TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG MAR MA’RUF DAN NAHI
MUNKAR
SHAHABAT KEPADA KHALIFAH
Abah Zacky
بسم الله الرحمن الرحيم
توكلت عليه و إياه نعبد و إياه نستعين
Prawacana
Amar ma’ruf berarti memerintahkan untuk
melakukan perbuatan yang baik. Kata baik disebut dengan ma’ruf (dikenal)
sebab sesungguhnya manusia telah dikaruniai pengenalan terhadap nilai baik dan
buruk, hanya karena hawa nafsu sajalah kemudian banyak yang meninggalkan
kebaikan yang sesungguhnya telah ia kenali. Nahi munkar artinya melarang
suatu tindakan yang selayaknya diinkari, bukan dilaksanakan. Dalam rangkaian
kata amar ma’ruf nahi munkar maka sesungguhnya ajaran ini adalah
perintah untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dan menghancurkan
nilai-nilai kerusakan. Nilai-nilai kebaikan dan keburukan ada kalanya telah
ditetapkan oleh Allah di dalam Alqur’an, ditetapkan oleh Rasulullah di dalam
hadis, dan ada kalanya pula telah dimiliki oleh suatu masyarakat dan ditemukan
berdasarkan pengalaman. Hanya saja ma’ruf pada bagian yang kedua
disyaratkan tidak bertentangan dengan nash yang sharih di dalam
Alqur’an dan hadis.
Mayoritas ajaran Islam adalah ma’ruf secara universal,
artinya nilai-nilai di dalam ajaran Islam adalah nilai yang positif secara
universal dan hanya sebagian saja yang bernilai positif secara khusus dan
subyektif, seperti keyakinan dan tata cara beribadah. Oleh sebab itu dalam
hal-hal yang khusus ini Islam memberikan toleransi kepada orang yang tidak
memeluk Islam untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi bagi pemeluk
agama Islam, segala sesuatu yang telah diajarkan di dalam Alqur’an dan hadis
harus ditaati sepenuhnya.
Dengan pengertian bahwa Islam adalah ma’ruf, maka Amar ma’ruf
nahi munkar merupakan salah satu sendi utama dalam agama Islam, meskipun
bukan termasuk sebagai rukun Islam.. Sa’id Hawwa dan al-Islam mengkategorikan
amar ma’ruf dan Nahi munkar sebagai muayyidat Islam (pelindung Islam)
disamping jihad fi sabilillah. Karena itulah apabila runtuh sendi ini,
maka keutuhan agama Islam pun menjadi terancam. Al-Ghazali mengatakan, “Jika missi
itu [Amar ma’ruf nahi munkar] tidak dilaksanakan, maka kenabian batal dan agama
hancur negara dan masyarakat menanti kehancurannya, kesesatan dan kebodohan
merajalela” (Qumaihah;1995,34)
Dewasa ini, ummat Islam hidup di dalam sistem yang sangat berbeda
dengan zaman kenabian. Saat ini, Alqur’an bukanlah suatu pedoman utama dalam
kehidupan. Sebaliknya bahkan yang mendominasi sistem hidup adalah
ideologi-ideologi yang lahir belakangan, seperti kapitalisme dan sosialisme.
Dalam sistem hidup ini kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah
tentu hanya didasarkan kepada logika kemaslahatan. Di sinilah selanjutnya ummat
Islam yang menginginkan kehidupannya sesuai dengan syari’at berjuang, melakukan
amar ma’ruf nahi munkar. Namun ternyata dalam dataran praxis
pejuang-pejuang muslim saat ini tak jarang berbeda pendapat di dalam menyikapi
suatu bentuk kemunkaran yang dilakukan oleh pemerintah, atau dalam menekankan
yang ma’ruf kepada mereka. Yang menarik dari fenomena tersebut, bahwa
berbagai perbedaan itu semua di timbang dengan “kemaslahatan”.
Berbicara mengenai kemaslahatan dalam timbangan Islam, sesungguhnya
kita tidak bisa meninggalkan teladan shahabat, karena mereka adalah orang yang
sezaman dengan turunnya wahyu, mereka sangat mengerti tentang latar belakang
turunnya wahyu, dan mereka diajar langsung oleh Nabi penerima wahyu. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa mereka adalah orang yang paling faham Alqur’an
di masanya. Dalam urusan amar ma’ruf nahi munkar, mereka adalah teladan seperti
disebutkan oleh Allah swt. melalui firman-Nya, “Kalian adalah sebaik-baik
ummat yang dikeluarkan kepada manusia, untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah
kemunkaran dan beriman kepada Allah” (Ali Imron:110) Khitab dalam ayat
tersebut (Kuntum) sebenarnya sangat terbuka untuk seluruh pembaca
Alqur’an, tetapi kemudian dikhususkan untuk generasi sahabat bukanlah
penafsiran yang keliru karena Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik generasi
adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya” Dan masih
banyak lagi hadis Rasulullah saw yang memuji kedudukan para shahabat beliau.
Demikian selanjutnya ummat Islam (dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah)
bersepakat bahwa para shahabat ra adalah generasi yang patut diteladani.
Khalifah;
dan pola kehidupan mereka
Selama 22 tahun, Rasulullah saw berjuang untuk menegakkan Islam,
bersama para shahabat beliau. Perjuangan itu telah menghasilkan suatu
masyarakat Islam di Jazirah Arab dengan pusat di Madinah. Rasulullah di
masyarakat ini berperan sebagai pemimpin, atau sebagai kepala negara.
Sepeninggal Rasulullah saw, para shahabat membai’at Abu Bakar ash-Shiddiq
sebagai khalifah pertama, untuk menggantikan kedudukan Rasulullah saw dalam
kapasitasnya sebagai pimpinan ummat dalam menjalankan roda kehidupan yang
berdasarkan pada Syari’at Islam. Tradisi baru ini selanjutnya diikuti oleh
ummat Islam, dengan mengangkat pemimpin bagi mereka dengan nama khalifah.
Sebutan bagi khalifah ini bisa berbeda-beda, seperti amirul mukminin, imam atau
yang lainnya. Selain itu cara pengangkatannya pun bermacam-macam, boleh dengan
musyawarah ahlul halli wal ‘aqdi seperti pada pengangkatan Abu Bakar,
dengan penunjukan kandidat seperti pengangkatan Umar, penunjukan formatur oleh
khalifah seperti pada masa Utsman, pengangkatan oleh sekelompok kaum muslimin
yang disepakati oleh seluruhnya seperti pada masa Ali bin Abi Thalib, atau
adanya majelis tertentu sebagai representasi ummat yang bertugas untuk
mengangkat khalifah.
Terlepas dari berbagai cara pengangkatan khalifah dengan kondisi yang
terjadi di sekitarnya, kehidupan empat khalifah yang pertama (al-khulafa’
ar-Rasyidun) diwarnai dengan pola kehidupan zuhud yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan kesalehan. Mereka sangat berhati-hati
terhadap masalah harta, berhati-hati dari menyelewengkan amanat dan sangat
sederhana. Mereka sangat berhasrat untuk dapat bersikap adil dalam memegang
pemerintahan. Pada pemerintahan khulafa’ rasyidun ini setiap khalifah
senantiasa terbuka untuk menerima kritikan dan peringatan. Mereka selama
menjabat sebagai khalifah senantiasa open house, membuka pintu untuk
mendengarkan keluhan rakyatnya.
Setelah tampuk pemerintahan berpindah dari khulafa’ rasyidun ke
tangan Bani Umayyah, pola kehidupan mulai berubah. Meskipun Bani Umayyah tetap
komitmen dengan Islam sebagai hukum pemerintahan tetapi pola hidup sederhana
yang dahulunya menjadi kebiasaan para khalifah, kini telah bergeser.
Kehidupan foya-foya telah masuk dan menjadi pola kehidupan pemerintah, bahkan
minuman keras juga ditenggak oleh sebagian khalifah ketika itu.
Sikap Shahabat
Dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Di antara keutamaan shahabat adalah komitmen mereka yang sangat kuat
dalam memegang kebenaran, terutama adalah shahabat Muhajirin dan Anshar yang
telah berjuang bersama Rasulullah saw sejak mula. Pada diri mereka telah
tertempa semangat yang membaja dalam menegakkan risalah Islam. Sehingga sedikit
saja dilihat terdapat kemunkaran, mereka akan bangkit. Demikian juga ketika
tampak kebaikan tidak segera dilaksanakan mereka pun bangkit beramar ma’ruf.
Kebanyakan para Shahabat meninggal sebelum tahun 70 Hijriyah. Sampai
pada tahun itu kekhalifahan yang ada di tengah ummat Islam adalah Khulafa’
Rasyidun dan khilafah Bani Umayyah. Antara kedua orde tersebut terdapat
perbedaan yang cukup tajam yang berkenaan dengan pribadi dan pola hidup para
khalifah. Perbedaan ini membawa konsekuensi pada sikap yang berbeda di dalam
melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Masa kekhilafahan Syaikhani (yaitu Abu Bakar dan Umar) yang
dikenal ke’aliman dan kehati-hatian mereka dalam masalah agama, amar
ma’ruf nahi munkar tetap berjalan. Sebagai misal, ketika banyak penghafal
Alqur’an meninggal dalam perang Yamamah, Umar mendorong agar Abu Bakar segera
mengumpulkan Alqur’an, sebab jika para penghafal habis ia khawatir munculnya
orang yang akan menambah atau mengurangi Alqur’an.(Alqur’an Terjemah Depag;23).
Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat yang terjadi pada masa Umar, ada seorang
wanita yang berkata kepada Umar, “Bertaqwalah kepada Allah dalam urusan rakyat.
Ketahuilah bahwa orang yang takut kepada kematian, maka dia akan takut kepada
apa yang belum didapatkan” (1997:161). Amar ma’ruf di masa ini umumnya hanyalah
disampaikan dalam bentuk lisan, sebab khalifah masih mudah ditemui dan bersikap
sangat terbuka kepada siapa saja.
Demikian pula nahi munkar yang dilakukan para shahabat ketika
itu, juga masih dalam bentuk lisan. Sebagai misal, apa yang dilakukan oleh
al-Hurr bin Qais, ketika ia mengantarkan saudaranya yang bernama Uyainah untuk
menghadap Umar ra, maka Uyainah memarahi Umar dengan mengatakan, “Demi Allah,
Kau tidak memberi jazil kepada kami, dan kau tidak adil di dalam memerintah”.
Mendengar kata-kata itu Umar marah dan hendak memukul Uyainah, tetapi Qais
melarangnya dengan membaca ayat, wa’mur bil ‘urfi wa a’ridl ‘anil jahilin.
Kata Qais, “Biarkanlah, orang ini termasuk jahil”.(Ibnu Atsir:471-472)
Dengan latar belakang yang berbeda antara masa Khulafa’ Rasyidun dengan
Khilafah Bani Umayyah, maka sikap para shahabat di dalam melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar pun terdapat perbedaan. Bahkan di masa Khulafa’
Rasyidun sendiri terdapat cara yang berbeda pada sikap shahabat di dalam
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Utsman meninggal karena terbunuh,
lalu naiklah Ali bin Abi Thalib. Upaya mendorong Ali agar segera menyelesaikan
kasus pembunuhan Utsman ini dilakukan dengan penyikapan yang berlain-lainan.
Aisyah, Zubeir, dan Thalhah telah bersiap-siap mengangkat senjata untuk
mendorong Ali, meskipun akhirnya perang itu tidak jadi. Demikian pula
Mu’awiyah, meskipun tampaknya lebih kental latar belakang politisnya ia dengan
mengatasnamakan menuntut segera diselesaikannya kasus pembunuhan Utsman
mengangkat senjata melawan ‘Ali.
Peperangan Ali melawan Mu’awiyah berakhir perdamaian ditandai dengan
turunnya Ali dan naiknya Mu’awiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini merupakan
akhir dari orde khilafah rasyidah menuju khilafah dengan sistem
kerajaan.
Menjelang wafatnya Mu’awiyah, beliau membai’at Yazid, putera beliau,
untuk menjadi khalifah penggantinya. Menyaksikan pola pergantian semacam ini
kaum muslimin sesungguhnya kecewa, sebab saat itu telah disepakati agar khalifah
setelah Mu’awiyyah diangkat melalui pemilihan. Setidaknya perjanjian itu
pernah dilakukan antara Mu’awiyah dengan Hasan bin Ali. Selain itu, sistem
putera mahkota dalam kekhilafahan Islam tidak dikenal. An-Nabhani
menerangkan, “ Sistem putra mahkota adalah sistem munkar dalam pandangan sistem
Islam, serta amat bertentangan dengan sistem Islam” (1997,110). Karena
kemungkaran yang dilakukan oleh Mu’awiyah dan Yazid inilah kemudian terjadilah
peperangan yang cukup hebat. Perang yang cenderung paling murni dalam rangka amar
ma’ruf nahi munkar adalah yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubeir bin
Awwam.
Berdasarkan catatan sejarah di atas terlihat bahwa para shahabat di
dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sangat cermat. Langkah
pertama yang mereka lakukan adalah mengajarkan ilmu terlebih dahulu kepada
orang yang melakukan kemunkaran karena ketidaktahuannya. Bentuk ini bisa
dilakukan dengan pengajaran, diskusi ataupun bermusyawarah. Tetapi apabila pelakuknya
sudah mengetahui, maka yang dilakukan adalah memberikan peringatan lisan, baik
secara halus maupun keras. Namun apabila suara lisan sudah sia-sia meskipun
berteriak sekeras-kerasnya, maka mereka menghimpun kekuatan untuk memberikan
peringatan, atau bahkan menumpas kemungkaran dengan kekuatan. Mengangkat
senjata ini hanya berlaku untuk nahi munkar, sebab mengangkat senjata dalam
amar ma’ruf justru akan membawa kemadharatan yang seharusnya dihindari.
Partai
Politik atau Berontak
Peperangan, seperti yang dilakukan oleh
Abdullah bin Zubeir hanyalah salah satu aspek saja di dalam amar ma’ruf nahi
munkar. Terlebih lagi peperangan antara sesama kaum muslimin, atau dengan
pimpinan yang beragama Islam. maka sebisa mungkin hal itu harus dihindari.
Dalam konteks sekarang, mungkin bentuk angkat
senjata melawan pemerintah sebagaimana yang dilakukan oleh Zubeir bukan saat
yang tepat. Setidaknya ada beberapa alasan yang melatar belakanginya, yaitu;
Pertama, usaha dengan pengajaran belum dilakukan secara optimal. Kedua,
bagaimanapun kualitas keimanan dan keislaman seorang muslim ia tidak boleh
dibunuh kecuali secara haq, maka pemimpin-pemimpin itu meskipun dhalim tidak
seharusnya diturunkan dengan kekerasan apabila masih memelihara shalatnya.
Sehingga kalau angkat senjata ini dipaksakan, maka dapat dihukumkan sebagai
pemberontak, yang secara sah pemerintah memerangi mereka. Ketiga, dalam bentuk
angkat senjata perlu dipertimbangkan kemampuan, sebab jika usaha itu gagal bisa
jadi kemungkaran akan menjadi lebih besar lagi. Sehingga apabila dengan cara
mengangkat senjata adalah hal yang tidak bisa dihindari maka diperlukan analisa
yang sangat cermat. Kegagalan Ibnu Zubeir sesungguhnya adalah karena kurang
cermatnya analisa sebelum gerakannya dimulai (al-Wakil;1999;76).
Oleh karena mengoreksi pimpinan harus tetap
dilakukan, dalam kondisi apapun, baik oleh individu maupun kelompok, maka
berdasarkan beberapa perimbangan di atas, agaknya langkah yang paling tepat
saat ini untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar adalah dengan
membentuk jama’ah gerakan Islam, partai politik atau yang serupa dengan
itu. Melalui wadah itu, dilakukan pendidikan yang baik kepada ummat Islam.
Manakala jama’ah tersebut telah memiliki kekuatan yang cukup untuk menunaikan
tugas tersebut, maka bolehlah ia menggunakan kekuatannya untuk mengoreksi
penguasa.. Tetapi apabila pemerintah tetap tidak mau menjalankan perubahan
menuju terlaksananya syari’at Islam, seperti halnya kasus di Turki yang menimpa
partai Refah, maka upaya menuju jihad fi sabilillah harus dipersiapkan.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar