TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG MOJOKERTO
Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah
Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte
Syi’ah Al Imamiyyah Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan
Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan pemikiran, kepercayaan,
metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan
termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan
mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan
persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan
semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada
perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang
diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta
bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa tahun terakhir, seruan
semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka
terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar -suatu
lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh
Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi
“pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban
dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al Ayyubi hingga sekarang ini.
Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya
mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab “Syi’ah Al Imamiyyah Al
Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan.
Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji,
dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya,
dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko
yang mungkin terjadi.
Dikarenakan berbagai permasalahan
dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang
bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar
menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap
pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar
membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal
pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara
yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat
bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh
pihak terkait.
Kita contohkan dengan perkara
pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat bahwa guna
merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu
lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham
Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut
hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada
bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan
ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal
‘Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran
paham Syi’ah[1].
Dan dari berbagai pusat pengajaran dan
penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar
berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan,
sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah
buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada buku
tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu
‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air
mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir
Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke Irak.
Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini kepada
“Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnah
kepada seruan semacam ini.
Bila perbedaan paling mendasar antara
kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal
kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Salam -pent) dibanding
kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan -bahkan-menampakkan-
kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam yang di atas pundak
merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan
kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu
‘anhu. Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu
mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama
umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap
terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah
lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait),
kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa
menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana
yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di
tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita
dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang
hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada
interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat
dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya
terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal
yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan
yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal
berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi
paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata
kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di
berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi-
hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak
terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah
menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan
ialah dimulai dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan
ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah tidaklah
bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat
fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak di atas dasar-dasar
yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak
terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan
berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada interaktif antara kedua belah
pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki,
maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’
sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan
hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak
dari akar permasalahannya yang paling mendasar.
******
Taqiyyah Dalam Agama Syi’ah
Taqiyyah Dalam Agama Syi’ah
Permasalahan Taqiyyah
Penghalang pertama bagi terwujudnya
solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan mereka ialah apa yang mereka
sebut dengan At Taqiyyah[2].
Taqiyyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk
berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani
mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah)
akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan
solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan,
juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya
dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak
lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya
satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran “Taqiyyah” dari mereka
berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat
dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan
masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan
tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang
telah memerankan peranan mereka.
Di antaranya hadits yang mereka yakini
bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir meriwayatkan suatu hadits
yang di antara bunyinya:
“At Taqiyyah
ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang
tidak bertaqiyyah.” (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyyah jilid: 2
hal: 219).
Syaikh ahli hadits mereka Muhammad bin
Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah menyebutkan dalam sebuah risalahnya
yang berjudul Al I’tiqadaat:
“Bertaqiyyah
wajib hukumnya, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang
meninggalkan sholat.” Ia juga berkata: “Bertaqiyyah wajib hukumnya, dan
tidak boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent),
dan barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar
dari agama Allah Ta’ala, dan dari agama Al Imamiyyah, serta menentang Allah,
Rasul-Nya dan para Imam.” (Baca risalah Al I’tiqadaat, pasal At
Taqiyyah, terbitan Iran
tahun: 1374 H).
Celaan Terhadap Al Quran
Sampai pun Al Quran Al Karim, yang
semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka dalam upaya pendekatan
diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata prinsip-prinsip agama mereka tegak
di atas penakwilan ayat-ayatnya dan memalingkan artinya kepada pemahaman yang
tidak pernah dipahami oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam , dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh
para imam kaum muslimin semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang
padanya diturunkan Al Quran.
Bahkan salah seorang ulama terkemuka
kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsy,
seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun
1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al Murtadhowi di kota
Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An Nashir Lidinillah, yang
berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang terletak di sebelah kanan
setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhowi dari pintu kiblat di kota
Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka. Ulama kota
Najef ini pada tahun 1292 H di saat ia berada di kota Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan
kepada Imam Ali -semoga Allah memuliakan wajahnya- menuliskan sebuah buku yang
ia beri judul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
(Makna judul buku ini: “Keterangan Tuntas Seputar Pembuktian Terjadinya
Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja” -pent). Ia mengumpulkan beratus-ratus
nukilan dari ulama-ulama dan para mujtahid Syi’ah di sepanjang masa yang
menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah ditambah dan dikurangi.
Buku karya At Thobarsy ini telah
diterbitkan di Iran
pada tahun 1289 H, dan kala itu buku ini memancing terjadinya kontroversi. Hal
ini karena dahulu mereka menginginkan agar upaya menimbulkan keraguan tentang
keaslian Al Quran hanya diketahui secara terbatas oleh kalangan tertentu dari
mereka, dan tersebar di beratus-ratus kitab-kitab mereka, dan agar hal ini
tidak dikumpulkan dalam satu buku yang dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan
akhirnya dibaca oleh musuh mereka, sehingga buku tersebut menjadi senjata atas
mereka yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Tatkala para tokoh mereka
menyampaikan kritikan ini, penyusun kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia
menuliskan kitab lain yang ia beri judul: Raddu Ba’dhis Syubhaat ‘An Fashlil
Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab (Makna judul buku ini:
Bantahan Terhadap Sebagian Kritikan Kepada kitab “Keterangan Tuntas seputar
pembuktian terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para raja”. -pent). Ia
menuliskan pembelaan ini pada akhir hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.
Sungguh kaum Syi’ah telah memberikan
penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al Quran telah mengalami
penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat istimewa dari kompleks
pemakaman keturunan Ali di kota
Najef. Dan di antara hal yang dijadikan bukti oleh tokoh kota
Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan pada Al Quran, ialah pada hal: 180, ia
menyebutkan satu surat yang oleh kaum Syi’ah
disebut dengan nama “Surat Al Wilayah”, pada surat ini ditegaskan kewalian sahabat Ali:
يأيها
الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى الصِّراط المستقيم
…إلخ
“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah engkau
dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu
jalan yang lurus…dst.” [3]
Demikianlah surat
Syi’ah, gaya bahasanya buruk, lucu lagi tidak
fasih, ditambah lagi kesalahan fatal dalam ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu
adalah surat non Arab, hasil rekayasa
orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga mereka mempermalukan diri
sendiri dengan menambahkan surat
ini. Inilah “Al Quran” yang dimiliki kaum Syi’ah, terdapat
kesalahan, dengan gaya bahasa non Arab dan menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al
Quran milik kita –Ahlusunnah wal Jama’ah- adalah Al Quran dengan bahasa
Arab yang nyata tidak ada kesalahan, sarat dengan rasa manis, dan keindahan,
bak sebuah pohon yang penuh dengan buah, dan akarnya menghunjam ke dalam bumi,
sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, penyembuh, sedangkan orang-orang yang
tidak beriman telinga mereka tuli dan mata mereka buta.
Dan seorang yang dapat dipercaya,
yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udy -beliau adalah kepala tim ahli di Departemen
Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syaikh Muhammad Baduh-
berhasil menemukan “Mushaf Iran” yang masih dalam bentuk manuskrip yang
dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat tersebut dengan
kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa Iran (Persia),
persis seperti yang dimuat oleh At Thobarsy dalam bukunya: “Fashlul Khithab
Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
Surat ini juga dapat ditemukan
dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan Mazahib” dengan bahasa Iran
(Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri, buku ini dicetak di Iran dalam
beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan oleh seorang pakar sekaligus
orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya “Tarikh Al Mashohif”
(Sejarah Mushaf-mushaf) jilid: 2 hal: 102, dan yang dipublikasikan oleh Harian
Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hal: 431-439.
Sebagaimana tokoh kota Najef ini
berdalil dengan surat Al Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al Quran, ia
juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hal: 289, dari kitab “Al
Kafi” (Judul lengkap Kitab ini ialah: Al Jami’ Al Kafi, karya Abu
Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini menurut
mereka sama kedudukannya dengan “Shohih Bukhori” menurut kaum Muslimin.
Pada halaman tersebut dalam kitab Al Kafi termaktub sebagaimana berikut:
“Beberapa
ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari
sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam -maksudnya Abu Hasan kedua,
yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia menuturkan: “Dan aku
berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al
Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang kita dengar, dan kita
tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami
berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian
pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian.”
Tidak diragukan bahwa ucapan ini
merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali Bin Musa Ar
Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi’ah tidak
berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari oleh masyarakat umum
dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari kalangan Syi’ah
akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushaf
tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada
mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam ).
Teks Lengkap Surat Al Wilayah
Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat (Surat Al Wilayah)
yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf Iran, dan pada
setiap kata terdapat terjemahannya dalam bahasa Persia:
يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي
الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط مستقيم
# نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين يوفون بعهد الله لهم
جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا مكذبين # إن لهم في جهنم
مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون المكذبون للمرسلين # ما خالفهم
المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب وسبح بحمد ربك وعلي من
الشاهدين#
“Seorang Nabi
dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah
Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang
memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan
kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat
Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan
kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah
orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan
mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan
tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
Al Quran yang mereka yakini, dan
yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan, dalam
rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, seandainya seluruh ulama-ulama besar
Syi’ah tidak meyakini bahwa Al Quran telah di selewengkan, mustahil mereka
menyifati penulis buku yang memuat dua ribu hadits yang membuktikan
penyelewengan Al Quran dengan berbagai sifat yang terpuji, misalnya ucapan
mereka: semoga Allah menyucikan ruhnya, atau dia adalah imam para ahli hadits,
Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai
membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau
orang kafir karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al
Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al Quran
tersebut dengan Al Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar
luas dan yang termaktub pada Al Mushaf Al Utsmani, adalah alasan yang
mendorong Husain bin Muhammad Taqi An Nury At Thobarsy untuk menuliskan bukunya
yang berjudul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
[4]
Apapun perihalnya, bukan hanya An
Nury At Thobarsy pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’)
seorang yang menyatakan bahwa Al Quran telah diselewengkan, didapatkan ada
imam-imam (Syi’ah) terkemuka lainnya yang sekelas dengannya menyatakan hal yang
sama, misalnya Al Kulainy, penulis buku Al Kafi dan Ar Raudhah,
Al Kummi penulis buku tafsir yang disebut oleh An Najasyi dalam buku Rijalun
Najasy pada hal: 183: “Ia memiliki kredibilitas tinggi (tsiqah) dalam
hal hadits dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar mazhabnya”, dan
juga Syaikh Mufid yang dinyatakan oleh An Najasyi dalam Rijalun Najasy hal:
284: “Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat, kredibilitas (tsiqah) dan
ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang”, dan ia juga dipuji
oleh sayyid Muhsin Al Amin dalam bukunya “A’ayanus Syi’ah” jilid 1/237,
dan juga Al Kasyy, Al Ardubily, dan juga Al Majlisy.
Seandainya seluruh tokoh terkemuka
kaum Syi’ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al Quran, mustahil
mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang menyebutkan dua ribu
hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai pujian ini,
misalnya mereka menyebutnya dengan: Semoga Allah menyucikan jiwanya, atau dia
adalah imam para ahli hadits. Seandainya mereka meyakini kebalikannya, niscaya
mereka membantahnya, atau mencelanya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau
mengafirkannya… karena apakah yang masih tersisa setelah seseorang meyakini
bahwa Al Quran telah diselewengkan?
Walaupun kaum Syi’ah berusaha untuk
mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri At Thobarsy
dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, akan tetapi buku tersebut memuat
beratus-ratus nukilan dari ulama’ mereka yang terdapat pada buku-buku mereka
yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa mereka meyakini
dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka tidak menginginkan
terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al Quran.
Dengan demikian, ada dua Al Quran:
yang pertama Al Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh setiap orang,
dan yang kedua: Al Quran khusus yang tersembunyi, yang di antara isinya ialah
surat Al Wilayah. Dan dalam hal ini mereka mengamalkan pesan yang mereka
rekayasa atas nama salah seorang imam mereka, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha: “Bacalah
sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang
orang yang mengajari kalian!!”
Di antara ayat yang menurut kaum Syi’ah telah dihapuskan
dari Al Quran ialah ayat:
وجعلنا
عليا صهرك
“Dan Kami
jadikan Ali sebagai menantumu.”
Mereka beranggapan bahwa ayat ini
telah dihapuskan dari surat أَلَمْ نَشْرَحْ Mereka tidak merasa malu dengan anggapan
ini! Padahal mereka mengetahui bahwa surat أَلَمْ
نَشْرَحْ adalah surat Makkiyyah
(Surat Makkiyyah ialah surat yang diturunkan semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam masih berada di kota Makkah
dan sebelum berhijrah ke kota Madinah) sedangkan yang menjadi menantu Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Salam kala itu ialah Al
‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi, ia pernah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam dari atas mimbar
masjid Nabawi As Syarif, tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu berencana
menikahi anak wanita Abu Jahl sebagai madu bagi istrinya Fatimah radhiallahu
‘anha. Oleh sebab itulah Fatimah mengadukan suaminya Ali bin Abi Tholib
kepada ayahnya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam . (Pujian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada menantunya Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al
Umawi ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim. -pent)
Dan bila sahabat Ali adalah menantu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena menikahi salah seorang putri Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Salam, maka Allah ta’ala telah menjadikan sahabat Utsman bin
Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersabda kepadanya
ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:
لو
كانت لنا ثالثة لزوجناكها
“Seandainya aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan
aku nikahkan engkau dengannya.” (Kisah ini disebutkan oleh Ibnu
Atsir dalam kitabnya Usudul Ghobah 1/749 & 1458 -pent).
Tokoh mereka yang bernama Abu
Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Tholib At Thobarsy -salah seorang syaikh Ibnu
Syahruasyub wafat thn 588 H dalam bukunya: “Al Ihtijaj ‘Ala Ahli Al Lijaaj”
menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang
zindiq (kaum sesat) -ia tidak menyebutkan namanya-: “Adapun sikapmu yang tidak
peduli dengan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوْا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ
“Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap
wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang
kamu suka.” (QS. An Nisa: 3)
Tidak ada kaitan antara berbuat adil
kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu
yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu, bahwa
kaum munafik[5]
telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al Quran yang terletak
antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang
menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?
Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian
dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, dengan
bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa kepemimpinannya
atas kaum muslimin sepertiga Al Quran yang telah dihapuskan dari tempat ini,
dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya kembali, atau
mempelajari dan mengamalkan kandungannya.
Dan tatkala pertama kali buku “Fashlul
Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab” terbit dan beredar di
tengah-tengah kaum Syi’ah dan lainnya di Iran, Nejef dan negri lainnya kurang
lebih delapan puluh tahun silam -sedangkan buku ini penuh dengan puluhan bahkan
ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya semacam
ini- kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan segera menerjemahkannya
ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi Al
Ashfahani Al Kazhimi pada jilid 2 hal: 90 dari bukunya yang berjudul: “Ahsanul
Wadi’ah”, yang merupakan penyempurna buku: “Raudhatul Jinan.”
Ada dua teks yang jelas dalam buku
yang sederajat dengan Shohih Bukhori menurut mereka, yaitu buku “Al
Kafi” karya Al Kulaini, teks pertama pada hal: 54, edisi thn 1278 H di
Iran, yaitu, “Dari Jabir Al Ju’fi, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abu
Ja’far ‘alaihissalaam berkata: Tidaklah ada seseorang yang mengaku telah
menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan melainkan ia adalah
seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil mengumpulkan dan
menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali bin Abi
Tholib dan para imam setelahnya.” Setiap orang Syi’ah yang membaca kitab “Al
Kafi” ini -yang kedudukannya bagaikan Shohih Bukhori menurut Ahlusunnah-
pasti mengimani teks ini.
Adapun kita Ahlusunnah, maka
kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi’ah telah berdusta atas nama Al Baqir
Abu Ja’far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu ‘anhu
sendiri selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota Kuffah- tidak
pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebar luaskan
serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai karunia dari Allah
ta’ala- oleh khalifah Utsman radhiallahu ‘anhu, hingga zaman kita dan
hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu ‘anhu memiliki
mushaf lain, -sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh
wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya- niscaya ia akan
mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar luaskan dan
mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia
menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat
terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama islam!!
Sedangkan Jabir Al Ju’fi yang mengaku
mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Ja’far Muhammad Al Baqir, walaupun
dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi
sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya
Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah berkata: Aku tidak pernah melihat
dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding
‘Atha’, dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al Ju’fi.
(Silahkan baca makalah saya yang dimuat di Majalah Al Azhar hal: 307, edisi thn
1372 H).
Dan teks yang lebih nyata dustanya
dibanding teks pertama dari Abu Ja’far yang terdapat pada buku “Al Kafi”
ini, ialah teks dari anak beliau Ja’far As Shodiq rahimahullah ta’ala
dan yang juga dimuat dalam Shohih Bukhori mereka “Al Kafi” hal:
57, edisi 1278 H Iran:
“Dari Abi
Bashir, ia menuturkan: Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far As
Shodiq)……hingga Abu Abdillah berkata: “Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf
Fatimah ‘alaihas salaam …ia menuturkan: Aku pun bertanya: Apa itu Mushaf
Fatimah? Ia menjawab: Mushaf seperti Al Quran kalian itu tiga kali lipat
(tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf pun dari Al
Quran kalian.”
Teks-teks orang-orang Syi’ah yang
dipalsukan atas nama imam-imam Ahlul Bait ada sejak zaman dahulu, karena telah
dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub Al Kulaini Ar Razi dalam bukunya “Al
Kafi” lebih dari seribu tahun yang lalu, dan teks-teks tersebut ada
jauh-jauh hari sebelumnya; dikarenakan ia menukilkan teks tersebut dari
pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek pendiri paham Syi’ah.
Semasa Spanyol berada di bawah
kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad ibnu Hazm beradu argumentasi
dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka, dan beliau
membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami penyelewengan dan
bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut balik berdalil
atas beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al Quran juga mengalami
penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab mereka bahwa
anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas Al Quran tidak
juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi’ah tidak termasuk kaum muslimin.
Silahkan baca “Al Fishol Fi Al Milal wa An Nihal” karya Ibnu Hazm, jilid
2 hal: 78 dan juz 4 hal: 182, edisi pertama Al Kairo.
Satu fakta berbahaya yang kami merasa
perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan Islam: bahwa prinsip paham
Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyyah yang dikenal juga dengan Al
Ja’fariyyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh pemerintah islam sejak
wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam hingga saat ini -terkecuali tahun-tahun
kepemimpinan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu- merupakan
pemerintahan yang tidak syar’i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang
berpaham Syi’ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada
mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka!
Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang
telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan
hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi’ah dan ideologi mereka hanya
ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan
kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan,
semenjak Abu Bakar, dan Umar hingga para kholifah setelahnya hingga saat ini,
apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan
agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri
Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan
hingga hari Kiamat!
******
Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
Al Jibtu & At Thoghut: Abu Bakar & Umar
Oleh karena itulah kaum Syi’ah
senantiasa mengutuk sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum
dan setiap orang yang menjadi penguasa dalam sejarah Islam selain sahabat Ali
bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Sungguh mereka telah berdusta atas
nama Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa, bahwa beliau telah
membenarkan para pengikutnya menjuluki Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Al
Jibtu & At Thoghut.” (Al Jibtu dan At Thoghut ialah segala sesuatu yang
disembah atau menjadikan manusia menyeleweng dari agama Allah. -pent).
Disebutkan dalam kitab Al Jarhu wa
At Ta’dil (Al Jarhu wa At Ta’dil ialah salah satu disiplin ilmu
hadits yang membahas tentang kredibilitas dan biografi para perawi hadits dan
tarikh. -pent) terbesar dan terlengkap yang mereka miliki, yaitu buku “Tanqih
Al Maqal Fi Ahwal Ar Rijaal” karya pemimpin sekte Ja’fariyyah Ayatullah Al
Mamaqani, pada juz 1 hal: 207, edisi Pustaka Al Murtadhowiyyah, Najef tahun 1352
H ada suatu kisah yang dinukilkan oleh Syaikh besar Muhammad Idris Al Hilli
pada akhir kitab “As Sara’ir” dari kitab “Masa’il Ar Rijal Wa
Mukatabaatihim” kepada Maulana Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa
‘alaihissalaam dari sebagian pertanyaan Muhammad bin Ali bin ‘Isa, ia
berkata: Aku menulis surat kepadanya menanyakan perihal seseorang yang memusuhi
keluarga Nabi, apakah ketika mengujinya diperlukan kepada hal-hal lain selain
sikapnya yang lebih mendahulukan Al Jibtu & At Thoghut? Maksudnya ia
mendahulukan dua orang pemimpin dan sekaligus dua sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam dan dua pembantu
kepercayaan beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar radhaiallahu ‘anhuma.
Kemudian jawabannya datang sebagai berikut: “Barang siapa yang meyakini hal
ini, maka ia adalah seorang yang memusuhi keluarga Nabi.” Maksudnya: cukup
bagi seseorang untuk disebut sebagai orang yang memusuhi keluarga Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam , bila ia mendahulukan Abu Bakar dan Umar (dibanding
sahabat Ali bin Abi Tholib) dan meyakini keabsahan kepemimpinan mereka berdua.
Kata-kata “Al Jibtu” dan “At Thoghut”
senantiasa digunakan oleh kaum Syi’ah dalam bacaan doa mereka yang disebut
dengan “Doa Dua Berhala Quraisy”. Yang mereka maksudkan dari dua berhala
dan dari kata “Al Jibtu” dan “At Thoghut” ialah Abu Bakar dan
Umar radhiallahu ‘anhuma. Doa ini disebutkan dalam kitab mereka yang
berjudul “Mafatihul Jinaan” hal: 114, kedudukan kitab ini bagaikan kitab
“Dalaa’ilul Khairaat” yang telah menyebar luas di tengah-tengah berbagai
negeri Islam. Bunyi doa ini sebagai berikut:
“Ya Allah,
limpahkanlah sholawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan kutuklah dua
berhala, dua sesembahan, dua tukang sihir Quraisy dan kedua anak wanita mereka
berdua……”!![6]
Yang mereka maksud dengan kedua anak wanita mereka ialah Ummul Mukminin ‘Aisyah
dan Ummul Mukminin Hafshah semoga Allah meridhai mereka dan seluruh sahabat.
Hari Pembunuhan Al Faruq Sebagai Hari ‘Ied Terbesar
Kebencian mereka kepada tokoh yang
berhasil memadamkan api kaum majusi di Iran dan yang berhasil mengislamkan
nenek moyang penduduknya, yaitu Sayyidina Umar bin Al Khatthab radhiallahu
‘anhu tiada batas, sampai-sampai mereka menamakan pembunuhnya, yaitu Abu
Lulu’ah Al Majusi -semoga kutukan Allah menimpanya- dengan sebutan: “Baba
Syuja’uddin” (Ayah Sang Pemberani). Ali bin Muzhohir -salah seorang tokoh
mereka- meriwayatkan dari Ahmad bin Ishaq Al Kummi Al Ahwash, Syaikh kaum
Syi’ah dan pemuka mereka, bahwa hari pembunuhan Umar bin Al Khatthab adalah
hari ‘ied terbesar, hari kebesaran, hari pengagungan, hari kesucian terbesar,
hari keberkahan, dan hari hiburan.
Dimulai dari sahabat Abu Bakar, Umar
-semoga Allah meridhoi keduanya- Sholahuddin Al Ayyuby rahimahullah dan
seluruh tokoh yang telah berhasil menundukkan berbagai dinasti dunia, dan
memasukkannya ke pangkuan agama Allah, dan yang telah memerintahnya dengan nama
Islam hingga hari kita ini -seluruh mereka itu menurut ideologi Syi’ah- para
penguasa perampas, lalim dan termasuk penghuni neraka; karena kepemimpinan
mereka tidak sesuai dengan syariat, sehingga mereka tidak berhak menerima
loyal, kepatuhan, dan dukungan dalam kebaikan dari kaum Syi’ah, kecuali sebatas
tuntutan penerapan ideologi At Taqiyyah dan sebatas upaya menarik simpati
mereka dan menyembunyikan kebencian kepada mereka.
Keyakinan Nyeleneh Syi’ah Tentang Imam Mahdi
Di antara prinsip dasar dalam ideologi mereka ialah: Bila
suatu saat nanti Imam Mahdi telah bangkit, yaitu Imam mereka yang ke dua belas,
yang menurut mereka saat ini sudah hidup dan sedang menanti saat
kebangkitannya/revolusinya agar mereka ikut andil bersamanya menjalankan
revolusi tersebut. Bila mereka menyebutkannya dalam buku-buku mereka, mereka
senantiasa menuliskan di sebelah nama, atau julukan atau panggilannya dua huruf
(عج)
kependekan dari:
عجَّل
الله فرجه
“Semoga Allah menyegerakan
kebangkitannya.”
(Tatkala Imam Mahdi ini telah bangkit
dari tidurnya yang amat panjang yang telah melebihi seribu seratus tahun) Allah
akan menghidupkan kembali seluruh penguasa umat Islam yang telah lalu
bersama-sama para penguasa yang ada pada masa kebangkitannya terutama yang
mereka sebut dengan Al Jibtu & At Thoghut; Abu Bakar dan Umar dan para
pemimpin setelah keduanya!! Kemudian Imam Mahdi ini akan menghukumi mereka atas
perbuatan mereka merampas kekuasaan dari dirinya dan dari kesebelas nenek
moyangnya. Karena -menurut mereka- kekuasaan itu sepeninggal Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam hanyalah hak mereka semata sebagai karunia Allah kepada
mereka, dan tidak ada hak sedikit pun bagi selain mereka.
Dan setelah mengadili para thoghut
tersebut, ia membalas mereka semua, sehingga ia memerintahkan untuk membunuh
dan memusnahkan setiap lima ratus orang secara bersama-sama, hingga akhirnya ia
genap membunuh sebanyak 3000 penguasa Islam sepanjang sejarah. Hukuman ini
terjadi di dunia sebelum kebangkitan terakhir mereka, kelak di hari kiamat.
Kemudian setelah mereka semua mati serta binasa, terjadilah kebangkitan
terbesar, kemudian manusia masuk surga atau neraka. Surga bagi keluarga Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam dan setiap orang
yang berkeyakinan demikian ini tentang mereka dan neraka bagi setiap orang yang
tidak termasuk kelompok Syi’ah.
Kaum Syi’ah menamakan penghidupan
kembali, pengadilan dan pembalasan ini dengan sebutan “Ar Raj’ah”, dan
hal ini merupakan bagian dari ideologi kaum Syi’ah yang tidak seorang Syi’ah
pun yang meragukannya. Saya melihat sebagian orang yang berhati baik
beranggapan bahwa ideologi semacam ini telah ditinggalkan oleh kaum Syi’ah
akhir-akhir ini. Sudah barang tentu anggapan ini adalah salah besar dan
menyelisihi realita, karena kaum Syi’ah sejak dinasti As Shafawiyyah hingga
sekarang lebih ekstrem dalam meyakini ideologi-ideologi ini dibanding generasi
sebelumnya. Mereka saat ini terbagi menjadi dua kelompok: orang-orang yang
meyakini ideologi-ideologi tersebut dengan utuh dan orang-orang yang
berpendidikan modern sehingga mereka menyeleweng dari berbagai khurofat ini
kepada paham komunis. Penganut paham komunis di Irak dan Partai Tawaddah
(Partai Kasih Sayang) di Iran, anggotanya ialah kaum Syi’ah yang telah
menyadari kesalahan berbagai dongeng palsu mereka, sehingga mereka menganut
paham komunis setelah sebelumnya menganut ajaran Syi’ah!!! Di masyarakat mereka
tidak ada kelompok atau partai yang moderat, kecuali orang-orang yang
menerapkan ajaran taqiyyah guna mencapai tujuan kelompok atau diplomasi atau
partai atau pribadi, padahal ia menyembunyikan selain dari yang ia nampakkan.
******
Ideologi Ar Raj’ah dan Pembantaian 3000 Kaum Quraisy
Ideologi Ar Raj’ah dan Pembantaian 3000 Kaum Quraisy
Agar Anda memahami tentang ideologi
Ar Raj’ah langsung dari buku mereka yang tepercaya, saya akan sebutkan
untuk Anda ucapan Syaikh sekte Syi’ah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin An
Nu’man, yang lebih dikenal di kalangan mereka dengan sebutan “Syaikh Al Mufid”
dalam bukunya yang berjudul: “Al Irsyad Fi Tarikh Hujajillah ‘Alal ‘Ibaad”.
Buku ini dicetak di Iran dengan cetakan kuno, tidak disebutkan tahun terbitnya,
dan dicetak dengan tulisan tangan Muhammad bin Ali Muhammad Hasan (Demikian
disebutkan dalam buku aslinya, mungkin benarnya ialah: Muhammad Ali bin
Muhammad Hasan) Al Kalbabakati:
Al Fadhl bin Syazan meriwayatkan
dari Muhammad bin Ali Al Kufi dari Wahb bin Hafsh dari Abu Bashir, ia
menuturkan: Abu Ja’far (yaitu Ja’far As Shodiq) berkata: Akan diseru dengan
nama Al Qaim (maksudnya: Imam mereka ke-12 yang mereka yakini telah lahir lebih
dari sebelas abad silam, dan ia belum mati, karena ia akan bangkit dan
mengadili), akan diseru dengan namanya pada malam 23 dan ia akan bangkit pada
hari ‘Asyura (tgl 10 Muharram), dan seakan-akan sekarang ini aku dapat melihat
ia pada hari kesepuluh bulan Muharram sedang berdiri antara Hajar Aswad dan
Maqam Ibrahim, Malaikat Jibril berada di sebelah kanannya sambil menyeru:
Berbaiatlah untuk Allah. Maka kaum Syi’ah berbondong-bondong dari segala
penjuru dunia yang telah dipendekkan untuk mereka hingga akhirnya mereka semua
dapat membai’atnya. Disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa ia akan berjalan
dari Mekkah hingga tiba di Kuffah dan ia singgah di kota Nejef kita ini,
kemudian ia dari kota tersebut mengutus pasukannya ke berbagai penjuru dunia.
Al Hajjal juga meriwayatkan dari
Tsa’labah dari Abu Bakar Al Hadhrami dari Abu Ja’far ‘alaihi salam
(yaitu Muhammad Al Baqir) ia berkata: Seakan-akan aku menyaksikan Al Qa’im ‘alaihi
salam sedang berada di Najef kota Kuffah, ia datang dari kota Mekkah dengan
diiringi oleh 5000 malaikat, Malaikat Jibril di sebelah kanannya, Malaikat
Mikail di sebelah kirinya, sedangkan kaum mukminin di depannya, dan beliau
mengutus pasukannya ke berbagai negeri.
Abdul Karim Al Ju’fi juga menuturkan,
aku pernah berkata kepada Abu Abdillah (yaitu Ja’far As Shodiq) berapa lama Al
Qaim ‘alaihi salam akan menguasai dunia? Beliau menjawab: Tujuh tahun,
hari-harinya akan menjadi panjang, sampai-sampai satu tahun kepemimpinannya
sama halnya dengan sepuluh tahun biasa, sehingga lama kepemimpinanya sama
dengan tujuh puluh tahun yang biasa kalian alami. Abu Bashir bertanya
kepadanya: Semoga aku menjadi tebusanmu, bagaimana cara Allah memanjangkan
tahun? Ia menjawab: Allah memerintahkan al falak agar berhenti dan tidak banyak
bergerak, dengan cara inilah hari dan tahun menjadi panjang. Bila masa
kebangkitannya telah tiba, umat manusia selama bulan Jumadil Akhir dan sepuluh
hari dari bulan Rajab akan ditimpa hujan lebat yang tidak pernah dialami oleh
manusia, kemudian Allah menumbuhkan kembali daging dan badan kaum mukminin
dalam kuburan mereka, seakan-akan sekarang ini, aku sedang menyaksikan mereka
membersihkan tanah dari rambut-rambut mereka.
Abdullah bin Al Mughirah juga meriwayatkan
dari Abu Abdillah (yaitu Ja’far As Shodiq) ‘alaihissalaam ia menuturkan:
Bila Al Qaim dari keturunan (nabi) Muhammad telah bangkit, ia akan
membangkitkan 500 orang dari orang-orang Quraisy, kemudian ia akan memenggal
leher mereka, kemudian ia akan membangkitkan 500 lainnya, kemudian memenggal
leher mereka juga, kemudian membangkitkan 500 lainnya, hingga ia melakukan hal
itu sebanyak 6 kali. Aku pun bertanya: apakah jumlah mereka mencapai sebanyak
ini? (Ia merasa keheranan akan hal itu, karena Khulafa’ Ar Rasyidin, Dinasti
Umawiyyah, Abbasiyah dan seluruh penguasa umat Islam hingga zaman Ja’far As
Shadiq tidak sampai sebanyak itu, juga tidak sampai satu persennya) Ja’far As
Shodiq menjawab: Ya, dari mereka dan juga dari pengikutnya. Dan pada riwayat lain:
Sesungguhnya kekuasaan kita adalah kekuasaan terakhir, tidaklah ada satu marga
pun dari mereka melainkan pernah menjadi penguasa, agar mereka tidak berkata
bila telah menyaksikan perilaku kita: Bila kami berkuasa niscaya kami akan
berlaku seperti perilaku mereka.
******
Bersama Datangnya Al
Mahdi, Mushaf Yang Asli Akan Kembali
Jabir Al Ju’fi meriwayatkan dari Abu
Abdillah, ia berkata: Bila telah bangkit Al Qaim (sang penegak) dari keluarga
Muhammad, ia akan mendirikan pertendaan guna mengajarkan Al Quran yang asli
sebagaimana kala diturunkan[7]
sehingga Mushaf tersebut akan terasa sulit bagi orang yang telah menghafal Al
Quran (yaitu menghafal Al Qur’an yang telah disatukan oleh Utsman bin Affan radhiallahu
‘anhu, sebagaimana yang ada pada zaman Ja’far As Shodiq), karena mushaf
tersebut berbeda susunannya.
Abdullah bin Ajlan meriwayatkan dari
Abu Abdillah ‘alaihi salam, ia berkata: Bila Al Qaim (sang penegak) dari
keluarga Muhammad telah bangkit, ia akan menghakimi manusia dengan hukum nabi
Daud?!
Dan Al Mufaddhol bin Umar meriwayatkan
dari Abu Abdillah , ia
berkata: Akan keluar bersama Al Qaim (sang penegak) ‘alaihi salam dari luar kota Kufah 27 laki-laki
dari kaumnya Nabi Musa?! Dan tujuh orang dari Ahlul Kahfi, nabi Yusya’ bin Nun,
nabi Sulaiman, Abu Dujanah Al Anshary, Al Miqdad, dan Malik Al Asytar, dan
mereka akan berada di hadapannya sebagai para pembela dan para hakim!!
Teks-teks ini dinukilkan secara utuh
dan dengan penuh kehati-hatian dari kitab salah seorang ulama’ terbesar mereka,
yaitu Syeikhul Mufid, dan yang diriwayatkan dengan rentetan sanadnya yang tidak
diragukan lagi telah dipalsukan atas nama Ahlul Bait, sehingga para pendusta
tersebut yang telah menjadi pengikut mereka merupakan musibah terbesar yang
menimpa ahlul Bait. Dan buku Syeikhul Mufid telah dicetak di Iran , dan salah satu edisi kunonya
tersimpan dan ada bersama kami.
******
Keyakinan Nyeleneh Syi’ah Tentang Sahabat Abu Bakar dan Umar
Abu Bakar & Umar Disalib Di Sebatang Pohon
Disebabkan ideologi “Ar Raj’ah” dan
pengadilan para penguasa kaum Muslimin merupakan bagian dari ideologi dasar
kaum Syi’ah, tidak mengherankan bila ulama mereka, yaitu Sayyid Al Murtadha,
penulis buku “Amaali Al Murtadha”, yang sekaligus saudara kandung As Syarif Ar
Radhi sang penyair dan sekutunya dalam pemalsuan tambahan kitab “Nahjul
Balaghah”, yang mungkin saja mencapai sepertiga kitab aslinya, yaitu setiap
bagian yang mengandung celaan dan kritikan kepada para sahabat. Sayyid Al
Murtadha ini berkata dalam bukunya “Al Masail An Nushairiyyah” bahwasanya
Abu Bakar dan Umar akan disalib di sebatang pohon pada hari tersebut, yaitu
pada masa Al Mahdi (Yaitu imam mereka kedua belas, yang mereka sebut sebagai Al
Qaim/penegak dari keluarga Muhammad), dan pohon tersebut sebelum penyaliban
dalam keadaan hijau nan segar, dan akan menjadi kering seusai penyaliban!!?
Sepanjang masa, seluruh tokoh dan
ulama sekte Syi’ah bersikap hina semacam ini terhadap kedua sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam sekaligus dua orang
kepercayaan beliau Abu Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi
keduanya, menerangi kuburnya, dan menyejukkan tempat persemayamannya- dan dari
seluruh tokoh, para khalifah, penguasa, pemimpin, pejuang dan penjaga agama
Islam, semoga Allah senantiasa meridhai mereka, dan melimpahkan balasan yang
terbaik kepada mereka atas jasanya kepada agama Islam dan umatnya.
Dan saya pernah mendengar langsung
dari da’i mereka -yang kala itu menjadi pengurus “Lembaga Pendekatan” dan
sebagai donaturnya- mengaku kepada sebagian orang yang tidak berkesempatan
untuk mengkaji permasalahan ini bahwa berbagai ideologi ini hanya ada pada masa
silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah. Pengakuan ini nyata-nyata
dusta dan merupakan penipuan, karena buku-buku yang diajarkan di berbagai
lembaga pendidikan mereka mengajarkan ini semua, dan menganggapnya sebagai
prinsip-prinsip sekte dan pokok-pokok utama ajarannya. Buku-buku yang
dipublikasikan oleh ulama’ Najef, Iran, dan Jabal Amil pada zaman ini lebih
jelek dibanding buku-buku mereka pada zaman dahulu, dan lebih keras dalam
meruntuhkan berbagai upaya pendekatan dan toleransi.
******
Da’i Pendekatan “Al Khalisi” Mengingkari Keikutsertaan Abu Bakar & Umar Dalam Bai’at Ridwan
Da’i Pendekatan “Al Khalisi” Mengingkari Keikutsertaan Abu Bakar & Umar Dalam Bai’at Ridwan
Sekedar contoh nyata akan hal di atas
(kedustaan pernyataan mereka bahwa berbagai ideologi ini hanya ada pada masa
silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah –ed muslim), kita sebutkan
salah seorang dari mereka yang senantiasa mendengungkan di setiap pagi dan
petang bahwa ia adalah salah satu pemrakarsa persatuan dan pendekatan, yaitu
Syaikh Muhammad bin Muhammad Mahdi Al Khalisi, tokoh yang memiliki banyak
kolega di Mesir dan lainnya dari para penyeru “pendekatan” dan para tokoh yang
siang dan malam berupaya untuk menyosialisasikannya di antara Ahlusunnah.
Tokoh penyeru terhadap persatuan dan
solidaritas ini -semoga ia mendapatkan balasan setimpal dari Allah- menafikan
nikmat iman sekalipun dari Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma!! Ia
berkata pada bukunya “Ihya’us Syari’ah Fi Mazhabis Syi’ah” jilid 1 hal:
63-64: “Dan bila mereka berkata: Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar termasuk
orang-orang yang ikut andil dalam “Bai’atur Ridhwan” yang telah ditegaskan akan
keridhaan Allah atas mereka dalam Al Quran:
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang
membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon.” (QS. Al
Fath: 18)
Maka kami jawab: Seandainya Allah berfirman:
لقد
رضي الله عن الذين يبايعونك تحت الشجرة أو عن الذين بايعوك
“Sungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang yang
sedang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon” atau “telah
membai’atmu” maka pada ayat ini terdapat petunjuk akan keridhaan Allah
kepada setiap yang membai’at, akan tetapi karena Allah berfirman:
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang
membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon,” maka tidak
ada petunjuk pada ayat ini kecuali keridhaan terhadap orang-orang yang telah
memurnikan keimanannya”!?
Makna dari ucapannya ini: bahwasanya
Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma belum memurnikan keimanannya?!
Sehingga tidak dicakup oleh keridhaan Allah?! Subhanallah¸ tentu ini
adalah kedustaan yang amat besar, semoga Allah senantiasa meridhai keduanya,
dan melimpahkan kepadanya kerahmatan dan keridhaan yang melimpah ruah, amiin.
Dan telah berlalu sebelumnya perkataan
An Najafi (tokoh dari kota
Najef -pent) -semoga kecelakaan senantiasa menimpa kedua tangannya- penulis
buku (Az Zahra’) bahwa sayyidina Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu
ditimpa penyakit yang tidak dapat diobati melainkan dengan air mani kaum
lelaki?! (Dan kita katakan kepada orang ini, dalam pepatah dikatakan: “ia
menuduhku dengan penyakitnya sendiri, lalu ia lari bersembunyi”).
Inilah dua pemuka agama sekte Syi’ah
yang hidup semasa dengan kami, dan termasuk orang-orang yang senantiasa
mengaku-ngaku memiliki loyalitas tinggi terhadap agama Islam dan kaum Muslimin,
dan andil besar dalam segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi keduanya. Bila
semacam ini ucapan dua orang pemuka agama sekte Syi’ah dalam tulisan-tulisannya
yang telah diterbitkan dan yang menjelaskan tentang ideologi keduanya tentang
orang terbaik dari kaum muslimin setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam , yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, atau minimal
termasuk orang yang terbaik dalam sejarah Islam, maka apakah yang akan kita
harapkan dari upaya toleransi dan ikut andil dalam upaya pendekatan antar
berbagai mazhab. Dan apakah mereka semua itu adalah murni barisan ke lima
dalam tatanan masyarakat muslim?
Di saat mereka menghinakan para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , para pengikut mereka
(Tabi’in) dan seluruh pemimpin kaum muslimin sepeninggal mereka serendah ini,
padahal merekalah yang telah membangun kekuasaan Islam dan mewujudkan dunia
Islam ini. Pada saat yang bersamaan, mereka -sekte Syi’ah- berkeyakinan tentang
imam-imam mereka berbagai keyakinan yang para imam tersebut pasti berlepas diri
dari hal-hal tersebut. Al Kulaini telah menuliskan dalam bukunya “Al Kafi”
-buku ini bagi mereka bagaikan kitab “Shahih Bukhori” bagi kaum
muslimin- berbagai karakteristik dan sifat kedua belas imam mereka. Karakteristik
dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa
hingga tingkatan tuhan-tuhan bangsa Yunani kuno. Seandainya kita hendak
menukilkan hal-hal semacam ini dari buku “Al Kafi” dan buku-buku
terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid buku besar. Oleh
karenanya, kami akan cukupkan dengan menukilkan beberapa judul bab secara utuh
dan dengan apa adanya dari buku “Al Kafi”, di antaranya judul bab-bab
tersebut ialah:
1.
Bab: Bahwasanya Para Imam
Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul (Al
Kafi jilid 1/255, kitab Al Hujjah).
2.
Bab: Bahwasanya Para Imam
Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwasanya Mereka Tidaklah
Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri. (Al Kafi jilid 1/258
kitab Al Hujjah).
3.
Bab: Bahwasanya Para Imam
Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan
Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu Apapun. (Al Kafi
jilid 1/260, kitab Al Hujjah).
4.
Bab: Bahwasanya Para Imam Memiliki
Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya. (Al Kafi
jilid 1/227, kitab Al Hujjah).
5.
Bab: Bahwasanya Tidaklah Ada Orang
Yang Pernah Menyatukan Al Quran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwasanya
Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya. (Al Kafi jilid
1/228, kitab Al Hujjah).
6.
Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh
Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi. (Al Kafi
jilid 1/231, kitab Al Hujjah).
7.
Bab: Bahwasanya Para Imam Bila
Telah Berhasil Berkuasa, Mereka Akan Berhukum Dengan Hukum Nabi Daud (?!) Dan
Keluarga Daud [8]
(?!)Dan Mereka Tidak Akan Pernah Meminta Persaksian/Bukti. (Al Kafi,
1/397, kitab Al Hujjah).
8.
Bab: Bahwasanya Tidaklah Ada
Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh
Para Imam, Dan Bahwasanya Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka
Itu Adalah Bathil. (Al Kafi 1/399, kitab Al Hujjah).
9.
Bab: Bahwasanya Bumi Seluruhnya
Adalah Milik Para Imam. (Al Kafi 1/407, kitab Al Hujjah).
Di saat mereka meyakini tentang 12
imam mereka hal-hal yang tidak pernah diakui oleh para imam tersebut, berupa
pengetahuan tentang yang gaib, dan bahwasanya kedudukan mereka di atas
kedudukan manusia biasa (Bahkan mereka meriwayatkan dari sahabat Ali radhiallahu
‘anhu, bahwasanya ia berkata, “Akulah yang telah menjadi tinggi kemudian
menundukkan, dan akulah yang menghidupkan dan mematikan, akulah yang pertama
dan terakhir, akulah yang nampak dan tersembunyi.” Sebagaimana disebutkan
dalam buku “Al Ikhtishash” karya Syeikhul Mufid, sudah barang tentu
berbagai sifat ini tidaklah dimiliki oleh selain Allah subhanahu wa Ta’ala. Dan
juga seperti ucapan mereka, “Sesungguhnya para imam kami memiliki kedudukan
yang tidak dapat dicapai oleh para malaikat yang didekatkan, tidak juga nabi
yang telah diutus.”
Al Khumaini dalam bukunya: “Al
Hukumah Al Islamiyyah” hal 52). Pada saat yang bersamaan sekte Syi’ah
mengingkari segala hal yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam dari hal-hal gaib,
misalnya perihal penciptaan langit dan bumi, berbagai hal tentang surga dan
neraka. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam majalah “Risalatul
Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” yang berpusatkan di
Kairo. Majalah ini memuat pada edisi ke-4, tahun ke-4, hal: 368, buah karya
Kepala Mahkamah Syari’at Syi’ah Tertinggi di Lebanon, -seorang figur yang
mereka anggap sebagai ulama’ mereka paling memikat tutur katanya- dengan tema:
“Sebagian Dari Ijtihad-ijtihad Syi’ah Imamiyyah”. Pada makalah ini, ia
menukilkan dari tokoh ahli ijtihad mereka yang bernama Syaikh Muhammad Hasan Al
Asytiyani, bahwasanya ia berkata dalam bukunya: “Bahrul Fawaid” jilid 1,
hal: 267: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bila mengabarkan tentang hukum-hukum syariat,
maksudnya: seperti hal-hal yang membatalkan wudhu, berbagai hukum haidh dan
nifas, maka wajib untuk dipercayai dan diamalkan apa yang ia kabarkan. Dan bila
ia mengabarkan tentang hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan
bumi, bidadari dan istana di surga, maka tidak wajib untuk diimani, walaupun
setelah kita tahu akan keabsahan hadits tersebut dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam , terlebih-lebih bila keabsahannya masih diragukan!?
Ya Allah, amat mengherankan! Mereka
berdusta dengan menisbatkan kepada para imam, bahwa mereka dapat mengetahui hal
yang gaib, dan mereka beriman dengannya, padahal penisbatan hal tersebut kepada
para imam tidak dapat dipastikan keabsahannya, di saat yang sama mereka
menghalalkan diri untuk mengingkari berbagai berita tentang hal gaib yang telah
terbukti keabsahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ,
serta maknanya amat jelas nan tegas, misalnya ayat-ayat dan hadits-hadits
shahih tentang penciptaan langit dan bumi, berbagai perihal tentang surga dan
neraka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada setiap hadits yang terbukti shahih
tersebut tidaklah berkata-kata atas dasar hawa nafsunya, hadits itu tiada lain
kecuali wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.
Setiap orang yang membandingkan
antara berbagai hal yang dinisbatkan kepada para imam mereka dengan
hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang mengabarkan tentang hal gaib, niscaya
akan terbukti baginya bahwa hal-hal gaib yang terbukti benar periwayatannya
dari Rasulullah, baik dalam Al Quran atau hadits mutawatir nan shahih tidaklah
mencapai sebagian kecil dari hal-hal yang didakwakan oleh sekte Syi’ah tentang
kedua belas imam mereka, berupa ilmu gaib setelah terputusnya wahyu Allah dari
penduduk bumi. Dan seluruh perawi hal-hal gaib dari kedua belas imam tersebut
telah dikenal di kalangan ulama’ ahli Al jarh wa ta’dil (salah satu disiplin
ilmu hadits yang membicarakan tentang kredibilitas para periwayat hadits) dari
kalangan Ahlusunnah sebagai para pendusta, akan tetapi para pengikut
mereka dari kalangan sekte Syi’ah tidak menggubris akan kenyataan itu, dan
tetap mempercayai segala riwayat mereka tentang hal-hal gaib yang dimiliki oleh
para imam.
Pada saat yang bersamaan pula
majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan”
memuat tulisan hakim Mahkamah Syari’at Tertinggi di Lebanon, sekaligus mujtahid
mereka, yaitu Muhammad Hasan Al Asytiyani, yang mempropagandakan dan menyerukan
anggapan tidak wajibnya mempercayai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam hal-hal gaib yang telah sah diriwayatkan
darinya. Mereka hendak membatasi tugas kerasulan Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Salam dalam hal-hal yang
membatalkan wudhu, hukum haid dan nifas serta berbagai perincian ilmu fikih
yang serupa dengannya. Akan tetapi mereka mengangkat martabat imam-imam mereka
dalam hal gaib melebihi martabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ,
padahal beliaulah yang mendapatkan wahyu, sedangkan para imam mereka tidak
pernah mengaku mendapatkan wahyu. Dengan demikian, kami tidak tahu,
pendekatan macam apakah yang mungkin dicapai antara kita dengan mereka setelah
kita mengetahui fakta ini?!
Di antara hal yang dapat kita cermati
pada setiap fase sejarah sekte Syi’ah dan sikap tokoh dan masyarakat umum
mereka terhadap pemerintahan Islam, bahwa pemerintahan Islam apa saja, bila
dalam keadaan kuat dan kokoh, mereka senantiasa menjilat kepada mereka sebagai
penerapan ideologi Taqiyyah guna mengeruk kekayaannya, serta meraih berbagai
jabatan. Kemudian bila pemerintah tersebut telah melemah atau diserang oleh
musuh, segera mereka berpihak kepada barisan musuh dan melawan pemerintah
islam. Demikianlah yang mereka lakukan pada akhir masa dinasti Umawiyyah,
tatkala Bani Abbasiyyah mengadakan pemberontakan. Bahkan revolusi Bani Abbasiyyah
terjadi berkat bujuk rayu sekte Syi’ah.
Kemudian mereka juga bersikap keji
semacam ini dengan Dinasti Bani Abbasiyyah, tatkala mereka terancam oleh
serangan Holako Khan dan Bangsa Mongolia para penyembah berhala terhadap
Khilafah Islam, ibu kota kejayaan, pusat kemajuan serta ilmu pengetahuannya.
******
An Nushair At Thushi dan Ibnu Al Alqami Bersama Pasukan Holako Khan dan Bangsa MongolPara Penyembah Berhala
An Nushair At Thushi dan Ibnu Al Alqami Bersama Pasukan Holako Khan dan Bangsa Mongol
Setelah ahli filosof sekaligus ulama
Syi’ah yang bernama An Nushair At Thusi merangkaikan bait’-bait sya’ir guna
menjilat kepada Khalifah Abbasiyah Al Mu’tashim, tidak berapa lama ia berbalik,
pada tahun 655 H ia bersekongkol melawan sang khalifah dan menyegerakan
runtuhnya kekuasaan umat Islam di kota Baghdad , dan ia berada di
barisan terdepan dari iring-iringan pasukan pembunuh berdarah dingin Holako
Khan!! Ia ikut serta menyaksikan pemenggalan leher-leher kaum
muslimin dan muslimat, baik muda ataupun tua!! Ia juga rela dengan
penenggelaman karya-karya ilmiah umat Islam di sungai Dijlah (Tigris), hingga
air sungai mengalir berwarna hitam dalam beberapa siang dan malam akibat
terkena tinta kitab-kitab manuskrip. Dengannya sirnalah berbagai peninggalan
sejarah Islam, yang mencakup sejarah, adab, bahasa, syair, dan filsafat,
terlebih-lebih ilmu-ilmu syariat dan karya-karya tulis para imam terdahulu para
generasi terkemuka, yang hingga kala itu masih banyak di temukan, dan akhirnya
ikut hancur bersama kehancuran peninggalan lainnya pada petaka ilmu pengetahuan
yang tidak pernah terjadi sebelumnya[9].
Dan ikut serta pula bersama Syaikh
sekte Syi’ah Nushair At Thusi dalam pengkhianatan besar ini dua orang
sahabatnya: pertama, perdana menteri Syi’ah yang bernama Muhammad bin Ahmad Al
‘Alqami, dan kedua, penulis buku yang beraliran mu’tazilah yang lebih ekstrem
dalam berpegang dengan paham Syi’ah, yang bernama Abdul Hamid bin Abi Al Hadid,
ia adalah orang kepercayaan Ibnu Al ‘Alqami. Orang kedua ini sepanjang hidupnya
memusuhi sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , oleh
karenanya ia memenuhi buku karyanya yang merupakan syarah (penjabaran) dari
buku “Nahjul Balaghah” dengan berbagai kedustaan yang telah mencoreng
muka sejarah Islam. Dan hingga saat ini masih jua ada sebagian orang-orang yang
tidak memahami hakikat masa lampau agama Islam dan berbagai sekte sempalan yang
melekat kepadanya, sampai pun sebagian kaum cendekiawan dan terpelajar. (Al
‘Allaamah Abdullah bin Al Husain As Suwaidi telah menuliskan bantahan
terhadap Ibnu Abi Al Hadid ini, dimana beliau menuliskan sebuah buku dengan judul:
As Sharim Al Hadid Fi Ar Rad ‘Ala Ibni Abi Al Hadid ( الصارم الحديد في الرد على ابن أبي الحديد ) sebanyak 1000 halaman, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad
Zahid Al Kautsari dalam sebagian makalahnya).
Sesungguhnya Ibnu Al ‘Alqami yang
telah membalas kelembutan Khalifah Al Musta’shim dan, kedermawanan beliau
sehingga ia dipilih menjadi perdana menterinya, dengan pengkhianatan. Ia telah
dikuasai oleh tabi’at aslinya yaitu pengkhianat dan jiwa yang hina sehingga ia
sampai hati membalas buruk budi baik orang lain. Hingga saat ini sekte Syi’ah
tak kunjung henti menampakkan rasa gembira dan merasa girang dengan permusuhan
yang berhasil mereka lancarkan terhadap umat Islam pada petaka Holako Kan yang
telah menimpanya. Dan barang siapa yang hendak mengetahui hal ini, silakan
membaca biografi An Nushair At Thusi yang mereka tulis dalam setiap buku-buku
biografi karya mereka. Buku biografi terbaru yang mereka tulis ialah buku “Raudhaat
Al Jannaat” karya Al Khunisaari. Buku ini dipenuhi dengan pujian kepada
para penumpah darah dan para pengkhianat dan ungkapan kegembiraan atas apa yang
menimpa umat Islam kala itu, pelampiasan dendam terhadap para korban petaka
itu, baik para tokoh atau masyarakat awam. Juga dipenuhi dengan ungkapan
kegembiraan dengan pembantaian yang menimpa kaum muslimin dan muslimat,
sampai-sampai anak kecil dan orang-orang tua renta. Suatu sikap yang musuh
paling berbahaya dan binatang paling buas pun akan merasa malu untuk
menampakkan kegembiraannya atas petaka tersebut.
Sub pembahasan ini telah terlanjur
panjang lebar diutarakan, padahal kami berusaha untuk meringkaskannya dengan
menyebutkan beberapa nukilan singkat dari berbagai buku rujukan terpercaya
sekte Syi’ah. Dan kami akan tutup sub pembahasan ini dengan menukilkan satu
teks lain yang berkaitan dengan masalah pendekatan, agar setiap muslim mengetahui
bahwa pendekatan dapat saja terlaksana dengan berbagai aliran dan mazhab lain,
sedangkan hal itu mustahil untuk terwujud bersama sekte Syi’ah secara khusus.
Hal ini merupakan pengakuan dari mereka sendiri, sebagaimana dalam teks nukilan
berikut ini:
Al Khunisaari -ia adalah seorang pakar
sejarah sekte Syi’ah- menukilkan dalam buku “Raudhaat Al Jannaat” hal:
579, edisi ke-2 Teheran tahun 1367 H, tatkala ia menyebutkan biografi An
Nushair At Thusi dengan panjang lebar, ia menyebutkan bahwa di antara ucapannya
yang benar-benar bagus dan yang muncul dari sumber kebenaran dan penelitian,
ialah ucapannya ketika ia menentukan Al Firqah An Najiyyah (kelompok
selamat dari neraka -pent) dari ketujuh puluh tiga golongan, adalah kelompok Al
Imamiyyah, ia berkata:
“Sesungguhnya
aku telah mengkaji seluruh mazhab, dan aku telah mengetahui seluruh prinsip dan
perincian mereka, kemudian aku dapatkan bahwa selain kelompok Imamiyyah
memiliki keserupaan tentang prinsip utama dalam keimanan, walaupun ada beberapa
perbedaan yang tidak berpengaruh sedikit pun terhadap keimanan, baik mereka
menetapkannya atau mengingkarinya. Kemudian aku mendapatkan bahwa kelompok Al
Imamiyyah menyelisihi prinsip-prinsip seluruh kelompok. Kalaulah seandainya ada
kelompok selain mereka yang dianggap sebagai kelompok selamat, niscaya seluruh
kelompok tersebut adalah kelompok selamat (Al Firqoh An Najiyyah). Ini
membuktikan bahwa satu-satunya kelompok selamat tiada lain adalah kelompok Al
Imamiyyah.”
******
Bagi Syi’ah, Dua Kalimat Syahadat Tidak Cukup Sebagai Bekal Masuk Surga
Al Khunisari berkata Seusai menukilkan
ungkapan di atas, sayyid Ni’matullah Al Musawi berkata
“Dan
penjelasannya sebagai berikut: Seluruh kelompok bersepakat bahwa dua kalimat
syahadat adalah sumber keselamatan (dari neraka -pent), dengan dasar sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
من قال لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barang siapa
yang bersaksi bahwa ‘tiada sesembahan yang layak untuk disembah selain Allah’
niscaya ia akan masuk surga.”
Adapun
kelompok Imamiyyah, mereka sepakat bahwa keselamatan tidak akan terwujud selain
dengan sikap loyal kepada Ahlul Bait hingga imam kedua belas, dan berlepas diri
dari seluruh musuh-musuh mereka (maksudnya Abu Bakar, Umar hingga manusia
terakhir yang beragama Islam selain dari sekte Syi’ah, baik penguasa atau
rakyat biasa), sehingga kelompok ini menyelisihi seluruh kelompok lain dalam
hal ideologi ini yang merupakan sumber keselamatan.”
Sungguh At Thusi, Al Musawi dan Al
Khunisari telah benar!! Dan dalam waktu yang bersamaan telah
berdusta!!
Mereka benar bahwa seluruh kelompok
memiliki kedekatan dalam hal prinsip dan berselisih dalam hal sekunder, oleh
karena itu amat dimungkinkan untuk terjadinya solidaritas dan pendekatan antara
berbagai kelompok yang dasar ideologinya saling berdekatan. Sedangkan
pendekatan ini mustahil untuk terjadi bersama sekte Syi’ah Al Imamiyyah, karena
mereka menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, dan mereka tiada
pernah rela dari umat Islam hingga mereka semua mengutuk (Al Jibtu & At
Thoghut) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma serta setiap muslim
selain mereka hingga hari ini. Dan hingga mereka berlepas diri dari setiap
orang selain Syi’ah sampai pun putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam yang dinikahkan dengan Dzu
An Nurain Utsman bin Affan dan tokoh bani Umayyah sang pemberani nan mulia
yaitu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ yang telah disanjung oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam dari atas mimbar
Masjid An Nabawi As Syarif dan di hadapan khalayak umat Islam kala itu, yaitu
tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu hendak menikahi putri Abu Jahl,
dan menjadikannya sebagai madu bagi putri pamannya Fathimah radhiallahu
‘anha (Setiap wanita anak saudara ayah seseorang yang manapun disebut juga
sebagai anak paman, oleh karena itu penulis menyebut bahwa Fatimah radhiallahu
‘anha adalah sepupu sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, karena ia adalah
putri saudara sepupunya) kemudian Fatimah mengadukannya kepada ayahnya. Dan
juga (Syi’ah tidak akan pernah rela -ed muslim) hingga umat islam berlepas diri
dari Imam Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Tholib, dan
seluruh Ahlul Bait yang tidak sudi untuk tunduk di bawah bendera Rafidhoh
(Syi’ah Imamiyyah) dalam setiap ideologi mereka yang berkelok-kelok, yang di
antaranya ialah meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan.
Dan sungguh mereka telah meyakini
ideologi ini sepanjang masa dan pada setiap generasi mereka, sebagaimana yang
dinukilkan dan dicatatkan oleh cendekiawan cemerlang sekaligus tokoh pujaan
mereka, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsi dalam
bukunya “Fashlul Khithaab Fi Itsbaat Tahrif Kitaab Rabbil Arbaab”.
Seorang tokoh yang telah melakukan tindak kekejian dengan menuliskan setiap
baris dari buku ini di sisi kuburan seorang sahabat mulia pemimpin kota Kufah
Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, yang dianggap oleh sekte
Syi’ah sebagai kuburan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.
Sesungguhnya sekte Syi’ah
mensyaratkan kepada kita agar terwujud toleransi dengan mereka dan agar mereka
ridha dengan pendekatan kita kepada mereka: hendaknya kita ikut serta bersama
mereka mengutuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ,
dan berlepas diri dari setiap orang selain anggota sekte mereka, sampai pun
putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan anak cucu beliau, dan sebagai baris
terdepan dari mereka ialah Zaid bin Zainal ‘Abidin, dan setiap orang yang
sejalan dengan beliau dalam mengingkari perilaku mungkar sekte Rafidhah (Syi’ah
Imamiyyah). Inilah sisi jujur dari teks yang dinukil dari An Nushair At Thusi,
dan yang disetujui oleh Sayyid Ni’matullah Al Musawi dan Mirza Muhammad Baqir
Al Musawi Al Khunisari Al Ashbahani, dan tidak ada seorang syi’ah pun yang
menyelisihinya, baik dari kalangan yang dengan tegas menampakkan ideologi
taqiyyah atau yang menyembunyikannya.
Adapun sisi kedustaan mereka ialah
pengakuan mereka bahwa sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat adalah sumber
keselamatan di akhirat menurut umat Islam selain sekte Syi’ah. Seandainya
mereka berakal atau memiliki pengetahuan, niscaya mereka mengetahui bahwa dua
kalimat syahadat menurut Ahlusunnah adalah pertanda masuknya seseorang
ke dalam Islam. Dan orang yang telah mengucapkannya -walaupun ia sebelumnya
adalah kafir harbi (Kafir Harbi ialah orang kafir yang menampakkan permusuhan
terhadap Islam dan umat Islam -pent)- berubah menjadi orang yang dilindungi
darah dan harta bendanya di dunia. Adapun keselamatan di akhirat, maka
keselamatan hanya tercapai dengan keimanan yang benar, dan bahwasanya keimanan
itu -sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz- memiliki
berbagai kewajiban, syariat, batasan-batasan, dan sunnah-sunnah, barang siapa
yang menjalankannya dengan sempurna, maka ia telah mencapai kesempurnaan iman,
dan barang siapa yang tidak menjalankannya dengan sempurna, maka ia belum
mencapai kesempurnaan iman. Dan mempercayai keberadaan imam mereka yang kedua
belas tidak termasuk dari syariat iman, karena sebenarnya ia adalah figur
rekaan yang dinisbatkan dengan dusta kepada Al Hasan Al ‘Askari yang wafat
tanpa meninggalkan seorang anak pun, dan saudara kandungnya yang bernama Ja’far
mewarisi seluruh harta warisannya, dengan dasar karena ia tidak meninggalkan
seorang anakpun.
Marga Alawiyyin (Yang dimaksud
dengan Alawiyyin ialah anak keturunan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu
‘anhu -pent) memiliki daftar keturunan yang kala itu dipegang oleh seorang
perwakilan dari mereka, sehingga tidaklah dilahirkan seorang bayi pun dari
mereka, melainkan akan dicatat padanya, dan padanya tidak pernah terdaftar
seorang anak pun bagi Al Hasan Al ‘Askari. Dan marga Alawiyyin yang semasa
dengan Al Hasan Al ‘Askari tidak pernah mengetahui bahwa ia meninggalkan
seorang anak laki-laki. Hakikat yang sebenarnya telah terjadi adalah: tatkala
Al Hasan Al ‘Askari wafat dalam keadaan mandul, dan silsilah keimaman para
pemuja mereka yaitu sekte Imamiyyah terputus, mereka menghadapi kenyataan bahwa
paham mereka akan mati bersama kematiannya, dan mereka tidak lagi menjadi sekte
Imamiyyah, karena tidak lagi memiliki imam. Oleh karena itu, salah seorang
setan mereka yang bernama Muhammad bin Nushair, salah seorang mantan budak Bani
Numair mencetuskan gagasan bahwa Al Hasan Al ‘Askari memiliki anak laki-laki
yang disembunyikan di salah satu terowongan ayahnya[10],
agar ia dan para sekongkolnya dengan nama Imam tersebut dapat mengumpulkan
zakat dari masyarakat dan hartawan sekte Syi’ah! Dan agar mereka -walau dengan
berdusta- dapat meneruskan propaganda bahwa mereka adalah pengikut para Imam.
Muhammad bin Nushair ini
menginginkan agar dialah yang menjadi “Al Bab (pintu penghubung)”
terowongan fiktif tersebut, sebagai penyambung lidah antara imam fiktif dengan
pengikutnya, dan bertugas memungut harta zakat. Akan tetapi kawan-kawannya para
setan penggagas makar ini tidak menyetujui keinginannya tersebut, dan mereka
tetap bersikukuh agar yang berperan sebagai “pintu/Al Bab” ialah seorang
pedagang minyak zaitun atau minyak samin. Pedagang ini memiliki toko kelontong
di depan pintu rumah Al Hasan dan ayahnya, sehingga mereka dapat mengambil
darinya segala kebutuhan rumah tangga mereka. Tatkala terjadi perselisihan ini,
pencetus ide ini (yaitu Muhammad bin Nushair -pent) memisahkan diri dari
mereka, dan mendirikan sekte An Nushairiyah yang dinisbatkan kepadanya.
Dahulu kawan-kawan Muhammad bin
Nushair memikirkan supaya mereka mendapatkan cara untuk memunculkan figur “Imam
Ke-12″ yang mereka rekayasa, dan kemudian ia menikah dan memiliki anak
keturunan yang memegang tampuk Imamah sehingga paham Imamiyah mereka dapat
berkesinambungan. Akan tetapi terbukti bagi mereka bahwa munculnya figur
tersebut akan memancing pendustaan dari perwakilan marga Alawiyyin dan seluruh
marga ‘Alawiyyin serta saudara-saudara sepupu mereka para khalifah dinasti
Abbasiyyah dan juga para pejabat mereka. Oleh karenanya mereka akhirnya
memutuskan untuk menyatakan bahwa ia tetap berada di terowongan, dan bahwasanya
ia memiliki persembunyian kecil dan persembunyian besar, hingga akhir dari
dongeng unik yang tidak pernah didengar ada dongeng yang lebih unik
daripadanya, sampai pun dalam dongeng bangsa Yunani.
Mereka menginginkan dari seluruh
umat Islam yang telah dikaruniai Allah dengan nikmat akal sehat agar
mempercayai dongeng palsu ini!! Agar pendekatan antara mereka dengan sekte
Syi’ah dapat dicapai?! Mana mungkin terjadi, kecuali bila dunia Islam
seluruhnya telah berpindah tempat ke (rumah sakit jiwa) guna menjalani
pengobatan gangguan jiwa!! Dan Alhamdulillah atas kenikmatan akal sehat, karena
akal sehat merupakan tempat ditujukannya tugas-tugas agama, dan akal sehat
-setelah nikmat iman yang benar- merupakan kenikmatan terbesar dan termulia.
Sesungguhnya umat Islam berloyal
kepada setiap orang mukmin yang benar imannya, termasuk di dalamnya orang-orang
saleh dari Ahlul Bait tanpa dibatasi dalam jumlah tertentu. Kaum mukminin
terdepan yang mereka loyali ialah sepuluh sahabat yang telah diberi kabar
gembira oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan surga. Seandainya sekte Syi’ah tidak
melakukan perbuatan kufur selain sikap mereka yang menyelisihi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bahwa kesepuluh
sahabat tersebut adalah penghuni surga, niscaya ini cukup sebagai alasan untuk
memvonis mereka kafir.
Sebagaimana umat Islam juga
berloyal kepada seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang di atas pundak merekalah agama Islam
tegak dan terbentuk dunia Islam, kebenaran dan kebaikan tumbuh subur di bumi
Islam dengan tumpahan darah mereka. Merekalah orang-orang yang dengan
sengaja sekte Syi’ah berdusta atas nama sahabat Ali dan anak keturunannya,
sehingga mereka beranggapan bahwa mereka itu adalah musuh-musuh Ali dan
anak-anaknya. Sungguh mereka telah hidup berdampingan bersama sahabat Ali dalam
keadaan saling bersaudara, mencintai, bahu-membahu, dan mereka pun mati dalam
keadaan saling mencintai dan bahu-membahu.
Amat tepat peyifatan tentang mereka
yang Allah ta’ala sebutkan dalam surat
Al Fath, dalam Kitabullah yang tiada kebatilan baik dari arah depan ataupun
belakang. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang mereka:
أَشِدَّاءُ
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Mereka amat keras terhadap orang-orang kafir dan saling
mengasihi sesama mereka.” (QS. Al Fath: 29)
Dan pada firman-Nya dalam surat Al Hadid:
وَلِلَّهِ
مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ
مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُوْلَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ
أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
“Padahal Allah-lah yang memiliki langit dan bumi? Tidak
sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum
penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya dari pada orang-orang yang
menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka balasan yang lebih baik.” (QS. Al Hadiid:
10)
Adakah mungkin Allah mengingkari janji-Nya?! Allah juga
berfirman tentang mereka pada surat Ali Imran:
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat
manusia.” (QS. Ali Imran: 110)
******
Di Antara Anak Ali bin Abi Tholib Adalah Abu Bakar, Umar &
Utsman
Di antara bentuk kasih sayang Amirul
Mukminin Ali bin Abi Tholib kepada saudara-saudaranya ketiga kholifah
sebelumnya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua beliau wujudkan dengan
memberi nama anak-anak beliau setelah Al Hasan dan Al Husain dengan nama-nama
mereka.
Di antara anak sahabat Ali bin Abi Tholib
radhiallahu ‘anhu ialah anak lelaki yang ia beri nama “Abu Bakar”, dan
lainnya diberi nama “Umar” dan lainnya diberi nama “Utsman”. Beliau juga
menikahkan putrinya Ummu Kultsum yang terbesar dengan sahabat Umar bin Al
Khatthab radhiallahu ‘anhu [11].
Dan sepeninggal beliau, ia dinikahi oleh saudara sepupunya, yaitu Muhammad bin
Ja’far bin Abi Tholib, kemudian iapun meninggal sebelumnya, dan kemudian ia
dinikahi oleh saudara lelaki Muhammad, yaitu ‘Aun bin Ja’far, kemudian Ummu
Kultsum meninggal dunia sebagai istri beliau.
Al Kulaini (salah seorang pentolan
Syi’ah -ed muslim) menyebutkan sebuah hadits dari Zurarah dari Abu Abdillah ‘alaihissalaam
perihal pernikahan Ummu Kultsum ,
ia berkata: “Sesungguhnya itu
adalah kemaluan yang telah dirampas dari kami.” Silahkan baca Al Kafi
dalam bab: Furu’ juz 2 halaman 141, edisi India .
Bahkan At Thusi dalam bukunya, “Tahzibul
Ahkaam” juz 2 halaman 380 menyebutkan bahwa Ummu Kultsum dan putranya yaitu
Zaid bin Umar bin Al Khatthab meninggal dunia dalam pada waktu yang sama,
sehingga masing-masing dari mereka berdua tidak saling mewarisi. Maka bagaimana
sebagian buku tersebut mengingkari fakta pernikahan, kemudian mendatangkan
riwayat-riwayat murahan tentang jin perempuan atau mereka menyerahkan kepada
Umar bin Al Khatthab wanita lain yang menyerupainya!!
Dan sahabat Abdullah bin Ja’far
(Ja’far dijuluki dengan Zil Janahain) bin Abi Tholib menamakan salah
seorang putranya dengan nama “Abu Bakar”, dan menamakan anaknya yang lain
dengan nama “Mu’awiyah”. Dan Mu’awiyah ini, yaitu bin Abdullah bin Ja’far bin
Abi Tholib telah menamakan salah seorang putranya dengan nama “Yazid”[12].
Hal ini beliau lakukan, karena beliau mengetahui bahwa Yazid berperilaku baik
nan terpuji, sebagaimana yang dipersaksikan oleh Muhammad bin Ali bin Abi
Tholib. (Muhammad bin Ali bin Abi Tholib lebih dikenal dengan Muhammad bin Al
Hanafiyyah -pent)
Seandainya sikap berlepas diri yang
menjadi tuntutan sekte Syi’ah sebagai tumbal terealisasinya “pendekatan” antara
kita dengan mereka mencakup seluruh tokoh-tokoh yang mereka kehendaki, niscaya
orang pertama yang berlaku salah ialah imam pertama mereka Ali bin Abi Tholib radhiallahu
‘anhu yang telah menamakan putranya dengan nama: Abu Bakar, Umar dan
Utsman. Dan lebih besar lagi kesalahan beliau di saat beliau menikahkan
putrinya dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Demikian
juga Muhammad bin Al Hanafiyyah telah berdusta pada persaksiannya tentang
Yazid, yaitu tatkala datang kepadanya Abdullah bin Muthi’ salah seorang tangan
kanan Ibnu Zubair, kemudian ia mengaku bahwa Yazid biasa minum khamer,
meninggalkan sholat, dan melanggar hukum Al Quran, maka Muhammad bin Ali bin
Abi Tholib berkata kepadanya -sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Al
Bidayah wa An Nihayah 8/233:
“Aku tidak
pernah melihat apa yang kalian sebut-sebut itu, padahal aku pernah hadir di
majelisnya dan juga tinggal bersamanya. Yang aku saksikan ia senantiasa rajin
menunaikan sholat, berupaya melakukan kebaikan, bertanya tentang ilmu fikih,
dan senantiasa berpegang teguh dengan sunnah…” Mendengar
yang demikian, Ibnu Muthi’ (dan kawan-kawannya -pent) berkata: “Sesungguhnya
ia berperilaku demikian, dalam rangka berpura-pura di hadapanmu.” Maka
Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Memangnya apa yang ia takutkan atau
yang ia harapkan dariku, sampai-sampai ia merasa perlu untuk berpura-pura
khusyu’ di hadapanku? Apakah ia memperlihatkan kepada kalian perbuatan yang
kalian sebut-sebut, yaitu berupa minum khamer? Seandainya ia memperlihatkannya
kepada kalian, maka kalian adalah sekutunya! Dan bila ia tidak pernah
memperlihatkannya kepada kalian, maka tidak halal bagi kalian untuk bersaksi
dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” Mereka pun menjawab: “Berita
ini bagi kami adalah benar, walaupun tidak kami saksikan sendiri.” Maka
Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Allah tidak menerima metode semacam
ini dari orang yang hendak bersaksi, oleh karenanya Allah berfirman:
إلاَّ من شَهِدَ بالحقِّ وهم يعلَمون
“Kecuali
orang-orang yang bersaksi dengan benar, sedangkan mereka benar-benar mengetahui.” (QS. Az
Zukhruf: 86), dan aku tidak ikut andil dalam urusan kalian sedikit pun.”
Bila demikian ini persaksian salah
seorang putra Ali bin Abi Tholib tentang Yazid, maka akan kita sembunyikan ke
manakah fenomena ini bila kita menuruti keinginan sekte Syi’ah dalam menyikapi
beliau dan juga ayahnya (yaitu sahabat Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu),
dan juga kepada orang yang lebih utama dari ayahnya dan juga lebih utama
dibanding makhluk Allah lainnya, maksud saya ialah sahabat Abu Bakar, Umar,
Utsman, Tholhah, Az Zubair, Amr bin Al ‘Ash dan seluruh tokoh sahabat yang
telah menjaga Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk kita. Sebagaimana mereka
telah mewujudkan dunia islam ini yang dengannya dan untuknya kita hidup, semoga
Allah senantiasa meridhoi mereka semua.
Sesungguhnya tebusan yang dituntut
oleh sekte Syi’ah guna merealisasikan “pendekatan” antara kita dan mereka
terlalu mahal, mengakibatkan kita kehilangan segala sesuatu serta tidak
mendapatkan apa-apa. Dan hanya orang dungulah yang sudi untuk bertransaksi
dengan orang yang menginginkan darinya suatu perniagaan yang padanya ia
nyata-nyata merugi!!
Sesungguhnya loyalitas dan
pelepasan diri (al bara’) yang merupakan asas agama sekte Syi’ah,
sebagaimana yang ditegaskan oleh An Nushair At Thusi, dan dikuatkan oleh
Ni’matullah Al Musawi serta Al Khunisari tidak ada penjabarannya selain
perubahan agama Islam serta permusuhan terhadap para tokoh yang di atas pundak
merekalah negeri Islam berhasil ditegakan.
Sungguh mereka bertiga telah
berdusta pada anggapan mereka bahwa sekte mereka adalah satu-satunya sekte yang
menyelisihi ajaran kelompok lain, sesungguhnya sekte Isma’iliyyah menyerupai
mereka. Sekte Isma’iliyyah menyelisihi umat Islam dalam hal-hal yang juga
diselisihi oleh sekte Syi’ah Imamiyyah, selain pada hal penentuan sebagian
figur keluarga/keturunan Nabi (ahlul bait) yang mereka berloyal kepadanya.
Sekte Syi’ah Imamiyah berloyal
kepada seluruh figur yang diloyali oleh sekte Isma’iliyyah hingga pada Ja’far
As Shadiq, dan kemudian mereka berbeda tentang figur imam setelahnya.
Sekte Imamiyyah berloyal kepada
Musa bin Ja’far beserta keturunannya, sedangkan sekte Isma’iliyyah berloyal
kepada Isma’il bin Ja’far beserta keturunannya.
Sikap ekstrem yang ada pada sekte
Isma’iliyyah semenjak masa Isma’il dan setelahnya telah dijiplak oleh sekte
Imamiyyah sejak masa dinasti As Safawiyyah, sehingga mereka pun terjerumus ke
dalam jurang di bawah kepemimpinan Al Majlisi dan para kaki tangannya. Bila
kelompok ekstrem dari sekte Syi’ah pada zaman dahulu merupakan minoritas, akan
tetapi setelah itu hingga saat ini mereka menjadi mayoritas, mereka semua
adalah ekstrem Syi’ah Imamiyyah tanpa terkecuali. Fakta ini telah diakui oleh
tokoh terkemuka mereka dalam hal ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, yaitu Ayatullah Al
Maamiqaani pada setiap kali ia menyebutkan biografi tokoh-tokoh ekstrem Syi’ah
terdahulu. Ia mengumandangkan pada setiap kesempatan untuk membahas
permasalahan ini dalam buku besarnya, bahwa: segala hal yang menjadi penyebab
orang-orang ekstrem dianggap ekstrem, maka pada zaman ini menurut seluruh
penganut paham Syi’ah sebagai bagian dari hal-hal yang prinsip/mendasar dalam
paham Syi’ah!!
Dengan demikian, sikap ekstrem yang
dahulu menjadi faktor pembeda antara sekte Isma’iliyyah dengan Syi’ah, sekarang
dengannya mereka bersatu, tiada perbedaan antara mereka selain dalam hal
figur-figur yang dituhankan oleh masing-masing mereka, atau dianggap
kedudukannya melebihi kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam .
Beliau yang oleh sekte Imamiyyah melalui lisan Muhammad Hasan Al Asytiyaani
diperbolehkan untuk tidak dipercayai dalam hal-hal gaib, misalnya tentang
penciptaan langit dan bumi, dan karakteristik Surga dan Neraka. Pada saat
bersamaan mereka menisbatkan kepada imam-imam mereka dan kepada imam mereka
“kedua belas” berbagai hal yang menjadikan mereka sederajat dengan berbagai
sesembahan bangsa Yunani Kuno.
Sesungguhnya pendekatan antara
berbagai kelompok umat Islam dengan berbagai kelompok sekte Syi’ah adalah suatu
hal yang mustahil tercapai, dikarenakan sekte Syi’ah menyelisihi seluruh umat
Islam dalam hal prinsip, sebagaimana yang telah diproklamirkan oleh An Nushair
At Tushi Dan dibenarkan oleh Ni’matullah Al Musawi dan Baqir Al Khunisari, dan
juga dibenarkan oleh setiap anggota sekte Syi’ah. Bila ini telah terjadi pada
zaman An Nushair At Thusi, maka hal ini sejak zaman Al Majlisi hingga sekarang
menjadi lebih parah dan lebih dahsyat!!.
Tidak diragukan lagi bahwa Sekte
Syi’ah lah yang tidak rela dengan adanya pendekatan, oleh karena itu mereka
berkorban dan mengeluarkan dana besar guna mempropagandakan “pendekatan” di
negeri kita, sedangkan mereka enggan dan tidak rela bila hal tersebut
disuarakan atau berjalan walau hanya selangkah di negeri Syi’ah, atau
berpengaruh pada kurikulum sekolah-sekolah mereka.
Oleh karena itu upaya apa saja guna
merealisasikan hal ini akan sia-sia bak permainan anak-anak, tidak ada gunanya,
kecuali bila sekte Syi’ah sudi untuk berhenti dari mengutuk Abu Bakar dan Umar
-semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya-, serta tidak lagi berlepas diri dari
setiap orang di luar anggota sekte Syi’ah sejak wafatnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam hingga hari Kiamat.
Dan juga bila sekte Syi’ah telah berhenti dari ideologi pengkultusan para imam
ahlul bait sampai-sampai melebihi martabat orang shaleh hingga mencapai
martabat sesembahan bangsa Yunani. Karena ini semua merupakan tindak kejahatan
terhadap agama Islam, dan perubahan arah agama Islam dari jalur yang telah
digariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya yang mulia, di antaranya
oleh sahabat Ali bin Abi Tholib beserta anak keturunannya semoga Allah
senantiasa meridhoi mereka.
Bila Sekte Syi’ah tidak
meninggalkan kejahatannya terhadap agama, aqidah dan sejarah Islam ini, maka
mereka akan terkucilkan bersama ideologi mereka yang nyata-nyata menyelisihi
seluruh prinsip umat islam, dan dijauhi oleh seluruh umat Islam untuk
selama-lamanya
Ada suatu fenomena yang telah kami
isyaratkan sebelumnya pada makalah ini secara singkat, yaitu sesungguhnya kaum
komunis yang telah merajalela di Irak dan yang tergabung dalam Partai Tawaddah
(Partai Kasih Sayang) di Iran yang memiliki peranan lebih besar bila dibanding
peranan mereka di negeri-negeri Islam lainnya, sebenarnya merupakan sempalan
dari sekte Syi’ah, sehingga kaum komunis di dua negeri tersebut terdiri dari
generasi muda sekte Syi’ah!! Mereka mendapatkan paham Syi’ah terlalu tenggelam
dalam khurafat, kehinaan, dan kedustaan yang tidak masuk akal, sehingga
mengakibatkan mereka mengingkari paham tersebut! Pada saat yang bersamaan
mereka mendapatkan organisasi-organisasi Komunis gencar dijajakan oleh para
penyerunya, dan menebarkan berbagai tulisan dalam berbagai bahasa. Dan kaum
komunis dalam menjajakan paham mereka menempuh metode ilmiah dalam hal
perekonomian, sehingga dengan mudah mereka terperangkap dalam jeratnya.
Seandainya kaum muda sekte Syi’ah mengenal ajaran agama Islam dengan murni dan
kemudian mereka mengajinya tanpa dinodai oleh paham Syi’ah, niscaya mereka akan
terlindung dari terjerumus ke dalam jurang komunis tersebut.
Tatkala terjadi tragedi fitnah “Al
Bab/pintu” di Iran sebelum seratus tahun silam, dan Ali Muhammad As
Syairazi mengaku sebagai pintu penghubung kepada Al Mahdi yang mereka
nanti-nantikan, kemudian ia secara bertahap mengaku sebagai Imam Mahdi yang mereka
nanti-nantikan, dan ia berhasil merekrut pengikut dari kaum Syi’ah Iran.
Pemerintah Iran kala itu lebih memilih untuk mengasingkannya ke Azerbejan,
dikarenakan Azerbejan adalah pusat kaum Sunni dari para penganut mazhab Hanafi.
Dikarenakan mereka adalah kaum sunni, sehingga mereka memiliki kekebalan dari
terjerumus ke dalam jurang kenistaan, dan khurafat yang diilhami dari paham
Syi’ah tersebut.
Oleh karena kaum Syi’ah dengan mudah
terpedaya dengannya dan dengan mudah mereka memenuhi seruan “Al Bab” karenanya
Pemerintah Iran
enggan untuk mengasingkannya ke negeri yang menganut paham Syi’ah, disebabkan
para penganut Syi’ah telah terdidik untuk menerima kepalsuan semacam ini,
sehingga akan semakin banyak pengikutnya dan semakin besar fitnah tersebut.
Sebagaimana paham Syi’ah pada abad
lalu telah menjadi biang menyebarnya berbagai paham yang serupa dengannya,
misalnya seruan orang-orang yang mengaku sebagai “Al Bab” dan sekte
“Baha’iyah”, demikian juga paham Syi’ah pada zaman sekarang telah menjadi biang
munculnya sikap anti pati di tengah-tengah kaum terpelajar dari generasi mudah
kaum Syi’ah yang mulai sadar. Ini semua terjadi karena paham Syi’ah terlalu
hina sehingga tidak layak untuk diyakini oleh orang yang berakal sehat. Akibatnya
mereka pun murtad dari paham Syi’ah dan bergabung dengan kaum Komunis yang
dengan tangan terbuka menerima mereka. Sehingga dalam waktu singkat kaum
Komunis telah memiliki pengikut di Irak dan Iran, dan jumlah mereka jauh lebih
banyak bila dibanding dengan jumlah mereka di negeri-negeri islam lainnya yang
menganut paham sunni.
Inilah yang dapat kami paparkan
pada kesempatan ini, sebagai upaya kami untuk menjalankan kewajiban yang telah
Allah letakkan pada bahu-bahu umat Islam, berupa kewajiban memberikan nasihat
kepada Allah, Rasul-Nya, kalangan tertentu dari umat islam dan masyarakat umum
mereka. Dan Allah akan senantiasa menjaga agama-Nya dan negeri Islam dari upaya
penghancuran musuh dan makar mereka hingga hari Kiamat.
Alhamdulillahilladzi bini’matihi
tatimmushshalihaat.
Disebarkan di Maktabah Abu
Salma al-Atsari atas izin muslim.or.id
Hak cipta berada di tangan
penulis dan webmaster muslim.or.id
Risalah ini dapat
disebarluaskan dan diprint/dicetak selama tidak untuk komersial dan hanya
dibagikan gratis
[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali,
dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah
dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah
yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As
Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang
inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al
Hawi Lil Fatawi”, cet Percetakan Al Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan
oleh da’i asal Iran
tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah
Fil I’itisham Bissunnah.”
[2] At Taqiyyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi
batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya
hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu
yang pada hadits ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyyah
termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan
saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari,
hal: 162 Pustaka Ja’fary, India ).
[3] Kelanjutan
surat ini
-sebagaimana dapat anda lihat pada halaman selanjutnya- sebagai berikut:
“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama,
sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya
orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh
dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan
mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada
mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa
yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan
dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang
dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para
saksi.”
[4] Salah seorang ulama’ terkemuka Syi’ah Agha Buzurk At Thohrany, penulis
ensiklopedia Syi’ah yang telah masyhur “Az Dzari’ah Ila Tashonif As Syi’ah”
menuturkan dalam bukunya: “Thobaqaat A’alaam As Syi’ah”, bagian kedua
dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: “Nuqaba’ Al Basyar Fi Al
Qarni Ar Rabi’ ‘Asyar”, pada hal: 544, cetakan Pustaka Al Ilmiah Najef 1375
H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nury At Thobarsy: “Ia adalah pemuka para
imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) pada generasi terakhir, dan
termasuk ulama’ terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini.”
[5] Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At Thobarsy dengan
sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali
bin Abi Tholib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia
rekayasa dalam bukunya “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” atas nama
sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu ‘anhu,
maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia
menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya,
tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk
mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang
menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran
sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila
ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini anda dapat
mengetahui bahwa Abu Manshur At Thobarsy penulis buku “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli
Al Lijaj” dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia
menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka
dengan kemunafikan.
[6] Doa ini juga dimuat dalam buku “Tuhfatul Awam Maqbul”
yang memuat tanda tangan Ayatullah Al Khumaini, Ayatullah Syariatmudari,
Ayatullah Abul Qasim Al Khu’i, Sayyid Muhsin Al Hakim At Thobathoba’i……dll,
padahal dari mereka itu terdapat orang-orang yang dikatakan moderat, di
antaranya Ayatullah Al Khu’i dan Sayyid Muhsin Al Hakim.
[7] Mengapa hal ini tidak pernah dilakukan oleh kakeknya, yaitu
sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu selama ia menjabat sebagai
kholifah? Apakah cucunya yang ke dua belas lebih besar pengorbanannya demi Al
Quran dan agama Islam?
[8] Nabi Daud ‘alaihissalam adalah salah seorang nabi-nabi Umat Yahudi.
Bila Nabi Musa ‘alaihissalaam hidup sekarang ini, ia akan beragama
dengan agama Islam dan berhukum dengan hukum Islam, bukan dengan hukum Taurat
atau hukum nabi Daud -hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam
Ahmad, Al Baihaqy dll- mengapa para Imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan
hukum Nabi Daud?! Dan bila Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ketika turun kembali
ke dunia kelak sebelum hari kiamat juga berhukum dengan hukum Al Quran,
-sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim- dan bukan
dengan hukum nabi Daud, mengapa para imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan
hukum keluarga Daud?! Bukankah ini merupakan indikasi kuat bahwa sebenarnya
sekte Syi’ah hendak menghidupkan agama nabi Daud ‘alaihi salam yaitu
agama Yahudi di tengah-tengah masyarakat Islam??!! (pent-)
[9] Suatu kelaziman atas kita untuk mengisyaratkan di sini,
bahwa cucu Holako Khan, yaitu Sultan Gazaan, tatkala datang pada tahun 699 H
untuk menguasai negeri Syam, yang menjabat sebagai perdana menterinya ialah
cucu pembela kekufuran At Thusi yang bernama Ashiluddin At Thusi. Gazaan
melakukan berbagai kekejaman di kota Damaskus, memerkosa, menumpahkan darah,
dan mencuri kitab-kitab ilmu. Hingga akhirnya Allah ta’ala memudahkan bagi Al
Imam Al Mujahid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam memimpin umat Islam melawan
diktator ini, dan kemudian Allah melimpahkan kemenangan atas beliau pada
peperangan Syaqhab yang telah masyhur dan yang terjadi pada tahun 701 H.
[10] Dan terowongan ayahnya -seandainya memang benar bahwa ayahnya memiliki
terowongan- maka para pengikut sekte Syi’ah tidak mungkin untuk memasukinya,
karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far saudara kandung Al Hasan
Al ‘Askari, dan ia meyakini bahwa saudara kandungnya yaitu Al Hasan tidak
memiliki anak lelaki, tidak di dalam terowongan fiktif tersebut juga tidak di
luarnya. Dan bila ia bersembunyi di berbagai terowongan!!! maka mana mungkin
mereka dapat menemukannya…
[11] Di antara lelucon adalah: bahwa sebagian buku Syi’ah mengingkari pernikahan
sahabat Umar bin Al Khatthab dengan putri Ali Bin Abi Tholib. Bahkan mereka
menyebutkan bahwa Ali dan keluarga menyerahkan kepada Umar wanita lain yang
dirubah wajahnya menyerupai Ummu Kultsum… Lelucon ini seperti dinyatakan dalam
pepatah: “Maksud hati mereka ingin meriasnya dengan celak, akan tetapi
mereka malah menjadikan matanya buta!!”. Sepeninggal Umar bin Al Khatthab
setelah ditikam oleh Abu Lulu’ah Al Majusi, apakah saudara sepupunya Muhammad
bin Ja’far menikahi Ummu Kultsum yang sebenarnya ataukah menikahi wanita yang
diubah wajahnya?! Demikian juga tatkala Muhammad bin Ja’far meninggal, apakah
saudara kandungnya yaitu ‘Aun menikahi Ummu Kultsum ataukah wanita lain yang
menyerupainya!?
[1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar