TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG MOJOKERTO
MENJAWAB UPAYA MELONTARKAN SYUBUHAT DI SEPUTARAL
QUR’AN
Para ulama ushul fiqih dan lainnya sepakat bahwa Al Quran
merupakan sumber uatama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan ,
dan seorang mujahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah
sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Al Quran[4].
Ada beberapa
alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan Al
Quran [5]:
MENJAWAB UPAYA MELONTARKAN SYUBUHAT DI SEPUTAR
PENDAHULUAN
Al Quran merupakan perkataan Allah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, lafdzan
wa ma’nan dengan perantaraan malaikat Jibril, terjaga dalam mushaf,
disampaikan secara mutawatir (recurrence)
tanpa keraguan sedikitpun. Membaca Al Quran bernilai ibadah dan di dalamnya
terkandung mu’jizat, petunjuk, dan ilmu pengetahuan[1].
Melalui pengertian yang demikian secara tersirat sangat jelas pandangan umat
Islam terhadap kitab suci mereka bahwa keotentikan Al Quran merupakan sebuah
harga mati. Dengan demikian tidak mengherankan apabila upaya-upaya perusakan
Islam masuk melalui proyek-proyek yang berusaha mendekonstruksi Al Quran dan
menjauhkan umatnya dari pemahaman yang selama ini telag menjadi kesepakatan
seluruh umat Islam.
Upaya dekonstruksi kedudukan
dan kandungan Al Quran, termasuk di dalamnya upaya memisahkan antara muslim dan
kitab sucinya tersebut, bukan hal baru yang kita ketahui sebagai strategi
penghancuran sendi-sendi mendasar dalam keislaman. Apabila mencermati beberapa kajian
dan wacana dekonstruksi terhadap Al Quran dari masa ke masa, akan kita temukan
beberapa karakteristik dan substansi kajian yang hampir sama. Namun demikian
argumentasi yang dilontarkan semakin beragam dan dalam kancah perang wacana cukup
berperan strategis guna menimbulkan kebingungan bagi kalangan awam.
Terlepas dari berbagai upaya
dekonstruksi yang terjadi dan berlangsung terhadap kitab suci Al Qur’an, secara
historis telah terbukti bahwa beberapa sistem telah membantu eksistensi Al
Quran untuk tetap muncul sebagai manifestasi asli dan otentik sebagaimana
ketika pertama kali turun. Beberapa anasir yang telah menjaga kemurnian Al Quran
tersebut antara lain sebagai berikut : [2]
1. Hafalan
dari para penghafal Al Quran
2. Naskah
Al Quran yang ditulis untuk Nabi
3. Naskah
Al Quran yang ditulis oleh para sahabat.
Namun rupanya kaum orientalis
tidak kehabisan jalan untuk menanamkan hegemoni guna menguasai arus pemikiran.
Beberapa hal di atas yang selama ini telah digunakan untuk menjaga keautentikan
Al Quran tidak sepi dari berbagai upaya dekonstruksi. Beberapa penghafal Al
Quran mulai dipertanyakan kredibilitasnya, naskah-naskah yang diragukan
keautentikannya, dan berbagai dialek yang dipersoalkan sudah menjadi makanan
harian dikalangan mereka. Tidak kurang untuk mencapai tujuan yang sama, mereka
mempertanyakan kewenangan dalam tafsir Al quran dan memperjuangkan metodologi
baru dalam bidang kajian tersebut. Barangkali memang belum tiba saatnya, kaum
orientalis mempertanyakan siapa sebenarnya diri mereka dan atas dasar motivasi
apa mereka melakukannya serta sejauh mana obyektifitas kajian yang
dilakukannya.
AL
QURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM
Hukum dalam perspektif Islam merupakan bagian integral yang tidak
terpisahkan dari totalitas sistem ajaran Islam. Konsep hukum Islam dalam
pandangan Nirwan Syafrin, dianggap memiliki keunikan[3].
Dikatakan unik karena bersumber secara langsung kepada Allah. Dalam konsep
Islam hanya Allah yang berhak memutuskan atau menetukan sesuatu. Oleh karena
itu, para ulama telah sepakat bahwa hadits tidak dapat menasakhkan Al Quran.
Meminjam istilah “unik” yang
diungkapkan oleh Nirwan Syafrin, dalam penjabarannya tentang keunikan Al Quran
telah mendefinisikan tentang kedudukan Al Quran itu sendiri dalam sistem hukum
Islam sebagai sumber hukum paling utama. Pada saat yang sama bisa ditarik
kesimpulan bahwa kandungan Al Quran juga berfungsi guna menimbang sumber hukum
selanjutnya yakni hadits. Demikian pula melihat bahwa Al Quran bersumber dari
Allah, maka Allah pula yang memiliki hak secara absolute untuk membatalkan
(me-nasakh) hukumnya.
Dengan demikian pandangan kalangan
liberal yang salah satunya diwakili oleh sosok Nasr Hamid Abu Zayd tentang
intepretasi Al Quran jelas tertolak, karena akan menimbulkan implikasi hukum
yang tidak konsisten dan berakibat negative secara serius. Dalam pemikirannya,
Abu Zayd hanya mengakui bahwa sakralitas Al Quran terbatas pada tataran
metafisis saja yaitu ketika berada dalam lauh al mahfudz. Setelah Al Quran
turun ke langit dunia maka dia berada dalam alam pikiran manusia. Dari sinilah
Abu Zayd kemudian menelurkan teori historisitas Al Quran dimana ketika Al Quran
telah berada dalam ruang sejarah atau dengan kata lain telah masuk dalam
lingkup ruang dan waktu, maka harus tunduk dengan peraturan yang ada
didalamnya, termasuk tuntuk kepada relativisme sajarah yang berlaku. Implikasi
serius dari pemikiran ini, Al Quran hanya akan diperlakukan sebagai teks yang
harus dicurigai, boleh diotak-atik, dan bahkan diubah muatannya sesuai sejarah
yang berlaku dan kebutuhan zaman yang ada. Jelas sangat tidak sesuai dengan
makna awal nasakh yang ada dalam Al Quran. Cara pandang pertama melibatkan
Allah sebagai pemilik wahyu, sedangkan cara kedua akan berimplikasi pada
anggapan bahwa penafsir bisa lebih mengerti makna teks melebihi pembuatnya
(Allah, pen).
KEHUJAHAN
AL QURAN
1. Al
Quran diturunkan kepada Rasulullah saw, dan diketahui secara mutawatir dan
berasal dari Allah melalui malaikat Jibril diturunkan kepada Muhammad saw yang
dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.
2. Banyak
ayat yang menyatakan bahwa Al Quran datangnya dari allah, diantaranya dalam
ayat - ayat sebagai berikut :
Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu
dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil,[6]
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat[7]
(dan
ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi
atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri.[8]
3. Mu’jizat
Al Quran juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran Al Quran itu datangnya
dari Allah. Mu’jizat Al Quran bertujuan menjelaskan kebenaran Nabi Muhammad saw
yang membawa risalah dengan perbuatan yang di luar kebiasaan umat manusia.
Mu’jizat Al Quran menurut para ahli ushul fiqh dan tafsir terlihat ketika ada
tantangan dari berbagai fihak untuk menandingi Al Quran itu se4ndiri, sehingga
para ahli sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menadinginya.
Kemu’jizatan Al Quran,[9]
menurut para ahli ushul fiqh, akan terlihat jelas apabila :
a. Ada
tantangan dari pihak luar
b. Ada
unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut seperti tantangan
orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran Al Quran dan kerasulan Nabi saw.
c. Tidak
ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.
ARGUMENTASI
ORIENTALIS DALAM MELEMAHKAN KEDUDUKAN AL QURAN
Melalui pergulatan dengan
berapa bacaan yang telah penulis selesaikan, penulis melihat ada 3 jalur yang
digunakan oleh orientalis dalam upayanya untuk melemahkan keotentikan Al Quran.
Adapun ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut
1. Melalui
Paleografi, biasanya menggunakan manifestasi dari bahasa tulis dengan
memperhatikan abjadnya.
2. Melalui
ortografi, biasanya melalui manifestasi bahasa ejaan yang berlaku dalam
masing-masing dialek.
3. Melalui
materi dan substansi yang terkandung dalam Al Quran.
Pembagian ketiga model di atas
bukan penulis lakukan berdasarkan hasil kajian tipologi resmi ataupun didasarkan
pada sistematika tertentu yang melingkupinya, juga bukan merupakan representasi
pemikiran dari sebuah teori yang ada. Namun penulis menggunakannya lebih
menekankan pada alasan kepraktisan dan upaya untuk mempermudah pembahasan.
Upaya melemahkan kedudukan Al
Quran melalui paleografi dilakukan dengan mencoba melakukan collecting terhadap
naskah-naskah lama Al Quran dan dibenturkan antara satu dokumentasi catatan
dengan catatan yang lainnya. Perbedaan penulisan dan penggunaan huruf, titik
diakritikal, penempatan ayat, dan sebagainya akan menjadi kajian yang biasanya
akan berkutat dan bermuara pada wacana kesalahan proses transmisi, kodifikasi,
dan kompilasi Al Quran. Namun demikian kajian orientalis melalui pintu
paleografi nampaknya belum menemukan argumentasi yang kuat. Dengan demikian
bisa dikatakan bahwa serangan orientalis terhadap paleografi ini merupakan
bentuk serangan yang mencoba mendekonstruksi bahasa Arab dan secara tidak
langsung akan berimbas pada kajian bahasa Al Quran dalam kaitannya dengan
proses transmisi kitab suci umat Islam dari generasi ke generasi.
Beberapa kajian orientalis
menyebutkan bahwa bahwa inskripsi alfabetik Arab merupakan perkembangan lebih
lanjut dari inskripsi syriac. Kalangan orientalis memberikan bukti bahwa
tulisan awal Al Quran tidak mengenal adanya titik diakritikal. Sehingga,
menurut anggapan mereka, kesalahan baca serta proses transfer Al Quran antar
generasi merupakan persoalan yang rentan terjadi. Penggunaan tanda baca dan
titik baru yang dikenal beberapa dasawarsa pasca wafatnya Nabi Muhammad
merupakan adopsi dan penyesuaian dari alphabet pinjaman syriac.
Musthafa A’zami dalam The History The Quranic Text from Revelation
to Compilation membantah keras teori bahwa Al Quran menggunakan inskripsi
Arabic yang merupakan hasil perkembangan dari inskripsi alfabetik syiriac .
Mengutip pendapat Davidson, bahwa Yakob Raha (w.708) menemukan tanda set
pertama (tanda titik dalam alphabet syriac) pada abad ketujuh, sedangkan
Theofilus menemukan set kedua (huruf hidup bahasa Yunani) pada abad kedelapan.
Perlu diingatkan bahwa akhir abad ketujuh Masehi adalah tahun 81 Hijriyyah dan
akhir abad kedelapan dalah tahun 184 Hijriyyah. Kemudian dibandingkan dengan
informasi bahwa sistem diakritikal Al Quran telah diperkenalkan oleh Abu
al-Aswad Du’ali (w.69 H/688M) dimana beliau telah memberikan tanda titik pada
semua mushaf di zaman pemerintahan Mu’awiyah tahun 50H/670M.[10]
Dengan demikian meminjam pernyataan Davidson, menurut A’zami, persoalnnya
sekarang adalah : siapa meminjamkan kepada siapa ?
Selain itu terdapat bukti bahwa
bangsa Arab pra Islam telah mengenal sistem alfabetiknya sendiri. Abu Bakar
Aceh menyebutkan bahwa Banu Himyar di Yaman, bangsa Ambath di Arab Utara, jauh
sebelum masa Nabi Muhammad telah mengenal huruf Arab[11]. Selain itu Abu Bakar Aceh mengutarakan bahwa
sesudah lahir Islam muncullah tulisan Naskhi dari gaya tulisan Nibthi dan tulisan Kufi yang
meniru gaya
tulisan Suryani[12].
Secara lebih detail, huruf Arab pada masa itu telah ada, namun gaya penulisannya mengambil dari kedua gaya penulisan yang telah
ada sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori-teori yang telah
ditelurkan kalangan orientalis pada dasarnya masih merupakan kajian yang terkesan
emosional, seadanya, mengambang, dan debatable serta tidak sepi dari berbagai
kepentingan.
Kemajuan terakhir kajian ortografi
(ejaan) terhadap Al Quran yang dilakukan oleh orientalis adalah dengan
mengkritisi beberapa ejaan yang tidak
sama dalam beberapa Versi Al Quran kalau boleh dikatakan bahwa Al Quran
memiliki versi. Akan tetapi sebagaimana telah dibuktikan oleh Musthafa A’zami,
pada kenyataannya perbedaan penulisan tersebut tidak mengubah arti dalam makna
yang sebenarnya. Beberapa kritik orientalis tersebut dialamatkan pada
penambahan huruf wawu, penambahan alif, dan penambahan tanda baca lainnya yang
secara mendasar tidak memberikan sebuah pengertian baru. Ada pun beberapa contoh ejaan yang
dimaksudkan, menurut Musthafa A’zami, adalah sebagai berikut :[13]
Surah: ayat
|
Ejaan yang digunakan dalam
Mushaf 'Uthman
|
Bacaan yang sebenarnya
|
2:9
|
|
|
2:51
|
|
|
20:80
|
|
|
Dalam kajian ortografi terhadap
Al Quran, orientalis juga masih berkutat dalam wacana usang tentang isu
perbedaan dialek Al Quran yang dianggap sebagai perbedaan variasi bacaan. Ada perbedaan yang
mendasar terkait pengertian antara variasi bacaan dan perbedaan dialektik.
Variasi bacaan, meminjam istilah A’zami, akan merujuk kepada ketidakpastian.
Dalam hal ini penggunaan istilah varian dan variasi oleh kalangan orientalis,
lebih merupakan upaya untuik menyudutkan Al Quran sebagai kitab yang tidak
memiliki konsistensi akibat perbedaan bacaan pada masing-masing versi (kalau pun
ada, pen). Namun apabila kajian tersebut diarahkan kepada
permasalahan dialek, pada dasarnya hal ini bisa diterima. Rasulullah dalam
pengajaran Al Quran telah memberikan pengajaran Al Quran dalam beberapa dialek
yang berbeda. Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa Allah telah mewahyukan
kepada Nabi bahwa Al Quran memiliki tujuh dialek. Namun demikian permasalahan
dialek ini juga bukan persoalan yang sepi dari jamahan orientalis. Konflik
kecil yang pernah terjadi antara Ibnu Mas’ud dan Umar seringkali diangkat
sebagai justifikasi bahwa Al Quran “memang” memiliki variasi bacaan yang
berbeda. Merunut lebih lanjut persoalan antara Umar dan Ibnu Mas’ud, pada
kenyataannya konflik kecil tersebut berlangsung disebabkan seputar masalah
dialek saja. Ibnu Mas’ud mengajarkan Al Quran dengan menggunakan dialek Hudhail
sedangkan Umar bersikeras bahwa Al Quran diturunkan berdasarkan dialek Quraisy.
Kesimpulannya, perbedaan dialek tidak lantas bisa digunakan sebagai justifikasi
argumentasi bahwa Al Qur’an memiliki variasi bacaan.
Beberapa variasi bacaan lain juga
diterima sejauh tidak menyangkut permasalahan perubahan makna yang mendasar.
Sebagai contoh kata “qultu” yang diucapkan dalam salah satu dialek di Mesir
lebih terdengar sebagai “’ultu” dan kata “rijjal” dalam dialek disekitar teluk Syria
seringkali dibaca sebagai “raiyyal”. Sekali lagi hal ini terbatas pada dialek,
sedangkan symbol alfabetik yang digunakan sebagai karakter yang mewakili bahasa
tidak memiliki perbedaan sama sekali.
Sedangkan dekonstruki Al Quran
melalui materi kandungannya mencangkup kajian yang lebih luas dan pendekatan
yang beragam. Salah satu kajian paling popular saat ini adalah upaya pembumian
hermeneutika sebagai metodologi kajian tafsir terhadap Al Quran. Metodologi
yang biasanya diterapkan untuk mengupas Perjanjian lama dan baru ini dipaksakan
pula untuk masuk sebagai metodologi yang sama untuk menyelami makna Al Quran.
Hermeneutika, dalam pandangan
Hamid Fahmy Zarkasy, adalah metode pemahaman yang merupakan produk kebudayaan,
mitologi, dan filsafat Yunani.[14]
Jadi dengan demikian bukan merupakan metodologi yang bebas nilai. Sehingga
apabila hermeneutika tersebut digunakan sebagai metodologi penafsiran Al Quran,
jelas bukan metodologi yang obyektif sebab telah ada sistem nilai tersendiri
yang berbeda dari system nilai dalam kandungan Al Quran. Selain itu, dalam pandangan Adnin Armas, hermeneutika akan membawa
kepada konsep bahwa tafsir itu relatif. [15]Sebagai
contoh misalnya Al Quran menerangkan bahwa Nabi Isa tidak mati dalam
penyaliban. Dengan menggunakan
metodologi hermeneutika, Al Quran akan dipandang sebagai teks yang sepadan dan
sama nilainya dalam artian tidak berbeda dari kebanyakan teks lainnya. Pada
akhirnya kebenaran kitab suci ditentukan oleh sumber pembanding yang berasal
dari luar. Salah satu sumber, yaitu Bible dalam Perjanjian Baru menyebutkan bahwa Nabi Isa telah disalib. Maka
kesimpulannya bisa dipastikan bisa Al Quran yang benar dan bisa juga Al Quran
yang salah. Dengan contoh sederhana yang demikian setidaknya akan menjelaskan
problema yang sudah sejak awal terkandung dalam hermeneutika sebagai “bawaan
lahir”. Sehingga, hermenutika bukan sebuah metode tafsir yang “independen” yang
mampu memahami “perasaan” Al Quran sebagai sebuah teks kitab suci.
Selain itu
upaya dekonstruksi Al Quran juga dilakukan melalui upaya dekonstruksi dan
delegimitasi karakter serta peran Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu. Isu-isu
seperti poligami, jihad Nabi, isu jender, dan berbagai wacana lainnya
digulirkan dengan tujuan agar kepercayaan terhadap kredibilitas pribadi Nabi
melebur dan berakibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap apa yang
beliau terima, yaitu keberterimaan muslim terhadap Al Quran. Bahkan umumnya
kajian orientalis sengaja diarahkan sampai kepada tingkatan menganggap bahwa Al
Quran adalah perkataan Muhammad saja dan bukan wahyu Allah.
Upaya
orientalis dalam dekonstruksi substansi materi Al Quran lainnya, sebagaimana
diungkapkan oleh Idris A. Shomad, berkaitan dengan susunan ayat dan surat-surat
dalam Al Quran. Orientalis mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki susunan
mushaf yang berbeda dengan mushaf
Utsman. Mushhaf Ali selanjutnya dikenal sebagai “mushaf Aisyah”[16].
Tuduhan yang demikian merupakan lontaran isu biasa yang tidak mengandung
kebenaran ilmiah. Jika benar ungkapan tersebut, mengapa Ali yang memegang
tampuk khilafah sesudah Utsman masih menggunakan mushaf Utsmani dan tidak
mencoba mengubah sesuai versi yang dimiliki[17]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar