.
Upaya dekonstruksi kedudukan dan kandungan Al Quran, termasuk di dalamnya upaya memisahkan antara muslim dan kitab sucinya tersebut, bukan hal baru yang kita ketahui sebagai strategi penghancuran sendi-sendi mendasar dalam keislaman. Apabila mencermati beberapa kajian dan wacana dekonstruksi terhadap Al Quran dari masa ke masa, akan kita temukan beberapa karakteristik dan substansi kajian yang hampir sama. Namun demikian argumentasi yang dilontarkan semakin beragam dan dalam kancah perang wacana cukup berperan strategis guna menimbulkan kebingungan bagi kalangan awam.
Terlepas dari berbagai upaya dekonstruksi yang terjadi dan berlangsung terhadap kitab suci Al Qur’an, secara historis telah terbukti bahwa beberapa sistem telah membantu eksistensi Al Quran untuk tetap muncul sebagai manifestasi asli dan otentik sebagaimana ketika pertama kali turun. Beberapa anasir yang telah menjaga kemurnian Al Quran tersebut antara lain sebagai berikut : [2]
1.      Hafalan dari para penghafal Al Quran
2.      Naskah Al Quran yang ditulis untuk Nabi
3.      Naskah Al Quran yang ditulis oleh para sahabat.
Namun rupanya kaum orientalis tidak kehabisan jalan untuk menanamkan hegemoni guna menguasai arus pemikiran. Beberapa hal di atas yang selama ini telah digunakan untuk menjaga keautentikan Al Quran tidak sepi dari berbagai upaya dekonstruksi. Beberapa penghafal Al Quran mulai dipertanyakan kredibilitasnya, naskah-naskah yang diragukan keautentikannya, dan berbagai dialek yang dipersoalkan sudah menjadi makanan harian dikalangan mereka. Tidak kurang untuk mencapai tujuan yang sama, mereka mempertanyakan kewenangan dalam tafsir Al quran dan memperjuangkan metodologi baru dalam bidang kajian tersebut. Barangkali memang belum tiba saatnya, kaum orientalis mempertanyakan siapa sebenarnya diri mereka dan atas dasar motivasi apa mereka melakukannya serta sejauh mana obyektifitas kajian yang dilakukannya.

AL QURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM
Hukum dalam perspektif  Islam merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari totalitas sistem ajaran Islam. Konsep hukum Islam dalam pandangan Nirwan Syafrin, dianggap memiliki keunikan[3]. Dikatakan unik karena bersumber secara langsung kepada Allah. Dalam konsep Islam hanya Allah yang berhak memutuskan atau menetukan sesuatu. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa hadits tidak dapat menasakhkan Al Quran.
Meminjam istilah “unik” yang diungkapkan oleh Nirwan Syafrin, dalam penjabarannya tentang keunikan Al Quran telah mendefinisikan tentang kedudukan Al Quran itu sendiri dalam sistem hukum Islam sebagai sumber hukum paling utama. Pada saat yang sama bisa ditarik kesimpulan bahwa kandungan Al Quran juga berfungsi guna menimbang sumber hukum selanjutnya yakni hadits. Demikian pula melihat bahwa Al Quran bersumber dari Allah, maka Allah pula yang memiliki hak secara absolute untuk membatalkan (me-nasakh) hukumnya.
Dengan demikian pandangan kalangan liberal yang salah satunya diwakili oleh sosok Nasr Hamid Abu Zayd tentang intepretasi Al Quran jelas tertolak, karena akan menimbulkan implikasi hukum yang tidak konsisten dan berakibat negative secara serius. Dalam pemikirannya, Abu Zayd hanya mengakui bahwa sakralitas Al Quran terbatas pada tataran metafisis saja yaitu ketika berada dalam lauh al mahfudz. Setelah Al Quran turun ke langit dunia maka dia berada dalam alam pikiran manusia. Dari sinilah Abu Zayd kemudian menelurkan teori historisitas Al Quran dimana ketika Al Quran telah berada dalam ruang sejarah atau dengan kata lain telah masuk dalam lingkup ruang dan waktu, maka harus tunduk dengan peraturan yang ada didalamnya, termasuk tuntuk kepada relativisme sajarah yang berlaku. Implikasi serius dari pemikiran ini, Al Quran hanya akan diperlakukan sebagai teks yang harus dicurigai, boleh diotak-atik, dan bahkan diubah muatannya sesuai sejarah yang berlaku dan kebutuhan zaman yang ada. Jelas sangat tidak sesuai dengan makna awal nasakh yang ada dalam Al Quran. Cara pandang pertama melibatkan Allah sebagai pemilik wahyu, sedangkan cara kedua akan berimplikasi pada anggapan bahwa penafsir bisa lebih mengerti makna teks melebihi pembuatnya (Allah, pen).

KEHUJAHAN AL QURAN
            Para ulama ushul fiqih dan lainnya sepakat bahwa Al Quran merupakan sumber uatama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan , dan seorang mujahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al Quran[4]. Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan Al Quran [5]
1.      Al Quran diturunkan kepada Rasulullah saw, dan diketahui secara mutawatir dan berasal dari Allah melalui malaikat Jibril diturunkan kepada Muhammad saw yang dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.
2.      Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al Quran datangnya dari allah, diantaranya dalam ayat - ayat sebagai berikut :
Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,[6]

Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat[7]

 (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.[8]


3.      Mu’jizat Al Quran juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran Al Quran itu datangnya dari Allah. Mu’jizat Al Quran bertujuan menjelaskan kebenaran Nabi Muhammad saw yang membawa risalah dengan perbuatan yang di luar kebiasaan umat manusia. Mu’jizat Al Quran menurut para ahli ushul fiqh dan tafsir terlihat ketika ada tantangan dari berbagai fihak untuk menandingi Al Quran itu se4ndiri, sehingga para ahli sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menadinginya. Kemu’jizatan Al Quran,[9] menurut para ahli ushul fiqh, akan terlihat jelas apabila :
a.       Ada tantangan dari pihak luar
b.      Ada unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran Al Quran dan kerasulan Nabi saw.
c.       Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.
 
ARGUMENTASI ORIENTALIS DALAM MELEMAHKAN KEDUDUKAN AL QURAN
Melalui pergulatan dengan berapa bacaan yang telah penulis selesaikan, penulis melihat ada 3 jalur yang digunakan oleh orientalis dalam upayanya untuk melemahkan keotentikan Al Quran. Adapun ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut
1.      Melalui Paleografi, biasanya menggunakan manifestasi dari bahasa tulis dengan memperhatikan abjadnya.
2.      Melalui ortografi, biasanya melalui manifestasi bahasa ejaan yang berlaku dalam masing-masing dialek.
3.      Melalui materi dan substansi yang terkandung dalam Al Quran.
Pembagian ketiga model di atas bukan penulis lakukan berdasarkan hasil kajian tipologi resmi ataupun didasarkan pada sistematika tertentu yang melingkupinya, juga bukan merupakan representasi pemikiran dari sebuah teori yang ada. Namun penulis menggunakannya lebih menekankan pada alasan kepraktisan dan upaya untuk mempermudah pembahasan.
Upaya melemahkan kedudukan Al Quran melalui paleografi dilakukan dengan mencoba melakukan collecting terhadap naskah-naskah lama Al Quran dan dibenturkan antara satu dokumentasi catatan dengan catatan yang lainnya. Perbedaan penulisan dan penggunaan huruf, titik diakritikal, penempatan ayat, dan sebagainya akan menjadi kajian yang biasanya akan berkutat dan bermuara pada wacana kesalahan proses transmisi, kodifikasi, dan kompilasi Al Quran. Namun demikian kajian orientalis melalui pintu paleografi nampaknya belum menemukan argumentasi yang kuat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa serangan orientalis terhadap paleografi ini merupakan bentuk serangan yang mencoba mendekonstruksi bahasa Arab dan secara tidak langsung akan berimbas pada kajian bahasa Al Quran dalam kaitannya dengan proses transmisi kitab suci umat Islam dari generasi ke generasi.
Beberapa kajian orientalis menyebutkan bahwa bahwa inskripsi alfabetik Arab merupakan perkembangan lebih lanjut dari inskripsi syriac. Kalangan orientalis memberikan bukti bahwa tulisan awal Al Quran tidak mengenal adanya titik diakritikal. Sehingga, menurut anggapan mereka, kesalahan baca serta proses transfer Al Quran antar generasi merupakan persoalan yang rentan terjadi. Penggunaan tanda baca dan titik baru yang dikenal beberapa dasawarsa pasca wafatnya Nabi Muhammad merupakan adopsi dan penyesuaian dari alphabet pinjaman syriac.
Musthafa A’zami dalam The History The Quranic Text from Revelation to Compilation membantah keras teori bahwa Al Quran menggunakan inskripsi Arabic yang merupakan hasil perkembangan dari inskripsi alfabetik syiriac . Mengutip pendapat Davidson, bahwa Yakob Raha (w.708) menemukan tanda set pertama (tanda titik dalam alphabet syriac) pada abad ketujuh, sedangkan Theofilus menemukan set kedua (huruf hidup bahasa Yunani) pada abad kedelapan. Perlu diingatkan bahwa akhir abad ketujuh Masehi adalah tahun 81 Hijriyyah dan akhir abad kedelapan dalah tahun 184 Hijriyyah. Kemudian dibandingkan dengan informasi bahwa sistem diakritikal Al Quran telah diperkenalkan oleh Abu al-Aswad Du’ali (w.69 H/688M) dimana beliau telah memberikan tanda titik pada semua mushaf di zaman pemerintahan Mu’awiyah tahun 50H/670M.[10] Dengan demikian meminjam pernyataan Davidson, menurut A’zami, persoalnnya sekarang adalah : siapa meminjamkan kepada siapa ?
Selain itu terdapat bukti bahwa bangsa Arab pra Islam telah mengenal sistem alfabetiknya sendiri. Abu Bakar Aceh menyebutkan bahwa Banu Himyar di Yaman, bangsa Ambath di Arab Utara, jauh sebelum masa Nabi Muhammad telah mengenal huruf Arab[11].  Selain itu Abu Bakar Aceh mengutarakan bahwa sesudah lahir Islam muncullah tulisan Naskhi dari gaya tulisan Nibthi dan tulisan Kufi yang meniru gaya tulisan Suryani[12]. Secara lebih detail, huruf Arab pada masa itu telah ada, namun gaya penulisannya mengambil dari kedua gaya penulisan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori-teori yang telah ditelurkan kalangan orientalis pada dasarnya masih merupakan kajian yang terkesan emosional, seadanya, mengambang, dan debatable serta tidak sepi dari berbagai kepentingan.
Kemajuan terakhir kajian ortografi (ejaan) terhadap Al Quran yang dilakukan oleh orientalis adalah dengan mengkritisi  beberapa ejaan yang tidak sama dalam beberapa Versi Al Quran kalau boleh dikatakan bahwa Al Quran memiliki versi. Akan tetapi sebagaimana telah dibuktikan oleh Musthafa A’zami, pada kenyataannya perbedaan penulisan tersebut tidak mengubah arti dalam makna yang sebenarnya. Beberapa kritik orientalis tersebut dialamatkan pada penambahan huruf wawu, penambahan alif, dan penambahan tanda baca lainnya yang secara mendasar tidak memberikan sebuah pengertian baru. Ada pun beberapa contoh ejaan yang dimaksudkan, menurut Musthafa A’zami, adalah sebagai berikut :[13]

Surah: ayat
Ejaan yang digunakan dalam
Mushaf 'Uthman
Bacaan yang sebenarnya
2:9
2:51
20:80

Dalam kajian ortografi terhadap Al Quran, orientalis juga masih berkutat dalam wacana usang tentang isu perbedaan dialek Al Quran yang dianggap sebagai perbedaan variasi bacaan. Ada perbedaan yang mendasar terkait pengertian antara variasi bacaan dan perbedaan dialektik. Variasi bacaan, meminjam istilah A’zami, akan merujuk kepada ketidakpastian. Dalam hal ini penggunaan istilah varian dan variasi oleh kalangan orientalis, lebih merupakan upaya untuik menyudutkan Al Quran sebagai kitab yang tidak memiliki konsistensi akibat perbedaan bacaan pada masing-masing versi (kalau pun ada, pen). Namun apabila kajian tersebut diarahkan kepada permasalahan dialek, pada dasarnya hal ini bisa diterima. Rasulullah dalam pengajaran Al Quran telah memberikan pengajaran Al Quran dalam beberapa dialek yang berbeda. Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa Allah telah mewahyukan kepada Nabi bahwa Al Quran memiliki tujuh dialek. Namun demikian permasalahan dialek ini juga bukan persoalan yang sepi dari jamahan orientalis. Konflik kecil yang pernah terjadi antara Ibnu Mas’ud dan Umar seringkali diangkat sebagai justifikasi bahwa Al Quran “memang” memiliki variasi bacaan yang berbeda. Merunut lebih lanjut persoalan antara Umar dan Ibnu Mas’ud, pada kenyataannya konflik kecil tersebut berlangsung disebabkan seputar masalah dialek saja. Ibnu Mas’ud mengajarkan Al Quran dengan menggunakan dialek Hudhail sedangkan Umar bersikeras bahwa Al Quran diturunkan berdasarkan dialek Quraisy. Kesimpulannya, perbedaan dialek tidak lantas bisa digunakan sebagai justifikasi argumentasi bahwa Al Qur’an memiliki variasi bacaan.  
Beberapa variasi bacaan lain juga diterima sejauh tidak menyangkut permasalahan perubahan makna yang mendasar. Sebagai contoh kata “qultu” yang diucapkan dalam salah satu dialek di Mesir lebih terdengar sebagai “’ultu” dan kata “rijjal” dalam dialek disekitar teluk Syria seringkali dibaca sebagai “raiyyal”. Sekali lagi hal ini terbatas pada dialek, sedangkan symbol alfabetik yang digunakan sebagai karakter yang mewakili bahasa tidak memiliki perbedaan sama sekali.
Sedangkan dekonstruki Al Quran melalui materi kandungannya mencangkup kajian yang lebih luas dan pendekatan yang beragam. Salah satu kajian paling popular saat ini adalah upaya pembumian hermeneutika sebagai metodologi kajian tafsir terhadap Al Quran. Metodologi yang biasanya diterapkan untuk mengupas Perjanjian lama dan baru ini dipaksakan pula untuk masuk sebagai metodologi yang sama untuk menyelami makna Al Quran.
Hermeneutika, dalam pandangan Hamid Fahmy Zarkasy, adalah metode pemahaman yang merupakan produk kebudayaan, mitologi, dan filsafat Yunani.[14] Jadi dengan demikian bukan merupakan metodologi yang bebas nilai. Sehingga apabila hermeneutika tersebut digunakan sebagai metodologi penafsiran Al Quran, jelas bukan metodologi yang obyektif sebab telah ada sistem nilai tersendiri yang berbeda dari system nilai dalam kandungan Al Quran. Selain itu, dalam pandangan Adnin Armas, hermeneutika akan membawa kepada konsep bahwa tafsir itu relatif. [15]Sebagai contoh misalnya Al Quran menerangkan bahwa Nabi Isa tidak mati dalam penyaliban.  Dengan menggunakan metodologi hermeneutika, Al Quran akan dipandang sebagai teks yang sepadan dan sama nilainya dalam artian tidak berbeda dari kebanyakan teks lainnya. Pada akhirnya kebenaran kitab suci ditentukan oleh sumber pembanding yang berasal dari luar. Salah satu sumber, yaitu Bible dalam Perjanjian Baru  menyebutkan bahwa Nabi Isa telah disalib. Maka kesimpulannya bisa dipastikan bisa Al Quran yang benar dan bisa juga Al Quran yang salah. Dengan contoh sederhana yang demikian setidaknya akan menjelaskan problema yang sudah sejak awal terkandung dalam hermeneutika sebagai “bawaan lahir”. Sehingga, hermenutika bukan sebuah metode tafsir yang “independen” yang mampu memahami “perasaan” Al Quran sebagai sebuah teks kitab suci.
Selain itu upaya dekonstruksi Al Quran juga dilakukan melalui upaya dekonstruksi dan delegimitasi karakter serta peran Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu. Isu-isu seperti poligami, jihad Nabi, isu jender, dan berbagai wacana lainnya digulirkan dengan tujuan agar kepercayaan terhadap kredibilitas pribadi Nabi melebur dan berakibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap apa yang beliau terima, yaitu keberterimaan muslim terhadap Al Quran. Bahkan umumnya kajian orientalis sengaja diarahkan sampai kepada tingkatan menganggap bahwa Al Quran adalah perkataan Muhammad saja dan bukan wahyu Allah.
Upaya orientalis dalam dekonstruksi substansi materi Al Quran lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Idris A. Shomad, berkaitan dengan susunan ayat dan surat-surat dalam Al Quran. Orientalis mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki susunan mushaf yang berbeda dengan mushaf  Utsman. Mushhaf Ali selanjutnya dikenal sebagai “mushaf Aisyah”[16]. Tuduhan yang demikian merupakan lontaran isu biasa yang tidak mengandung kebenaran ilmiah. Jika benar ungkapan tersebut, mengapa Ali yang memegang tampuk khilafah sesudah Utsman masih menggunakan mushaf Utsmani dan tidak mencoba mengubah sesuai versi yang dimiliki[17]

Tidak ada komentar: