TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG
بسم الله الرحمن الرحيم
Nikmat Bertutur Dan Berbicara
Menjaga
Lidah Dari Berbicara Kecuali Dalam Hal Yang Baik
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala Puji bagi
Allah yang telah mempersatukan diantara hati orang-orang yang beriman, dan
menyuruh mereka untuk berkumpul dan bersatu, dan melarang mereka dari
berpecah-belah dan bermusuhan, dan aku bersaksi tiada tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang telah
menciptakan dan mentaqdirkan (segala seuatunya), yang telah menurunkan syariat
dan memudahkannya, dan Ia sangat menyayangi orang-orang yang beriman, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan rasul-Nya, yang telah
memerintahkan untuk saling memudahkan dan saling menyenangkan, sebagaimana
sabda beliau:
((يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا
وَلاَ تُنَفِّرُوْا))
“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu
menyulitkan, dan tebarkanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat
orang lari (darimu)”, Ya Allah limpahkanlah selawat dan salam serta
keberkatan-Mu kepada nabi Muhammad r, serta kepada para keluarganya yang suci dan para sahabatnya,
yang telah digambarkan Allah bahwa mereka tersebut sangat keras terhadap
orang-orang kafir dan saling berkasih-sayang antara sesama mereka, dan
limpahkan juga selawat dan salam serta keberkatan tersebut terhadap orang yang
mengikuti mereka dengan baik sampai hari kemudian, Ya Allah tunjukilah aku, dan
tunjukanlah (kebenaran) untukku, dan beri petunjuklah (orang lain) dengan ku,
Ya allah bersihkanlah hatiku dari rasa dengki, dan luruskanlah lidahku dalam
menyampaikan kebenaran, Ya Allah aku berselindung dengan-Mu bahwa aku
menyesatkan (orang lain) atau disesatkan (orang lain), atau menggelincir (orang
lain dari kebenaran) atau digelincirkan (orang lain dari kebenaran), atau
menzholimi (orang lain) atau dizholimi (orang lain), atau mejahili (orang lain)
atau dijahili (orang lain).
Berikutnya ;
Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan Rasulullah r dan para sahabatnya, penisbahan mereka kepada Sunnah Rasulullah r, yang beliau suruh untuk berpegang teguh dengannya, dengan sabda
beliau:
((فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّتِيْ الْخُلَفَاءِ الْرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ مِنْ
بَعْدِيْ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ)).
“Maka
berpegang-teguhlah kamu dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ arrosyidiin
yang mereka telah diberi petunjuk (oleh Allah) sesudahku, berpegang teguhlah
dengannya dan gigitlah dengan geraham mu (bepegang dengan sekuat-kuatnya)”.
Dan beliau telah memperingatkan dari melanggar Sunnah
tersebut dengan sabdanya:
((وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ))
“Dan
hati-hatilah kamu terhadap perkara yang baru (dalam agama), sesungguhnya setiap
hal yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Dan sabda beliau
lagi:
((فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ
فَلَيْسَ
مِنِّيْ))
“Barang siapa yang enggan
terhadap Sunnaku, maka ia tidak termasuk dari (golongan) ku”.
Hal ini berbeda
dengan orang selain mereka (ahlus Sunnah) dari orang-orang yang mengikuti hawa
(kabatilan) dan para pelaku bid’ah, yaitu orang-orang yang menempuh jalan-jalan
selain jalan yang ditempuh Rasulullah r dan para sahabatnya, Aqidah Ahlus Sunnah ada semenjak zaman
diutusnya Rasulullah r, adapun pengikut hawa (kebatilan) Aqidah mereka lahir setelah berlalu zaman Rasulullah r, diantaranya ada yang lahir dai akhir-akhir masa sahabat, dan
diantaranya lagi ada yang lahir setelah itu, Rasulullah r telah mengkabarkan bahwa barang siapa yang hidup diantara
sahabanya, akan menemui perpecahan dan pertikaian ini, maka Rasulullah r bersabda:
((وَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كثيراً)).
“Sesungguhnya
barangsiapa yang hidup diantara kalian akan menyaksikan perpecahan yang
banyak”.
Kemudian beliau
memberikan tuntunan (kepada mereka) supaya mengikuti jalan yang lurus, yaitu
mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah para sahabatnya para khalufa’ arrosyidiin,
dan memperingatkan dari mengikuti perkara-perkara yang baru (dalam agama) dan
beliau beritahukan bahwasanya hal tersebut adalah sesat, dan (suatu yang) tidak
masuk akal dan tidak bisa diterima bahwa kebenaran dan petunjuk ditutup
terhadap para sahabat -y-, dan disimpan untuk manusia yang datang setelah mereka,
sesungguhnya seluruh macam bid’ah dan perbuatan baru (dalam agama) tersebut
adalah jelek (buruk), jikalau seandainya ada kebaikan sedikitpun di dalamnya
tentulah para sahabat orang yang pertama sekali melakukannya, akan tetapi
adanya kejelekan yang menimpa kebanyakan dari orang-orang yang datang setelah
mereka, yaitu orang-orang yang berpaling dari apa yang menjadi pegangan bagi
para sahabat -y-.
Sesungguhnya
Imam Malik –رحمه الله- telah berkata:
(لَنْ يُصْلِحَ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ
أَوَّلُهَا).
“Sekali-kali
tidak akan pernah baik (generasi) akhir umat ini, kecuali denga apa yang telah
baik dengannya (generasi) awalnya”.
Karena hal itulah Ahlus Sunnah, mereka berintisab kepada
Sunnah, dan selain mereka berintisab kepada berpagai kepercayaan mereka yang batil, seperti; Jabariyah, Al Qodariyah,
Al Murjiah dan Al Imamiyah Al Itsna ‘asyriyah.
Atau mereka (para pelaku bid’ah
berintisab) kepada figur-figur tertentu, seperti; al Jahmiyah , Az
Zaidiyah, Asy ‘Ariyah dan Al Ibadhiyah.
Dan tidak bisa dikatan bahwa termasuk juga kedalam bentuk
ini (Al Wahabiyah) yang dinisbahkah kepada Syeikh Muhammad bin
Abdulwahab –رحمه الله-, karena sesungguhnya
Ahlus Sunnah pada masa beliau dan begitu juga sesudahnya tidak pernah
menisbakan diri mereka kepada nama ini.
Karena sesungguhnya Syeikh Muhammad - رحمه الله- tidak datang dengan sesuatu yang baru, sehingga bisa dinisbahkan kepadanya,
tetapi sesungguhnya beliau mengikuti apa yang menjadi pegangan para salafus
sholeh, dan menegakkan Sunnah serta menyebarkannya dan berda’wah kepadanya.
Sesungguhnya yang memberikan gelar ini adalah orang-orang
yang dengki terhadap da’wah syeikh Muhammad
bin Abdulwahab - رحمه الله-, yang bersifat
memperbaiki (berbagai kekeliruan dalam memahami tauhid), tujuan mereka tersebut
adalah untuk membingungkan manusia dan memalingkan mereka dari mengikuti
kebenaran dan petunjuk (yang lurus), dan supaya mereka tersebut tetap setia terhadap
apa yang mereka lakukan dari berbagai macam bid’ah yang bertentangan dengan apa
yang menjadi pegangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Imam Asy Syathibiy berkata dalam
kitabnya “Al I’tishom” (1/79) : “Abdurrahman bin Mahdiy telah berkata:
Imam Malik bin Anas ditanya tetang apa itu Sunnah ?, ia menjawab: Sunnah Adalah
yang tidak ada nama baginya selain As Sunnah, lalu ia membaca firman
Allah:
{وَأَنَّ
هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِه}.
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah oleh kalian, dan jangan kalian ikuti jalan-jalan (selainnya),
sehingga jalan-jalan itu memencarkan kalian dari jalan-Nya (jalan yang lurus)”.
Imam Ibnul
Qoyyim berkata dalam kitabnya “Madarijus Saalikiin” (3/179): “Sesungguhnya sebahagian ulama telah
ditanya tentang apa itu Sunnah?, ia menjawab: sesuatu yang tidak ada nama
baginya selain As Sunnah, yakni: bahwa Ahlus Sunnah tiada bagi mereka
nama yang mereka berintisab kepadanya selainnya (yaitu As Sunnah)”.
Dalam kitab “Al Intiqoo’ “ karangan Ibnu ‘Abdilbarr
(hal: 35): Bahwa seseorang bertanya kepada Imam Malik: siapakah Ahlu Sunnah?, ia
menjawab: “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang tiada bagi mereka panggilan
yang mereka dikenal dengannya ; tidak Jahmiy, tidak Qodariy dan tidak pula Rofidhiy “.
Dan tidak diragukan lagi bahwa yang wajib terhadap Ahlus
Sunnah dalam setiap zaman dan tempat adalah saling berlemah-lembut dan berkasih
sayang diantara sesama mereka, dan saling tolong-menolong dalam berbuat
kebaikan dan dalam ketaqwaan.
Dan sesuatu yang amat menyedihkan pada masa ini adalah apa
yang terjadi dikalangan sebahagian Ahlus Sunnah dari kesepian(1) dan perpecahan, yang mengakibatkan
sebahagian mereka sibuk dengan mencela, mentahzir (peringatan untuk menjauhi) dan menghajar
(mengucilkan) terhadap bahagian yang lainnya, yang semestinya segala usaha
mereka tersebut dihadapkan kepada selain mereka dari orang-orang kafir dan para
pelaku bid’ah yang senantiasa memusuhi Ahlus sunnah, dan menjalin persatuan dan
kasih sayang diantara sesama mereka, serta saling mengingatkan antara sebagaian
mereka terhadap bagian yang lainnya dengan cara halus dan lemah-lembut.
(Setelah melihat penomena tersebut diatas) aku berpendapat
(betapa perlunya) menulis beberapa kalimat sebagai nasehat untuk mereka
tersebut, dalam keadaan memohon kepada Allah bahwa Allah memberikan manfaat
dengan beberapa kalimat ini, tiada yang aku inginkan kecuali memperbaiki apa
yang aku sanggupi, dan tiada yang dapat memberiku taufiq (pertolongan) kecuali
Allah, kepada Allah aku bertawakkal, dan kepada-Nya pula aku kembali, aku beri
judul nasehat ini: “Rifqon Ahlas Sunnah Bi Ahlis Sunnah” (Berlemah lembut
terhadap sesama Ahlus Sunnah).
Aku meminta kepada Allah pertolongan dan tuntunan untuk
seluruh (umat Islam), dan memperbaiki hubungan antara sesama mereka, serta
mempersatukan hati-hati mereka, dan menunjuki mereka kepada jalan-jalan yang
selamat serta mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada cahaya
(keimanan) sesunggunya Allah maha mendengar lagi maha memperkenankan.
Nikmat Bertutur Dan Berbicara
Nikmat Allah
terhadap hambaNya tidak terhitung dan tidak ada hingganya, diantara yang
terbesar dari nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat berbicara yang mana
dengannya seorang insan mampu mengutarakan tentang keinginannya, dan
mengucapkan perkataan yang baik, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar, barang siapa yang kehilangan nikmat ini (nikmat bicara) ia
tidak bisa melakukan berbagai urusan tersebut, dan ia tidak akan bisa berbicara
sesama orang lainya kecuali dengan isyarat atau tulisan jika ia seorang yang
bisa menulis.
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
{وَضَرَبَ
اللّهُ مَثَلاً رَّجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لاَ يَقْدِرُ عَلَىَ شَيْءٍ
وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لاَ يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ
يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
[سورة النحل ].
“Allah mejadikan
perumpamaan dua orang laki-laki; salah satunya bisu dan tidak mampu melakukan
apapun, dan ia menjadi beban diatas majikannya, kemanapun ia disuruh
majikannnya tidak bisa mendatangkan kebaikan sedikitpun, apakah ia sama dengan
orang yang menyuruh dengan keadilan, dan ia berada diatas jalan yang lurus”.
Dan
disebutkan dalam tafsiran ayat tersebut: Bahwasanya ini adalah perumpamaan
dijadikan Allah antara diriNya dan berhala, ada lagi yang berpendapat:
Bahwasanya ini adalah perumpamaan antara orang kafir dan orang yang beriman.
Imam Al
Qurtuby berkata dalam kitab tafsirnya (9/149): “(tafsiran ini) diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas, dan tafsiran tersebut sangat bagus karena mencakup secara
umum”.
Perumpamaan
tersebut sangat jelas menerangkan tentang kelemahan seorang budak yang bisu
yang tidak memberikan faedah untuk orang lain, begitu juga majikannya tidak
dapat mengambil faedah darinya kemanapun disuruhnya.
Dan firman
Allah ‘azza wa jalla:
{فَوَرَبِّ
السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنطِقُونَ [سورة
الذاريات].
“Maka demi tuhan langit dan bumi,
sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti
perkataan yang kamu ucapakan”.
Maka
sesungguhnya Allah telah bersumpah dengan diri-Nya atas kebenaran kejadian ber-bangkit
dan balasan terhadap segala amalan, sebagaimana terjadinya ucapan dari yang
orang berbicara, dan dalam hal itu terdapat pula pujian terhadap nikmat
berbicara.
Dan fiman
Allah:
خَلَقَ الْإِنسَانَ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ [سورة الرحمن].
“Dia (Allah)
yang telah menciptakan manusia, yang telah mengajarnya pandai berbicara”.
Hasan al
Bashri menafsirkan Al Bayaan dengan berbicara, dalam hal itu terdapat
pula pujian terhadap nikmat bicara yang dengannya seorang insan dapat
mengutarakan tentang apa yang diinginkannya.
Firman Allah
lagi:
[سورة البلد]. أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah kami telah menjadikan untuknya
(manusia) dua buah mata, lidah dua bibir”.
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Firman Allah: ((Bukankah kami
telah menjadikan untuknya (manusia) dua buah mata)) artinya: dengan kedua mata tersebut mereka
bisa melihat, ((dan lidah)) artinya: ia berbicara dengannya, maka ia
mengutarakan tentang apa yang terdapat dalam hatinya, ((dan dua bibir)) ia menjadikan kedua belah bibir tersebut
sebagai pembatu dalam berbicara dan untuk melahab makanan, serta sebagai
penghias wajah dan mulutnya”.
Dan satu hal yang sudah dimaklumi bahwa sesungguhnya
nikmat ini akan benar-benar bernilai sebagai nikmat apabila dipergunakan untuk
berbicara tentang apa yang baik, namun apabila dipergunakan untuk hal yang
jelek maka ia akan berakibat buruk terhadap pemiliknya, boleh jadi orang yang
kehilangan nikmat ini lebih baik halnya dari orang yang memilikinya.
Menjaga
Lidah Dari Berbicara Kecuali Dalam Hal Yang Baik
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا [سورة
الأحزاب].
“Hai orang-orang yang
beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah akan memperbaiki amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian,
dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan rasulNya maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang amat besar”.
Dan firman Allah:
{يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ } [سورة
الحجرات].
“Hai orang-orang yang
beriman jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa,
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan pula
sebahagian kamu menggunjingkan sebahagian yang lainnya, sukakah salah seorang
dianatara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?, maka tentulah kamu
akan merasa jijik terhadapnya, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
maha penerima taubat lagi maha penyayang”.
Juga firman Allah:
{وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ
مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ
الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ} [سورة
ق ].
“Dan
sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang
duduk disebelah kanan dan yang lainnya disebelah kiri, tiada satu perkataanpun
yang diucapkannya melainkan disisinya ada malaikat yang siap mengawasi”.
Dan firman Allah lagi:
{وَالَّذِينَ
يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ
احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا } [سورة الأحزاب].
“Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tampa kesalahan yang mereka lakukan, maka sungguhnya
mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.
Dalam shohih Imam Muslim, hadits no (2589)
dari Abu Hurairah t
bahwa Rasululla r bersabda:
((أَتَدْرُوْنَ
مَا اْلغِيْبَةُ؟، قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا
أَقُوْلُ؟، قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ)).
“Apakah
kalian tahu apa itu ghibah (gunjing)?, para sahabat menjawab: Allah dan RasulNya
yang lebih tahu, Rasulullah bersabda: Engkau menyebut tetang saudaramu sesuatu
yang tidak disukainya, lalu beliau ditanya: bagaimana kalau hal yang aku
ceritakan tersebut terbukti padanya?, beliau menjawab: jika terbukti padanya
apa yang engkau sebut tersebut maka sesungguhnya engkau telah
menggunjingkannya, dan jikalau tidak terdapat padanya maka sesungguhnya engkau
telah berbuat kebohongan tentangnya”.
Dan
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
{وَلاَ
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً }
[سورة الإسراء].
“Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tetangnya,
sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta hati, masing-masing itu akan
diminta pertanggung jawabannya”.
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata: telah bersabda Rasulullah r:
((إِنَّ
اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثاً وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثاً؛ يَرْضَى لَكُمْ أَنْ
تَعْبدُوْهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئاً، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ
جَمِيْعاً وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ
السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ اْلمَالِ)) أخرجه مسلم
“Sesungguhnya Allah meredhai bagi
kalian tiga perkara dan membenci untuk kalian tiga perkara; Ia meredhai bagi
kalian bahwa kalian menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu
apapun, dan bahwa kalian berpegang teguh dengan tali (agama) Allah, dan jangan
kalian berpecah-belah, dan Ia membenci untuk kalian suka membicarakan orang
lain, dan banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta”. H.R : muslim, no (1715).
Dan
diriwayatkan juga tentang tiga hal yang dibenci tersebut dalam shohih Bukhary,
hadits no (2408) dan Imam Muslim.
Diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi r:
((كُتِبَ عَلَى
ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ،
فَالْعَيْنَانِ زِيْنَاهُمَا النَّظْرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِيْنَاهُمَا
الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَاْليَدُّ زِيْنَاهَا
الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى،
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذُِّبُهُ)).
“Telah ditentukan diatas setiap anak Adam
bagiannya dari zina, ia akan mendapati hal yang demikian tampa bisa
dielakkannya, mata zinanya adalah melihat, telinga zinanya adalah mendengar,
lidah zinanya adalah berucap, tangan zinanya adalah meraba, kaki zinanya adalah
melangkah, dan hati yang berkehendak dan yang menginginkan, dan yang
membuktikan atau yang mendustakannya adalah kemaluan”. H.R: Bukhari, hadits no
(6612) dan Muslim, hadits no (2657), dan ini adalah lafaz Muslim.
Imam Al Bukhary telah meriwayatkan dalam shohihnya,
hadits no (10) dari sahabat Abdullah bin Umar t, dari Nabi r beliau bersabda:
((الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ)).
“Orang muslim adalah orang yang selamat orang
muslim lainnya dari lidah dan tangannya”.
Dalam
riwayat Imam Muslim, hadits no (64) dengan lafaz :
((إِنَّ
رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ r : أَيُّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرٌ؟، قَالَ: مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ)).
“Bahwa seorang bertanya kepada Rasulullah r: siapa orang muslim yang terbaik?, beliau menjawab: orang yang
selamat orang muslim lainnya dari lidah dan tangannya”.
Imam
Muslim meriwayatkan pula dari sahabat Jabir, hadits no (65) dengan lafaz yang
sama dengan hadits Abdullah bin Umar yang disebutkan Imam Bukhari tersebut.
Al
Hafiz Ibnu Hajar mensyarahkannya: “Dalam hadits ini lidah lebih bersifat umum
bila dibandingkan dengan tangan; karena lidah bisa membicarakan kejadian yang
berlalu, sekarang, dan yang akan datang, berbeda dengan tangan, boleh jadi ia
bisa ikut serta membantu lidah dalam hal yang demikian dengan tulisan, sehingga
ia mempunyai andil yang cukup besar dalam hal tersebut”.
Senada
dengan makna ini berkata seorang penya’ir:
Aku tulis, sesungguhnya aku yakin pada hari
penulisanku.
Bahwa tangan akan sirna dan akan kekal
goresannya.
Jika tulisan itu baik maka akan dibalasi dengan semisalnya.
Dan jika tulisan itu jelek, aku akan
menanggung balasannya.
Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no
(6474) dari shabat Sahal bin Sa’adt, dari Rasulullah r, beliau bersabda:
((مَنْ
يَضْمَنُ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنُ لَهُ
الْجَنَّةَ)).
“Barangsiapa yang mampu
menjamin bagiku apa yang diantara dua jenggotnya, dan apa yang diantara dua
kakinya, aku jamin untuknya surga”.
Yang dimaksud dengan apa yang antara dua jenggot dan
yang diantara dua kaki adalah lidah
dan kemaluan.
Imam Al Bukhari meriwayatkan lagi dalam shohihnya, hadits
no (6475) dan Imam Muslim, hadits no (74) dari Abu Hurairah t, ia berkata: Rasulullah r bersabda:
((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ)) الحديث.
“Barang siapa yang
beriman dengan Allah dan hari akhirat maka hendaklah ia mengucapkan perkataan
yang baik atau lebih baik diam”.
Berkata Imam Annawawy dalam mensyarahkan hadits tersebut:
“Telah berkata Imam Asy Syafi’ie: makna hadits tersebut adalah apabila ia ingin
untuk berbicara maka hendaklah ia pikirkan terlebih dulu, apabila ia melihat
tidak akan berbahaya diatasnya baru ia bicara, dan apabila ia melihat bahwa
didalamnya ada bahaya atau ia ragu-ragu antara berbahaya atau tidaknya, maka
lebih baik ia memilih diam”.
Dinukil dari sebagian ulama: jikalau seandainya kalian
yang membelikan kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian
akan memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara”.
Imam Abu Hatim bin Hibbaan Al Busty berkata dalam
kitabnya “Raudhatul ‘uqalaa’” halaman (45): “Suatu hal yang wajib
dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat bahwa ia selalu diam sampai
datang waktunya untuk berbicara, betapa banyaknya orang yang menyesal setelah
ia berbicara, dan sedikit orang yang menyesal apabila ia diam, orang yang
paling panjang penderitaanya dan paling besar cobaanya adalah orang yang
memiliki lidah yang lancang dan hati yang terkatup”.
Dan ia (Ibnu Hibbbaan) berkata lagi dalam kitabnya
tersebut, halaman (47): “Suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang yang
memiliki akal sehat bahwa ia lebih banyak mempergunakan telinganya dari pada
mulutnya, untuk ia ketahui kenapa dijadikan untuknya dua buah telinga satu buah
mulut?, supaya ia lebih banyak mendengar dari pada berbicara, karena apabila
berbicara ia akan menyesalinya, tapi bila ia diam ia tidak akan menyesal, sebab
menarik apa yang belum diucapkannya lebih mudah dari pada menarik perkataan
yang telah diucapkannya, perkataan yang telah diucapkannya akan mengikutinya
selalu, sedangkan perkataan yang belum diucapkannya ia mampu mengendalikannya”.
Imam Ibnu Hibbaan berkata lagi masih dalam kitabnya
tersebut, halaman (49): “Orang yang berakal sehat lidahnya dibelakang hatinya,
apabila ia ingin berbicara, ia kembalikan kepada hatinya, jika hal itu baik
untuknya baru ia bicara, jikalau tidak maka ia tidak bicara, orang yang dungu
(tolol) hatinya dipenghujung lidahnya, apa saja yang lewat diatas lidahnya ia
ucapkan, tidaklah paham tentang agama orang yang tidak bisa menjaga lidahnya”.
Imam Al Bukhary meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no
(6477) dan Imam Muslim, hadits no (2988), menurut lafaz muslim, dari Abi
Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:
((إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَّلَمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنَ مَا فِيْهَا، يَهْوِي
بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ)).
“Sesungguhnya seorang
hamba mengucapkan sebuah kalimat tampa
memikirkan apa yang terkandung dalamnya, sehingga dengan sebab kalimat tersebut
ia dicampakkan kedalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”.
Dalam potongan terakhir dari wasiat nabi terhadap Mu’az
bi Jabal yang disebutkan oleh Imam At Tirmizi dalam sunannya, hadist no (2616)
ia katakan :”ini hadist hasan dan shohih”. Bahwa Rasulullah r bersabda:
((وَهَلْ
يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ
إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ)).
“Tiadalah yang
membantingkan manusia kedalam neraka diatas muka atau hidung mereka melainkan
akibat panenan buah lidah mereka”.
Hadist ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan Mu’az
kepada Nabi r: “Wahai Nabi Allah apa kita akan di’azab
dengan sebab apa yang kita ucapkan?”.
Al Hafiz Ibnu Rajab mensyarahkan hadits tersebut dalam
kitabnya “Jami’ul ‘Ulum wal Hikam” (2/147): “Yang dimaksud dengan “panenan
buah lidah” adalah balasan dan
hukuman terhadap pembicaraan yang diharamkan; karena manusia bagaikan menabur
benih kebaikan dan kejelekan dengan perkataan dan perbuatannya, kemudian pada
hari kiamat akan dipanen apa yang ditaburnya, barangsiapa yang menabur kebaikan
baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai kemulian, sebaliknya
barangsiapa yang menabur kejelekkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia
akan menuai penyesalan”.
Ia (ibnu Rajab) berkata lagi dalam bukunya tersebut (2/146):
“Ini menunjukkan bahwa menjaga lidah dan mengontrolnya serta menahannya adalah
sumber kebaikan seluruhnya, sesungguhnya barangsiapa yang bisa menguasai
lidahnya, sungguh ia telah menguasai dan mengontrol serta bijaksana dalam
urusannya”.
Kemudian Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus
bin ‘Ubaid, sesungguhnya ia berkata: “Tidak seorangpun yang aku lihat yang
lidahnya selalu dalam ingatannya, melainkan hal tersebut berpengaruh baik
terhadap seluruh aktivitasnya”.
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsrir, bahwa ia
berkata: “tidak aku temui seorangpun yang ucapannya baik melainkan hal tersebut
terbukti dalam segala aktivitasnya, dan tidak seorangpun yang ucapannya jelek
melainkan terbukti pula hal tersebut dalam segala aktivitasnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no
(2581) dari Abu Hurairah bahwa nabi r bersabda:
((أَتَدْرُوْنَ
مَا الْمُفْلِسُ؟، قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ
مَتَاعَ، فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مَنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا،
وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَّ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا
مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ
أَنْ يَقْضِى مَا عَلَيْهِ أَخَذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ
طُرِحَ فِي النَّارِ)).
“Apakah kalian tahu
Siapakah orang yang bangrut?, para shahabat menjawab: orang yang bangrut adalah
orang yang tidak punya uang (dirham) dan tidak pula harta benda, lalu beliau bersabda:
orang yang bangrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan
amalan sholat, puasa dan zakat, namun ia datang dalam keadaan telah mencaci
orang lain, menuduhnya, memakan hartanya dan menumpahkan darah serta
memukulnya, maka amalan baiknya diberikan kepada masing-masing orang tersebut,
maka apabila kebaikannya habis sebelum melunasi hutang-hutangnya, maka diambil
dari dosa masing-masing orang tersebut lalu ditarok diatasnya, kemudian ia
dicampakan kedalam neraka”.
Imam Muslim meriwayatkan lagi dalam shohihnya, hadits
(2564) dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits yang cukup panjang, yang pada
akhir hadits tersebut diungkapkan:
((بِحَسْبِ
امْرِءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمُ
عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ ؛ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ)).
“Cukuplah untuk
seseorang sebuah kejahatan bahwa ia menghina saudaranya sesama muslim, segala
sesuatu antara muslim terhadap muslim lainnya haram; darahnya, hartanya dan
kehormatannya”.
Imam bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no
(1739) dan Imam Muslim, yang ini menurut lafaz Bukhari, dari Ibnu Abbas t bahwa Rasulullah r berkhutbah pada hari nahar (idul adha),
beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu : Hari apakah ini?, mereka
menjawab: hari yang suci, beliau bertanya lagi: negeri apakah ini?, tanah suci,
beliau bertanya lagi: bulan apakah in?, bulan yang suci, selanjutnya beliau
bersabda:
((فإِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ
يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا
مِرَاراً، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَّ
هَلْ بَلَّغْتُ؟، قَالَ ابْنُ عَبَاسٍ رضي الله عنهما فَوَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ
الْغَائِبَ لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ
بَعْضٍ)).
“Sesungguhnya darah,
harta dan kehormatan sesama kalian diharamkan diatas kalian (untuk merusaknya)
sebagaimana kesucian hari ini pada bulan yang suci ini di negeri yang suci ini,
beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata: Ya Allah apa aku
telah menyamapaikan (perintahMu)?, Ya Allah apa aku telah menyamapaikan
(perintahMu)?.
Berkata Ibnu Abbas t : Demi Allah yang jiwaku berada ditanganNya,
sesungguhnya ini adalah wasiatnya untuk umatnya, maka hendaklah yang hadir
memberitahu yang tidak hadir, “janganlah kalian kembali sesudahku kepada kekafiran,
yang mana sebahagian kalian memenggal leher yang lainnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no
(2674) dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:
((مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلَ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلَ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا)).
“Barangsiapa yang
mengajak kepada petunjuk, ia akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang
mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari
pahala mereka, barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia akan menanggung
dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari dosa
mereka”.
Berkata Al Hafiz Ibnu Munzir dalam kitabnya “Attarghib wa
Attarhiib” (1/65) dalam mengomentari hadits:
((إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ
إِحْدَى ثَلاَثَ ....)).
“Apabila anak adam
meninggal maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga hal ….”
Ia (Ibnu Munzir) berkata : “Orang yang mencatat ilmu yang
berguna baginya pahala dan pahala orang yang membacanya atau orang menyalinnya
atau beramal dengannya sesudahnya selama tulisan tersebut dan beramal dengannya
masih tetap ada, sebaliknya orang yang menulis hal yang tidak bermanfa’at
adalah diantara sesuatu yang mewajibkan dosa, baginya dosanya dan dosa orang
yang membacanya atau menyalinnya atau beramal dengannya sesudahnya selama
tulisan tersebut dan beramal dengannya masih tetap ada, sebagaimana yang
diterangkan dalam hadits-hdits yang telah berlalu diantaranya hadits:
((مَنْ
سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً )).
“Barangsiapa yang
membuat sunnah yang baik atau yang jelek”, hanya Allah yang maha tahu”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no
(6502) dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah r bersabda:
((إِنَّ
اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِياًّ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ)) الحديث.
“Sesungguhnya Allah
berkata: Barangsiapa yang memusuhi para waliku, maka sesungguhnya Aku
menyatakan perperangan terhadapnya”.
Sikap Berprasangka Jelek Dan Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain
Firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman jauhilah banyak
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain”.
Dalam ayat yang mulia ini perintah untuk
menjauhi kebanyakan dari berprasangka, karena sebahagiannya adalah dosa, dan
larangan dari mencari-cari kesalahan orang lain, yaitu mencongkel-congkel
tentang kejelekan orang lain, hal itu terjadi adalah akibat dari berburuk
sangka.
Rasulullah r bersabda:
((إِيَّاكُمْ
وَالظَنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ
تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا
وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً)).
“Aku peringatkan kepada
kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang
paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi
tentang kejelekan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling
dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang
bersaudara” (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563).
Berkata Amirul Mukminiin Umar bin Khatab: “Janganlah kamu
menyangka terhadap sebuah perkataan yang keluar dari mulut saudaramu yang
beriman kecuali terhadap hal yang baik, sa’at engkau dapat untuk membawanya
kearah yang baik”. (disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam mentafsirkan surat Alhujurat).
Berkata Bakar bin Abdullah Al Muzany, sebagaimana yang
terdapat dalam biografinya dalam kitab “Attahzibut Tahziib”: Hati-hatilah kamu
terhadap perkataan sekalipun kamu benar dalamnya kamu tidak diberi pahala, dan
jika kamu tersalah kamu memikul dosa, yaitu berburuk sangka terhadap
saudaramu”.
Berkata Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al Jurmy
sebagaimana dalam kitab “Al Hilyah” karangan Abu Nu’aim (2/285): “Bila sampai
kepadamu sesuatu yang kamu benci dari saudaramu, maka berusahalah untuk
mencarikan alasan untuknya, jika kamu tidak menemukan alasan untuknya, maka
katakanlah dalam hatimu: mungkin saja saudaraku punya alasan yang aku tidak
mengetahuinya”.
Berkata Sufyan bin Husain: “Aku menyebut kejelekan
seseorang dihadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka ia menatap mukaku, dan berkata:
apakah engkau ikut berperang melawan Romawi?, aku jawab: tidak, ia bertanya
lagi melawan Sanad, India, dan Turki, aku jawab: tidak, ia berkata lagi: apakah
merasa aman darimu Romawi, Sanad, India dan Turki, namun saudaramu sesama
muslim tidak merasa aman darimu, berkata Sufyan bin Husain: aku tidak
mengulanginya lagi sesudah itu”. (lihat Al Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu
Katsir (13/121).
Alangkah bagusnya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah
tersebut yang sangat terkenal dengan kecerdasannya, jawaban diatas adalah salah
satu bukti dari kecerdasannya.
Berkata Abu Hatim bin Hibban Al Busty dalam kitabnya
Raudhatul ‘Uqola’, halaman (131) : “Keharusan bagi orang yang punya akal untuk
tetap berada dalam keadaan selamat dari mencari-cari tentang kejelekan (‘ayib)
orang lain, hendaklah ia sibuk memperbaiki kejelekan dirinya, sesungguhnya
orang yang sibuk dengan kejelekannya sendiri dari pada mencari kejelekan orang
lain, badannya akan tentram dan jiwanya akan tenang, maka setiap ia melihat
kejelekan dirinya, maka akan semakin hina dihadapannya apabila ia melihat
kejelekan tersebut pada saudaranya, sesungguhnya orang yang sibuk dengan
kejelekan orang lain dari memperhatikan kejelekan dirinya, hatinya akan buta,
badannya akan letih, dan akan sulit baginya untuk meninggalkan kejelekan
dirinya sendiri”.
Ia (Ibnu Hibban berkata lagi) masih dalam kitab tersebut,
halaman (133): “Mencari-cari kejelekan orang lain adalah salah satu cabang dari
sifat kemunafikkan, sebagaimana berbaik sangka adalah salah satu dari cabang
keimanan, orang berakal sehat selalu berbaik sangka dengan saudaranya, dan menyendiri dengan
kesusahan dan kesedihannya, orang yang jahil (tolol) selalu berburuk sangka
dengan saudaranya, dan tidak mau berfikir tentang kesalahan dan
penderitaannya”.
Sikap Ramah Dan Berlemah-Lembut
Allah
telah menggambarkan tentang sifat NabiNya Muhammad r bahwa ssesungguhnya Ia memiliki Akhlak yang
Agung.
Firman
Allah:
{وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ } [سورة القلم].
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki
akhlak yang agung”.
Allah menggambarkannya juga dengan sifat ramah
dan lemah lembut, Allah berfirman :
{فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ}
[سورة
آل عمران]
“Maka
dengan sebab rahmat Allah-lah engkau berlemah-lembut terhadap mereka, dan
sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan
menjauhkan diri dari sekelilingmu”.
Allah menggambarkannya pula dengan sifat
berkasih-sayang dan santun terhadap orang-orang yang beriman, Allah berfirman:
{لَقَدْ
جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ} [سورة التوبة].
“Sesungguhnya
telah datang kepada kalian seorang rasul dari jenis kalian sendiri, amat berat
baginya segala yang menyusahkan kalian, sangat menginginkan untuk kalian
(segala kebaikan), amat santun dan berkasih-sayang terhadap orang-orang yang
beriman”.
Dan Rasul r sendiripun
memerintahkan untuk berlaku lemah-lembut dan menganjurkannya, beliau bersabda:
((يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا
وَلاَ تُنَفِّرُوْا))
“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu
menyulitkan, dan sebarkanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat
orang lari (darimu)”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary, no (69) dan
Imam Muslim, no (1734) dari hadits Anas.
Dan
disebutkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya, hadits no (1732) dari hadits
Abu Musa Al Asy’ary dengan lafaz:
((بَشِّرُوْا
وَلاَ تُنَفِّرُوْا ويَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا )).
“Berikanlah olehmu berita gembira dan jangan
kamu membuat orang lari (darimu), dan hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu
menyulitkan”.
Imam
Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (220) dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r berkata kepada para shahabat dalam kisah seorang badawi yang
buang air kecil dalam mesjid Rasulullah r:
((دَعُوْهُ
وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْباً مِنْ مَاءٍ
فَإِنَّمَا بُعِثُتْم مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ)).
“Biarkan ia, dan
siramlah diatas kencingnya dengan setimba air, atau semangkok air, sesungguhnya
kalian diutus untuk memberi kemudahan dan kalian tidak diutus untuk
menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dalam shohihnya, hadist no
(6927) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahwa Rasulullah r berkata kepadanya:
((يَا
عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ)).
“Wahai ‘Aisyah!
Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan dalam segala
urusan”.
Menurut lafaz Imam Muslim, hadits no (2593):
((يَا
عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ
مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya
Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan, Ia memberi diatas
kelembutan sesuatau yang tidak Ia beri dengan kekasaran, dan tidak pula dengan
selainnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no
(2594) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahwa Nabi r bersabda:
((إِنَّ
الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْـَزعُ عَنْ شَيْءٍ
إَلاَّ شَانَهُ)).
“Sesungguhnya kelembutan
tidak terdapat pada sesuatu melainkan membuatnya indah, dan tidak dicabut dari
sesuatu melainkan membuatnya jelek”.
Dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, hadits no (2592)
dari Jariir bin Abdillaht bahwa Nabi r bersabda:
((مَنْ
يُحْرَمُ الرِّفْقَ يُحْرَمُ الْخَيْرُ)).
“Barangsiapa yang diharamkan (mempunyai) sifat
lemah-lembut berarti ia telah diharamkan terhadap kebaikan”.
Sesungguhnya Allah telah menyuruh dua orang nabi yang
mulia; Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyeru Fir’aun dengan sopan dan
berlemah-lembut, Allah berfirman:
{اذْهَبَا
إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى }[سورة طه]
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya dia telah
melampaui batas (kesesatan), maka bicarah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia mendapat peringatan dan takut
(terhadap Allah).
Allah menggambarkan
tetang sifat para sahabat yang mulia dengan sifat saling berkasih sayang antara
sesama mereka, Allah berfirman:
{مُّحَمَّدٌ
رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء
بَيْنَهُمْ} [سورة الفتح].
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap
orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka”.
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Seorang Ulama
Apabila Ia Tersalah Ia Diberi ‘udzur Tanpa Dibid’ahkan Dan Tidak Pula
Dijauhi
Tidak seorangpun yang ma’sum dari kesalahan selain
Rasulullah r dan tidak seorang ulama yang tidak tersalah,
siapa yang tersalah tidak boleh diikuti kesalahannya, namun kesalahannya
tersebut tidak boleh dijadikan sebagai batu loncatan untuk mencelanya dan
menjauhkan orang lain darinya, tetapi kesalahannya yang sedikit tertutup oleh
kebenarannya yang banyak, barangsiapa yang telah meninggal diantara ulama tersebut
dianjurkan untuk mengambil faedah dari ilmu mereka bersamaan dengan itu perlu
kehati-hatian dari mengikuti kesalahannya, serta mendo’akannya semoga Allah
menmgampuni dan merahmatinya, dan barangsiapa yang masih hidup baik ia seorang
ulama atau sebagai seorang penuntut ilmu, ia diberitahu tentang kesalahannya
dengan ramah dan berlemah lembut serta mencintai bagaimana supaya ia selamat
dari kesalahan dan kembali kepada kebenaran.
Dan diantara sebahagian ulama yang terdahulu yang disisi
mereka ada sedikit kekeliruan dalam
sebahagian persoalan aqidah, namun para ulama dan penuntut ilmu tidak pernah
merasa tidak butuh terhadap ilmu mereka, bahkan buku-buku karangan mereka
merupakan rujukan-rujukan yang amat penting bagi orang-orang yang sibuk dalam
menggali ilmu syar’i, seperti Imam Al Bayhaqi, Imam An Nawawy, dan Ibnu hajar
al ‘Asqolany.
Adapun tentang Imam Ahmad bin Husain Abu Bakar Al
Bayhaqi, berkata Az Zahaby dalam kitabnya As Siyar (18/163) dan halaman
berikutnya : “Imam Al Bayhaqi adalah seorang hafiz (penghafal), seorang ulama
terkemuka, seorang yang dipercaya, seorang yang faqih (paham), syeikh Islam”.
Imam Az Zahaby menambahkan lagi: “Ia seorang yang diberi berkat dalam ilmunya,
dan menulis berbagai karangan yang bermanfa’at”. Imam Az Zahabi berkata lagi:
“Ia (Imam Al Bayhaqi) berdiam diri di desanya dan menghabiskan umurnya dengan
menuntut ilmu dan mengarang, ia menulis kitab As Sunan Al Kubro dalam
sepuluh jilid, tiada bagi seorangpun yang semisalnya”, Imam Az Zahaby juga
menyebutkan berbagai karangannya yang begitu banyak, kitabnya As Sunan Al
Kubro sudah dicetak dalam sepuluh jilid yang cukup besar, Imam Az Zahabi
menukil dari Al Hafiz Abduqhaafir bin Ismail tentang perkataannya terhadap Imam
Al Bayhaqi: “karangan Imam Al Bayhaqi mendekati seribu jilid, ini adalah
sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orangpun, ia menggabung antara ilmu
hadits dan fiqih, serta menerangkan kecacatan sebuah hadits, dan bagaimana
menggabungkan pemahaman antara dua hadits yang kontrafersi”.
Imam Az Zahaby memujinya lagi: “karya-karya Imam Al
Bayhaqi memiliki ukuran yang agung, penuh dengan faedah-faedah ilmiah, amat
sedikit orang yang mampu mengarang sebagus karya-karya Imam Al Bayhaqi, maka
sepantasnya bagi seorang ulama untuk memiliki karya-karya tersebut terutama
sekali AsSunan Al Kubro.
Adapun Imam Yahya bin Syaraf An Nawawy, telah berkata
Imam Az Zahaby dalam kitabnya Tazdkiratul Hufaazh (4/259): “Ia adalah
Imam, Al Hafiz Al Auhad (penghafal yang ulung), Al Qudwah, Syeikhul Islam,
lambang kewalian, …memiliki berbagai karangan yang bermanfa’at”, Imam Az Zahabi
berkata lagi: “bersamaan dengan itu ia mencurahkan segala kemampuan dirinya
dalam beramal sholeh dan seorang yang wara’, serta selalu merasa takut pada
Allah, dan selalu membersihkan dirinya dari berbagai kotoran dosa, dan menahan
dirinya dari berbagai keinginannya, ia seorang penghafal hadits, dan ahli dalam
segala bidang hadits dan para perawinya, serta mengetahui mana yang shohih dan
mana yang lemah, ia seorang terkemuka dalam mengetahui mazhab syafi’ie”.
Berkata Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan
Nihayah (17/540): “Kemudian Imam An Nawawy menghabiskan waktu dengan
menulis sehingga ia telah mengarang karya yang cukup banyak, diantaranya ada
yang sempurna dan diantaranya ada yang belum selesai, diantara karangannya yang
sempurna adalah; Syarah shohih Imam Muslim, Ar Raudhoh, Al Minhaaj, Riyadhus
sholihiin, Al Azkaar, At Tibyaan, Tahriir At Tanbiih wat Tashhihi, Tahziib Al Asma’ wal Lugqaat,
dan At Thobaqaat
dan lain-lainnya, dan diantara karyanya yang belum selesai -kalau sekiranya
selesai tidak ada tandingan baginya dalam pembahasannya- seperti Syarah Al
Muhazzab yang beliau beri judul Al Majmu’ yang hanya sampai pada pembahasan kitab riba,
ia menulisnya dengan sanga baik dan mantab, menuangkan berbagai faedah dan
sangat bagus dalam memilih dan memilah suatu pendapat, ia meredaksi hukum yang
terdapat dalam mazhab dan lainnya serta mengkoreksi hadits sebagaimana
mestinya, dan menerangkan kata-kata yang qharib (asing), ilmu bahasa serta
berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan kecuali dalamnya, saya belum
menemukan kitab fiqih yang lebih bagus darinya, sekalipun ia masih perlunya
penambahan dan penyempurnaan terhadapnya”.
Bersamaan dengan luas dan bagusnya karya-karyanya, Ia
(Imam An Nawawy) tidak memiliki usia yang cukup panjang, umur beliau hanya
sekitar empat puluh lima
tahun, ia lahir pada tahun (631 H) dan meninggal pada tahun (676 H).
Adapun Al Hafiz Ahmad bin Ali bin hajar Al ‘Asqolany, ia
adalah seorang imam yang terkenal dengan karangannya yang cukup banyak, yang
paling terpenting adalah Syarah shohih Al Bukhary yang merupakan sebagai
rujukan penting bagi para ulama, dan diantaranya lagi; Al Ishobah, Tahziibut
Tahziib, At Taqriib, Lisaanul Mizaan, ta’jiilul Manfa’ah dan Buluqhul Maraam
dan lain-lainnya.
Dan diantara ulama yang hidup pada sekarang adalah
Syeikh, Al ‘alamah, Al Muhaddits, Muhammad Nashiruddin Al Abany, yang saya
belum mengetahui ada orang yang sebanding dengan beliau pada sekarang ini dalam
memelihara hadits dan mengadakan penelitian yang luas dalamnya, walaupun
demikian halnya beliau pun tak terlepas dari berbagai kesalahan seperti dalam
masalah hijab dan menetapkan bahwa menutup muka tidak wajib bagi wanita, tapi
hanya disunahkan (mustahab) walau sekalipun apa yang beliau katakan tersebut
adalah benar maka sesungguhnya hal tersebut diangggap dari kebenaran yang
semestinya tidak diekspos, karena berakibat akan berpegangnya sebahagaian
wanita yang suka buka-bukaan terhadap pendapat tersebut, begitu juga pendapat
beliau dalam sifat sholat nabi r: Bahwa meletakkan tangan diatas dada setelah
bangkit dari rukuk adalah bid’ah yang sesat, sedang hal tersebut adalah masalah
khilafiyah, begitu juga pendapatnya dalam kitabnya silsilah dho’ifah
hadits no (2355): Bahwa siapa yang tidah memotong jenggotnya yang lebih dari
kepalan adalah bid’ah idhofiah, begitu juga pendapatnya: Tentang haramnya
memakai perhiasan emas bagi wanita, sekalipun saya menentang berbagai
pendapatnya tersebut maka saya ataupun orang selain saya tidak pernah merasa
tidak butuh terhadap karya-karya beliau serta menimba faedah dari karyanya
tersebut.
Betapa indahnya perkataan Imam Malik: “Setiap orang
berhak untuk diterima atau ditolak pendapatnya kecuali penghuni kuburan ini dan
ia menunjuk kuburan Nabi r”.
Inilah berbagai nukilan dari sekelompok Ahli ilmu dalam
menentukan dan menjelaskan tentang tertutupnya kesalahan seorang ulama dalam
kebenarannya yang banyak.
Berkata Sa’id bin Musayyib (wafat 93 H): “Tiada seorang
ulamapun, tidak pula seorang yang mulia dan seorang yang memiliki keutamaan
kecuali ia memiliki kelemahan (aib) tetapi barangsiapa yang keutamaannya jauh
lebih banyak dibanding kekurangannya, maka kekurangannya hilang oleh
keutamaannya, sebagaimana orang yang lebih dominan kekurangannya hilang keutamaannya”.
Berkata lainnya: “Tidak seorang ulamapun yang selamat
dari kesalahan, barangsiapa yang kesalahannya sedikit dan kebenarannya banyak
maka ia adalah seorang yang ‘alim, dan barangsiapa kebenarannya sedikit dan
kesalahannya banyak maka ia adalah jahil (tolol)”. (lihat Jami’ul ‘ulum wal
Hikam karangan Ibnu Rajab (2/48).
Berkata Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H): “Apabila
kebaikan seseorang lebih dominan dari kejelekannya tidaklah disebut
kejelekannya, dan apabila kejelekan seseorang lebih dominan dari kebaikannya
tidaklah disebut kebaikkannya”. (lihat siar A’laam An Nubala’ karangan Az Zahaby (8/352).
Berkata Imam Ahmad (wafat 241 H) : “Tidak seorangpun yang
melewti jembatan dari negeri Khurasan seperti Ishaq bin Rahuyah, sekalipun ia
berbeda pendapat dengan kita dalam beberapa hal, sesungguhnya para ulama
senantiasa sebagian mereka menyalahi pendapat bagian yang lainnya”. (lihat siar
A’laam An Nubala’ (11/371).
Berkata
Abu Hatim bin Hibbaan (wafat 354 H) : “Abdulmalik bin Abi Sulaiman adalah seorang
pilihan Ahli Kuffah dan diantara penghafalnya, kebanyakan orang yang hafal dan
merawikan hadits dari hafalannya kemungkinan ada salahnya, bukanlah suatu
keadilan ditinggalkannya hadits seorang syeikh yang telah kukuh keadilannya dengan sebab adanya kesalahan dalam riwayatnya,
jika kita menempuh cara seperti ini (membuang setiap riwayat orang yang
tersalah) melazimkan kita untuk menolak hadits Az Zuhry, Ibnu Juraij, As Staury, dan Syu’bah, karena
mereka adalah para penghafal yang matang, sebab mereka juga meriwayatkan hadits
dari hafalan mereka juga, sedangkan mereka bukanlah seorang yang ma’sum
sehingga mereka tidak pernah keliru dalam riwayat mereka, tetapi untuk lebih
berhati-hati dan yang utama dalam hal ini adalah diterimanya apa yang diriwayatkan
oleh seorang yang telah kukuh keadilannya dari berbagai riwayat, dan
meninggalkan sesuatu yang telah jelas bahwa ia keliru dalamnya selama hal
tersebut tidak melampaui batas darinya sehingga mengalahkan kebenarannya, jika
hal demikian terjadi padanya maka ia berhak untuk ditinggalkan seketika itu”.
(lihat Ats Tsiqaat (7/97-98).
Berkata
Syeikhul Islam Ibnu Taymiah (wafat 728 H) : “Diantara hal yang perlu diketahui
tentang berbagai golongan yang berintisab terhadap figur tertentu dalam
usuluddin dan ilmu kalam mereka bertingkat-tingkat, diantara mereka ada yang
menyalahi Ahlus Sunnah dalam pokok-pokok yang mendasar, dan diantara mereka ada
menyalahi dalam persoalan yang kecil, barangsiapa yang membantah terhadap yang
lainnya dari berbagai golong yang melenceng jauh dari Sunnah, maka ia dipuji
terhadap bantahannya atas kebatilan dan ucapannya yang sesuai dengan kebenaran,
tetapi ia telah melampaui batas keadilan ketika ia mengingkari sebahagian
kebenaran dan mengatakan sebahagian kebatilan, maka ia telah menolak bid’ah
yang besar dengan bid’ah yang lebih kecil darinya, dan menolak kebatilan dengan
kebatilan yang lebih ringan darinya, inilah keadaan kebanyakan Ahli kalam yang
berintisab kepada Ahlus Sunnah wal Jam’ah.
Mereka
yang seperti demikian halnya selama mereka tidak menjadikan bid’ah tersebut
sebagai pendapat yang menyingkirkan mereka dari jama’ah kaum muslim yaitu
menjadikannya sebagai termoter dalam memilih teman dan memilah lawan, maka hal
tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan, Allah Subhanah mengampuni bagi
orang-orang yang beriman terhadap kesalahan mereka seperti demikian.
Karena
hal seperti ini banyak terjadi dikalangan para ulama salaf, berbagai pendapat
mereka yang mereka katakan melalui berijtihat, sedangkan pendapat tersebut
bertentangan dengan apa yang sudah tetap dalam Al Quran dan Sunnah, lain halnya
dengan orang yang menjadikannya sebagai pola ukur dalam memilih teman dan
memilah lawan, serta memecah belah antara sesama kaum muslim, atau mengkafirkan
dan memfasikkah orang yang tidak setuju dengan berbagai pendapat dan
ijtihadnya, bahkan menghalalkan darah orang yang tidak setuju dengan
pendapatnya, mereka tersebut adalah termasuk kelompok suka memecah belah dan
bertengkar. (lihat majmu’ fatawa; 3/348-349).
Dan ia berkata lagi (19/191-192); “Kebanyakan dari para
mujtahid ulama salaf dan khalaf (terakhir) telah berkata dan mengerjakan
perbuatan yang termasuk bid’ah tampa mereka sadari bahwa perbuatan tersebut
adalah bid’ah, adakalanya karena mereka berpedoman pada hadits dhoif yang menurut
perkiraan mereka shohih, dan adakalanya karena salah dalam memahami maksud
sebuah ayat, atau karena ijtihat mereka sedangkan dalam masalah tersebut ada nash (dalil) yang
menjelaskannya namun nash tersebut tidak sampai kepadanya, apabila seorang
melakukan ketaqwaan kepada Allah sebatas kesanggupannya maka ia telah termasuk
dalam firman Allah:
{رَبَّنَا لاَ
تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا}
“Ya tuhan kami janganlah engkau azab kami
jika kami lupa dan tersalah”. Dalam shohih Bukhary bahwa Allah menjawab:
“Sungguh Aku telah memperkenankannya”.
Berkata
Imam Az Zahaby (wafat 748 H) : “Sesungguhnya seorang ulama besar apabila
kebenarannya cukup banyak, dan diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran
kemudian ia seorang yang memiliki ilmu yang luas, cerdas, sholeh, wara’ dan
mengikuti sunnah, kesalahannya diampuni maka kita tidak boleh menyesatkan dan
menjatuhkannya, atau kita melupakan segala kebaikkannya, suatu yang sudah
diakui bahwa kita dilarang untuk mencontoh bid’ah dan kesalahannya tersebut,
kita mengharapkan semoga ia bertaubat dari
kesalahannya tersebut”. (lihat Siyar A’lam An Nubalak: 5/271).
Berkata
lagi Imam Az Zahaby: “Jika setiap tersalahnya seorang ulama dalam berijtihad
dalam salah satu masalah yang mana kesalahan tersebut dalam hal yang bisa
dima’afkan lalu kita bersama-sama membid’ahkan dan menjauhinya tidak seorangpun
yang akan bisa selamat bersama kita sekalipun Ibnu Naashir atau Ibnu
Mandah atau ulama yang lebih tua dari mereka berdua, hanya Allah yang mampu
menunjuki makhluk kepada kebenaran, Ia-lah yang paling kasih diatas segala
makhluk, maka kita berselindung dengan Allah dari mengikuti hawa nafsu dan
kekasaran dalam bertutur kata”. (lihat As Siyar : 14/39-40).
Ia
berkata lagi: “Dan jika setiap siapa saja yang tersalah dalam ijtihadnya
-sekalipun (sudah diketahui) keshohihan imannya dan konsekwennya ia dalam
mengikuti kebenaran-, kita membuang dan membid’ahkannya, sungguh sangat sedikit
sekali dari para ulama yang bisa selamat bersama kita, semoga Allah merahmati
kita semua dengan anugrah dan kemuliannya”. (lihat As Siyar : 14/376).
Ia
berkata lagi: “Kita mencintai Sunnah dan pengikutnya, dan kita mencintai
seorang ulama yang terdapat padanya sikap mengikuti Sunnah lagi memiliki
sifat-sifat yang terpuji, namun kita tidak menyukai bid’ah yang dilakukannya
akibat penakwilan yang wajar, sesungguhnya yang menjadi I’tibar adalah dengan
banyaknya kebaikannya”.
Berkata
Imam Ibnul Qoyyim (wafat 751 H) : “Mengenal keutamaan para ulama Islam,
kehormatan dan hak-hak mereka serta tingkatan mereka, bahwa mereka memiliki
keutamaan, ilmu dan nasehat untuk Allah dan Rasulnya, tidaklah memestikan kita
untuk menerima segala yang mereka katakan, bila terdapat dalam fatwa-fatwa
mereka dari berbagai masalah yang tersembunyi diatas mereka apa yang dibawa
oleh rasul r lalu mereka berfatwa sesuai dengan ilmu mereka sedangkan yang
benar adalah sebaliknya, tidaklah
semestinya kita membuang pendapatnya secara keseluruhan atau mengurangi rasa
hormat dan mencela mereka, dua macam tindakan tersebut adalah melenceng dari
keadilan, jalan yang adil adalah diatara keduanya, maka kita tidak menyalahkannya
secara mutlak dan tidak pula mensucikannya dari berbuat salah”, sampai pada
pekataannya: “Barangsiapa yang memiliki ilmu dalam agama kenyataan menunjukkan
bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang
baik untuk Islam, dia juga seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam,
boleh jadi terdapat padanya kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir bahkan
ia diberi pahala karena ijtihadnya, maka ia tidak boleh diikuti dalam
kesalahannya tersebut namun tidak pula dijatuhkan kehomatan dan kedudukannya
dari hati kaum muslim”. (lihat I’laamul Muwaaqi’iin : 3/295).
Berkata Ibnu Rajab Al Hambaly (wafat 795 H) : “Allah
enggan untuk memberikan kema’suman untuk kitab selain kitabNya, seorang yang
adil adalah orang yang mema’afkan kesalahan seseorang yang sedikit dihapan
kebenarannya yang banyak”. (lihat Alqawa’id , hal: 3).
Fitnah Caci Maki Dan Saling
Hajar Dari Sebagian Ahlus Sunnah Pada Masa ini Dan Bagaimana Jalan Selamat Dari
Hal tersebut
Terjadi pada zaman ini
sibuknya sebagian Ahlus Sunnah terhadap sebagian yang lainnya sikap saling caci
dan saling tahzir (waspada), hal demikian telah menimbulkan perpecahan dan
perselisihan serta sikap saling Hajar (menjauhi), sepantasnya yang ada diantara
mereka bahkan suatu keharusan adalah saling kasih dan saling sayang, dan mereka
menyatukan barisan mereka dalam menghadapi para ahli bid’ah dan Ahli Ahwa’
(pengikut nafsu sesat) yang mereka tersebut para penentang Ahlus Sunnah wal
Jam’ah, hal yang demikian disebabkan oleh dua sebab;
Pertama: Sebahaqian Ahlus Sunnah pada masa ini ada yang kebiasaan dan
kesibukkannya mencari-cari dan menyelidiki kesalahan-kesalahan baik lewat
karangan-karangan atau lewat kaset-kaset, kemudian mentahzir (peringatan untuk
dijauhi) barangsiapa terdapat darinya suatu kesalahan, bahkan diantara
kesalahan tersebut yang membuat seseorang bisa dicela dan ditahzir disebabkan
ia bekerja sama dengan salah satu badan sosial agama (jam’iyaat khairiyah)
seperti memberikan ceramah atau ikut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh
badan sosial tersebut, pada hal syeikh Abdu’aziz bib Baz dan syeikh Muhammad
bin sholeh Al ‘Utsaimin sendiri pernah memberikan muhadharah (ceramah) terhadap
badan sosial tersebut lewat telepon, apakah seseorang layak untuk dicela karena
ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan oleh dua orang ulama besar tentang
kebolehannya, dan lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu
dari pada menyalahkan pendapat orang lain, terlebih-lebih apabila pendapat
tersebut difatwakan oleh para ulama besar, oleh sebab itu sebagian para sahabat
Nabi r selepas perjanjian Hudaybiyah berkata: “Wahai para manusia!,
hendaklah kalian mengkoreksi pendapat akal (arro’yu) bila bertentangan dengan
perintah agama”.
Bahkan diantara
orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfa’at yang cukup besar, baik dalam
hal memberikan pelajaran-pelajaran, atau melalui karya tulis , atau berkhutbah,
ia ditahzir cuma karena gara-gara ia tidak pernak diketahui berbicara tentang
sipulan atau jama’ah tertentu umpamanya, bahkan celaan dan tahziran tersebut
sampai merembet kebahagian yang lainnya di negara-negara arab dari orang-orang
yang manfa’atnya menyebar sangat luas dan perjuangnya cukup besar dalam
menegakkan dan menyebarkan Sunnah serta berda’wah kepadanya, tidak ragu lagi
bahwa mentahzir seperti mereka tersebut adalah sebuah tindakan menutup jalan
bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka
dalam mempelajari ilmu dan akhlak yang mulia.
Kedua: Sebahagian dari Ahlus Sunnah apabila ia melihat salah seorang
dari Ahlus Sunnah melakukan kesalahan spontan ia menulis sebuah bantahan
terhadapnya, kemudian orang yang dibantahpun membalas dengan menulis bantahan
pula, kemudian masing-masing dari keduanya saling sibuk membaca tulisan yang
lainnya atau ceramah serta mendengar kaset-kasetnya yang sudah lama demi untuk
mengumpulkan berbagai kesalahan dan ‘aibnya, boleh jadi sebahagiannya berbentuk
keterledoran lidah, ia melakukan hal tersebut dengan sendirinya atau orang lain yang melakukan hal itu untuknya,
kemudian masing-masing keduanya berusaha mencari pendukung untuk membelanya
sekaligus untuk meremehkan pihak lain, kemudian pendukung dari kedua belah
pihak berusaha memberikan dukungan terhadap pendapat orang yang didukungnya dan
mencela pendapat lawannya, dan memaksa setiap orang yang mereka temui untuk
menunjukkan pendirian terhadap orang yang tidak didukungnya, jika tidak
menunjukan pendiriannya ia dibid’ahkan mengikuti bagi penbid’ahan terhadap
pihak lawannya, kemudian hal yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk
menhajarnya (mengucilkannya). Tindakan para pendukung dari kedua belah bihak
termasuk sebagai penyebab yang paling utama dalam muncul dan semakin
menyebarnya fitnah dalam bentuk sekala luas, dan keadaan semakin bertambah
parah lagi apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaan
tersebut melalui internet, kemudian generasi muda dari Ahlus Sunnah di berbagai
negara bahkan di berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan yang
tersebar di webset masing-masing kedua belah pihak tentang kata ini kata itu
yang tidak membuahkan kebaikan tapi hanya membawa kerusakan dan perpecahan, hal
itu telah membuat pendukung kedua belah pihak yang bertikai untuk selalu mojok
didepan kaca iklan untuk mengetahui berita apa yang sedang tersebar, tak
ubahnya seperti orang yang terfitnah oleh club-club olahraga yang mana
masing-masing pendukung memberikan supor untuk clubnya, sehingga hal yang
demikian telah menimbulkan diantara mereka persaingan, keberingasan dan
pertengkaran.
Jalan untuk selamat dari
fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini :
Pertama
: Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahzir perlunya
memperhatikan hal yang berikut ;
1.
Hendaknya
orang yang menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu
serta mentahzir terhadap mereka tersebut hendaklah ia merasa takut kepada
Allah, lebih baik ia menyibukan diri dengan memeriksa aib-aibnya supaya ia
terlepas dari aibnya tersebut, dari pada ia sibuk denga aib-aib orang lain, dan
menjaga kekekalan amalan baiknya jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia
dan membagi-bagiakannya kepada orang yang dicela dan dicacinya, sedangkan ia
sangat butuh dari pada orang lain terhadap amal kebaikan tersebut pada hari
yang tiada bermanfaat pada hari itu harta dan anak keturunan kecuali orang yang
datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
2.
Hendaklah
ia menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang bermanafaat dari pada ia sibuk
melakukan celaan dan tahziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari
ilmu tersebut supaya ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat
manfa,at dan bermanfa’at, maka dianatra pintu kebaikan bagi seorang manusia
adalah bahwa ia sibuk dengan ilmu, belajar, mengajar, berda’wah dan menulis,
apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan
yang membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan
para penuntut ilmu dari Ahlus Sunnah serta menutup jalan yang menghubungkan
untuk mengambil faedah dari mereka sehingga ia menjadi golongan penghancur,
orang yang sibuk dengan celaan seperti ini, tentu ia tidak akan meninggalkan
sesudahnya ilmu yang dapat memberi manfa’at serta manusia tidak akan merasa
kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang memberi mereka manfa’at,
justru dengan kepergiannya mereka merasa selamat dari kejahatannya.
3.
Bahwa
ia menganjurkan kepada para generasi muda dari Ahlus Sunnah pada setiap tempat
untuk menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang
bermanfa’at dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah
seperti Syeikh Bin Baz dan Syeikh Bin Al ‘Utsaimin, dari pada menyibukan diri
mereka dengan menelepon sipulan dan sipulan untuk bertanya; (apa pendapat
engkau tentang sipulan atau sipulan?), dan (apa pula pandanganmu terhadap
perkataan sipulan terhadap sipulan?), dan (perkataan sipulan terhadap
sipulan?).
4.
Hendaknya
ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang hal orang-orang yang menyibukan
dirinya dengan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada tim
komisi pemberi fatwa di Riyadh untuk bertanya tentang hal mereka tersebut,
apakah mereka tersebut berhak untuk dimintai fatwanya dan boleh menutut ilmu
darinya atau tidak?, dan barang siapa yang betul-betul tau tentang hal
seseorang tersebut hendaklah ia menulis surat kepada tim komisi pemberi
fatwa tentang apa yang diketahuinya tentang halnya untuk sebagai bahan
pertimbangan dalam hal tersebut, supaya hukum yang lahir tentang celaan dan
tahziran timbul dari badan yang bisa dipercaya fatwa mereka dalam hal
menerangkan siapa yang boleh diambil darinya ilmu dan siapa yang bisa dimintai
fatwanya. Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya badan resmilah sebagai tempat
rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa dalam hal mengetahui tentang
siapa yang boleh dimintai fatwanya dan diambil darinya ilmu, dan janganlah
seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam seperti hal-hal yang penting
ini, sesungguhnya diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan
perkara yang tidak menjadi urusannya.
Kedua
: Apa yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang tersalah, perlunya
memperhatikan hal-hal berikut.
1.
Bantahan
tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah lembut dan disertai oleh
harapan yang tulus dalam menyelamatkan orang yang tersalah tersebut dari
kesalahannya, ketika kesalahan tersebut jelas lagi nyata, dan perlunya merujuk
kepada bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syeikh Bin Baz –رحمه
الله-
untuk mengambil faedah darinya dalam hal cara-cara bagaimana selayaknya sa’at
menulis sebuah bantahan.
2.
Apabila
bantahan tersebut terhadap sebuah kesalahan yang kurang jelas, tetapi ia dari
jenis persoalan yang bantahan terhadapnya mengandung sisi benar dan sisi salah,
maka untuk memutuskan persoalan tersebut perlunya merujuk kepada tim komisi
pemberi fatwa, adapun apabila kesalahan tersebut jelas, bagi siapa yang
dibantah perlunya kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada
kebenaran lebih baik dari pada berlarut-larut dalam kebatilan.
3.
Apabila
seorang telah melakukan bantahan terhadap orang lain maka sesungguhnya ia telah
melaksanakan kewajibannya, selanjutnya ia tidak perlu menyibukkan dirinya untuk
mengikuti gerak-gerik orang yang dibantahnya, tetepi ia menyibukan diri dengan
menuntut ilmu yang akan membawa manfa’at sangat besar untuk dirinya dan orang
lain, beginilah sikap Syeikh Bin Baz -رحمه الله-.
4.
Tidak
dibolehkannya seorang penuntut ilmu menguji yang lainnya, bahwa mengharuskannya
untuk memiliki sikap tegas terhadap yang dibantah atau yang membantah, jika setuju ia selamat dan jika tidak ia
dibid’ahkan dan dihajar (dikucilkan). Tidak seorangpun yang berhak menisbahkan
kepada manhaj Ahlus Sunnah sikap ketidak beraturan seperti ini dalam
membid’ahkan dan menghajar. Begitu juga tidak seorangpun yang berhak menuduh
orang yang tidak melalui cara yang kacau seperti ini bahwa orang tersebut
penghancur bagi manhaj salaf. Hajar yang bermanfa’at dikalangan Ahlus Sunnah
adalah apa yang dapat memberikan manfa’at bagi yang dihajar (dikucilkan),
seperti orang tua mengucilkan anaknya, Dan seorang Syeikh terhadap muridnya,
dan begitu juga pengucilan yang datang dari seorang yang mempuyai kehormatan
dan kedudukan yang tinggi, sesungguhnya pengucilan mereka sangat berfaedah bagi
orang yang dikucilkan, adapun apabila hal itu dilakukan oleh sebagian penuntut
ilmu terhadap sebagaian yang lainnya apalagi bila disebabkan oleh persoalan
yang tidak sepantasnya ada hal pengucilan dalam persoalan tersebut, hal yang
demikian tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan akan
berakibat terjadinya keberingasan dan pertengkaran serta perpecahan.
Berkata Syeikh Islam
Ibnu Taymiyah dalam kumpulan fatwanya (3/413-414)
ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah: “Pendapat yang
benar adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa sesungguhnya Yazid
tersebut tidak dikhususkan kecintaan terhadapnya dan tidak pula boleh
melaknatnya, bersamaan dengan itu sekalipun ia seorang yang fasik atau seorang
yang zholim maka Allah mengampuni dosa seorang yang fasik dan dosa seorang yang
zholim apalagi bila ia memiliki kebaikan-kebaikan yang cukup besar,
sesungguhnya Imam Bukhari telah meriwayakan dalam shohihnya dari Ibnu Umart, bahwa Nabi r bersabda: ((أَوَلُ جَيْشٍ يَغْزُو
الْقَسْطَنْطِيْنِيَّةَ مَغْفُوْرٌ لَهُ))
“Pasukan yang pertama
sekali memerangi Al Qasthanthiniyah bagi mereka keampunan”.
Pasukan yang pertama
sekali memerangi Al Qasthanthiniyah komandan mereka adalah Yazid bin Mu’awiyah
dan termasuk bersama pasukan tersebut Abu Ayub Al Anshory…maka yang wajib dalam
hal tersebut adalah pertengahan dan berpaling dari membicarakan Yazid serta
tidak menguji kaum muslim dengannya, karena hal ini adalah termasuk bid’ah yang
menyalahi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Ia berkata lagi (3/415):
“Dan demikian juga memecah belah antara umat dan menguji mereka dengan sesuatu
yang tidak pernah diperintahkan Allah dan RasulNya”.
Dan Ia berkata lagi
(20/164): “Tidak seorangpun yang berhak menentukan untuk umat ini seorang figur
yang diseru untuk mengikuti jalannya, yang menjadi pola ukur dalam menentukan
wala’ (berloyalitas) dan bara’ (memusuhi) selain Nabi r, begitu juga tidak seorangpun yang berhak menentukan suatu
perkataan yang menjadi pola ukur dalam berloyalitas dan memusuhi selain
perkataan Allah dan RasulNya serta apa yang menjadi kesepakatan umat, tetapi
perbuatan ini adalah kebiasaan Ahli bid’ah, mereka menentukan untuk seorang
figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat, mereka menjadikan pendapat tersebut atau nisbah
(gelaran) tersebut sebagai pola ukur dalam berloyalitas dan memusuhi”.
Ia berkata lagi
(28/15-16): “Apabila seorang guru atau ustaz menyuruh mengucilkan seseorang
atau menjatuhkan dan menjauhinya atau yang seumpamanya seorang murid harus
mempertimbangkan terlebih dulu, jika orang tersebut telah melakukan dosa secara
agama ia berhak dihukum sesuai dengan dosa tampa berlebihan, dan jika ia tidak
melakukan dosa secara agama maka ia tidak boleh dihukum dengan sesuatu apapun
karena berdasarkan keinginan seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi
para guru mengelompokan para manusia dan menanamkan rasa permusuhan dan
kebencian antara mereka, tetapi hendaklah mereka seperti saling bersaudara yang
saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan ketaqwaan, sebagaimana
firman Allah:
{وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ} [سورة المائدة : 2].
“Dan tolong menolonglah
kamu dalam berbuat kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu saling tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
Berkata Al Hafiz Ibnu Rajab dalam mensyarahkan hadits:
((مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)).
“Diantara ciri baiknya Islam seseorang adalah Ia meninggalkan
sesuatu yang tidak menjadi urusannya”.
Dalam kitabnya Jami’ul
‘Ulum wal Hikam (1/288): “Hadits ini mengadung pokok yang amat penting
diantara pokok-pokok adab, telah menceritakan Imam Abu ‘Amru bin Ash Sholah
dari Abi Muhammad bin Abi Zeid (salah seorang imam mazhab malikiyah pada
zamannya) bahwa ia berkata: “Kumpulan berbagai adab dan himpunannya bercabang
dari empat hadits; sabda Nabi r:
((مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ
لِيَصْمُتْ)).
“Barang
siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat maka hendaklah ia mengucapkan
perkataan yang baik atau lebih baik diam”.
Dan
sabdanya r:
((مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمْ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)).
“Diatara ciri baiknya
Islam seseorang adalah Ia meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi urusannya”.
Dan sabdanya r dalam wasiatnya yang singkat:
((لاَ
تَغْضَبْ))
“Jangan marah”, dan
sabdanya:
((الْمُؤْمِنُ
يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ)).
“Seorang mukmin
mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya”.
Aku berkata (penulis) :
Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu untuk beradab dengan adab-adab ini
yang mendatangkan untuk mereka dan untuk selain mereka kebaikan dan faedah,
serta menjauhi sikap kasar dan kata-kata kasar yang tidak akan membuahkan
kecuali permusuhan, perpecahan, saling benci dan mencerai beraikan persatuan.
5. Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasehati dirinya, hendaklah
ia memalingkan perhatiannya dari mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan
internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai,
ketika mempergunakan jaringan internet hendaklah menghadapkan perhatiannya pada
webset Syeikh Abdul’aziz bin Baz -رحمه الله- dan membaca berbagai karangan dan fatwanya yang jumlahnya sampai
sekarang dua puluh satu jilid, dan fatwa tim komisi fatwa yang jumlahnya
sampai sekarang dua puluh jilid, begitu juga webset Syeikh Muhammad bin
‘Utsaimin -رحمه الله- dan
membaca buku-buku dan faywa beliau yang cukup banyak lagi luas.
Sebagai penutup saya
wasiatkan kepada para penuntut ilmu supaya mereka bersyukur kepada Allah atas
taufik yang diberikanNya kepada mereka; ketika Allah menjadikan mereka diantara
orang-orang yang menuntut ilmu, dan hendaklah mereka menjaga keikhlasan mereka
dalam menuntut ilmu tersebut dan mengorbankan segala yang berharga untuk
mendapatkannya, serta menjaga waktu untuk selalu sibuk dengan ilmu;
sesungguhnya ilmu tidak bisa diperoleh dengan cita-cita belaka serta tetap
kekal dalam kemalasan dan keloyoan.
Telah berkata Yahya bin
Abi Katsir Al Yamamie: “Ilmu tidak bisa diperoleh dengan ketenangan badan”,
diriwayakan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dengan sanadnya kepadanya (yahya)
ketika ia (Imam Muslim) menyebukan hadits-hadits yang berhubungan dengan waktu
sholat.
Banyak terdapat
ayat-ayat dalam kitab Allah yang menerangakan tentang kemulian ilmu dan
keutamaan penuntut ilmu begitu juga dalam hadits-hadits Nabi r;
Seperti firman Allah:
{شَهِدَ اللّهُ
أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ} [سورة آل عمران :].
“Allah dan para malaikat
serta orang-orang yang berilmu menyatakan bahwa tiada tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia (Allah)(1).
Dan firman Allah:
{قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ}[سورة الزمر]
“Katakanlah: Apakah sama
orang-orang yang mengethui dengan orang-orang yang tidak mengetahui”.
Juga Firman Allah:
{يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ}[سورة
المجادلة :].
‘Allah meninggikan
derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang berilmu
dengan beberapa derajat”.
Firman Allah lagi:
{وَقُل رَّبِّ
زِدْنِي عِلْمًا} [سورة طه : 114].
“Dan
katakanlah: Ya tuhanku tambahlah ilmuku”.
Adapun
hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan penuntunya,
diantaranya adalah sabda Rasulullah r:
((مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ)).
“Barangsiapa yang dikehedaki Allah untuknya
kebaikan, Allah menjadikannya orang yang faham tentang agama”. Hadits ini
diriwayakan oleh Bukhary (no 71) dan Muslim (no 1037).
Hadist
ini menunjukkan bahwa diantara tanda Allah mengkehendaki kebaikan untuk seorang
hamba adalah bahwa Allah menjadikannya seorang yang faham tentang agama, karena
dengan kepafahamannya tentang agama ia akan beribadah kepada Allah dengan
hujjah yang nyata dan menda’wahi orang lain dengan hujjah yang nyata pula.
Dan
sabda Rasulullah r:
((خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ)).
“Sebaik-baik
kamu adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya”. Diriwayatkan
Bukhari (no 5027).
Dan
sabda Rasulullah r ((إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ
بِهِ آخَرِيْنَ)) :
“Sesungguhnya
Allah mengangkat dengan kitab ini (Al Quran) beberapa kaum dan merendahkan yang
lainnya”. Diriwayatkan Muslim (no 817).
Dan
sabdanya lagi:
((نَضَّرَ
اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا)).
“Allah
menjanjikan kenikmatan untuk seorang yang mendengar perkataanku, maka ia
menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana yang didengarnya”. Ini adalah
hadits yang mutawatir yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang
sahabat, telah aku sebutkan riwayat-riwayat mereka tersebut dalam kitab saya “Dirasah
Hadits ((نَضَّرَ
اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِي)) riwayah dan diroyah”.
Dan
sabda beliau lagi:
((مَنْ سَلَكَ
طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْماً سَلَكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ طَرِيْقاً
مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضاً لِطَالِبِ
الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمِ لَيَسْتَغْفِرَ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ ومَنْ
فِي الْأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَماً، وَرَّثُوْا
الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ)).
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk
mencari ilmu dalamnya, berarti Allah telah memasukkan kepada salah satu jalan
dari jalan-jalan surga, sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya(1) dengan penuh keredhaan untuk penuntut
ilmu, sesungguhnya penghuni langit dan bumi sekalipun ikan dalam air memohankan
ampun untuk seorang ‘alim, sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim diatas seorang
ahli ibadah seperti keutamaan cahaya bulan purnama atas cahaya bintang-bintang,
sesungguhnya para ulama adalah pewaris dari para nabi-nabi, sesungguhnya para
nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka mewariskan ilmu barangsiapa yang
mengambilnya sesungguhnya ia telah mendapatkan warisan tersebut dengan bagian
yang banyak”. Hadits ini riwayatkan oleh Abu Daud (no 3628) dan lainnya,
silahkan lihat takhrijnya dalam “Shohih At Targhiib wat Tarhiib” (no 70), dan
Ta’liiq musnad Imam Ahmad (no 21715), Ibnu Rajab telah mensyarahkannya dalam
sebuah tulisannya, potongan pertama dari hadits tersebut terdapat dalam shohih
Imam Muslim (no 2699).
Juga
sabda Rasulullah r:
((إِذَا مَاتَ
اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ
لَهُ)).
“Apabila seorang manusia meninggal terputus
darinya segala amalannya kecuali tiga macam; yaitu sadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at, atau anak yang sholeh yang
mendo’akannya”.
Hadits ini diriwayakan Muslim (no 1631).
Dan sabda beliau lagi:
((مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلَ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلَ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا)).
“Barangsiapa yang
mengajak kepada petunjuk, ia akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang
mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari
pahala mereka, barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia akan menanggung
dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari dosa
mereka”. Diriwayatkan oleh Muslim (no 2674).
Dan aku wasiatkan juga kepada seluruhnya untuk menjaga
waktu dan mengisinya dengan apa yang membawa kebaikan untuk segenap manusia,
karena Rasulullah r bersabda:
((نِعْمَتَانِ
مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ؛ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ)).
“Dua nikmat kebanyakan
dari manusia tertipu dalam keduanya; kesehatan dan waktu kosong”.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shohihnya (no 6412), ia
adalah hadits yang pertama yang disebutkannya dalam kitab Ar Riqooq, ia
juga menyebutkan dalam kitab tersebut sebuah Atsar dari Ali bin Abi Tholib, ia
berkata: “Dunia telah beransur pergi membelakangi (kita), akhirat telah
beransur tiba menghadapi (kita), setiap keduanya mempunyai pengagum, jadilah
kalian dari pengagum akhirat, jangan kalian menjadi pengagum dunia,
sesungguhnya hari ini sa’atnya untuk beramal tampa ada berhisab, besok sa’atnya
untuk berhisab tampa beramal”. (lihat
shohih Bukhari bersama Fathul Bari: 11/235).
Aku wasiatkan untuk menyibukkan diri dengan sesuatu yang
berguna dari apa yang tidak berguna, karena Rasulullah r bersabda:
((مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمْ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)).
“Diantara ciri baiknya Islam seseorang adalah
Ia meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi urusannya”. Diriwayatkan oleh At
Tirmizi (no 2317) dan lainnya, ia adalah hadits yang kedua belas dari urutan
hadits Arba’iin An Nawawy.
Dan
aku wasiatkan untuk berlaku adil dan bersikap netral antara Al Ghulu (berlebih-lebihan) dan Al
Jafa’ (melecehkan), dan antara Al Ifraath (melampaui batas) dan At
Tafriith (lengah). Karena Nabi r bersabda:
((إِيَاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي
الدِّيْنَ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي
الدِّيْنِ)).
“Hati-hatilah
kalian terhadap sikap yang berlebih-lebihan dalam agama, sesungguhnya yang
telah membinasakan orang yang sebelum kalian adalah sebab berlebih-lebihan
dalam agama”.
Ini
adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh An Nas-i dan lainnya, ia juga
diantara hadits-hadits yang disampaikan Nabi r pada waktu haji wada’, lihat takhrijnya dalam silsilah
shohihah karangan syeikh AlBany (no 1283).
Dan
aku wasiatkan untuk waspada dari melakukan kezoliman, sebagaimana yang terdapat
dalam hadits Qudsi:
((يَا عِبَادِي!
إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً
فَلاَ تَظَالَمُوْا)).
“Wahai para hambaku!, sesungguhnya aku telah
mengharamkan kezoliman atas diriKu, dan aku telah menjadikannya suatu yang
haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzolimi”.
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Muslim (no 2577).
Dan
sabda Rasulullah r:
((اتَّقُوْا
الظُّلْمَ؛ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))
“Takutilah
oleh kalian kezoliman; sesungguhnya kezoliman adalah (membawa) kegelapan pada
hari kiamat”. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (no 2578).
Saya
memohon pada Allah ‘azza wa jalla semoga Ia memberikan TaufiqNya kepada (kita)
seluruhnya untuk mendapatkan ilmu yang
bermanfa’at dan beramal dengannya serta berda’wah kepadanya diatas hujjah yang
nyata, semoga Ia mengumpulkan kita semuanya diatas kebenaran dan petunjuk, dan
menyelamatkan kita semuanya dari berbagai fitnah baik yang nyata maupun yang
tersembunyi, sesungguhnya Allah Maha penolong diatas segala hal yang demikian
dan Maha kuasa atasnya, semoga Allah melimpahkan selawat dan salam serta
keberkatan kepada hambaNya dan RasulNya Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga
serta para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai
hari kemudian.
***
PERINGATAN
Penjelasan tentang Rifqon Ahlas Sunnah Untuk siapakah
Syaikh menujukannya?
“Buku yang aku tulis terakhir ini yaitu
Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah ada korelasinya dengan yang
telah aku sebutkan di dalam Madarikun Nazhar. Risalahku Rifqon Ahlas
Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah dimaksudkan untuk Ikhwanul Muslimin tidak
pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan Sayyid Quthb dan
selainnya dari para harokiyyin. Tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang
yang terfitnah dengan fiqh waqi’, para pencela penguasa dan orang-orang
yang merendahkan para ulama, tidak dimaksudkan untuk mereka baik yang dekat
maupun jauh. Sesungguhnya, risalahku ini aku peruntukkan untuk Ahlus Sunnah
saja!!! Mereka yang berada di atas jalan Ahlus Sunnah yang tengah terjadi di
tengah mereka ini sekarang perselisihan dan sibuknya mereka antara satu dengan
lainnya dengan tajrih, hajr (mengisolir) dan mencela. [1]
Dalam kesempatan lain syaikh juga berkata :
”Jadi, saya
katakan kembali bahwa buku ini tidaklah ditujukan bagi kelompok ataupun firqoh
yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ataupun jalannya ahlus sunnah.
Bahkan buku ini ditujukan kepada kalangan ahlus sunnah yang mereka sibuk antara
satu dengan lainnya sesama ahlus sunnah, dengan jarh, hajr, mencari-cari
kesalahan dan mentahdzir dari manusia karena kesalahan-kesalahan ini.
Jika ada dua orang
mulai berselisih mereka pun berpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang ini
berbangga diri dengan orang ini dan kelompok itu berbangga diri dengan orang
itu. Sehingga tampak hajr dan muqotho’ah (memutuskan hubungan) antara satu
dengan lainnya sesama pengikut ahlus sunnah di setiap tempat karena adanya
perselisihan ini.
Hal ini adalah termasuk bencana dan fitnah yang paling besar. Sehingga
ahlus sunnah akan terpecah belah berdasarkan pernyataan ketidaksepakatan antara
orang ini dan orang itu : apa yang fulan katakan tentang fulan dan fulan!!! Apa
pendapatmu tentang fulan dan fulan! Atau bagaimana sikapmu terhadap fulan dan
fulan! Jika jawabanmu selaras dengan pendapat mereka, maka kamu akan selamat.
Dan jika kamu tidak memiliki pendapat maka kamu akan dilabeli dengan sebutan
mubtadi’, hajr akan dipraktekan dan ahlus sunnah akan terpecah belah menjadi
kelompok-kelompok yang berbahaya!!! Inilah yang melatarbelakangi maksud
penulisan buku ini (Rifqon).
Telah diketahui bersama bahwa buku ini tidaklah menyeru harokiyin, dan hal
ini karena buku ini disukai, harokiyun senang jika ahlus
sunnah sibuk antara satu dengan
lainnya, hingga mereka merasa selamat
dari ahlus sunnah. Dengan hal ini mereka merasa selamat dari ahlus
sunnah, dan hal ini dikarenakan kita menyibukkan diri antar sesama ahlus
sunnah. Buku ini menyerukan ishlah tentang hal-hal yang tengah melanda kita,
agar kita lebih berlemah lembut antar sesama, dan kita berupaya untuk membenahi
antara satu dengan lainnya. Ini yang terbetik di dalam fikiran saya tentang
latar belakang penulisan buku ini.
Namun mereka dari kalangan harokiyun dan hizbiyun, yang jelas-jelas
menyelisihi jalan ahlus sunnah, mereka sangat bergembira dengan perselisihan
yang terjadi diantara kita. Karena ketika ahlus sunnah sibuk dengan sesamanya,
mereka menjadi aman dari ahlus sunnah. Jadi... perpecahan dan perselisihan
diantara ahlus sunnah inilah yang mereka kehendaki... Iya..” [2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar