AL HAROMAIN

DAFTAR

  • pakaian
  • buku

Daftar Blog

TEXT

text

zainimjkbgt

zainimjkbgt
zainimjkbgt

zainimjkbgt.blogspot.com

zainimjkbgt

alharomain

Penayangan bulan lalu

Populer

Entri Populer

7 Februari 2012

WACANA

TOKO ALHAROMAIN MENJUAL PAKAIAN JADI D 54-D55 AND B19-B20 PASAR TANJUNG MAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR
SHAHABAT KEPADA KHALIFAH
Abah Zacky


بسم الله الرحمن الرحيم
توكلت عليه و إياه نعبد و إياه نستعين

Prawacana
Amar ma’ruf  berarti memerintahkan untuk melakukan perbuatan yang baik. Kata baik disebut dengan ma’ruf (dikenal) sebab sesungguhnya manusia telah dikaruniai pengenalan terhadap nilai baik dan buruk, hanya karena hawa nafsu sajalah kemudian banyak yang meninggalkan kebaikan yang sesungguhnya telah ia kenali. Nahi munkar artinya melarang suatu tindakan yang selayaknya diinkari, bukan dilaksanakan. Dalam rangkaian kata amar ma’ruf nahi munkar maka sesungguhnya ajaran ini adalah perintah untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dan menghancurkan nilai-nilai kerusakan. Nilai-nilai kebaikan dan keburukan ada kalanya telah ditetapkan oleh Allah di dalam Alqur’an, ditetapkan oleh Rasulullah di dalam hadis, dan ada kalanya pula telah dimiliki oleh suatu masyarakat dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Hanya saja ma’ruf pada bagian yang kedua disyaratkan tidak bertentangan dengan nash yang sharih di dalam Alqur’an dan hadis. 
Mayoritas ajaran Islam adalah ma’ruf secara universal, artinya nilai-nilai di dalam ajaran Islam adalah nilai yang positif secara universal dan hanya sebagian saja yang bernilai positif secara khusus dan subyektif, seperti keyakinan dan tata cara beribadah. Oleh sebab itu dalam hal-hal yang khusus ini Islam memberikan toleransi kepada orang yang tidak memeluk Islam untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi bagi pemeluk agama Islam, segala sesuatu yang telah diajarkan di dalam Alqur’an dan hadis harus ditaati sepenuhnya.
Dengan pengertian bahwa Islam adalah ma’ruf, maka Amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu sendi utama dalam agama Islam, meskipun bukan termasuk sebagai rukun Islam.. Sa’id Hawwa dan al-Islam mengkategorikan amar ma’ruf dan Nahi munkar sebagai muayyidat Islam (pelindung Islam) disamping jihad fi sabilillah. Karena itulah apabila runtuh sendi ini, maka keutuhan agama Islam pun menjadi terancam. Al-Ghazali mengatakan, “Jika missi itu [Amar ma’ruf nahi munkar] tidak dilaksanakan, maka kenabian batal dan agama hancur negara dan masyarakat menanti kehancurannya, kesesatan dan kebodohan merajalela” (Qumaihah;1995,34)
Dewasa ini, ummat Islam hidup di dalam sistem yang sangat berbeda dengan zaman kenabian. Saat ini, Alqur’an bukanlah suatu pedoman utama dalam kehidupan. Sebaliknya bahkan yang mendominasi sistem hidup adalah ideologi-ideologi yang lahir belakangan, seperti kapitalisme dan sosialisme. Dalam sistem hidup ini kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah tentu hanya didasarkan kepada logika kemaslahatan. Di sinilah selanjutnya ummat Islam yang menginginkan kehidupannya sesuai dengan syari’at berjuang, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Namun ternyata dalam dataran praxis pejuang-pejuang muslim saat ini tak jarang berbeda pendapat di dalam menyikapi suatu bentuk kemunkaran yang dilakukan oleh pemerintah, atau dalam menekankan yang ma’ruf kepada mereka. Yang menarik dari fenomena tersebut, bahwa berbagai perbedaan itu semua di timbang dengan “kemaslahatan”.
Berbicara mengenai kemaslahatan dalam timbangan Islam, sesungguhnya kita tidak bisa meninggalkan teladan shahabat, karena mereka adalah orang yang sezaman dengan turunnya wahyu, mereka sangat mengerti tentang latar belakang turunnya wahyu, dan mereka diajar langsung oleh Nabi penerima wahyu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa mereka adalah orang yang paling faham Alqur’an di masanya. Dalam urusan amar ma’ruf nahi munkar, mereka adalah teladan seperti disebutkan oleh Allah swt. melalui firman-Nya, “Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan kepada manusia, untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah” (Ali Imron:110) Khitab dalam ayat tersebut (Kuntum) sebenarnya sangat terbuka untuk seluruh pembaca Alqur’an, tetapi kemudian dikhususkan untuk generasi sahabat bukanlah penafsiran yang keliru karena Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya” Dan masih banyak lagi hadis Rasulullah saw yang memuji kedudukan para shahabat beliau. Demikian selanjutnya ummat Islam (dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah) bersepakat bahwa para shahabat ra adalah generasi yang patut diteladani.

Khalifah; dan pola kehidupan mereka
Selama 22 tahun, Rasulullah saw berjuang untuk menegakkan Islam, bersama para shahabat beliau. Perjuangan itu telah menghasilkan suatu masyarakat Islam di Jazirah Arab dengan pusat di Madinah. Rasulullah di masyarakat ini berperan sebagai pemimpin, atau sebagai kepala negara. Sepeninggal Rasulullah saw, para shahabat membai’at Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama, untuk menggantikan kedudukan Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai pimpinan ummat dalam menjalankan roda kehidupan yang berdasarkan pada Syari’at Islam. Tradisi baru ini selanjutnya diikuti oleh ummat Islam, dengan mengangkat pemimpin bagi mereka dengan nama khalifah. Sebutan bagi khalifah ini bisa berbeda-beda, seperti amirul mukminin, imam atau yang lainnya. Selain itu cara pengangkatannya pun bermacam-macam, boleh dengan musyawarah ahlul halli wal ‘aqdi seperti pada pengangkatan Abu Bakar, dengan penunjukan kandidat seperti pengangkatan Umar, penunjukan formatur oleh khalifah seperti pada masa Utsman, pengangkatan oleh sekelompok kaum muslimin yang disepakati oleh seluruhnya seperti pada masa Ali bin Abi Thalib, atau adanya majelis tertentu sebagai representasi ummat yang bertugas untuk mengangkat khalifah.
Terlepas dari berbagai cara pengangkatan khalifah dengan kondisi yang terjadi di sekitarnya, kehidupan empat khalifah yang pertama (al-khulafa’ ar-Rasyidun) diwarnai dengan pola kehidupan zuhud yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan kesalehan. Mereka sangat berhati-hati terhadap masalah harta, berhati-hati dari menyelewengkan amanat dan sangat sederhana. Mereka sangat berhasrat untuk dapat bersikap adil dalam memegang pemerintahan. Pada pemerintahan khulafa’ rasyidun ini setiap khalifah senantiasa terbuka untuk menerima kritikan dan peringatan. Mereka selama menjabat sebagai khalifah senantiasa open house, membuka pintu untuk mendengarkan keluhan rakyatnya.
Setelah tampuk pemerintahan berpindah dari khulafa’ rasyidun ke tangan Bani Umayyah, pola kehidupan mulai berubah. Meskipun Bani Umayyah tetap komitmen dengan Islam sebagai hukum pemerintahan tetapi pola hidup sederhana yang dahulunya menjadi kebiasaan para khalifah, kini telah bergeser. Kehidupan foya-foya telah masuk dan menjadi pola kehidupan pemerintah, bahkan minuman keras juga ditenggak oleh sebagian khalifah ketika itu.

Sikap Shahabat Dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Di antara keutamaan shahabat adalah komitmen mereka yang sangat kuat dalam memegang kebenaran, terutama adalah shahabat Muhajirin dan Anshar yang telah berjuang bersama Rasulullah saw sejak mula. Pada diri mereka telah tertempa semangat yang membaja dalam menegakkan risalah Islam. Sehingga sedikit saja dilihat terdapat kemunkaran, mereka akan bangkit. Demikian juga ketika tampak kebaikan tidak segera dilaksanakan mereka pun bangkit beramar ma’ruf.
Kebanyakan para Shahabat meninggal sebelum tahun 70 Hijriyah. Sampai pada tahun itu kekhalifahan yang ada di tengah ummat Islam adalah Khulafa’ Rasyidun dan khilafah Bani Umayyah. Antara kedua orde tersebut terdapat perbedaan yang cukup tajam yang berkenaan dengan pribadi dan pola hidup para khalifah. Perbedaan ini membawa konsekuensi pada sikap yang berbeda di dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Masa kekhilafahan Syaikhani (yaitu Abu Bakar dan Umar) yang dikenal ke’aliman dan kehati-hatian mereka dalam masalah agama, amar ma’ruf nahi munkar tetap berjalan. Sebagai misal, ketika banyak penghafal Alqur’an meninggal dalam perang Yamamah, Umar mendorong agar Abu Bakar segera mengumpulkan Alqur’an, sebab jika para penghafal habis ia khawatir munculnya orang yang akan menambah atau mengurangi Alqur’an.(Alqur’an Terjemah Depag;23). Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat yang terjadi pada masa Umar, ada seorang wanita yang berkata kepada Umar, “Bertaqwalah kepada Allah dalam urusan rakyat. Ketahuilah bahwa orang yang takut kepada kematian, maka dia akan takut kepada apa yang belum didapatkan” (1997:161). Amar ma’ruf di masa ini umumnya hanyalah disampaikan dalam bentuk lisan, sebab khalifah masih mudah ditemui dan bersikap sangat terbuka kepada siapa saja.
Demikian pula nahi munkar yang dilakukan para shahabat ketika itu, juga masih dalam bentuk lisan. Sebagai misal, apa yang dilakukan oleh al-Hurr bin Qais, ketika ia mengantarkan saudaranya yang bernama Uyainah untuk menghadap Umar ra, maka Uyainah memarahi Umar dengan mengatakan, “Demi Allah, Kau tidak memberi jazil kepada kami, dan kau tidak adil di dalam memerintah”. Mendengar kata-kata itu Umar marah dan hendak memukul Uyainah, tetapi Qais melarangnya dengan membaca ayat, wa’mur bil ‘urfi wa a’ridl ‘anil jahilin. Kata Qais, “Biarkanlah, orang ini termasuk jahil”.(Ibnu Atsir:471-472)
Dengan latar belakang yang berbeda antara masa Khulafa’ Rasyidun dengan Khilafah Bani Umayyah, maka sikap para shahabat di dalam melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar pun terdapat perbedaan. Bahkan di masa Khulafa’ Rasyidun sendiri terdapat cara yang berbeda pada sikap shahabat di dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Utsman meninggal karena terbunuh, lalu naiklah Ali bin Abi Thalib. Upaya mendorong Ali agar segera menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman ini dilakukan dengan penyikapan yang berlain-lainan. Aisyah, Zubeir, dan Thalhah telah bersiap-siap mengangkat senjata untuk mendorong Ali, meskipun akhirnya perang itu tidak jadi. Demikian pula Mu’awiyah, meskipun tampaknya lebih kental latar belakang politisnya ia dengan mengatasnamakan menuntut segera diselesaikannya kasus pembunuhan Utsman mengangkat senjata melawan ‘Ali.  Peperangan Ali melawan Mu’awiyah berakhir perdamaian ditandai dengan turunnya Ali dan naiknya Mu’awiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini merupakan akhir dari orde khilafah rasyidah menuju khilafah dengan sistem kerajaan.
Menjelang wafatnya Mu’awiyah, beliau membai’at Yazid, putera beliau, untuk menjadi khalifah penggantinya. Menyaksikan pola pergantian semacam ini kaum muslimin sesungguhnya kecewa, sebab saat itu telah disepakati agar khalifah setelah Mu’awiyyah diangkat melalui pemilihan. Setidaknya perjanjian itu pernah dilakukan antara Mu’awiyah dengan Hasan bin Ali. Selain itu, sistem putera mahkota dalam kekhilafahan Islam tidak dikenal. An-Nabhani menerangkan, “ Sistem putra mahkota adalah sistem munkar dalam pandangan sistem Islam, serta amat bertentangan dengan sistem Islam” (1997,110). Karena kemungkaran yang dilakukan oleh Mu’awiyah dan Yazid inilah kemudian terjadilah peperangan yang cukup hebat. Perang yang cenderung paling murni dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar adalah yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam.
Berdasarkan catatan sejarah di atas terlihat bahwa para shahabat di dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sangat cermat. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah mengajarkan ilmu terlebih dahulu kepada orang yang melakukan kemunkaran karena ketidaktahuannya. Bentuk ini bisa dilakukan dengan pengajaran, diskusi ataupun bermusyawarah. Tetapi apabila pelakuknya sudah mengetahui, maka yang dilakukan adalah memberikan peringatan lisan, baik secara halus maupun keras. Namun apabila suara lisan sudah sia-sia meskipun berteriak sekeras-kerasnya, maka mereka menghimpun kekuatan untuk memberikan peringatan, atau bahkan menumpas kemungkaran dengan kekuatan. Mengangkat senjata ini hanya berlaku untuk nahi munkar, sebab mengangkat senjata dalam amar ma’ruf justru akan membawa kemadharatan yang seharusnya dihindari.

Partai Politik atau Berontak
Peperangan, seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubeir hanyalah salah satu aspek saja di dalam amar ma’ruf nahi munkar. Terlebih lagi peperangan antara sesama kaum muslimin, atau dengan pimpinan yang beragama Islam. maka sebisa mungkin hal itu harus dihindari.
Dalam konteks sekarang, mungkin bentuk angkat senjata melawan pemerintah sebagaimana yang dilakukan oleh Zubeir bukan saat yang tepat. Setidaknya ada beberapa alasan yang melatar belakanginya, yaitu; Pertama, usaha dengan pengajaran belum dilakukan secara optimal. Kedua, bagaimanapun kualitas keimanan dan keislaman seorang muslim ia tidak boleh dibunuh kecuali secara haq, maka pemimpin-pemimpin itu meskipun dhalim tidak seharusnya diturunkan dengan kekerasan apabila masih memelihara shalatnya. Sehingga kalau angkat senjata ini dipaksakan, maka dapat dihukumkan sebagai pemberontak, yang secara sah pemerintah memerangi mereka. Ketiga, dalam bentuk angkat senjata perlu dipertimbangkan kemampuan, sebab jika usaha itu gagal bisa jadi kemungkaran akan menjadi lebih besar lagi. Sehingga apabila dengan cara mengangkat senjata adalah hal yang tidak bisa dihindari maka diperlukan analisa yang sangat cermat. Kegagalan Ibnu Zubeir sesungguhnya adalah karena kurang cermatnya analisa sebelum gerakannya dimulai (al-Wakil;1999;76).
Oleh karena mengoreksi pimpinan harus tetap dilakukan, dalam kondisi apapun, baik oleh individu maupun kelompok, maka berdasarkan beberapa perimbangan di atas, agaknya langkah yang paling tepat saat ini untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar adalah dengan membentuk jama’ah gerakan Islam, partai politik atau yang serupa dengan itu. Melalui wadah itu, dilakukan pendidikan yang baik kepada ummat Islam. Manakala jama’ah tersebut telah memiliki kekuatan yang cukup untuk menunaikan tugas tersebut, maka bolehlah ia menggunakan kekuatannya untuk mengoreksi penguasa.. Tetapi apabila pemerintah tetap tidak mau menjalankan perubahan menuju terlaksananya syari’at Islam, seperti halnya kasus di Turki yang menimpa partai Refah, maka upaya menuju jihad fi sabilillah harus dipersiapkan.

Wallahu a’lam



Tidak ada komentar: