TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG Uwais Al-Qarny
=================
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata
biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan,
kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat
sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur'an
dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup
badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak
dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.
Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari
kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru
dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa'at, ternyata Allah
memberi izin dia untuk memberi syafa'at sejumlah qobilah Robi'ah dan qobilah
Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah
"Uwais al-Qarni". Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak
orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk,
tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.
Seorang fuqoha' negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya,
memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena
hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata :
"Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan
pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri".
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak
famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan
kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais
bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk
sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia
pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan
seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya
yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap
melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.
Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman
mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk
menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam
mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang
terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam
datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais
selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk
Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara
langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan
cara kehidupan Islam.
Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang
baru datang dari Madinah. Mereka itu telah "bertamu dan bertemu"
dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya
kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang
kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan
yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang
merawatnya.
Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat
cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini
akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga
patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW,
sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan
kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam
lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat
menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ?
Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan
perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan
malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais
mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar
diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah
uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya.
Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata :
"Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah
berjumpa, segeralah engkau kembali pulang". Dengan rasa gembira ia
berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan
ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama
ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah
Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari
Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir,
bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas
di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu
dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini
dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke
rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah
sayyidatina 'Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais
menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada
di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu,
dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam
hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang.
Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di
telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang
ke Yaman," Engkau harus lekaspulang".
Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah
mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi
SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina 'Aisyah r.a.
untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW
dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan
tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa
Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit
(sangat terkenal di langit).
Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina
'Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina
'Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali
ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat
meninggalkan ibunya terlalu lama.
Rosulullah SAW bersabda : "Kalau kalian ingin berjumpa
dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di
tengah-tengah telapak tangannya."
Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w.
dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : "Suatu ketika, apabila kalian
bertemu dengan dia, mintalah do'a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit
dan bukan penghuni bumi".
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat,
hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan
Khalifah Umar r.a.
Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW.
tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada
sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang
datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni,
apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa
heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau
berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang
dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah
menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman,
segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan
menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka.
Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan
sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu,
beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a.
dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan
sholat.
Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua
tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera
membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada
ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW.
Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut,
siapakah nama saudara ? "Abdullah", jawab Uwais.
Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan
mengatakan : "Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu
yang sebenarnya ?"
Uwais kemudian berkata: "Nama saya Uwais al-Qorni".
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah
meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah
dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais
berkenan mendo'akan untuk mereka.
Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: "Sayalah
yang harus meminta do'a kepada kalian". Mendengar perkataan Uwais,
Khalifah berkata: "Kami datang ke sini untuk mohon do'a dan istighfar dari
anda".
Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya
mengangkat kedua tangannya, berdo'a dan membacakan istighfar. Setelah itu
Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal
kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus
dengan berkata : "Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang.
Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang
lagi".
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak
terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh
Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama
para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang.
Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam
kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang
laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi,
lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di
atas air.
Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. "Wahai
waliyullah," Tolonglah kami !" tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu
kami berseru lagi," Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah,
tolonglah kami!" Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata:
"Apa yang terjadi ?"
"Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan
dihantam ombak ?"tanya kami.
"Dekatkanlah diri kalian pada Allah !"katanya.
"Kami telah melakukannya. "
"Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca
bismillahirrohmaani rrohiim!"
Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di
dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami
semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar
laut.
Lalu orang itu berkata pada kami ,"Tak apalah harta
kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat". "Demi Allah,
kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? "Tanya kami.
"Uwais al-Qorni". Jawabnya dengan singkat.
Kemudian kami berkata lagi kepadanya, "Sesungguhnya harta yang ada dikapal
tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang
Mesir."
"Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian
akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?"tanyanya.
"Ya, "jawab kami. Orang itu pun melaksanakan
sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo'a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap
salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan
meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta
kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni
telah pulang ke rahmatullah.
Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah
banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat
pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk
mengkafaninya.
Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya.
Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai.
Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang
berebutan untuk mengusungnya.
Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, "ketika
aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya,
lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda
pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh
Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais
al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)
Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat
kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya
orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya,
padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.
Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak
diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap
melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling
bertanya-tanya : "Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ?
Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki
apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi,
ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya
manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah
sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke
bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk
Yaman mengetahuinya siapa "Uwais al-Qorni" ternyata ia tak terkenal
di bumi tapi terkenal di langit.
==============
Khitbah
===========
Artikel ini saya dapatkan dari kemudian.com Cukup menarik
dan menyentuh.. Mengenai kegelisahan seseorang untuk menikah dengan proses yang
sesuai dengan tuntunan agama.
===============================================
“Agak gak pede. Hiks, tapi mohon dikomentari ya
teman-teman.”
SHALAT ISTIKHARAH YANG KE-7
A’UDZUBILLAHIMINASSYAITANIRRADZIM.
BISMILLAHIRAHMANIRRAHIM…….
Engkaulah yang Maha Mengetahui bahwa umur saya masih 21
tahun lewat dua bulan. Tapi ustadz muda itu melamar saya, ya Allah. Saya hanya
bisa terpana, tak tahu harus menjawab apa. Tapi diam-diam saya merasa malu
pada-Mu. Engkau gerakkan hatinya untuk mengkhitbah saya yang jelas-jelas masih
jauh dari predikat mukminah ini, ya Rabb. Saya malu, pakaian yang rapat menutup
aurat saya ini telah mampu mengecohnya dan membuatnya mengira saya adalah
perempuan baik-baik. Bukan perempuan yang dulu pernah tenggelam dalam lembah
hitam obat-obatan terlarang dan minuman keras. Dia tidak tahu, ya Rabbi, tapi
Engkau lah yang Maha Tahu. Hanya Engkau yang mengetahui siapa sebenarnya diri
saya yang hanya lahirnya saja terlihat baik ini. Apakah maksud-Mu dengan semua
ini, ya Allah? Saya hanyalah setitik debu yang pernah menghamba pada tuntutan
hidup yang keras ini.
Apakah ia masih ingin meminang saya andai pun ia tahu masa
lalu saya yang suram itu? Apakah keluarganya tak memandang jijik saya yang
kotor ini?Apakah saya pantas ya Rabb? Pantaskah saya menerima karunia-Mu ini?
Apakah saya pantas mendampingi pria baik-baik seperti dia?
Ya Lathif, yang saya tahu bahwa pernikahan itu adalah suatu
hal yang agung. Ikatan yang Engkau ridhoi. Wadah cinta kasih, wadah muthmainah,
wadah seorang wanita dengan karir paling agung di dunia. Menjadi istri dan
menjadi ibu, menjadi wadah pendidikan dunia akhirat pertama bagi anak dan harus
bisa dipertanggungjawabkan di hadapan-Mu nanti. Wadah bertemunya dua mahluk
yang berlainan jenis dalam bingkai ibadah halal tanpa hijab. Karena konsep yang
agung dan suci yang Kau ajarkan itulah, ya Allah, saya takut sekali untuk
menerimanya. Karena menikah bukan hanya untuk sehari dua, tapi seumur hidup
bahkan sampai ajal menjemput.
Dan saya?, baru setahun ini hidup dalam lingkungan bersih
Yayasan Ainul Haq ini. Itu pun jika Engkau tak mengirimkan Endang sebagai
penyelamat saya dari lembah hitam itu, andai tak Engkau kirimkan Ustadz Yudi
untuk mengajari saya, andai tak Kau berikan hidayah itu, mungkin saat ini hamba
masih berkutat dengan barang-barang haram itu.
Berkecamuk dada saya, ya Fatah, karena saya tahu sebuah
hadist nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa jika seorang wanita menolak
lamaran seorang laki-laki yang engkau ridhoi agamanya, maka tunggulah kerusakan
di muka bumi ini. Tapi apakah seorang saya, seorang Afifa adalah orang yang
tepat untuknya? Hanya Engkau yang Maha Tahu, karenanya bantulah saya untuk
memilih yang terbaik untuk kami semua.
Ya Hayyu, yang Maha memiliki segala sesuatu, saya merasa
belum bisa membalas jasa orang tua saya. Salahkah saya jika menolaknya atau
beruntungkah saya apabila menerimanya?. Pilihkan ya Allah, saya benar-benar
bingung. Saya merasa punya tanggung jawab besar pada orang tua saya, pada
adik-adik, pada pekerjaan dan masa depan, dan sebagainya, dan sebagainya. Mungkin
itu semua adalah alasan yang naif, karena kata Ustadz Yudi menikah itu membuka
jalan berkah, menggenapkan separuh agama. Rasanya saya tidak sanggup, ya Rabb.
Begitu banyak yang belum saya ketahui tentang hidup ini, begitu banyak yang
ingin saya lakukan untuk keluarga saya, banyak tempat yang ingin saya kunjungi,
masih banyak mimpi saya, ya Allah.
Maafkan saya, ya ghafuur, karena sok tahu. Tapi Engkaulah
yang Maha Faham bahwa betapa badai mengamuk di dada saya. Dia lelaki sholeh
yang matang secara mental spiritual dan mapan dalam hal materi, ia pantas
mendapat akhwat yang lebih baik daripada saya, akhwat yang pantas
mendampinginya meniti jalan dakwah. Jangan murkai saya, ya Allah, jangan murkai
saya karena merasa tahu. Maka berkali-kali saya sujud memohon kemurahan-Mu
untuk memutuskan yang terbaik untuk saya, menurut ilmu-Mu. Hingga sampaikanlah
hati saya kepada keputusan “menerima” atau”menolak”. Berikanlah kemantapan pada
hati ini, ya Wahab. Saya tahu, tak mungkin Engkau mengecewakan hamba-Mu. Engkaulah
yang Maha memenuhi janji.
Tak saya pungkiri, bagaimana pun saya menginginkan sebuah
keluarga dengan “muthma’inah”. Betapa saya terpanggil untuk memenuhi
panggilan-Mu itu ya Qoyyum. Tapi dengan orang yang tepat. Dengan orang yang
saya tak ragu untukmenyerahkan diri kepadanya, hingga saya ikhlas mengabdikan
diri sebagai istri, merelakan hidup saya bersamanya. Saya berharap pada-Mu ya
Allah.
Maafkan saya jika selama ini, hari-hari yang saya jalani
setelah khitbahnya itu, membuat syetan dengan mudah masuk ke kisi-kisi hati,
karena saya memahami bahwa betapa rentan menyimpan rasa ini. Betapa syetan
menghadang kanan kiri, muka belakang, berjalan di lairan darah yang tiap saat
saya coba sucikan. Hanya Engkau yang tahu, ya Allah betapa saya berjuang
menahan letupan-letupan rasa suka itu padanya. Tuntun saya memakrifati
cinta-Mu, bahkan yang Kau hadirkan dalam perasaan pada mahluk ciptaan-Mu. Bantu
saya memcintai sesuatu karena diri-Mu saja.
Saya ingin jujur padanya tentang masa lalu saya, ya Allah,
tapi saya ragu dan serasa tak kuasa membuka kembali aib itu. Bahwa saya seorang
mantan pecandu narkoba.Ya Salam, berikanlah keberanian itu pada hamba, agar ia
tak menunggu terlalu lama. Sementara itu berikanlah saya sedikit kesempatan
lagi untuk memperbaiki akhlak saya. Tuntunlah ke dalam ruang dan waktu di mana
Engkau siapkan dan mantapkan hati hamba untuk menolak atau menerimanya.
Maka tolonglah agar saya tidak akan menyesali keputusan saya
nantinya. Ajari saya untuk mempersiapkan diri menuju ke jenjang pernikahan itu.
Tamparlah saya jika berani berpaling dari-Mu lagi, jangan masukkan saya ke
dalam golongan orang munafik. Kuatkan hati saya untuk menjadikan-Mu
segala-galanya dalam kehidupan saya.
Beri dia yang terbaik
Beri saya yang terbaik
Berianlah yang terbaik untuk orang-oang yang saya cintai,
Menurut-Mu ya Allah,
Atas pengetahuan-Mu yang tanpa batas.
Bila pun airmata ini harus mengalir, alirkanlah karena cinta
dan khauf kepada-Mu. Berikanlah saya kemantapan hati untuk mengambil keputusan.
Sementara itu bimbinglah hamba untuk terus menjaga hidayah yang Engkau berikan,
kesadaran untuk terus menjaga harga diri dan berikanlah kesadaran untuk
menghargai diri sendiri. Amin ya Rabbal ‘alamiin.
16 Desember 2000
Malam semakin sunyi, aku menatap sekeliling kamar dengan perasaan
syukur yang membuncah di dada. Suamiku ada di kamar kerjanya. Kumasukkan lagi
diary berwarna ungu itu ke dalam laci,menyimpannya dengan hati-hati. Karena di
dalamnya ada harta yang paling berharga. Sepenggal doa yang kutulis setelah
melaksanakan sholat istikharah yang ketujuh kali, empat tahun yang lalu. Sholat
di tengah malam buta yang penuh dengan derai airmata. Ali anakku yang berumur 2
tahun mendengkur lembut di peraduan kami. Sepasang tangan kokoh kemudian
melingkari pinggangku dari belakang.
“Sayang, tidur yuk..”
Aku berbalik menatapnya bahagia. Wajah teduh yang kucintai
itu tampak terkantuk-kantuk. Alhamdulillah. Allah telah memilihkanku yang
terbaik. Lelaki itu ada di sini, mencintaiku dan anak kami. Empat tahun yang
penuh kasih dan semoga akan selalu penuh kasih. Lelaki yang dengan rela
menerima diriku apa adanya. Lelaki tampan itu Ustadz Iwan yang empat tahun yang
lalu telah membuatku shalat istikharah sampai tujuh kali.
Samarinda, 3 Juni 2004
=============================
Gadis kecil bernama Aisha
"Berdasarkan kisah nyata... hanya namanya yang berubah.
tidak ada maksud menggurui. hanya ingin mengenang. dan semoga kalian semua
ingat apa yang sudah para pahlawan lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia."
Jakarta, 1999
Sastro terbaring di atas ranjang berbalut seprai putih
sambil bersenandung. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi
kakeknya ikut menikmati nyanyiannya walaupun gadis kecil itu jelas tidak
mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu menyodorkan sebuah Juz Amma untuk
kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.
“Ayo kek, Aisha ajarin baca Al-Fatihah ya” pintanya polos
dengan mata berharap.
“lagi? Kemarin kan sudah…” elak Sastro dengan nada bercanda,
walau suaranya terdengar parau, akibat tubuhnya yang kian melemah.
“kemarin kan kakek belum selesai bacanya” protes Aisha
sebal.
“kakek ngantuk Aisha, kakek kan sakit” elak Sastro lagi
kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur.
Aisha tidak melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya
benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening kakeknya
dengan sayang.
“maafin Aisha ya udah ganggu kakek, met bobo” Sastro tetap
pura-pura tidur.
Sebenarnya Sastro sudah sejak lama hafal Al-Fatihah, bahkan
hampir seluruh isi Al-Quran dia hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru ngaji
sebelum masuk tentara? Sastro serta merta teringat peristiwa lalu, kejadian
pahit yang telah merubah hidupnya.
Aceh, 1953.
Peristiwa DI/TII, dimana sekelompok ekstrimis sedang memperjuangkan
terwujudnya Indonesia sebagai negara Islam. Cuaca ketika itu mendung dengan
angin berhembus kencang. Tampak para pejuang kedaulatan Indonesia sedang
berpatroli di sekitar barak mereka yang sederhana.
Pakaian mereka tampak lusuh bersaput debu mesiu serta darah
yang mengering. Janggut dan rambut juga dibiarkan tumbuh tanpa dicukur. Sastro
ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang tentara muda menjadi tanggung
jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata selalu awas berjaga.
“sudah enam hari” kata rekannya yang bernama Basri sambil
memainkan pisau.
“kau rindu dengan istrimu?” ledek Sastro.
“ngaco kamu, aku hanya kangen merokok, mulutku sepat
rasanya” elak Basri.
“di belantara begini mana ada yang menjual rokok” tanggap
Sastro terkekeh.
“aku ingin mencari di rimbunan semak sana. Pasti ada pohon
tembakau walaupun cuma sebatang” kata Basri menunjuk sekumpulan tanaman lebat
tak tertembus cahaya.
“tapi lumayan jauh dari perkemahan kita, berbahaya kalau
kamu pergi sendiri” cegah Sastro yang ditanggapi Basri dengan tawa.
“sudah berapa tahun kau jadi tentara? tahukah kau berapa
kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir di tangan Allah! Sudahlah kalau kau
begitu khawatir kau ikut saja denganku” sahut Basri.
Sastro memandang kawan-kawannya yang tampak berjaga.
Terbesit perasaan ragu dalam dirinya. Memang bukan sekali ini dia ikut
berperang. entah berapa kali dia nyaris mati dalam perjuangannya. Tapi kali ini
entah mengapa hatinya terasa berat sekali untuk mengikuti Basri.
“kau mau ikut tidak?” Tanya Basri lagi. Dia akhirnya
memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras kepala, kalau sahabatnya mati,
Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya. Siapa tahu para pemberontak itu
akan membunuh Basri ketika dia sendirian.
Benar kata basri, beberapa batang pohon tembakau tampak
tumbuh tegar di sana. Basri mengincar daun-daun yang sudah mengering, agar bisa
langsung dilinting untuk dibakar.
“ah nikmatnya” Basri menghela kepulan asap racun keluar dari
paru-parunya. Baru saja mereka berpikir untuk kembali ke barak. Tiba-tiba
terdengar samar suatu letusan senjata. Pertanda markas mereka tengah diserang.
“Bedebah!” maki Basri sambil melemparkan lintingan tembakau
yang susah payah dia dapatkan. Sastro gemetar karena firasatnya terbukti.
Teman-temannya dalam bahaya.
Dan ketika mereka kembali ke tenda semua sudah terlambat.
Sastro meraung murka karena para musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan
pemberontak itu juga meninggalkan tanda mata untuk Sastro dan tentara lain yang
tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh, ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi
tenda mereka.
“mereka datang dengan pasukan yang tiga kali lipat lebih
banyak dari kita” seorang anak buahnya menyeret tubuhnya yang terluka untuk
melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.
Sastro memeluk tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air mata
berlinang. Sementara Basri dan prajurit lain yang tersisa mencoba
menenangkannya.
“Ini perang Sastro…” Rintih Basri.
“tidak hanya kita yang kehilangan, mereka juga…” tambah yang
lain walau semua itu tidak berpengaruh bagi Sastro.
Sastro mengelilingi perkemahan, menyaksikan mimpi buruk yang
paling dihindarinya. Mayat-mayat bergelimpangan, kepala terpenggal, usus
berhamburan.
Sastro tidak habis pikir. Mereka Islam, tapi mereka tersesat
terlampau jauh. Sebagai mantan guru ngaji dia sangat mengerti aturan
peperangan. kalau mereka memang memahami kitab suci mereka tidak mungkin berani
menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka seharusnya tahu kalau jiwa mereka
yang membunuh di peperangan karena amarah dan nafsu tidak akan diterima di
surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup amarah.
“aku tidak mau Sholat lagi! Aku tidak mau disamakan seperti
mereka!” Teriaknya berulang-ulang.
“Astaghfirullah Sastro..Istighfar” ujar Basri untuk
menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah lebih dulu tersaput dendam.
Jakarta, 1999.
Sastro meneteskan air mata. Dia kini sudah menjadi kakek
renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang dulunya tegap berisi kini tinggal
tulang berbalut kulit. dia takut mati. Dosanya terlampau besar. Dia malu
terhadap sang pencipta.
Salah seorang anaknya mendekati ranjang. Dialah ibu dari
Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera meminta kakeknya mengaji.
“pak…” putrinya memandangnya lekat-lekat, ingin memulai
pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis menangis.
“dokter bilang umur bapak tidak lama lagi kan?” tebak
Sastro. Putrinya menggeleng lemah.
“dokter tidak bilang begitu, dia hanya bilang kalau bapak
sakit parah dan sulit diobati”
“itu sama saja” tanggap Sastro sambil tersenyum pahit.
Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan
kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu mengenang hidupnya yang tidak pernah
membosankan.
Selama sisa hidupnya sastro dikenal sebagai orang yang baik.
Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia tidak pernah main perempuan. Dia selalu
berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah sudah berapa Mushola di Jakarta yang
terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan darinya.
Satu yang Sastro sesali adalah dia tidak pernah Sholat. Rasa
ego dan janji bodohnya di masa lalu yang menyatakan tidak mau lagi menginjak
sajadah membuatnya malu terhadap Sang Pencipta. Dia takut ibadahnya tidak
diterima. Kini dia bahkan hampir lupa bagaimana caranya Sholat.
“pak…” sapa putrinya yang segera membuyarkan lamunannya.
“bapak belajar Sholat ya?” lanjut putrinya. Sastro cukup
terkejut, karena selama ini putrinya seakan tidak pernah mempermasalahkan
keislamannya. Sastro diam saja.
“bapak sudah tahu dari dulu kan kalau mereka yang membunuh
anak buah bapak secara sadis waktu perang dulu, sebenarnya adalah orang-orang
yang tidak paham sama agamanya sendiri?” Sastro terbatuk, dia terkejut.
“kamu kok tahu nak?” Tanya Sastro. Putrinya hanya tersenyum
menenangkan.
“beberapa tahun lalu pak Basri pernah cerita sama Lala,
bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan terpengaruh sama masa lalu. Percayai
hati nurani bapak saja…” ujar Lala putrinya sabar. Sastro kembali membisu
selama beberapa detik.
“Bapak malu nak…” kata sastro akhirnya. Sebelum Lala sempat
menanggapi. Pintu kamar Sastro terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil yang
terus meneror Sastro selama beberapa tahun ini.
“eh kakek udah bangun, sini Aisha ajarin baca Al-fatihah”
Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap di tubuhnya.
“boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya” Sastro berharap,
ketika ajalnya menjemput. Dia bisa pergi dengan perasaan bangga.
======================
ISTRIKU SERIBU ANAKKU TETAP SATU !
"Kontemplasi 'Istriku Seribu' Anakku Tetap Satu"
Tuhan tidak hanya memberi batasan dan perintah, melainkan
menyikapi manusia sebagai mahluk yang sudah dibekali oleh-Nya alat canggih yang
namanya akal. Maka dalam banyak hal sesungguhnya Tuhan tidak hanya memberi
perintah, tetapi mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses
pemikirannya kemudian mengambil keputusannya sendiri dengan akalnya.
Kurang lebih Tuhan hanya memberi dogma 3,5% yang 96,5%
adalah diskusi dan demokrasi.
Pada jaman jahiliyah kaum wanita dianiyaya, direndahkan
derajat dan martabatnya, dianggap barang, diambil dan dibuang semaunya oleh
lelaki. Bahkan pada Jaman itu hina jika mempunyai anak perempuan, sampai-sampai
ada kebiasaan membunuh bayi perempuan dikarenakan malu atau hina. Lelaki waktu
itu kalau kaya bisa mengawini ratusan wanita. Islam datang dan memposisikan
wanita 'setara tapi tetap harus berbeda' dengan lelaki sesuai kodratnya
masing-masing.
Dalam keadaan itu Allah melakukan revolusi dari fakta
ratusan istri diradikalkan menjadi hanya paling banyak empat istri.
Tuhan memancing kedewasaan akal manusia : ''Kalau engkau
takut tidak bisa berbuat adil, maka satu istri saja''.
''maka (kawinilah) seorang saja. Atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya"
Dimulai dengan kata 'maka' pastinya ada anak kalimat
sebelumnya, ada latar belakangnya, ada pertimbangan-pertimbangannya.
Sebagaimana umpamanya diantara kita ada kalimat ''makanlah
daging anjing ini'' tidak bisa berdiri sendiri dan diartikan sebagai hukum
pembolehan makan anjing. Sebab kalimat itu diawali oleh keadaan darurat di mana
tak ada apapun sama sekali yang bisa dimakan, yang ada hanya beberapa potong
daging anjing.
Ataupun sebagaimana kebolehan berwudhlu dengan usapan debu
atau tayammum, itu tidak berdiri sendiri, melainkan dipersyarati oleh
ketidakmungkinan mendapatkan air.
Maka menikahi lebih dari satu wanita itu juga berangkat dari
prasyarat-prasyarat sosial yang kita himpun disamping dari yang dipaparkan oleh
Tuhan dan 'sejarah', juga kita cari melalui aktivitas akal kita sendiri.
Poligami menurut kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan,
tidak pantas dilakukan atas pertimbangan individu. Ia sangat berkontek sosial
sama halnya dengan para perempuan yang mengumbar auratnya dengan alasan 'seni',
Ia tidak terutama merupakan Hak Azasi atau hak individu melainkan mempunyai
kewajiban sosial.
Kewajiban adalah sesuatu yang 'terpaksa atau memaksa' senang
atau tidak senang. Karena masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan
atau kemauan pribadi, melainkan pada kemaslahatan bersama.
Engkau menjadi manusia yang tidak tahu diri kalau Tuhan
mengatakan ''kalau engkau takut tak bisa berbuat adil ...'' lantas engkau
bersombong menjawab tuhan :''Aku bisa kok berbuat adil', kemudian ambil
perempuan jadi istri keduamu.
Jadi Poligami itu terjadi bukan dalam kondisi normal dan
standar, ini bisa dan boleh dilakukan dalam kondisi darurat, bahkan lebih
karena 'terkondisikan' sebagai pembanding kita bisa merenungkan tentang
perceraian ialah 'perbuatan halal yang dibenci oleh Allah'
Ini merupakan sindiran halus hampir sebanding dengan ''Kalau
engkau takut tidak bisa berbuat adil, maka satu istri saja''.
Hampir tiap perceraian terjadi karena terkondisikan oleh
situasi atau kalau memakai bahasa Tozie 'Cakung Mestakung' (Cuaca mendukung dan
Semesta Mendukung) kita sudah berusaha maksimal untuk menghindarinya membuat
tapi kalau toch tetap terjadi perbuatan ini HALAL YANG BERARTI BOLEH tapi
dengan konsekuensi 'DIBENCI'. Karena ada ajaran yang melarang 'perceraian' tapi
silahkan anda perhatikan apakah bisa perceraian itu dihilangkan ??? Begitu Juga
Poligami !!!
Itulah salah satu ke Maha Adilan serta ke Maha Tahuan Allah
!
Poligami dan Perceraian itu Boleh dilakukan tapi dengan
konsekuensi logisnya masing-masing.
Kita tidak bisa menyalahkan yang berpoligami atau bercerai
karena kita harus 'husnudzan/baik sangka' bahwa mereka yang mengalami itu
dikarenakan posisinya yang 'cakung mestakung. tapi jangan lupa untuk mengambil
hikmahnya, masih ingat khan ... dari kejahatan yang paling jahat, keburukan
yang paling buruk bahkan kesakitan yang paling sakit pun pasti ada 'Ibrah' di
dalamnya.
Di dalam Islam setiap orang berhak menafsirkan dan
bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasarkan tafsirnya itu. Dan
tafsir seseorang boleh menghasilkan prinsip yang berbeda dengan hasil tafsir
orang lain. Juga tidak ada hak sama sekali bagi siapa saja untuk memaksa orang
lain untuk mengikuti tafsirnya. Baik untuk boleh berpoligami maupun untuk
sebaliknya.
Perlunya keinsyafan bahwa diatas setiap orang selalu ada
kemungkinan ada orang lain yang lebih unggul. Karena tidak dibenarkan memaksa
seseorang untuk menerima, bahkan kebenaran sekalipun. Dan karenanya manusia
telah dibekali kemampuan bawaan untuk mengetahui mana kebenaran dan mana
kepalsuan. Manusia diberi kebebasan sepenuhnya menentukan sendiri pilihannya
itu, dengan resiko yang tentunya harus ditanggung sendiri pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar