AL HAROMAIN

DAFTAR

  • pakaian
  • buku

Daftar Blog

TEXT

text

zainimjkbgt

zainimjkbgt
zainimjkbgt

zainimjkbgt.blogspot.com

zainimjkbgt

alharomain

Penayangan bulan lalu

Populer

Entri Populer

9 Februari 2012

BERLEMAH LEMBUT

TOKO ALHAROMAIN MENJUAL PAKAIAN JADI D 54-D55 AND B19-B20 PASAR TANJUNG

 
Berlemah-Lembut
 Terhadap Sesama Ahlus Sunnah 





رفقاً أهل السنة بأهل السنة 



بسم الله الرحمن الرحيم


Segala Puji bagi Allah yang telah mempersatukan diantara hati orang-orang yang beriman, dan menyuruh mereka untuk berkumpul dan bersatu, dan melarang mereka dari berpecah-belah dan bermusuhan, dan aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang telah menciptakan dan mentaqdirkan (segala seuatunya), yang telah menurunkan syariat dan memudahkannya, dan Ia sangat menyayangi orang-orang yang beriman, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan rasul-Nya, yang telah memerintahkan untuk saling memudahkan dan saling menyenangkan, sebagaimana sabda beliau:
((يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا))
“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan, dan tebarkanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu)”, Ya Allah limpahkanlah selawat dan salam serta keberkatan-Mu kepada nabi Muhammad r, serta kepada para keluarganya yang suci dan para sahabatnya, yang telah digambarkan Allah bahwa mereka tersebut sangat keras terhadap orang-orang kafir dan saling berkasih-sayang antara sesama mereka, dan limpahkan juga selawat dan salam serta keberkatan tersebut terhadap orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kemudian, Ya Allah tunjukilah aku, dan tunjukanlah (kebenaran) untukku, dan beri petunjuklah (orang lain) dengan ku, Ya allah bersihkanlah hatiku dari rasa dengki, dan luruskanlah lidahku dalam menyampaikan kebenaran, Ya Allah aku berselindung dengan-Mu bahwa aku menyesatkan (orang lain) atau disesatkan (orang lain), atau menggelincir (orang lain dari kebenaran) atau digelincirkan (orang lain dari kebenaran), atau menzholimi (orang lain) atau dizholimi (orang lain), atau mejahili (orang lain) atau dijahili (orang lain).
Berikutnya ;
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan Rasulullah r dan para sahabatnya, penisbahan mereka kepada Sunnah Rasulullah r, yang beliau suruh untuk berpegang teguh dengannya, dengan sabda beliau:
((فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّتِيْ الْخُلَفَاءِ الْرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ)).
“Maka berpegang-teguhlah kamu dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ arrosyidiin yang mereka telah diberi petunjuk (oleh Allah) sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan geraham mu (bepegang dengan sekuat-kuatnya)”.
Dan beliau telah memperingatkan dari melanggar Sunnah tersebut dengan sabdanya:
((وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ))
“Dan hati-hatilah kamu terhadap perkara yang baru (dalam agama), sesungguhnya setiap hal yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.
Dan sabda beliau lagi:
((فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ))
“Barang siapa yang enggan terhadap Sunnaku, maka ia tidak termasuk dari (golongan) ku”.
Hal ini berbeda dengan orang selain mereka (ahlus Sunnah) dari orang-orang yang mengikuti hawa (kabatilan) dan para pelaku bid’ah, yaitu orang-orang yang menempuh jalan-jalan selain jalan yang ditempuh Rasulullah r dan para sahabatnya, Aqidah Ahlus Sunnah ada semenjak zaman diutusnya Rasulullah r, adapun pengikut hawa (kebatilan) Aqidah mereka lahir  setelah berlalu zaman Rasulullah r, diantaranya ada yang lahir dai akhir-akhir masa sahabat, dan diantaranya lagi ada yang lahir setelah itu, Rasulullah r telah mengkabarkan bahwa barang siapa yang hidup diantara sahabanya, akan menemui perpecahan dan pertikaian ini, maka Rasulullah r bersabda:
((وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كثيراً)).
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian akan menyaksikan perpecahan yang banyak”.
Kemudian beliau memberikan tuntunan (kepada mereka) supaya mengikuti jalan yang lurus, yaitu mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah para sahabatnya para khalufa’ arrosyidiin, dan memperingatkan dari mengikuti perkara-perkara yang baru (dalam agama) dan beliau beritahukan bahwasanya hal tersebut adalah sesat, dan (suatu yang) tidak masuk akal dan tidak bisa diterima bahwa kebenaran dan petunjuk ditutup terhadap para sahabat -y-, dan disimpan untuk manusia yang datang setelah mereka, sesungguhnya seluruh macam bid’ah dan perbuatan baru (dalam agama) tersebut adalah jelek (buruk), jikalau seandainya ada kebaikan sedikitpun di dalamnya tentulah para sahabat orang yang pertama sekali melakukannya, akan tetapi adanya kejelekan yang menimpa kebanyakan dari orang-orang yang datang setelah mereka, yaitu orang-orang yang berpaling dari apa yang menjadi pegangan bagi para sahabat -y-.
Sesungguhnya Imam Malik –رحمه الله- telah berkata:
  (لَنْ يُصْلِحَ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا).
“Sekali-kali tidak akan pernah baik (generasi) akhir umat ini, kecuali denga apa yang telah baik dengannya (generasi) awalnya”.
Karena hal itulah Ahlus Sunnah, mereka berintisab kepada Sunnah, dan selain mereka berintisab kepada berpagai kepercayaan mereka yang batil, seperti; Jabariyah, Al Qodariyah, Al Murjiah dan Al Imamiyah Al Itsna ‘asyriyah.
Atau mereka (para pelaku bid’ah berintisab) kepada figur-figur tertentu, seperti; al Jahmiyah, Az Zaidiyah, Asy ‘Ariyah dan Al Ibadhiyah.
Dan tidak bisa dikatan bahwa termasuk juga kedalam bentuk ini    (Al Wahabiyah)  yang dinisbahkah kepada Syeikh Muhammad bin Abdulwahab –رحمه الله-, karena sesungguhnya Ahlus Sunnah pada masa beliau dan begitu juga sesudahnya tidak pernah menisbakan diri mereka kepada nama ini.
Karena sesungguhnya Syeikh Muhammad - رحمه الله- tidak datang dengan sesuatu yang baru, sehingga bisa dinisbahkan kepadanya, tetapi sesungguhnya beliau mengikuti apa yang menjadi pegangan para salafus sholeh, dan menegakkan Sunnah serta menyebarkannya dan berda’wah kepadanya.
Sesungguhnya yang memberikan gelar ini adalah orang-orang yang dengki terhadap da’wah syeikh Muhammad bin Abdulwahab - رحمه الله-, yang bersifat memperbaiki (berbagai kekeliruan dalam memahami tauhid), tujuan mereka tersebut adalah untuk membingungkan manusia dan memalingkan mereka dari mengikuti kebenaran dan petunjuk (yang lurus), dan supaya mereka tersebut tetap setia terhadap apa yang mereka lakukan dari berbagai macam bid’ah yang bertentangan dengan apa yang menjadi pegangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Imam Asy Syathibiy berkata dalam kitabnya “Al I’tishom” (1/79) : “Abdurrahman bin Mahdiy telah berkata: Imam Malik bin Anas ditanya tetang apa itu Sunnah ?, ia menjawab: Sunnah Adalah yang tidak ada nama baginya selain As Sunnah, lalu ia membaca firman Allah:
{وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِه}.
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah oleh kalian, dan jangan kalian ikuti jalan-jalan (selainnya), sehingga jalan-jalan itu memencarkan kalian dari jalan-Nya (jalan yang lurus)”.
Imam Ibnul Qoyyim berkata dalam kitabnya “Madarijus Saalikiin”  (3/179): “Sesungguhnya sebahagian ulama telah ditanya tentang apa itu Sunnah?, ia menjawab: sesuatu yang tidak ada nama baginya selain As Sunnah, yakni: bahwa Ahlus Sunnah tiada bagi mereka nama yang mereka berintisab kepadanya selainnya (yaitu As Sunnah)”.
Dalam kitab “Al Intiqoo’ “ karangan Ibnu ‘Abdilbarr (hal: 35): Bahwa seseorang bertanya kepada Imam Malik: siapakah Ahlu Sunnah?, ia menjawab: “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang tiada bagi mereka panggilan yang mereka dikenal dengannya ; tidak Jahmiy, tidak Qodariy  dan tidak pula Rofidhiy “.
Dan tidak diragukan lagi bahwa yang wajib terhadap Ahlus Sunnah dalam setiap zaman dan tempat adalah saling berlemah-lembut dan berkasih sayang diantara sesama mereka, dan saling tolong-menolong dalam berbuat kebaikan dan dalam ketaqwaan.
Dan sesuatu yang amat menyedihkan pada masa ini adalah apa yang terjadi dikalangan sebahagian Ahlus Sunnah dari kesepian(1) dan perpecahan, yang mengakibatkan sebahagian mereka sibuk dengan mencela, mentahzir  (peringatan untuk menjauhi) dan menghajar (mengucilkan) terhadap bahagian yang lainnya, yang semestinya segala usaha mereka tersebut dihadapkan kepada selain mereka dari orang-orang kafir dan para pelaku bid’ah yang senantiasa memusuhi Ahlus sunnah, dan menjalin persatuan dan kasih sayang diantara sesama mereka, serta saling mengingatkan antara sebagaian mereka terhadap bagian yang lainnya dengan cara halus dan lemah-lembut.
(Setelah melihat penomena tersebut diatas) aku berpendapat (betapa perlunya) menulis beberapa kalimat sebagai nasehat untuk mereka tersebut, dalam keadaan memohon kepada Allah bahwa Allah memberikan manfaat dengan beberapa kalimat ini, tiada yang aku inginkan kecuali memperbaiki apa yang aku sanggupi, dan tiada yang dapat memberiku taufiq (pertolongan) kecuali Allah, kepada Allah aku bertawakkal, dan kepada-Nya pula aku kembali, aku beri judul nasehat ini: “Rifqon Ahlas Sunnah Bi Ahlis Sunnah” (Berlemah lembut terhadap sesama Ahlus Sunnah).
Aku meminta kepada Allah pertolongan dan tuntunan untuk seluruh (umat Islam), dan memperbaiki hubungan antara sesama mereka, serta mempersatukan hati-hati mereka, dan menunjuki mereka kepada jalan-jalan yang selamat serta mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada cahaya (keimanan) sesunggunya Allah maha mendengar lagi maha memperkenankan.



Nikmat Bertutur Dan Berbicara


Nikmat Allah terhadap hambaNya tidak terhitung dan tidak ada hingganya, diantara yang terbesar dari nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat berbicara yang mana dengannya seorang insan mampu mengutarakan tentang keinginannya, dan mengucapkan perkataan yang baik, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, barang siapa yang kehilangan nikmat ini (nikmat bicara) ia tidak bisa melakukan berbagai urusan tersebut, dan ia tidak akan bisa berbicara sesama orang lainya kecuali dengan isyarat atau tulisan jika ia seorang yang bisa menulis.
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
{وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً رَّجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لاَ يَقْدِرُ عَلَىَ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لاَ يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ [سورة النحل ].
Allah mejadikan perumpamaan dua orang laki-laki; salah satunya bisu dan tidak mampu melakukan apapun, dan ia menjadi beban diatas majikannya, kemanapun ia disuruh majikannnya tidak bisa mendatangkan kebaikan sedikitpun, apakah ia sama dengan orang yang menyuruh dengan keadilan, dan ia berada diatas jalan yang lurus”.
Dan disebutkan dalam tafsiran ayat tersebut: Bahwasanya ini adalah perumpamaan dijadikan Allah antara diriNya dan berhala, ada lagi yang berpendapat: Bahwasanya ini adalah perumpamaan antara orang kafir dan orang yang beriman.
Imam Al Qurtuby berkata dalam kitab tafsirnya (9/149): “(tafsiran ini) diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dan tafsiran tersebut sangat bagus karena mencakup secara umum”.
Perumpamaan tersebut sangat jelas menerangkan tentang kelemahan seorang budak yang bisu yang tidak memberikan faedah untuk orang lain, begitu juga majikannya tidak dapat mengambil faedah darinya kemanapun disuruhnya.
Dan firman Allah ‘azza wa jalla:
{فَوَرَبِّ السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنطِقُونَ [سورة الذاريات].
“Maka demi tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapakan”.
Maka sesungguhnya Allah telah bersumpah dengan diri-Nya atas kebenaran kejadian ber-bangkit dan balasan terhadap segala amalan, sebagaimana terjadinya ucapan dari yang orang berbicara, dan dalam hal itu terdapat pula pujian terhadap nikmat berbicara.
Dan fiman Allah:
خَلَقَ الْإِنسَانَ  عَلَّمَهُ الْبَيَانَ [سورة الرحمن].
“Dia (Allah) yang telah menciptakan manusia, yang telah mengajarnya pandai berbicara”.
Hasan al Bashri menafsirkan Al Bayaan dengan berbicara, dalam hal itu terdapat pula pujian terhadap nikmat bicara yang dengannya seorang insan dapat mengutarakan tentang apa yang diinginkannya.
Firman Allah lagi:
[سورة البلد]. أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ  وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah kami telah menjadikan untuknya (manusia) dua buah mata, lidah dua bibir”.
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Firman Allah: ((Bukankah kami telah menjadikan untuknya (manusia) dua buah mata))  artinya: dengan kedua mata tersebut mereka bisa melihat, ((dan lidah)) artinya: ia berbicara dengannya, maka ia mengutarakan tentang apa yang terdapat dalam hatinya, ((dan dua bibir))  ia menjadikan kedua belah bibir tersebut sebagai pembatu dalam berbicara dan untuk melahab makanan, serta sebagai penghias wajah dan mulutnya”.
Dan satu hal yang sudah dimaklumi bahwa sesungguhnya nikmat ini akan benar-benar bernilai sebagai nikmat apabila dipergunakan untuk berbicara tentang apa yang baik, namun apabila dipergunakan untuk hal yang jelek maka ia akan berakibat buruk terhadap pemiliknya, boleh jadi orang yang kehilangan nikmat ini lebih baik halnya dari orang yang memilikinya.



Menjaga Lidah Dari Berbicara Kecuali Dalam Hal Yang Baik


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا [سورة  الأحزاب].
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan rasulNya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang amat besar”.
Dan firman Allah:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ }   [سورة الحجرات].
“Hai orang-orang yang beriman jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan pula sebahagian kamu menggunjingkan sebahagian yang lainnya, sukakah salah seorang dianatara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?, maka tentulah kamu akan merasa jijik terhadapnya, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”.
Juga firman Allah:
{وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}  [سورة   ق ].
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lainnya disebelah kiri, tiada satu perkataanpun yang diucapkannya melainkan disisinya ada malaikat yang siap mengawasi”.
Dan firman Allah lagi:
{وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا } [سورة  الأحزاب].
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tampa kesalahan yang mereka lakukan, maka sungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.
Dalam shohih Imam Muslim, hadits no (2589) dari Abu Hurairah t bahwa Rasululla r bersabda:
((أَتَدْرُوْنَ مَا اْلغِيْبَةُ؟، قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟، قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ)).
“Apakah kalian tahu apa itu ghibah (gunjing)?, para sahabat menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu, Rasulullah bersabda: Engkau menyebut tetang saudaramu sesuatu yang tidak disukainya, lalu beliau ditanya: bagaimana kalau hal yang aku ceritakan tersebut terbukti padanya?, beliau menjawab: jika terbukti padanya apa yang engkau sebut tersebut maka sesungguhnya engkau telah menggunjingkannya, dan jikalau tidak terdapat padanya maka sesungguhnya engkau telah berbuat kebohongan tentangnya”.
Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
{وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً }  [سورة  الإسراء].
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tetangnya, sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta hati, masing-masing itu akan diminta pertanggung jawabannya”.
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata: telah bersabda Rasulullah r:
((إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثاً وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثاً؛ يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبدُوْهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئاً، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعاً وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ اْلمَالِ)) أخرجه مسلم
“Sesungguhnya Allah meredhai bagi kalian tiga perkara dan membenci untuk kalian tiga perkara; Ia meredhai bagi kalian bahwa kalian menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, dan bahwa kalian berpegang teguh dengan tali (agama) Allah, dan jangan kalian berpecah-belah, dan Ia membenci untuk kalian suka membicarakan orang lain, dan banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta”. H.R : muslim, no (1715).
Dan diriwayatkan juga tentang tiga hal yang dibenci tersebut dalam shohih Bukhary, hadits no (2408) dan Imam Muslim.
 Diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi r:
((كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِيْنَاهُمَا النَّظْرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِيْنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَاْليَدُّ زِيْنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذُِّبُهُ)).
“Telah ditentukan diatas setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia akan mendapati hal yang demikian tampa bisa dielakkannya, mata zinanya adalah melihat, telinga zinanya adalah mendengar, lidah zinanya adalah berucap, tangan zinanya adalah meraba, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati yang berkehendak dan yang menginginkan, dan yang membuktikan atau yang mendustakannya adalah kemaluan”. H.R: Bukhari, hadits no (6612) dan Muslim, hadits no (2657), dan ini adalah lafaz Muslim.
Imam Al Bukhary telah meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (10) dari sahabat Abdullah bin Umar t, dari Nabi r beliau bersabda:
((الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ)).
“Orang muslim adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lidah dan tangannya”.
Dalam riwayat Imam Muslim, hadits no (64) dengan lafaz :
((إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ r : أَيُّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرٌ؟، قَالَ: مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ)).
“Bahwa seorang bertanya kepada Rasulullah r: siapa orang muslim yang terbaik?, beliau menjawab: orang yang selamat orang muslim lainnya dari lidah dan tangannya”.
Imam Muslim meriwayatkan pula dari sahabat Jabir, hadits no (65) dengan lafaz yang sama dengan hadits Abdullah bin Umar yang disebutkan Imam Bukhari tersebut.
Al Hafiz Ibnu Hajar mensyarahkannya: “Dalam hadits ini lidah lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan tangan; karena lidah bisa membicarakan kejadian yang berlalu, sekarang, dan yang akan datang, berbeda dengan tangan, boleh jadi ia bisa ikut serta membantu lidah dalam hal yang demikian dengan tulisan, sehingga ia mempunyai andil yang cukup besar dalam hal tersebut”.
Senada dengan makna ini berkata seorang penya’ir:
Aku tulis, sesungguhnya aku yakin pada hari penulisanku.
Bahwa tangan akan sirna dan akan kekal goresannya.
Jika tulisan itu baik maka akan dibalasi dengan semisalnya.
Dan jika tulisan itu jelek, aku akan menanggung balasannya.
Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (6474) dari shabat Sahal bin Sa’adt, dari Rasulullah r, beliau bersabda:
((مَنْ يَضْمَنُ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنُ لَهُ الْجَنَّةَ)).
“Barangsiapa yang mampu menjamin bagiku apa yang diantara dua jenggotnya, dan apa yang diantara dua kakinya, aku jamin untuknya surga”.
Yang dimaksud dengan apa yang antara dua jenggot dan yang diantara dua kaki  adalah lidah dan kemaluan.
Imam Al Bukhari meriwayatkan lagi dalam shohihnya, hadits no (6475) dan Imam Muslim, hadits no (74) dari Abu Hurairah t, ia berkata: Rasulullah r bersabda:
 ((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ)) الحديث.
“Barang siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat maka hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau lebih baik diam”.
Berkata Imam Annawawy dalam mensyarahkan hadits tersebut: “Telah berkata Imam Asy Syafi’ie: makna hadits tersebut adalah apabila ia ingin untuk berbicara maka hendaklah ia pikirkan terlebih dulu, apabila ia melihat tidak akan berbahaya diatasnya baru ia bicara, dan apabila ia melihat bahwa didalamnya ada bahaya atau ia ragu-ragu antara berbahaya atau tidaknya, maka lebih baik ia memilih diam”.
Dinukil dari sebagian ulama: jikalau seandainya kalian yang membelikan kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara”.
Imam Abu Hatim bin Hibbaan Al Busty berkata dalam kitabnya “Raudhatul ‘uqalaa’” halaman (45): “Suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat bahwa ia selalu diam sampai datang waktunya untuk berbicara, betapa banyaknya orang yang menyesal setelah ia berbicara, dan sedikit orang yang menyesal apabila ia diam, orang yang paling panjang penderitaanya dan paling besar cobaanya adalah orang yang memiliki lidah yang lancang dan hati yang terkatup”.
Dan ia (Ibnu Hibbbaan) berkata lagi dalam kitabnya tersebut, halaman (47): “Suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat bahwa ia lebih banyak mempergunakan telinganya dari pada mulutnya, untuk ia ketahui kenapa dijadikan untuknya dua buah telinga satu buah mulut?, supaya ia lebih banyak mendengar dari pada berbicara, karena apabila berbicara ia akan menyesalinya, tapi bila ia diam ia tidak akan menyesal, sebab menarik apa yang belum diucapkannya lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah diucapkannya, perkataan yang telah diucapkannya akan mengikutinya selalu, sedangkan perkataan yang belum diucapkannya ia mampu mengendalikannya”.
Imam Ibnu Hibbaan berkata lagi masih dalam kitabnya tersebut, halaman (49): “Orang yang berakal sehat lidahnya dibelakang hatinya, apabila ia ingin berbicara, ia kembalikan kepada hatinya, jika hal itu baik untuknya baru ia bicara, jikalau tidak maka ia tidak bicara, orang yang dungu (tolol) hatinya dipenghujung lidahnya, apa saja yang lewat diatas lidahnya ia ucapkan, tidaklah paham tentang agama orang yang tidak bisa menjaga lidahnya”.
Imam Al Bukhary meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (6477) dan Imam Muslim, hadits no (2988), menurut lafaz muslim, dari Abi Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:
((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَّلَمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنَ مَا فِيْهَا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ)).
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat tampa memikirkan apa yang terkandung dalamnya, sehingga dengan sebab kalimat tersebut ia dicampakkan kedalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”.
Dalam potongan terakhir dari wasiat nabi terhadap Mu’az bi Jabal yang disebutkan oleh Imam At Tirmizi dalam sunannya, hadist no (2616) ia katakan :”ini hadist hasan dan shohih”. Bahwa Rasulullah r bersabda:
((وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ)).
“Tiadalah yang membantingkan manusia kedalam neraka diatas muka atau hidung mereka melainkan akibat panenan buah lidah mereka”.
Hadist ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan Mu’az kepada Nabi r: “Wahai Nabi Allah apa kita akan di’azab dengan sebab apa yang kita ucapkan?”.
Al Hafiz Ibnu Rajab mensyarahkan hadits tersebut dalam kitabnya “Jami’ul ‘Ulum wal Hikam” (2/147): “Yang dimaksud dengan “panenan buah lidah”  adalah balasan dan hukuman terhadap pembicaraan yang diharamkan; karena manusia bagaikan menabur benih kebaikan dan kejelekan dengan perkataan dan perbuatannya, kemudian pada hari kiamat akan dipanen apa yang ditaburnya, barangsiapa yang menabur kebaikan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai kemulian, sebaliknya barangsiapa yang menabur kejelekkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai penyesalan”.
Ia (ibnu Rajab) berkata lagi dalam bukunya tersebut (2/146): “Ini menunjukkan bahwa menjaga lidah dan mengontrolnya serta menahannya adalah sumber kebaikan seluruhnya, sesungguhnya barangsiapa yang bisa menguasai lidahnya, sungguh ia telah menguasai dan mengontrol serta bijaksana dalam urusannya”.
Kemudian Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus bin ‘Ubaid, sesungguhnya ia berkata: “Tidak seorangpun yang aku lihat yang lidahnya selalu dalam ingatannya, melainkan hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh aktivitasnya”.
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsrir, bahwa ia berkata: “tidak aku temui seorangpun yang ucapannya baik melainkan hal tersebut terbukti dalam segala aktivitasnya, dan tidak seorangpun yang ucapannya jelek melainkan terbukti pula hal tersebut dalam segala aktivitasnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2581) dari Abu Hurairah bahwa nabi r bersabda:
((أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟، قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مَنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَّ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِى مَا عَلَيْهِ أَخَذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي  النَّارِ)).
“Apakah kalian tahu Siapakah orang yang bangrut?, para shahabat menjawab: orang yang bangrut adalah orang yang tidak punya uang (dirham) dan tidak pula harta benda, lalu beliau bersabda: orang yang bangrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan amalan sholat, puasa dan zakat, namun ia datang dalam keadaan telah mencaci orang lain, menuduhnya, memakan hartanya dan menumpahkan darah serta memukulnya, maka amalan baiknya diberikan kepada masing-masing orang tersebut, maka apabila kebaikannya habis sebelum melunasi hutang-hutangnya, maka diambil dari dosa masing-masing orang tersebut lalu ditarok diatasnya, kemudian ia dicampakan kedalam neraka”.
Imam Muslim meriwayatkan lagi dalam shohihnya, hadits (2564) dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits yang cukup panjang, yang pada akhir hadits tersebut diungkapkan:
((بِحَسْبِ امْرِءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمُ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ ؛ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ)).
“Cukuplah untuk seseorang sebuah kejahatan bahwa ia menghina saudaranya sesama muslim, segala sesuatu antara muslim terhadap muslim lainnya haram; darahnya, hartanya dan kehormatannya”.   
Imam bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (1739) dan Imam Muslim, yang ini menurut lafaz Bukhari, dari Ibnu Abbas t bahwa Rasulullah r berkhutbah pada hari nahar (idul adha), beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu : Hari apakah ini?, mereka menjawab: hari yang suci, beliau bertanya lagi: negeri apakah ini?, tanah suci, beliau bertanya lagi: bulan apakah in?, bulan yang suci, selanjutnya beliau bersabda:
((فإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَاراً، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟، قَالَ ابْنُ عَبَاسٍ رضي الله عنهما فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ)).
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan sesama kalian diharamkan diatas kalian (untuk merusaknya) sebagaimana kesucian hari ini pada bulan yang suci ini di negeri yang suci ini, beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata: Ya Allah apa aku telah menyamapaikan (perintahMu)?, Ya Allah apa aku telah menyamapaikan (perintahMu)?.
Berkata Ibnu Abbas t : Demi Allah yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiatnya untuk umatnya, maka hendaklah yang hadir memberitahu yang tidak hadir, “janganlah kalian kembali sesudahku kepada kekafiran, yang mana sebahagian kalian memenggal leher yang lainnya”. 
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2674) dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:
((مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلَ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلَ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا)).
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, ia akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka, barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka”. 
Berkata Al Hafiz Ibnu Munzir dalam kitabnya “Attarghib wa Attarhiib” (1/65) dalam mengomentari hadits:
((إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثَ ....)).
“Apabila anak adam meninggal maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga hal ….”
Ia (Ibnu Munzir) berkata : “Orang yang mencatat ilmu yang berguna baginya pahala dan pahala orang yang membacanya atau orang menyalinnya atau beramal dengannya sesudahnya selama tulisan tersebut dan beramal dengannya masih tetap ada, sebaliknya orang yang menulis hal yang tidak bermanfa’at adalah diantara sesuatu yang mewajibkan dosa, baginya dosanya dan dosa orang yang membacanya atau menyalinnya atau beramal dengannya sesudahnya selama tulisan tersebut dan beramal dengannya masih tetap ada, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hdits yang telah berlalu diantaranya hadits:
((مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً )).
“Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik atau yang jelek”, hanya Allah yang maha tahu”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (6502) dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah r bersabda:
((إِنَّ اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِياًّ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ)) الحديث.
“Sesungguhnya Allah berkata: Barangsiapa yang memusuhi para waliku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perperangan terhadapnya”.



Sikap Berprasangka Jelek Dan Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain

Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain”.
Dalam ayat yang mulia ini perintah untuk menjauhi kebanyakan dari berprasangka, karena sebahagiannya adalah dosa, dan larangan dari mencari-cari kesalahan orang lain, yaitu mencongkel-congkel tentang kejelekan orang lain, hal itu terjadi adalah akibat dari berburuk sangka.
Rasulullah r bersabda:
((إِيَّاكُمْ وَالظَنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً)).
“Aku peringatkan kepada kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563).
Berkata Amirul Mukminiin Umar bin Khatab: “Janganlah kamu menyangka terhadap sebuah perkataan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman kecuali terhadap hal yang baik, sa’at engkau dapat untuk membawanya kearah yang baik”. (disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam mentafsirkan surat Alhujurat).
Berkata Bakar bin Abdullah Al Muzany, sebagaimana yang terdapat dalam biografinya dalam kitab “Attahzibut Tahziib”: Hati-hatilah kamu terhadap perkataan sekalipun kamu benar dalamnya kamu tidak diberi pahala, dan jika kamu tersalah kamu memikul dosa, yaitu berburuk sangka terhadap saudaramu”.
Berkata Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al Jurmy sebagaimana dalam kitab “Al Hilyah” karangan Abu Nu’aim (2/285): “Bila sampai kepadamu sesuatu yang kamu benci dari saudaramu, maka berusahalah untuk mencarikan alasan untuknya, jika kamu tidak menemukan alasan untuknya, maka katakanlah dalam hatimu: mungkin saja saudaraku punya alasan yang aku tidak mengetahuinya”.
Berkata Sufyan bin Husain: “Aku menyebut kejelekan seseorang dihadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka ia menatap mukaku, dan berkata: apakah engkau ikut berperang melawan Romawi?, aku jawab: tidak, ia bertanya lagi melawan Sanad, India, dan Turki, aku jawab: tidak, ia berkata lagi: apakah merasa aman darimu Romawi, Sanad, India dan Turki, namun saudaramu sesama muslim tidak merasa aman darimu, berkata Sufyan bin Husain: aku tidak mengulanginya lagi sesudah itu”. (lihat Al Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir (13/121).
Alangkah bagusnya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah tersebut yang sangat terkenal dengan kecerdasannya, jawaban diatas adalah salah satu bukti dari kecerdasannya.
Berkata Abu Hatim bin Hibban Al Busty dalam kitabnya Raudhatul ‘Uqola’, halaman (131) : “Keharusan bagi orang yang punya akal untuk tetap berada dalam keadaan selamat dari mencari-cari tentang kejelekan (‘ayib) orang lain, hendaklah ia sibuk memperbaiki kejelekan dirinya, sesungguhnya orang yang sibuk dengan kejelekannya sendiri dari pada mencari kejelekan orang lain, badannya akan tentram dan jiwanya akan tenang, maka setiap ia melihat kejelekan dirinya, maka akan semakin hina dihadapannya apabila ia melihat kejelekan tersebut pada saudaranya, sesungguhnya orang yang sibuk dengan kejelekan orang lain dari memperhatikan kejelekan dirinya, hatinya akan buta, badannya akan letih, dan akan sulit baginya untuk meninggalkan kejelekan dirinya sendiri”.
Ia (Ibnu Hibban berkata lagi) masih dalam kitab tersebut, halaman (133): “Mencari-cari kejelekan orang lain adalah salah satu cabang dari sifat kemunafikkan, sebagaimana berbaik sangka adalah salah satu dari cabang keimanan, orang berakal sehat selalu berbaik sangka dengan saudaranya, dan menyendiri dengan kesusahan dan kesedihannya, orang yang jahil (tolol) selalu berburuk sangka dengan saudaranya, dan tidak mau berfikir tentang kesalahan dan penderitaannya”.



Sikap Ramah Dan Berlemah-Lembut

Allah telah menggambarkan tentang sifat NabiNya Muhammad r bahwa ssesungguhnya Ia memiliki Akhlak yang Agung.
Firman Allah:
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ } [سورة  القلم].
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung”.
Allah menggambarkannya juga dengan sifat ramah dan lemah lembut, Allah berfirman :
{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ}
[سورة آل عمران]
“Maka dengan sebab rahmat Allah-lah engkau berlemah-lembut terhadap mereka, dan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu”.
Allah menggambarkannya pula dengan sifat berkasih-sayang dan santun terhadap orang-orang yang beriman, Allah berfirman:
{لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ} [سورة التوبة].
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari jenis kalian sendiri, amat berat baginya segala yang menyusahkan kalian, sangat menginginkan untuk kalian (segala kebaikan), amat santun dan berkasih-sayang terhadap orang-orang yang beriman”.
Dan Rasul r sendiripun memerintahkan untuk berlaku lemah-lembut dan menganjurkannya, beliau bersabda:
((يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا))
“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan, dan sebarkanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu)”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary, no (69) dan Imam Muslim, no (1734) dari hadits Anas.
Dan disebutkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya, hadits no (1732) dari hadits Abu Musa Al Asy’ary dengan lafaz:
((بَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا ويَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا )).
“Berikanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu), dan hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (220) dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r berkata kepada para shahabat dalam kisah seorang badawi yang buang air kecil dalam mesjid Rasulullah r:
((دَعُوْهُ وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْباً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثُتْم مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ)).
“Biarkan ia, dan siramlah diatas kencingnya dengan setimba air, atau semangkok air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan kalian tidak diutus untuk menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dalam shohihnya, hadist no (6927) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahwa Rasulullah r berkata kepadanya:
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan dalam segala urusan”.
Menurut lafaz Imam Muslim, hadits no (2593):
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan, Ia memberi diatas kelembutan sesuatau yang tidak Ia beri dengan kekasaran, dan tidak pula dengan selainnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2594) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahwa Nabi r bersabda:
((إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْـَزعُ عَنْ شَيْءٍ إَلاَّ شَانَهُ)).
“Sesungguhnya kelembutan tidak terdapat pada sesuatu melainkan membuatnya indah, dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan membuatnya jelek”.
Dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, hadits no (2592) dari Jariir bin Abdillaht bahwa Nabi r bersabda:
((مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ يُحْرَمُ الْخَيْرُ)).
“Barangsiapa yang diharamkan (mempunyai) sifat lemah-lembut berarti ia telah diharamkan terhadap kebaikan”.
Sesungguhnya Allah telah menyuruh dua orang nabi yang mulia; Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyeru Fir’aun dengan sopan dan berlemah-lembut, Allah berfirman:
{اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى }[سورة طه]
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya dia telah melampaui batas (kesesatan), maka bicarah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia mendapat peringatan dan takut (terhadap Allah).
Allah menggambarkan tetang sifat para sahabat yang mulia dengan sifat saling berkasih sayang antara sesama mereka, Allah berfirman:
{مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ} [سورة  الفتح].
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka”.

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Seorang Ulama Apabila Ia Tersalah Ia Diberi ‘udzur Tanpa Dibid’ahkan Dan Tidak Pula Dijauhi                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

Tidak seorangpun yang ma’sum dari kesalahan selain Rasulullah r dan tidak seorang ulama yang tidak tersalah, siapa yang tersalah tidak boleh diikuti kesalahannya, namun kesalahannya tersebut tidak boleh dijadikan sebagai batu loncatan untuk mencelanya dan menjauhkan orang lain darinya, tetapi kesalahannya yang sedikit tertutup oleh kebenarannya yang banyak, barangsiapa yang telah meninggal diantara ulama tersebut dianjurkan untuk mengambil faedah dari ilmu mereka bersamaan dengan itu perlu kehati-hatian dari mengikuti kesalahannya, serta mendo’akannya semoga Allah menmgampuni dan merahmatinya, dan barangsiapa yang masih hidup baik ia seorang ulama atau sebagai seorang penuntut ilmu, ia diberitahu tentang kesalahannya dengan ramah dan berlemah lembut serta mencintai bagaimana supaya ia selamat dari kesalahan dan kembali kepada kebenaran.
Dan diantara sebahagian ulama yang terdahulu yang disisi mereka ada sedikit kekeliruan  dalam sebahagian persoalan aqidah, namun para ulama dan penuntut ilmu tidak pernah merasa tidak butuh terhadap ilmu mereka, bahkan buku-buku karangan mereka merupakan rujukan-rujukan yang amat penting bagi orang-orang yang sibuk dalam menggali ilmu syar’i, seperti Imam Al Bayhaqi, Imam An Nawawy, dan Ibnu hajar al ‘Asqolany.
Adapun tentang Imam Ahmad bin Husain Abu Bakar Al Bayhaqi, berkata Az Zahaby dalam kitabnya As Siyar (18/163) dan halaman berikutnya : “Imam Al Bayhaqi adalah seorang hafiz (penghafal), seorang ulama terkemuka, seorang yang dipercaya, seorang yang faqih (paham), syeikh Islam”. Imam Az Zahaby menambahkan lagi: “Ia seorang yang diberi berkat dalam ilmunya, dan menulis berbagai karangan yang bermanfa’at”. Imam Az Zahabi berkata lagi: “Ia (Imam Al Bayhaqi) berdiam diri di desanya dan menghabiskan umurnya dengan menuntut ilmu dan mengarang, ia menulis kitab As Sunan Al Kubro dalam sepuluh jilid, tiada bagi seorangpun yang semisalnya”, Imam Az Zahaby juga menyebutkan berbagai karangannya yang begitu banyak, kitabnya As Sunan Al Kubro sudah dicetak dalam sepuluh jilid yang cukup besar, Imam Az Zahabi menukil dari Al Hafiz Abduqhaafir bin Ismail tentang perkataannya terhadap Imam Al Bayhaqi: “karangan Imam Al Bayhaqi mendekati seribu jilid, ini adalah sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orangpun, ia menggabung antara ilmu hadits dan fiqih, serta menerangkan kecacatan sebuah hadits, dan bagaimana menggabungkan pemahaman antara dua hadits yang kontrafersi”.
Imam Az Zahaby memujinya lagi: “karya-karya Imam Al Bayhaqi memiliki ukuran yang agung, penuh dengan faedah-faedah ilmiah, amat sedikit orang yang mampu mengarang sebagus karya-karya Imam Al Bayhaqi, maka sepantasnya bagi seorang ulama untuk memiliki karya-karya tersebut terutama sekali AsSunan Al Kubro. 
Adapun Imam Yahya bin Syaraf An Nawawy, telah berkata Imam Az Zahaby dalam kitabnya Tazdkiratul Hufaazh (4/259): “Ia adalah Imam, Al Hafiz Al Auhad (penghafal yang ulung), Al Qudwah, Syeikhul Islam, lambang kewalian, …memiliki berbagai karangan yang bermanfa’at”, Imam Az Zahabi berkata lagi: “bersamaan dengan itu ia mencurahkan segala kemampuan dirinya dalam beramal sholeh dan seorang yang wara’, serta selalu merasa takut pada Allah, dan selalu membersihkan dirinya dari berbagai kotoran dosa, dan menahan dirinya dari berbagai keinginannya, ia seorang penghafal hadits, dan ahli dalam segala bidang hadits dan para perawinya, serta mengetahui mana yang shohih dan mana yang lemah, ia seorang terkemuka dalam mengetahui mazhab syafi’ie”.
Berkata Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah (17/540): “Kemudian Imam An Nawawy menghabiskan waktu dengan menulis sehingga ia telah mengarang karya yang cukup banyak, diantaranya ada yang sempurna dan diantaranya ada yang belum selesai, diantara karangannya yang sempurna adalah; Syarah shohih Imam Muslim, Ar Raudhoh, Al Minhaaj, Riyadhus sholihiin, Al Azkaar, At Tibyaan, Tahriir At Tanbiih wat Tashhihi, Tahziib Al Asma’ wal Lugqaat, dan At Thobaqaat dan lain-lainnya, dan diantara karyanya yang belum selesai -kalau sekiranya selesai tidak ada tandingan baginya dalam pembahasannya- seperti Syarah Al Muhazzab yang beliau beri judul Al Majmu’  yang hanya sampai pada pembahasan kitab riba, ia menulisnya dengan sanga baik dan mantab, menuangkan berbagai faedah dan sangat bagus dalam memilih dan memilah suatu pendapat, ia meredaksi hukum yang terdapat dalam mazhab dan lainnya serta mengkoreksi hadits sebagaimana mestinya, dan menerangkan kata-kata yang qharib (asing), ilmu bahasa serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan kecuali dalamnya, saya belum menemukan kitab fiqih yang lebih bagus darinya, sekalipun ia masih perlunya penambahan dan penyempurnaan terhadapnya”.
Bersamaan dengan luas dan bagusnya karya-karyanya, Ia (Imam An Nawawy) tidak memiliki usia yang cukup panjang, umur beliau hanya sekitar empat puluh lima tahun, ia lahir pada tahun (631 H) dan meninggal pada tahun (676 H).
Adapun Al Hafiz Ahmad bin Ali bin hajar Al ‘Asqolany, ia adalah seorang imam yang terkenal dengan karangannya yang cukup banyak, yang paling terpenting adalah Syarah shohih Al Bukhary yang merupakan sebagai rujukan penting bagi para ulama, dan diantaranya lagi; Al Ishobah, Tahziibut Tahziib, At Taqriib, Lisaanul Mizaan, ta’jiilul Manfa’ah dan Buluqhul Maraam dan lain-lainnya.
Dan diantara ulama yang hidup pada sekarang adalah Syeikh, Al ‘alamah, Al Muhaddits, Muhammad Nashiruddin Al Abany, yang saya belum mengetahui ada orang yang sebanding dengan beliau pada sekarang ini dalam memelihara hadits dan mengadakan penelitian yang luas dalamnya, walaupun demikian halnya beliau pun tak terlepas dari berbagai kesalahan seperti dalam masalah hijab dan menetapkan bahwa menutup muka tidak wajib bagi wanita, tapi hanya disunahkan (mustahab) walau sekalipun apa yang beliau katakan tersebut adalah benar maka sesungguhnya hal tersebut diangggap dari kebenaran yang semestinya tidak diekspos, karena berakibat akan berpegangnya sebahagaian wanita yang suka buka-bukaan terhadap pendapat tersebut, begitu juga pendapat beliau dalam sifat sholat nabi r: Bahwa meletakkan tangan diatas dada setelah bangkit dari rukuk adalah bid’ah yang sesat, sedang hal tersebut adalah masalah khilafiyah, begitu juga pendapatnya dalam kitabnya silsilah dho’ifah hadits no (2355): Bahwa siapa yang tidah memotong jenggotnya yang lebih dari kepalan adalah bid’ah idhofiah, begitu juga pendapatnya: Tentang haramnya memakai perhiasan emas bagi wanita, sekalipun saya menentang berbagai pendapatnya tersebut maka saya ataupun orang selain saya tidak pernah merasa tidak butuh terhadap karya-karya beliau serta menimba faedah dari karyanya tersebut.
Betapa indahnya perkataan Imam Malik: “Setiap orang berhak untuk diterima atau ditolak pendapatnya kecuali penghuni kuburan ini dan ia menunjuk kuburan Nabi r”.
Inilah berbagai nukilan dari sekelompok Ahli ilmu dalam menentukan dan menjelaskan tentang tertutupnya kesalahan seorang ulama dalam kebenarannya yang banyak.
Berkata Sa’id bin Musayyib (wafat 93 H): “Tiada seorang ulamapun, tidak pula seorang yang mulia dan seorang yang memiliki keutamaan kecuali ia memiliki kelemahan (aib) tetapi barangsiapa yang keutamaannya jauh lebih banyak dibanding kekurangannya, maka kekurangannya hilang oleh keutamaannya, sebagaimana orang yang lebih dominan kekurangannya hilang keutamaannya”.
Berkata lainnya: “Tidak seorang ulamapun yang selamat dari kesalahan, barangsiapa yang kesalahannya sedikit dan kebenarannya banyak maka ia adalah seorang yang ‘alim, dan barangsiapa kebenarannya sedikit dan kesalahannya banyak maka ia adalah jahil (tolol)”. (lihat Jami’ul ‘ulum wal Hikam karangan Ibnu Rajab (2/48).
Berkata Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H): “Apabila kebaikan seseorang lebih dominan dari kejelekannya tidaklah disebut kejelekannya, dan apabila kejelekan seseorang lebih dominan dari kebaikannya tidaklah disebut kebaikkannya”. (lihat siar A’laam An Nubala’  karangan Az Zahaby (8/352).
Berkata Imam Ahmad (wafat 241 H) : “Tidak seorangpun yang melewti jembatan dari negeri Khurasan seperti Ishaq bin Rahuyah, sekalipun ia berbeda pendapat dengan kita dalam beberapa hal, sesungguhnya para ulama senantiasa sebagian mereka menyalahi pendapat bagian yang lainnya”. (lihat siar A’laam An Nubala’  (11/371).      
Berkata Abu Hatim bin Hibbaan (wafat 354 H) : “Abdulmalik bin Abi Sulaiman adalah seorang pilihan Ahli Kuffah dan diantara penghafalnya, kebanyakan orang yang hafal dan merawikan hadits dari hafalannya kemungkinan ada salahnya, bukanlah suatu keadilan ditinggalkannya hadits seorang syeikh yang telah kukuh keadilannya dengan sebab adanya kesalahan dalam riwayatnya, jika kita menempuh cara seperti ini (membuang setiap riwayat orang yang tersalah) melazimkan kita untuk menolak hadits Az Zuhry, Ibnu Juraij,            As Staury, dan Syu’bah, karena mereka adalah para penghafal yang matang, sebab mereka juga meriwayatkan hadits dari hafalan mereka juga, sedangkan mereka bukanlah seorang yang ma’sum sehingga mereka tidak pernah keliru dalam riwayat mereka, tetapi untuk lebih berhati-hati dan yang utama dalam hal ini adalah diterimanya apa yang diriwayatkan oleh seorang yang telah kukuh keadilannya dari berbagai riwayat, dan meninggalkan sesuatu yang telah jelas bahwa ia keliru dalamnya selama hal tersebut tidak melampaui batas darinya sehingga mengalahkan kebenarannya, jika hal demikian terjadi padanya maka ia berhak untuk ditinggalkan seketika itu”. (lihat Ats Tsiqaat (7/97-98).
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taymiah (wafat 728 H) : “Diantara hal yang perlu diketahui tentang berbagai golongan yang berintisab terhadap figur tertentu dalam usuluddin dan ilmu kalam mereka bertingkat-tingkat, diantara mereka ada yang menyalahi Ahlus Sunnah dalam pokok-pokok yang mendasar, dan diantara mereka ada menyalahi dalam persoalan yang kecil, barangsiapa yang membantah terhadap yang lainnya dari berbagai golong yang melenceng jauh dari Sunnah, maka ia dipuji terhadap bantahannya atas kebatilan dan ucapannya yang sesuai dengan kebenaran, tetapi ia telah melampaui batas keadilan ketika ia mengingkari sebahagian kebenaran dan mengatakan sebahagian kebatilan, maka ia telah menolak bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih kecil darinya, dan menolak kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan darinya, inilah keadaan kebanyakan Ahli kalam yang berintisab kepada Ahlus Sunnah wal Jam’ah.
Mereka yang seperti demikian halnya selama mereka tidak menjadikan bid’ah tersebut sebagai pendapat yang menyingkirkan mereka dari jama’ah kaum muslim yaitu menjadikannya sebagai termoter dalam memilih teman dan memilah lawan, maka hal tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan, Allah Subhanah mengampuni bagi orang-orang yang beriman terhadap kesalahan mereka seperti demikian.
Karena hal seperti ini banyak terjadi dikalangan para ulama salaf, berbagai pendapat mereka yang mereka katakan melalui berijtihat, sedangkan pendapat tersebut bertentangan dengan apa yang sudah tetap dalam Al Quran dan Sunnah, lain halnya dengan orang yang menjadikannya sebagai pola ukur dalam memilih teman dan memilah lawan, serta memecah belah antara sesama kaum muslim, atau mengkafirkan dan memfasikkah orang yang tidak setuju dengan berbagai pendapat dan ijtihadnya, bahkan menghalalkan darah orang yang tidak setuju dengan pendapatnya, mereka tersebut adalah termasuk kelompok suka memecah belah dan bertengkar. (lihat majmu’ fatawa; 3/348-349).
Dan ia berkata lagi (19/191-192); “Kebanyakan dari para mujtahid ulama salaf dan khalaf (terakhir) telah berkata dan mengerjakan perbuatan yang termasuk bid’ah tampa mereka sadari bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah, adakalanya karena mereka berpedoman pada hadits dhoif yang menurut perkiraan mereka shohih, dan adakalanya karena salah dalam memahami maksud sebuah ayat, atau karena ijtihat mereka sedangkan  dalam masalah tersebut ada nash (dalil) yang menjelaskannya namun nash tersebut tidak sampai kepadanya, apabila seorang melakukan ketaqwaan kepada Allah sebatas kesanggupannya maka ia telah termasuk dalam firman Allah:
{رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا}
“Ya tuhan kami janganlah engkau azab kami jika kami lupa dan tersalah”. Dalam shohih Bukhary bahwa Allah menjawab: “Sungguh Aku telah memperkenankannya”.
Berkata Imam Az Zahaby (wafat 748 H) : “Sesungguhnya seorang ulama besar apabila kebenarannya cukup banyak, dan diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran kemudian ia seorang yang memiliki ilmu yang luas, cerdas, sholeh, wara’ dan mengikuti sunnah, kesalahannya diampuni maka kita tidak boleh menyesatkan dan menjatuhkannya, atau kita melupakan segala kebaikkannya, suatu yang sudah diakui bahwa kita dilarang untuk mencontoh bid’ah dan kesalahannya tersebut, kita mengharapkan semoga ia bertaubat dari kesalahannya tersebut”. (lihat Siyar  A’lam An Nubalak: 5/271).
Berkata lagi Imam Az Zahaby: “Jika setiap tersalahnya seorang ulama dalam berijtihad dalam salah satu masalah yang mana kesalahan tersebut dalam hal yang bisa dima’afkan lalu kita bersama-sama membid’ahkan dan menjauhinya tidak seorangpun yang akan bisa selamat bersama kita sekalipun Ibnu Naashir atau Ibnu Mandah atau ulama yang lebih tua dari mereka berdua, hanya Allah yang mampu menunjuki makhluk kepada kebenaran, Ia-lah yang paling kasih diatas segala makhluk, maka kita berselindung dengan Allah dari mengikuti hawa nafsu dan kekasaran dalam bertutur kata”. (lihat As Siyar : 14/39-40).
Ia berkata lagi: “Dan jika setiap siapa saja yang tersalah dalam ijtihadnya -sekalipun (sudah diketahui) keshohihan imannya dan konsekwennya ia dalam mengikuti kebenaran-, kita membuang dan membid’ahkannya, sungguh sangat sedikit sekali dari para ulama yang bisa selamat bersama kita, semoga Allah merahmati kita semua dengan anugrah dan kemuliannya”. (lihat As Siyar : 14/376).
Ia berkata lagi: “Kita mencintai Sunnah dan pengikutnya, dan kita mencintai seorang ulama yang terdapat padanya sikap mengikuti Sunnah lagi memiliki sifat-sifat yang terpuji, namun kita tidak menyukai bid’ah yang dilakukannya akibat penakwilan yang wajar, sesungguhnya yang menjadi I’tibar adalah dengan banyaknya kebaikannya”.
Berkata Imam Ibnul Qoyyim (wafat 751 H) : “Mengenal keutamaan para ulama Islam, kehormatan dan hak-hak mereka serta tingkatan mereka, bahwa mereka memiliki keutamaan, ilmu dan nasehat untuk Allah dan Rasulnya, tidaklah memestikan kita untuk menerima segala yang mereka katakan, bila terdapat dalam fatwa-fatwa mereka dari berbagai masalah yang tersembunyi diatas mereka apa yang dibawa oleh rasul r lalu mereka berfatwa sesuai dengan ilmu mereka sedangkan yang benar  adalah sebaliknya, tidaklah semestinya kita membuang pendapatnya secara keseluruhan atau mengurangi rasa hormat dan mencela mereka, dua macam tindakan tersebut adalah melenceng dari keadilan, jalan yang adil adalah diatara keduanya, maka kita tidak menyalahkannya secara mutlak dan tidak pula mensucikannya dari berbuat salah”, sampai pada pekataannya: “Barangsiapa yang memiliki ilmu dalam agama kenyataan menunjukkan bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, dia juga seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, boleh jadi terdapat padanya kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir bahkan ia diberi pahala karena ijtihadnya, maka ia tidak boleh diikuti dalam kesalahannya tersebut namun tidak pula dijatuhkan kehomatan dan kedudukannya dari hati kaum muslim”. (lihat I’laamul Muwaaqi’iin : 3/295).
Berkata Ibnu Rajab Al Hambaly (wafat 795 H) : “Allah enggan untuk memberikan kema’suman untuk kitab selain kitabNya, seorang yang adil adalah orang yang mema’afkan kesalahan seseorang yang sedikit dihapan kebenarannya yang banyak”. (lihat Alqawa’id , hal: 3).


Fitnah  Caci Maki Dan Saling Hajar Dari Sebagian Ahlus Sunnah Pada Masa ini Dan Bagaimana Jalan Selamat Dari Hal tersebut

Terjadi pada zaman ini sibuknya sebagian Ahlus Sunnah terhadap sebagian yang lainnya sikap saling caci dan saling tahzir (waspada), hal demikian telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta sikap saling Hajar (menjauhi), sepantasnya yang ada diantara mereka bahkan suatu keharusan adalah saling kasih dan saling sayang, dan mereka menyatukan barisan mereka dalam menghadapi para ahli bid’ah dan Ahli Ahwa’ (pengikut nafsu sesat) yang mereka tersebut para penentang Ahlus Sunnah wal Jam’ah, hal yang demikian disebabkan oleh dua sebab;
Pertama: Sebahaqian Ahlus Sunnah pada masa ini ada yang kebiasaan dan kesibukkannya mencari-cari dan menyelidiki kesalahan-kesalahan baik lewat karangan-karangan atau lewat kaset-kaset, kemudian mentahzir (peringatan untuk dijauhi) barangsiapa terdapat darinya suatu kesalahan, bahkan diantara kesalahan tersebut yang membuat seseorang bisa dicela dan ditahzir disebabkan ia bekerja sama dengan salah satu badan sosial agama (jam’iyaat khairiyah) seperti memberikan ceramah atau ikut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial tersebut, pada hal syeikh Abdu’aziz bib Baz dan syeikh Muhammad bin sholeh Al ‘Utsaimin sendiri pernah memberikan muhadharah (ceramah) terhadap badan sosial tersebut lewat telepon, apakah seseorang layak untuk dicela karena ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan oleh dua orang ulama besar tentang kebolehannya, dan lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu dari pada menyalahkan pendapat orang lain, terlebih-lebih apabila pendapat tersebut difatwakan oleh para ulama besar, oleh sebab itu sebagian para sahabat Nabi r selepas perjanjian Hudaybiyah berkata: “Wahai para manusia!, hendaklah kalian mengkoreksi pendapat akal (arro’yu) bila bertentangan dengan perintah agama”.
Bahkan diantara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfa’at yang cukup besar, baik dalam hal memberikan pelajaran-pelajaran, atau melalui karya tulis , atau berkhutbah, ia ditahzir cuma karena gara-gara ia tidak pernak diketahui berbicara tentang sipulan atau jama’ah tertentu umpamanya, bahkan celaan dan tahziran tersebut sampai merembet kebahagian yang lainnya di negara-negara arab dari orang-orang yang manfa’atnya menyebar sangat luas dan perjuangnya cukup besar dalam menegakkan dan menyebarkan Sunnah serta berda’wah kepadanya, tidak ragu lagi bahwa mentahzir seperti mereka tersebut adalah sebuah tindakan menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak yang mulia. 
Kedua: Sebahagian dari Ahlus Sunnah apabila ia melihat salah seorang dari Ahlus Sunnah melakukan kesalahan spontan ia menulis sebuah bantahan terhadapnya, kemudian orang yang dibantahpun membalas dengan menulis bantahan pula, kemudian masing-masing dari keduanya saling sibuk membaca tulisan yang lainnya atau ceramah serta mendengar kaset-kasetnya yang sudah lama demi untuk mengumpulkan berbagai kesalahan dan ‘aibnya, boleh jadi sebahagiannya berbentuk keterledoran lidah, ia melakukan hal tersebut dengan sendirinya  atau orang lain yang melakukan hal itu untuknya, kemudian masing-masing keduanya berusaha mencari pendukung untuk membelanya sekaligus untuk meremehkan pihak lain, kemudian pendukung dari kedua belah pihak berusaha memberikan dukungan terhadap pendapat orang yang didukungnya dan mencela pendapat lawannya, dan memaksa setiap orang yang mereka temui untuk menunjukkan pendirian terhadap orang yang tidak didukungnya, jika tidak menunjukan pendiriannya ia dibid’ahkan mengikuti bagi penbid’ahan terhadap pihak lawannya, kemudian hal yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk menhajarnya (mengucilkannya). Tindakan para pendukung dari kedua belah bihak termasuk sebagai penyebab yang paling utama dalam muncul dan semakin menyebarnya fitnah dalam bentuk sekala luas, dan keadaan semakin bertambah parah lagi apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaan tersebut melalui internet, kemudian generasi muda dari Ahlus Sunnah di berbagai negara bahkan di berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan yang tersebar di webset masing-masing kedua belah pihak tentang kata ini kata itu yang tidak membuahkan kebaikan tapi hanya membawa kerusakan dan perpecahan, hal itu telah membuat pendukung kedua belah pihak yang bertikai untuk selalu mojok didepan kaca iklan untuk mengetahui berita apa yang sedang tersebar, tak ubahnya seperti orang yang terfitnah oleh club-club olahraga yang mana masing-masing pendukung memberikan supor untuk clubnya, sehingga hal yang demikian telah menimbulkan diantara mereka persaingan, keberingasan dan pertengkaran.
Jalan untuk selamat dari fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini :
Pertama : Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahzir perlunya memperhatikan hal yang berikut ;
1.     Hendaknya orang yang menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta mentahzir terhadap mereka tersebut hendaklah ia merasa takut kepada Allah, lebih baik ia menyibukan diri dengan memeriksa aib-aibnya supaya ia terlepas dari aibnya tersebut, dari pada ia sibuk denga aib-aib orang lain, dan menjaga kekekalan amalan baiknya jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan membagi-bagiakannya kepada orang yang dicela dan dicacinya, sedangkan ia sangat butuh dari pada orang lain terhadap amal kebaikan tersebut pada hari yang tiada bermanfaat pada hari itu harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
2.     Hendaklah ia menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang bermanafaat dari pada ia sibuk melakukan celaan dan tahziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut supaya ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfa,at dan bermanfa’at, maka dianatra pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah bahwa ia sibuk dengan ilmu, belajar, mengajar, berda’wah dan menulis, apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari Ahlus Sunnah serta menutup jalan yang menghubungkan untuk mengambil faedah dari mereka sehingga ia menjadi golongan penghancur, orang yang sibuk dengan celaan seperti ini, tentu ia tidak akan meninggalkan sesudahnya ilmu yang dapat memberi manfa’at serta manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang memberi mereka manfa’at, justru dengan kepergiannya mereka merasa selamat dari kejahatannya.
3.     Bahwa ia menganjurkan kepada para generasi muda dari Ahlus Sunnah pada setiap tempat untuk menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfa’at dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syeikh Bin Baz dan Syeikh Bin Al ‘Utsaimin, dari pada menyibukan diri mereka dengan menelepon sipulan dan sipulan untuk bertanya; (apa pendapat engkau tentang sipulan atau sipulan?), dan (apa pula pandanganmu terhadap perkataan sipulan terhadap sipulan?), dan (perkataan sipulan terhadap sipulan?).
4.     Hendaknya ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang hal orang-orang yang menyibukan dirinya dengan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada tim komisi pemberi fatwa di Riyadh untuk bertanya tentang hal mereka tersebut, apakah mereka tersebut berhak untuk dimintai fatwanya dan boleh menutut ilmu darinya atau tidak?, dan barang siapa yang betul-betul tau tentang hal seseorang tersebut hendaklah ia menulis surat kepada tim komisi pemberi fatwa tentang apa yang diketahuinya tentang halnya untuk sebagai bahan pertimbangan dalam hal tersebut, supaya hukum yang lahir tentang celaan dan tahziran timbul dari badan yang bisa dipercaya fatwa mereka dalam hal menerangkan siapa yang boleh diambil darinya ilmu dan siapa yang bisa dimintai fatwanya. Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya badan resmilah sebagai tempat rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa dalam hal mengetahui tentang siapa yang boleh dimintai fatwanya dan diambil darinya ilmu, dan janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam seperti hal-hal yang penting ini, sesungguhnya diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak menjadi urusannya.
Kedua : Apa yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang tersalah, perlunya memperhatikan hal-hal berikut.
1.     Bantahan tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah lembut dan disertai oleh harapan yang tulus dalam menyelamatkan orang yang tersalah tersebut dari kesalahannya, ketika kesalahan tersebut jelas lagi nyata, dan perlunya merujuk kepada bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syeikh Bin Baz –رحمه الله- untuk mengambil faedah darinya dalam hal cara-cara bagaimana selayaknya sa’at menulis sebuah bantahan.
2.     Apabila bantahan tersebut terhadap sebuah kesalahan yang kurang jelas, tetapi ia dari jenis persoalan yang bantahan terhadapnya mengandung sisi benar dan sisi salah, maka untuk memutuskan persoalan tersebut perlunya merujuk kepada tim komisi pemberi fatwa, adapun apabila kesalahan tersebut jelas, bagi siapa yang dibantah perlunya kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik dari pada berlarut-larut dalam kebatilan.
3.     Apabila seorang telah melakukan bantahan terhadap orang lain maka sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya, selanjutnya ia tidak perlu menyibukkan dirinya untuk mengikuti gerak-gerik orang yang dibantahnya, tetepi ia menyibukan diri dengan menuntut ilmu yang akan membawa manfa’at sangat besar untuk dirinya dan orang lain, beginilah sikap Syeikh Bin Baz -رحمه الله-.
4.     Tidak dibolehkannya seorang penuntut ilmu menguji yang lainnya, bahwa mengharuskannya untuk memiliki sikap tegas terhadap yang dibantah atau yang membantah,  jika setuju ia selamat dan jika tidak ia dibid’ahkan dan dihajar (dikucilkan). Tidak seorangpun yang berhak menisbahkan kepada manhaj Ahlus Sunnah sikap ketidak beraturan seperti ini dalam membid’ahkan dan menghajar. Begitu juga tidak seorangpun yang berhak menuduh orang yang tidak melalui cara yang kacau seperti ini bahwa orang tersebut penghancur bagi manhaj salaf. Hajar yang bermanfa’at dikalangan Ahlus Sunnah adalah apa yang dapat memberikan manfa’at bagi yang dihajar (dikucilkan), seperti orang tua mengucilkan anaknya, Dan seorang Syeikh terhadap muridnya, dan begitu juga pengucilan yang datang dari seorang yang mempuyai kehormatan dan kedudukan yang tinggi, sesungguhnya pengucilan mereka sangat berfaedah bagi orang yang dikucilkan, adapun apabila hal itu dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu terhadap sebagaian yang lainnya apalagi bila disebabkan oleh persoalan yang tidak sepantasnya ada hal pengucilan dalam persoalan tersebut, hal yang demikian tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan akan berakibat terjadinya keberingasan dan pertengkaran serta perpecahan.
Berkata Syeikh Islam Ibnu Taymiyah dalam kumpulan fatwanya (3/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah: “Pendapat yang benar adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa sesungguhnya Yazid tersebut tidak dikhususkan kecintaan terhadapnya dan tidak pula boleh melaknatnya, bersamaan dengan itu sekalipun ia seorang yang fasik atau seorang yang zholim maka Allah mengampuni dosa seorang yang fasik dan dosa seorang yang zholim apalagi bila ia memiliki kebaikan-kebaikan yang cukup besar, sesungguhnya Imam Bukhari telah meriwayakan dalam shohihnya dari Ibnu Umart, bahwa Nabi r bersabda:           ((أَوَلُ جَيْشٍ يَغْزُو الْقَسْطَنْطِيْنِيَّةَ مَغْفُوْرٌ لَهُ))  
“Pasukan yang pertama sekali memerangi Al Qasthanthiniyah bagi mereka keampunan”.
Pasukan yang pertama sekali memerangi Al Qasthanthiniyah komandan mereka adalah Yazid bin Mu’awiyah dan termasuk bersama pasukan tersebut Abu Ayub Al Anshory…maka yang wajib dalam hal tersebut adalah pertengahan dan berpaling dari membicarakan Yazid serta tidak menguji kaum muslim dengannya, karena hal ini adalah termasuk bid’ah yang menyalahi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Ia berkata lagi (3/415): “Dan demikian juga memecah belah antara umat dan menguji mereka dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan Allah dan RasulNya”.
Dan Ia berkata lagi (20/164): “Tidak seorangpun yang berhak menentukan untuk umat ini seorang figur yang diseru untuk mengikuti jalannya, yang menjadi pola ukur dalam menentukan wala’ (berloyalitas) dan bara’ (memusuhi) selain Nabi r, begitu juga tidak seorangpun yang berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi pola ukur dalam berloyalitas dan memusuhi selain perkataan Allah dan RasulNya serta apa yang menjadi kesepakatan umat, tetapi perbuatan ini adalah kebiasaan Ahli bid’ah, mereka menentukan untuk seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat, mereka menjadikan pendapat tersebut atau nisbah (gelaran) tersebut sebagai pola ukur dalam berloyalitas dan memusuhi”.
Ia berkata lagi (28/15-16): “Apabila seorang guru atau ustaz menyuruh mengucilkan seseorang atau menjatuhkan dan menjauhinya atau yang seumpamanya seorang murid harus mempertimbangkan terlebih dulu, jika orang tersebut telah melakukan dosa secara agama ia berhak dihukum sesuai dengan dosa tampa berlebihan, dan jika ia tidak melakukan dosa secara agama maka ia tidak boleh dihukum dengan sesuatu apapun karena berdasarkan keinginan seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokan para manusia dan menanamkan rasa permusuhan dan kebencian antara mereka, tetapi hendaklah mereka seperti saling bersaudara yang saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan ketaqwaan, sebagaimana firman Allah:
{وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ}  [سورة المائدة : 2].
“Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
Berkata Al Hafiz Ibnu Rajab dalam mensyarahkan hadits:
((مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)).
“Diantara ciri baiknya Islam seseorang adalah Ia meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi urusannya”.
Dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/288): “Hadits ini mengadung pokok yang amat penting diantara pokok-pokok adab, telah menceritakan Imam Abu ‘Amru bin Ash Sholah dari Abi Muhammad bin Abi Zeid (salah seorang imam mazhab malikiyah pada zamannya) bahwa ia berkata: “Kumpulan berbagai adab dan himpunannya bercabang dari empat hadits; sabda Nabi r:
((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ)).
“Barang siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat maka hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau lebih baik diam”.
Dan sabdanya r:
((مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمْ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)).
“Diatara ciri baiknya Islam seseorang adalah Ia meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi urusannya”.
Dan sabdanya r dalam wasiatnya yang singkat:
((لاَ تَغْضَبْ))
“Jangan marah”, dan sabdanya:
((الْمُؤْمِنُ يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ)).
“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya”.
Aku berkata (penulis) : Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu untuk beradab dengan adab-adab ini yang mendatangkan untuk mereka dan untuk selain mereka kebaikan dan faedah, serta menjauhi sikap kasar dan kata-kata kasar yang tidak akan membuahkan kecuali permusuhan, perpecahan, saling benci dan mencerai beraikan persatuan.
5. Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasehati dirinya, hendaklah ia memalingkan perhatiannya dari mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai, ketika mempergunakan jaringan internet hendaklah menghadapkan perhatiannya pada webset Syeikh Abdul’aziz bin Baz -رحمه الله- dan membaca berbagai karangan dan fatwanya yang jumlahnya sampai sekarang dua puluh satu jilid, dan fatwa tim komisi fatwa yang jumlahnya sampai sekarang dua puluh jilid, begitu juga webset Syeikh Muhammad bin ‘Utsaimin -رحمه الله- dan membaca buku-buku dan faywa beliau yang cukup banyak lagi luas.
Sebagai penutup saya wasiatkan kepada para penuntut ilmu supaya mereka bersyukur kepada Allah atas taufik yang diberikanNya kepada mereka; ketika Allah menjadikan mereka diantara orang-orang yang menuntut ilmu, dan hendaklah mereka menjaga keikhlasan mereka dalam menuntut ilmu tersebut dan mengorbankan segala yang berharga untuk mendapatkannya, serta menjaga waktu untuk selalu sibuk dengan ilmu; sesungguhnya ilmu tidak bisa diperoleh dengan cita-cita belaka serta tetap kekal dalam kemalasan dan keloyoan.
Telah berkata Yahya bin Abi Katsir Al Yamamie: “Ilmu tidak bisa diperoleh dengan ketenangan badan”, diriwayakan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dengan sanadnya kepadanya (yahya) ketika ia (Imam Muslim) menyebukan hadits-hadits yang berhubungan dengan waktu sholat.
Banyak terdapat ayat-ayat dalam kitab Allah yang menerangakan tentang kemulian ilmu dan keutamaan penuntut ilmu begitu juga dalam hadits-hadits Nabi r;
Seperti firman Allah:
{شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ}  [سورة آل عمران :].
“Allah dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu menyatakan bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia (Allah)(1).
Dan firman Allah:
{قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ}[سورة الزمر]
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengethui dengan orang-orang yang tidak mengetahui”.
Juga Firman Allah:
{يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ}[سورة المجادلة :].
‘Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang berilmu dengan beberapa derajat”. 
Firman Allah lagi:
{وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا}  [سورة طه : 114].
“Dan katakanlah: Ya tuhanku tambahlah ilmuku”.
Adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan penuntunya, diantaranya adalah sabda Rasulullah r:
((مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ)).
“Barangsiapa yang dikehedaki Allah untuknya kebaikan, Allah menjadikannya orang yang faham tentang agama”. Hadits ini diriwayakan oleh Bukhary (no 71) dan Muslim (no 1037).
Hadist ini menunjukkan bahwa diantara tanda Allah mengkehendaki kebaikan untuk seorang hamba adalah bahwa Allah menjadikannya seorang yang faham tentang agama, karena dengan kepafahamannya tentang agama ia akan beribadah kepada Allah dengan hujjah yang nyata dan menda’wahi orang lain dengan hujjah yang nyata pula.
Dan sabda Rasulullah r:
((خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ)).
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya”. Diriwayatkan Bukhari (no 5027).
Dan sabda Rasulullah r ((إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ))  :
“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan kitab ini (Al Quran) beberapa kaum dan merendahkan yang lainnya”. Diriwayatkan Muslim (no 817).
Dan sabdanya lagi:
     ((نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا)).
“Allah menjanjikan kenikmatan untuk seorang yang mendengar perkataanku, maka ia menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana yang didengarnya”. Ini adalah hadits yang mutawatir yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat, telah aku sebutkan riwayat-riwayat mereka tersebut dalam kitab saya “Dirasah Hadits ((نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِي)) riwayah dan diroyah”.
Dan sabda beliau lagi:
((مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْماً سَلَكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ طَرِيْقاً مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضاً لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمِ لَيَسْتَغْفِرَ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ ومَنْ فِي الْأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَماً، وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ)).
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu dalamnya, berarti Allah telah memasukkan kepada salah satu jalan dari jalan-jalan surga, sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya(1) dengan penuh keredhaan untuk penuntut ilmu, sesungguhnya penghuni langit dan bumi sekalipun ikan dalam air memohankan ampun untuk seorang ‘alim, sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim diatas seorang ahli ibadah seperti keutamaan cahaya bulan purnama atas cahaya bintang-bintang, sesungguhnya para ulama adalah pewaris dari para nabi-nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka mewariskan ilmu barangsiapa yang mengambilnya sesungguhnya ia telah mendapatkan warisan tersebut dengan bagian yang banyak”. Hadits ini riwayatkan oleh Abu Daud (no 3628) dan lainnya, silahkan lihat takhrijnya dalam “Shohih At Targhiib wat Tarhiib” (no 70), dan Ta’liiq musnad Imam Ahmad (no 21715), Ibnu Rajab telah mensyarahkannya dalam sebuah tulisannya, potongan pertama dari hadits tersebut terdapat dalam shohih Imam Muslim (no 2699).
Juga sabda Rasulullah r:
((إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ)).
“Apabila seorang manusia meninggal terputus darinya segala amalannya kecuali tiga macam; yaitu sadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at, atau anak yang sholeh yang mendo’akannya”.
Hadits ini diriwayakan Muslim (no 1631).
Dan sabda beliau lagi:
((مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلَ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلَ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا)).
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, ia akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka, barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tampa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka”. Diriwayatkan oleh Muslim (no 2674).
Dan aku wasiatkan juga kepada seluruhnya untuk menjaga waktu dan mengisinya dengan apa yang membawa kebaikan untuk segenap manusia, karena Rasulullah r bersabda:
((نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ؛ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ)).
“Dua nikmat kebanyakan dari manusia tertipu dalam keduanya; kesehatan dan waktu kosong”.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shohihnya (no 6412), ia adalah hadits yang pertama yang disebutkannya dalam kitab Ar Riqooq, ia juga menyebutkan dalam kitab tersebut sebuah Atsar dari Ali bin Abi Tholib, ia berkata: “Dunia telah beransur pergi membelakangi (kita), akhirat telah beransur tiba menghadapi (kita), setiap keduanya mempunyai pengagum, jadilah kalian dari pengagum akhirat, jangan kalian menjadi pengagum dunia, sesungguhnya hari ini sa’atnya untuk beramal tampa ada berhisab, besok sa’atnya untuk berhisab tampa beramal”.  (lihat shohih Bukhari bersama Fathul Bari: 11/235).
Aku wasiatkan untuk menyibukkan diri dengan sesuatu yang berguna dari apa yang tidak berguna, karena Rasulullah r bersabda:
((مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمْ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)).
“Diantara ciri baiknya Islam seseorang adalah Ia meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi urusannya”. Diriwayatkan oleh At Tirmizi (no 2317) dan lainnya, ia adalah hadits yang kedua belas dari urutan hadits Arba’iin An Nawawy.
Dan aku wasiatkan untuk berlaku adil dan bersikap netral antara     Al Ghulu (berlebih-lebihan) dan Al Jafa’  (melecehkan), dan antara  Al Ifraath (melampaui batas) dan At Tafriith (lengah). Karena Nabi r bersabda:
    ((إِيَاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنَ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ)).
“Hati-hatilah kalian terhadap sikap yang berlebih-lebihan dalam agama, sesungguhnya yang telah membinasakan orang yang sebelum kalian adalah sebab berlebih-lebihan dalam agama”.
Ini adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh An Nas-i dan lainnya, ia juga diantara hadits-hadits yang disampaikan Nabi r pada waktu haji wada’, lihat takhrijnya dalam silsilah shohihah karangan syeikh AlBany  (no 1283).
Dan aku wasiatkan untuk waspada dari melakukan kezoliman, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Qudsi:
((يَا عِبَادِي! إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً فَلاَ تَظَالَمُوْا)).
“Wahai para hambaku!, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezoliman atas diriKu, dan aku telah menjadikannya suatu yang haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzolimi”. 
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim (no 2577).
Dan sabda Rasulullah r:
((اتَّقُوْا الظُّلْمَ؛ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))
“Takutilah oleh kalian kezoliman; sesungguhnya kezoliman adalah (membawa) kegelapan pada hari kiamat”. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (no 2578).
Saya memohon pada Allah ‘azza wa jalla semoga Ia memberikan TaufiqNya kepada (kita) seluruhnya  untuk mendapatkan ilmu yang bermanfa’at dan beramal dengannya serta berda’wah kepadanya diatas hujjah yang nyata, semoga Ia mengumpulkan kita semuanya diatas kebenaran dan petunjuk, dan menyelamatkan kita semuanya dari berbagai fitnah baik yang nyata maupun yang tersembunyi, sesungguhnya Allah Maha penolong diatas segala hal yang demikian dan Maha kuasa atasnya, semoga Allah melimpahkan selawat dan salam serta keberkatan kepada hambaNya dan RasulNya Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga serta para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kemudian.

***



PERINGATAN
Penjelasan tentang Rifqon Ahlas Sunnah Untuk siapakah Syaikh menujukannya?

“Buku yang aku tulis terakhir ini yaitu Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah ada korelasinya dengan yang telah aku sebutkan di dalam Madarikun Nazhar. Risalahku Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah dimaksudkan untuk Ikhwanul Muslimin tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan Sayyid Quthb dan selainnya dari para harokiyyin. Tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan fiqh waqi’, para pencela penguasa dan orang-orang yang merendahkan para ulama, tidak dimaksudkan untuk mereka baik yang dekat maupun jauh. Sesungguhnya, risalahku ini aku peruntukkan untuk Ahlus Sunnah saja!!! Mereka yang berada di atas jalan Ahlus Sunnah yang tengah terjadi di tengah mereka ini sekarang perselisihan dan sibuknya mereka antara satu dengan lainnya dengan tajrih, hajr (mengisolir) dan mencela. [1]
Dalam kesempatan lain syaikh juga berkata :
”Jadi, saya katakan kembali bahwa buku ini tidaklah ditujukan bagi kelompok ataupun firqoh yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ataupun jalannya ahlus sunnah. Bahkan buku ini ditujukan kepada kalangan ahlus sunnah yang mereka sibuk antara satu dengan lainnya sesama ahlus sunnah, dengan jarh, hajr, mencari-cari kesalahan dan mentahdzir dari manusia karena kesalahan-kesalahan ini.
Jika ada dua orang mulai berselisih mereka pun berpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang ini berbangga diri dengan orang ini dan kelompok itu berbangga diri dengan orang itu. Sehingga tampak hajr dan muqotho’ah (memutuskan hubungan) antara satu dengan lainnya sesama pengikut ahlus sunnah di setiap tempat karena adanya perselisihan ini.
Hal ini adalah termasuk bencana dan fitnah yang paling besar. Sehingga ahlus sunnah akan terpecah belah berdasarkan pernyataan ketidaksepakatan antara orang ini dan orang itu : apa yang fulan katakan tentang fulan dan fulan!!! Apa pendapatmu tentang fulan dan fulan! Atau bagaimana sikapmu terhadap fulan dan fulan! Jika jawabanmu selaras dengan pendapat mereka, maka kamu akan selamat. Dan jika kamu tidak memiliki pendapat maka kamu akan dilabeli dengan sebutan mubtadi’, hajr akan dipraktekan dan ahlus sunnah akan terpecah belah menjadi kelompok-kelompok yang berbahaya!!! Inilah yang melatarbelakangi maksud penulisan buku ini (Rifqon).
Telah diketahui bersama bahwa buku ini tidaklah menyeru harokiyin, dan hal ini karena buku ini disukai, harokiyun senang jika ahlus sunnah sibuk antara satu dengan lainnya, hingga mereka merasa selamat dari ahlus sunnah. Dengan hal ini mereka merasa selamat dari ahlus sunnah, dan hal ini dikarenakan kita menyibukkan diri antar sesama ahlus sunnah. Buku ini menyerukan ishlah tentang hal-hal yang tengah melanda kita, agar kita lebih berlemah lembut antar sesama, dan kita berupaya untuk membenahi antara satu dengan lainnya. Ini yang terbetik di dalam fikiran saya tentang latar belakang penulisan buku ini.
Namun mereka dari kalangan harokiyun dan hizbiyun, yang jelas-jelas menyelisihi jalan ahlus sunnah, mereka sangat bergembira dengan perselisihan yang terjadi diantara kita. Karena ketika ahlus sunnah sibuk dengan sesamanya, mereka menjadi aman dari ahlus sunnah. Jadi... perpecahan dan perselisihan diantara ahlus sunnah inilah yang mereka kehendaki... Iya..” [2]


Tidak ada komentar: