TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG Daging Anjing Tidak Haram, Benarkah?
Saya jadi bingung, mohon dijelaskan karena kelompok tersebut di tempat saya cukup besar baik secara organisasi maupun keanggotaan.
Pak Ustadz, saya mendengar dari temen saya yang mengaji
di salah satu kelompok pengajian yang mengatakan, menurut kelompok tersebut
daging anjing halal untuk dimakan. Alasan yang dikemukakan adalah yang
diharamkan menurut Al-Quran hanyalah daging babi, darah dan sembelihan yang
tidak atas nama Allah. Kemudian saya menyanggahnya dengan mengatakan di hadis
shahih daging tersebut haram. Namun temen saya berbalik bertanya ke saya, mana
yang lebih kuat Al-Quran apa Hadis? Kalau ada hadis yang tidak sesuai dengan
Al-Quran maka harus merujuk ke Al-Quran. Demikian juga daging lainnya seperti
katak dan binatang buas juga halal.
Saya jadi bingung, mohon dijelaskan karena kelompok tersebut di tempat saya cukup besar baik secara organisasi maupun keanggotaan.
Amara Tifani amara
Jawaban
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum menjawab pertanyaan anda, perlu ditegaskan bahwa
ada dua hal yang terkait hewan. Pertama, masalah kenajisannya. Kedua, masalah
kehalalannya untuk dimakan. Penjelasannya, bahwa semua hewan yang ditetapkan
kenajisannya, maka otomatis haram dimakan. Sebab semua barang najis itu memang
tidak boleh dimakan. Bahkan jangankan dimakan, disentuhpun membatalkan wudhu.
Namun tidak semua yang disebutkan haram dimakan itu pasti najis. Racun itu
haram dimakan, tetapi racun tidak najis.
Bahwa ada pendapat yang tidak menajiskan anjing, kita
akui memang ada. Di antaranya adalah kalangan mazhab Malik yang dipelopori oleh
pendirinya, al-Imam Malik rahimahullah.
Kemungkinan kelompok yang anda sebutkan itu mengacu
-secara disadari atau tidak- kepada apa yang disimpulkan oleh mazhab Malik
sejak 1.400-an tahun yang lalu. Pendapat itu bukan ijtihad kemarin sore.
Khusus dalam masalah kenajisan dan kehalalan hewan,
mazhab ini boleh dibilang paling eksentrik. Sebab selain tidak menajiskan
anjing, mereka pun tidak menajiskan babi. Tentu saja mereka punya segudang
dalil dari Al-Quran dan As-sunnah yang rasanya sulit kita nafikan begitu saja.
Meski kita tetap berhak untuk tidak sepakat.
Maksudnya, pendapat itu bukan mengada-ada atau
asal-asalan. Tetapi lahir dari hasil ijtihad panjang para ulama sekaliber Imam
Malik. Asal tahu saja, Imam Malik itu adalah guru Imam As-Syafi'i. Beliau
adalah imam ulama Madinah, kota
yang dahulu Rasulullah SAW pernah tinggal beserta dengan para shahabatnya.
Akan tetapi memang demikian dunia ilmu fiqih, meski
pernah belajar kepada Imam Malik, namun Imam Asy-Syafi'i tidak merasa harus
mengekor kepada semua pendapat gurunya itu. Dan kapasitas beliau sendiri memang sangat layak untuk
berijtihad secara mutlak, sebagaimana sang guru. Dan hal itu diakui sendiri
oleh sang guru, bahkan sang guru justru sangat bangga punya anak didik
yang bisa menjadi mujtahid mutlak serta mendirikan mazhab sendiri. Di mana
tidak semua pendapat gurunya itu ditelan mentah-mentah.
Mazhab As-Syafi'i sendiri justru 180 derajat berbeda
pandangan dalam masalah anjing dan babi. Buat mereka, anjing dan juga babi
adalah hewan yang haram dimakan, sekaligus najis berat (mughalladhzah).
Yang najis bukan hanya moncongnya saja (su'ru) sebagaimana bunyi teks hadits,
melainkan semua bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah
7 kali." (HR Bukhari 172, Muslim 279, 90).
(عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: { إذا شرب الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا }. متفق عليه, ولأحمد ومسلم: { طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب } ).
Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan
mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah." (HR Muslim 279, 91,
Ahmad 2/427)
Dalam pandangan mazhab ini, meski hadits Rasulullah SAW
hanya menyebutkan najisnya wadah air bila diminum anjing, namun kesimpulannya
menjadi panjang.
Logika mereka demikian, kalau hadits menyebutkan bahwa
wadah menjadi najis lantaran anjing meminum airnya, berarti karena air itu
tercampur dengan air liur anjing. Maka buat mereka, najis dihasilkan oleh air
liurnya. Jadi air liur anjing itu najis. Sementara air liur itu sendiri
dihasilkan dari dalam perut anjing. Berarti isi perut anjing itu juga najis.
Dan secara nalar, apapun yang keluar dari dalam perut atau tubuh anjing itu
najis. Seperti air kencing, kotoran bahkan termasuk keringatnya.
Nalar seperti ini kalau dipikir-pikir benar juga. Sebab
kalau air yang tadinya suci lalu diminum anjing bisa menjadi najis karena
terkena air liur anjing, tidak logis kalau justru sumber najisnya (tubuh
anjing) malah dikatakan tidak najis. Betul, kan ?
Jadi meski hadits itu tidak mengatakan bahwa tubuh
anjing itu najis, tetapi logika dan nalar mengantarkan kita kepada kesimpulan
bahwa tubuh anjing itu seharusnya sumber kenajisan.
Adapun sanggahan teman anda bahwa hadits ini
bertentangan dengan ayat Al-Quran, sebenarnya tidak demikian keadaannya. Hadits
tentang najisnya anjing tidak bertentangan dengan satu pun ayat di dalam
Al-Quran. Sebab tidak satupun ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa anjing itu
tidak najis. Silahkan telusuri dari surat Al-Fatihah
hingga surat
An-Naas, tidak akan anda temukan satu pun ayat yang bunyinya bahwa anjing itu
tidak najis.
Jadi hadits dan ayat Quran tidak bertentangan, sehingga
tidak perlu meninggalkan hadits najisnya anjing. Bahkan Imam Malik sendiri pun
tidak pernah menafikan hadits tentang najisnya air yang diminum anjing itu.
Hanya bedanya antara pendapat beliau dengan pendapat
As-Syafi'yah adalah bahwa yang najis itu adalah air yang diminum anjing. Adapun
anjingnya sendiiri tidak najis, sebab hadits itu secara zahir tidak
mengatakan bahwa anjing itu najis. Dan memang hadits itu sama sekali tidak
menyebut bahwa anjing itu najis, yang secara tegas disebut najis adalah wadah
air yang diminum anjing.
Logika Imam Malik inilah yang dikritisi oleh
Asy-syafiiyah, yaitu mana mungkin airnya jadi najis kalau sumbernya tidak
najis. Itu saja.
Kesimpulan
Akan tetapi baik pendapat yang menajiskan atau yang
tidak, keduanya lahir dari sebuah proses ijtihad para begawan syariah kelas
dunia. Kita boleh memilih mana yang menurut kita lebih masuk akal atau yang
lebih membuat kita tenteram. Tanpa harus menyalahkan atau mencaci maki saudara
kita yang kebetulan tidak sama pilihannya dengan pilihan kita.
Biarlah perbedaan pendapat ini menghiasi khazanah
syariah Islam. Siapa tahu di balik perbedaan pendapat ini Allah SWT memang
berkenan memberikan hikmah yang tidak kita duga sebelumnya. Sangat picik bila
perbedaan pendapat ini malah disikapi dengan cara kekanak-kanakan, seperti
saling menyakiti, saling cela, saling hina, saling tuduh. Sungguh dahulu kedua
imam besar itu bermesraan dan saling menghormati, bahkan saling menyanjung.
Lalu mengapa kita yang tidak ada seujung kuku mereka, malah merasa diri paling
benar sendiri sambil menuding orang lain salah semua?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar