TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG
KLASIFIKASI PROGRAM
BULAN ISTIMEWA
Ada
banyak faktor yang membuat kita harus bersyukur kepada Allah Swt. Salah Satunya
adalah disampaikan-Nya usia kita pada bulan Ramadhan yang mubarak, sehingga
kita bisa rasakan lagi ibadah Ramadhan yang nikmat itu. Kenikmatan ibadah
Ramadhan dapat kita rasakan salah satunya dari sisi nilai tarbiyyah
(pendidikan) nya terhadap diri, keluarga dan masyarakat.
Ada banyak nilai tarbiyyah Ramadhan yang akan
kita peroleh, khususnya dari ibadah puasa. Pemahaman tentang masalah ini perlu
kita ingat dan segarkan kembali agar ibadah puasa Ramadhan pada tahun ini bisa
kita optimalkan dalam peroleh hasil-hasilnya.
TARGET PENINGKATAN TAQWA
Materi 6:
PUASA, MEMBENTUK SUMBERDAYA
MUSLIM
Materi 9:
MELESTARIKAN NILAI-NILAI
RAMADHAN
KEBERHASILAN IBADAH
RAMADHAN
Ada banyak contoh kasus dari kisah para
sahabat yang menggambarkan betapa perhatian yang sedemikian besar dari mereka
terhadap masjid. Sebut saja misalnya Abdullah bin Ummi Makhtum yang meskipun
matanya buta dan rumahnya jauh dengan masjid, dia tetap datang ke masjid untuk
menunaikan shalat berjamaah karena dia selalu mendengar panggilan adzan
sebagaimana yang dianjurkan kepadanya.
Ada
ikatan hakikat dan fisik antara turunnya Al-Qur`an dengan Ramadhan. Ikatan ini
adalah selain Allah menurunkan Al-Qur`an di bulan Ramadhan, maka di bulan ini
pula Allah mewajibkan puasa. Karena puasa artinya menahan diri dari hawa nafsu
dan syahwat. Ini merupakan kemenangan hakikat spirutual atas hakikat materi
dalam diri manusia. Ini berarti jiwa, ruh, dan pemikiran manusia pada bulan
Ramadhan akan menghindari tuntutan-tuntutan jasmani. Dalam kondisi seperti ini,
ruh manusia berada di puncak kejernihannya, karena ia tidak disibukkan oleh
syahwat dan hawa nafsu. Ketika itu ia dalam keadaan paling siap untuk memahami
dan menerima ilmu dari Allah Swt. Karena itu, bagi Allah, membaca Al-Qur`an
merupakan ibadah paling utama pada bulan Ramadhan yang mulia.
Para salafush shalih mendefinisikan takwa dengan
sebuah ungkapan, “Menaati Allah dan tidak maksiat, selalu berdzikir dan tidak
lupa, senantiasa bersyukur dan tidak kufur.” Sifat takwa senantiasa melekat
pada seorang yang mukmin selama ia meninggalkan hal-hal yang sebenarnya halal,
karena khawatir jatuh ke dalam yang haram, demikian kata Hasan Al-Bashri.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ
عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Ada
beberapa hal yang mesti kita lakukan dalam menyambut datangnya buan suci
Ramadhan. Pertama, memperkuat kerinduan dan kecintaan kepada bulan suci
Ramadhan dan rasa harap untuk dapat menikmati keutamaannya. Hal ini antara lain
dapat diekspresikan dengan doa yang dicontohkan Rasulullah Saw. jika sudah
memasuki bulan Rajab,
MATERI CERAMAH RAMADHAN
وَإِنَّهُ
لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ
“Dan
sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan
bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab” (QS Az-Zukhruf:
44).
Ketika Allah Swt.. menjadikan Islam sebagai rahmat buat alam semesta;
ketika Allah Swt. menghendaki dari umat Islam menjadi umat terbaik; ketika
Allah Swt. menghendaki agar umat Islam mampu memikul amanah untuk memimpin
dunia ini; ketika Allah menghendaki agar umat Islam menjadi saksi bagi seluruh
umat manusia, maka ketika itulah Allah Swt. mempersiapkan umat Islam sedemikian
rupa, agar umat Islam ini layak menjadi umat yang terbaik. Di antara sarananya
adalah dengan pembentukan manusia yang bertaqwa. Pembentukan manusia yang
bertaqwa inilah yang banyak dilupakan manusia, sehingga ukuran kemajuan atau
ukuran kesejahteraan hidup diukur dengan paradigma materi. Lupa bahwa manusia
itu bukan hanya dari unsur materi saja, tetapi manusia punya nurani yang harus
diperhatikan, yang harus dibina sehingga pantas untuk menjadi manusia yang
terbaik. Oleh karena itu Ramadhan hadir di tengah-tengah kita dalam rangka
untuk menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang layak memimpin dunia ini.
Di dalam bulan Ramadhan banyak sekali kebajikan ilahi yang harus kita
dapatkan, sehingga kita keluar dari bulan Ramadhan ini benar-benar menjadi
manusia terbaik, manusia yang berkualitas, manusia yang berprestasi. Oleh
karena itu marilah kita berupaya benar-beanr memahami puasa itu sebagaimana
yang diharapkan Allah Swt.
Pertama,
puasa membentuk manusia yang mengoptimalkan kontrol diri (self control). Mengapa? Karena puasa sangat terkait dengan keimanan
seseorang. Seseorang bisa saja mengatakan dirinya sedang berpuasa, sekalipun
sebenarnya tidak. Oleh karena itu puasa disebut ‘ibaadah sirriyyah (ibadah yang bersifat rahasia). Rahasia antara
seorang hamba dengan Al-Kholiq. Sampai-sampai Allah Swt. mengatakan dalam
sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar “Kulluu
‘amali ibnu aadama lahu illash-shiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi
(setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa
itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya)”. Pertanyaannya adalah apakah amal
selain puasa tidak dibalas Allah? Dibalas. Tetapi kenapa dalam masalah puasa
Allah menegaskan bahwa Dia yang akan membalasnya sehingga seolah-olah amal yang
lain itu bukan Allah yang membalasnya? Ini merupakan isyarat Rabbaniyah bahwa
amal manusia yang bernama ash-shiyam
benar-benar insya Allah akan dijamin diterima oleh Allah Swt. Apakah yang lain
tidak dijamin? Ini karena puasa itu adalah ibadah
sirriiyyah, dimana orang tidak mengetahui dan tidak melihat ketika dia
berpuasa. karean ketika kita berpuasa, tidak ada orang lain yang tahu. Maka
ibadah yang sirriyyah itu adaah sangat dekat dengan keikhlasan. Dan syarat agar
suatu amal itu diterima oleh Allah, selain harus benar sesuai dengan ajaaran
Rasulullah Saw., harus ikhlas. Makanya kalau ingin menjadi orang yang populer,
tidak bisa melewati pintu puasa. Kalau terkenal sebagai seorang mubaligh, bisa.
Terkenal menjadi qori’ dan qori’ah, bisa. Terkenal menjadi
politikus, bisa. Dan itu semuanya sangat rawan dengan riya’, dan riya’ itu menjadikan
amal tidak diterima oleh Allah Swt. Itulah
sebabnya mengapa dalam kaitannya dengan puasa ini Allah menegaskan bahwa
Dia sendiri yang akan membalasnya. Inilah yang dikatakan bahwa puasa akan
melatih kita untuk mempunyai tingkat kontrol yang tinggi, baik ketika kita
menjadi seorang pemimpin, atau karyawan, ulama’ atau yang lainnya. Kita tidak
merasa dikontrol oleh yang lainnya, akan tetapi yang terpentinga dalah bahwa
kita sadar bahwa kita dikontrol oleh Allah Swt.
Yang kedua, lembaga shiyam
ini mendorong kita agar kita agar obsesi kita tentang kehidupan akherat itu
lebih dominan daripada obsesi dunia. Jadi obsesi ukhrowi kita, agar kita
menjadi hamba Allah yang akan mendapatkan kenikmatan abadi, itu harus lebih
dominan daripada kesenangan yang sifatnya sementara. Karena seluruh kenikmatan
yang ada di dunia ini, nikmat apa pun namanya, harta, pangkat, dan sebagainya
itu semuanya bersifat sementara. Makanya dalam bahasa Al-Qur’an kenikmatan
dunia itu tidak disebut nikmat, akan tetapi disebut mata’. Mata’ itu arti
adalah maa yatamatta’u bihil insan tsumma
yazulu qoliilan-qoliilan (mata’
adalah sesuatu yang disukai oleh manusia, akan tetapi sedikit demi sedikit akan
hilang)”. Kalau kita ditakdirkan Allah mempunyai istri yang sangat cantik,
ketika sudah berusai 60 tahun, maka kecantikannya pasti akan luntur, sehingga
mungkin kita berpikir mencari yang masih muda lagi. Kenapa? karena kenikmatan
dunia itu pasti ada batasnya. Ini adalah halyang manusiawi. Puasa itu melatih
kita agar obsesi yang ada dalam diri kita itu obsesi yang tentang kehidupan
yang abadi di akhirat. Makanya makanan, minuman, istri, dan semua yang halal
itu kita gapai dalam rangka untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.
Di negara kita yang sedang terkena krisis multi dimensional ini dan dipenuhi
dengan kerusuhan, disebabkan karena banyak manusia di negara ini ytang
obsesinya bukan obsesi ukhrowi. Ada
orang yang ingin menjatuhkan orang lain, ada orang yang khawatir kalau-kalau
dijatuhkan. Kalau obsesi duniawi ini dominan, bisa-bisa kita akan kehilangan
kehidupan ukhrowi kita. Ketika kita memasuki bilan Ramadhan, maka kita akan
ditarbiyah oleh Allah agar obsesi kit aadalah obsesi ukhrowi. Namun ini bukan
berarti kehidupan duniawi dilarang. Akan tetapi duniawi itu bukan yang dominan
dalam kehidupan kita. Makanya kita diajarkan untuk berdo’a “Walaa taj’al mushiibatana fii diinina, walaa taj’aliddun-yaa akbaro
hammina (jangan jadikan dunia sebagai obsesi terbesar dalam kehidupan
kami), walaa mablagho ‘ilmina, walaa
ilannaari mashiirona. Do’a ini sering dibaca, akan tetapi dalam
perbuatannya warnanya lain.
Yang ketiga, dari lembaga shiyam ini akan melahirkan manusia-manusia
yang benar-benanr mempunyai al-hasasiyyah
al-ijtima’iyyah (mempunyai kepekaan sosial yang tinggi). Dari mana bisa
kita ketahui? Ketika kita berpuasa sunnah, baik Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh, kita merasakan berpuasa
sendirian. Dibandingkan dengan puasa di bulan Ramadhan, puasa sunnah ini
perasaan kita lebih berat, karena dilaksanakan sendirian. Ini yang harus kita
perhatikan, sekarang ini bangsa kita (sebagian besar) sudah kehilangan kepekaan
sosial. Kalau ada tindak kejahatan di tempat keramaian, sangat langka kita
temukan orang yang peduli dengan membantu melawan penjahat. Kalau ada wanita
yang sangat cantik lewat dan hampir semua mata melihat, apakah ada orang yang
memprotes hal itu? Padahal, bukankah wanita itu isterinya orang yang haram
untuk dipelototi? Bahkan perbuatan seperti ini kadangkala diberikan pembenaran
dengan dalih ‘mubadzir’ kalau tidak
dilihat. Ini menunjukkan rendahnya sensitifitas keimanan (hasasiyah imaniyah). Yang ada adalah kerawanan dalam kehidupan
sosial, karena kemaksiatan sudah melembaga dan orang diam saja ketika
melihatnya. Padahal di masa Rasulullah SAW, orang tidak akan tinggal diam
ketika melihta suatu kemungkaran. Bahkan ketika jauh setelah kehidupan
Rasulullah, baik di jaman tabi’in
maupun tabi’it tabi’in, tetapi mereka
masih komitmen dengan ajaran Allah, maka sensitifitas sosial itu sangat tinggi.
Misalnya, di jaman dahulu kalau kita shalat jama’ah di masjid, kemudian kita
melihat ada tetangga atau saudara kita tidak datang, maka setelah selesai
shalat, semua jama’ah langsung mendatangi orang yang tidak shalat berjama’ah
tadi untuk menziarahinya, seolah-olah orang yang tidak shalat jama’ah itu adalh
orang yang mati sehingga perlu dita’ziyahi.
Kalau seandainya kita tidak shalat jama’ah dan kemudia kita dita’ziyahi, maka kita akan termotivasi
untuk selalu shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah adalah ibadah yang sangat
terkait dengan sensitifitas sosial. Ironisnya di negara ini ketika ada orang
diganggu, dicopet, atau digoda, yang lainnya diam saja, dan bisikan yang ada
dalam dirinya adalah ‘yang penting saya
selamat’. Orang seperti ini adalah orang yang mati dalam kehidupannya,
karena bahasa masing-masing itu
bahasa akhirat, bahasa ketika kiamat tiba, sehingga orang sibuk dengan
urusannya masing-masing. Suami lari dari istri dan anaknya, anak lari dari
orang tuanya. Allah berfirman:
“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkalala yang kedua).
Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari
istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan
yang cukup menyibukkannya” (QS ‘Abasa: 33-37).
Jadi kehidupan masing-masing itu adalah kehidupan akherat. Akan
tetapi sekarang ini sudah ada di dunia., Berarti seolah-olah sebagian
masyarakat sudah merindukan kematian, padahal masih hidup. Makanya banyak
kebajikan yang tidak jalan, keadilan tidak tegak. Dalam kondisi demikian, puasa
hadir di tengah-tengah kita untuk memperlihatkan bagaimana Islam itu
benar-benar mempunyai kepedulian terhadap kehiduapan bermasyarakat.
Pada masa Rasulullah Saw., ada juga kemaksiatan. Ada juga shahabat yang berbuat maksiat,
karena mereka bukan malaikat. Sekalipunsebaik-baik generasi adalah genarasi
Rasulullah Saw., akan tetapi ada saja yang berbuat maksiat. Ada yang pernah mencuri, ada yang pernah
berbuat zina dan yang lainnya. Akan tetapi kriminalitas itu masih sangat kecil
sekali, sehingga jarang ditemui. Itu pun bersifat pribadi dan dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi. Ironisnya, sekarang maksiat itu dilakukan ramai-ramai dan
secara terang-terangan tanpa malu-malu. Sehingga yang benar itu tertutup,
keamanan tidak nampak. Yang nampak adalah sesuatu yang menakutkan. Bahkan
kadang-kadang sampai di tempat yang suci seperti masjid, kadang-kadang orang
tidak bisa khusyu’ shalatnya karena takut sepatu atau sandalnya hilang. Kalau
di masjid saja orang masih tidak khusyu’ beribadah karena khawatir menjadi
korban kejahatan, bagaimana di tempat yang lain? Ini semua karena bayak orang
yang telah kehilangan kepedulian sosialnya. Inilah bedanya antara jaman kita
dengan jaman Rasulullah Saw. Bahkan di masa Rasulullah Saw., ketika ada seorang
berbuat zina dan kemudian dia hamil, dia sendiri kemudian bertaubat dan malah
dia sendirilah yang melakukan perbuatannya itu kepada Rasulullah Saw., karena
ketika dia berzina, itu terjadi karena kelemahamn iamnnya. Dalam hadits
dijelaskan “Laa yadri azzani ila yazni
wahuwa mu’min (tidaklah seseorang berani berbuat zina ketika zina,
sementara dia dalam keadaan beriman)”. Ketika seorang perempuan tadi berzina,
dan setelah itu ia sadar bahwa ia telah berbuat dosa, langsung dia datang
kepada Rasulullah Saw. minta agar dia dihukum sesuai dengan ajaran Islam. mari
kita merenung. Memang benar bahwa pada masa Raulullah pun ada orang yang
berbuat salah. Akan tetapi ketika ada diantara mereka yang berbuat salah, dia
langsung mengaku dan minta dihukum, padahal oranmg lain tidak tahu. Sekarang
bagaimana kondisinya? Jadi kalau kita bersalah, hendaklah kita datang untuk
minta dihukum. Kenapa? Karena seorang mukmin yang benar-benar beriman,
benar-benar yakin bahwa siksa akhirat itu lebih pedih. Dengan demikian,
benar-benar akan efisien tenaga itu. Kalau seandainya semua orang sama dengan
wanita yang bertaubat ini, maka aparat hukum tidak perlu capai-capai.
Ash-shiyam secara bahasa artinya adalah al-habsu (menahan diri), menahan diri
dari seluruh bentuk kemaksiatan. Kalau setiap kita menahan diri, jangankan
terhadap yang haram, yang mubah saja akan kita tinggalkan. Makanan, minuman,
istri itu kan
boleh. Akan tetapi di bulan Ramadhan pada siang harinya semua bisa kita tahan.
Kalau yang halal saja bisa kita tahan, apalagi yang haram? Oleh karena itu
jangan dalam berpuasa malah terbalik, yaitu yang mubah ditinggalkan tetapi yang
haram dilakukan. Makanan, minuman ditinggalkan, ghibah dilakukan, korupsi jalan
terus, dengan alasan untuk persiapan lebaran.
Inilah kepekaan-kepekaan ruhani yang benar-beanr mengalir dalam
setiap diri kita ketika kita berpuasa sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt.
Dan jangan sampai ada di antara kita yang menganggap bahwa puasa itu berat.
Bahkan Rasulullah Saw. dan para shahabat serta para tabi’in, banyak yang
menggunakan Ramadhan untuk berjihad di jalan Allah Swt. Perang Badar, Perang
Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut
yang terjadi pada abad ke-7 Hijriyah, dimana tentara-tentara Islam di bawah
pimpinan mamaalik (jama’ dari mamluk) bisa mengalahkan tentara-tentara salib, terjadi di bulan
Ramadhan. Saking hebatnya kemenangan yang dicapai umat Islam pada bulan
Ramadhan, Allah Swt. mengabadikannya dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat
pada QS Al-Anfal, dimana perang Badar dikatakan sebagai yaumal furqoon, sebagaimana yang terdapat pada firmanNya:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala
sesuatu” (QS
Al-Anfal: 41).
Pasukan kebenaran yang jumlahnya sedikit, tetapi dimenangkan oleh
Allah Swt. dalam melawan kekuatan bathil yang mempunyai kekuatan besar dan
jumlah tentara yang sangat banyak. Oleh karena itu Ramadhan yang akan kita
lalui ini semoga mengantarkan kita pada kemenenagan, kemenangan melawan hawa
nafsu, kemenangan bangsa ini dalam melawan krisis, kemenangan umat Islam dalam
melawan perselisihan, percekcokan antara sesama umat Islam, kemenangan bangsa
ini dalam menghadapi konspirasi dunia internasional yang dimotori oleh Yahudi,
yang mereka tidak senang melihat Indonesia maju karena negara ini adalah negara
Islam. oleh karena itu marilah kita jadikan Ramadhan ini kita jadikan momentum
Islam untuk kembali kepada Allah sehingga mencapai kemenangan yang hakiki. Wallahu a’lam bishshawab.
Materi 2:
MARHABAN YA RAMADHAN
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa (QS 2:183)
Beberapa minggu lagi kita akan kedatangan bulan Ramadhan 1425
H. Sebagai muslim, sudah seharusnya kalau kedatangan Ramadhan tahun ini kembali
kita sambut dengan penuh kegembiraan karena insya Allah, kesempatan menikmati
ibadah Ramadhan kembali kita peroleh. Target utama dari ibadah Ramadhan
sebagaimana yang disebutkan pada ayat adalah semakin mantapnya ketaqwaan kepada
Allah Swt. Sebagai wujud dari rasa gembira itulah, Ramadhan tahun ini tidak
boleh kita lewatkan begitu saja tanpa aktivitas yang dapat meningkatkan
ketaqwaan diri, keluarga dan masyarakat kita kepada Allah Swt. Maka,
persiapan-persiapan kearah itu sudah harus kita lakukan, baik secara pribadi
maupun bersama-sama.
Ramadhan yang penuh berkah harus kita jadikan sebagai momentum
untuk menyelamatkan masyarakat dengan melakukan taqarrub ilallah
(mendekatkan diri kepada Allah), baik dengan taubat, munajat dan menjalankan
sejumlah peribadatan maupun dengan khidmat yakni memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat agar kehidupan kita betul-betul dapat dirasakan
manfaatnya bagi orang lain dan perbaikan masyarakat dapat kita wujudkan dari
waktu ke waktu, baik perbaikan diri, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan
negara.
KLASIFIKASI PROGRAM
Sekurang-kurangnya, ada tiga klasifikasi program yang harus
kita persiapkan. Pertama, tarhib atau menyambut Ramadhan dengan
mengkondisikan diri, keluarga dan masyarakat untuk menyambut dan mengisi
Ramadhan yang mubarok dengan berbagai aktivitas yang dapat memantapkan
ketaqwaan. Secara pribadi ada beberapa hal yang harus dilakukan, Pertama,
menjaga kondisi fisik agar tetap sehat sehingga ibadah Ramadhan seperti puasa,
tarawih, tilawah dll dapat kita laksanakan dengan baik, karena bila sakit amat
sulit bagi kita untuk melaksanakan berbagai aktivitas Ramadhan yang memang amat
menuntut kesiapan fisik. Kedua, mengingat atau mengkaji kembali fiqih
yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan sehingga pelaksanaannya bisa berjalan
dengan baik karena didasari pada pemahaman yang baik. Ketiga, segera
membayar atau mengqadha puasa yang dengan sebab-sebab tertentu tidak bisa kita
laksanakan pada Ramadhan tahun lalu. Keempat, mengkondisikan diri dengan
menunaikan ibadah-ibadah yang sunat seperti puasa bulan Sya’ban, tadarus
Al-Qur’an dan sebagainya. Kelima, saling maaf memaafkan dengan sesama
kaum muslimin sehingga dalam memasuki Ramadhan, dosa kita dengan sesama manusia
sudah kita hapus sehingga pada bulan Ramadhan hanya menyelesaikan dosa kepada
Allah Swt, sehingga ketika Ramadhan berakhir dan tiba hari raya Idul Fitri,
kita benar-benar berada dalam keadaan fitrah atau suci.
Setelah mempersiapkan pribadi, mempersiapakan keluarga dan
masyarakat untuk menunaikan aktivitas dan ibadah Ramadhan juga harus kita
lakukan. Diantara aktivitas yang bisa kita lakukan untuk mengkondisikan
masyarakat untuk menyambut Ramadhan antara lain; pemasangan spanduk dan stiker penyambutan
Ramadhan dengan slogan-slogan yang menumbuhkan semangat beribadah Ramadhan
dengan segala aktivitasnya, menyelenggarakan tabligh akbar, membentuk panitia kegiatan Ramadhan di
masjid, mushalla dan kerohanian Islam baik di kantor, kampus maupun sekolah dan
klub-klub seperti olah raga, kesenian dll dengan mencanangkan sejumlah program
dan sebagainya. Persiapan menyambut
Ramadhan juga harus dilakukan oleh para pengelola media massa , baik cetak maupun
elektronik dengan menyiapkan acara dan rubrik Ramadhan yang berkualitas.
Tegasnya semua pihak dari kaum muslimin harus mempersiapkan diri menyambut
kedatangan Ramadhan tahun ini dengan perencanaan yang matang, untuk itu mutlak
keharusan pembentukan panitia kegiatan Ramadhan agar aktivitas Ramadhan bisa
dilaksanakan dengan baik.
Kedua, ihya atau
menghidupkan Ramadhan dengan berbagai aktivitas yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah, seperti puasa, shalat tarawih dan witir, berdo’a, tilawah, tasmi’
(memperdengarkan) dan tadabbur Al-Qur’an, khataman Al-Qur’an, I’tikaf sepuluh
hari terakhir dan sebagainya. Disamping
itu aktivitas Ramadhan juga harus dapat memperkokoh hubungan dengan sesama,
seperti zakat, infaq dan shadaqah, ifthor (buka puasa) bersama, bazar Ramadhan
dan sebagainya. Yang juga amat penting adalah adanya upaya meningkatkan
kualitas dan kuantitas aktivitas da’wah, misalnya dengan penyelenggaraan
ceramah tarawih yang harus ditentukan topik-topiknya agar tidak tumpang tindih
atau pengulangan yang terlalu berlebihan, dalam kaitan ini juga harus
menetapkan pembicara atau penceramah yang tepat, begitu juga dengan kualiah
subuh dan ceramah zuhur di kantor-kantor. Pelatihan-pelatihan dalam rangka itu
juga perlu diselenggarakan, misalnya pelatihan khatib dan muballigh,
pengelolaan perpustakaan masjid, manajemen masjid, mengurus jenazah,
pengelolaan zakat, pengelolaan baitul maal wat tamwil (BMT) dan sebagainya yang
kesemua itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemakmuran masjid dan
sebagainya.
Ketiga, ba’da Ramadhan,
yakni menindaklanjuti aktivitas Ramadhan sehingga Ramadhan tidak berakhir
begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Aktivitas ba’da Ramadhan yang
dimaksudkan untuk memberikan bekas yang dalam antara lain menyelenggarakan
takbiran sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, bukan takbiran yang
hura-hura dan mengandung nilai kemaksiatan, melaksanakan shalat Idul Fitri yang
berlangsung secara khusyu, menyerukan atau mengingatkan kaum muslimin akan
nilai-nilai Ramadhan yang harus kita tindak lanjuti, memperkokoh silaturrahmi
antar keluarga dan masyarakat muslim agar tumbuh dan dapat direalisasikan semangat
kebersamaan dalam menjalankan ajaran Islam, melaksanakan puasa sunat bulan
Syawal dan memulai kembali aktivitas keislaman yang dialihkan sementara kepada
kegiatan Ramadhan.
Manakala sejak dini, aktivitas Ramadhan telah kita rencanakan
dengan matang dan kita laksanakan pada waktunya dengan baik, niscaya banyak
manfaat yang kita peroleh dalam upaya menyelamatkan diri, keluarga dan
masyarakat dari sejumlah krisis yang selalu menghantui.
Materi 3:
BULAN ISTIMEWA
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Ketika ibadah Ramadhan tahun lalu kita akhiri, salah
satu harapan yang merasuk kedalam jiwa kita adalah keinginan untuk bisa
menjumpai dan menikmati bulan Ramadhan pada tahun berikutnya. Insya Allah,
harapan itu akan terpenuhi, karenanya kita berharap semoga Allah Swt benar-benar
menyampaikan usia kita pada Ramadhan tahun ini.
Kalau
kita begitu berharap bisa menikmati kembali ibadah Ramadhan pada tahun ini,
karena Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Karena itu, kehadiran
Ramadhan tahun ini yang tidak akan kita sia-siakan begitu saja. Sebagai orang
yang gembira atas kedatangan kembali Ramadhan dan kita bisa memasukinya, maka
target yang ingin kita capai adalah mendapatkan nilai-nilai keistimewaan dari
bulan Ramadhan itu sendiri sebagai titik awal untuk meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah Swt. Lalu, selain keharusan berpuasa sebulan penuh, apa saja
keistimewaan bulan Ramadhan itu?.
1. BULAN AL-QUR’AN
Ramadhan
seringkali disebut dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al-Qur’an), karena awal
diturunkannya Al-Qur’an adalah pada bulan Ramadhan. Dengan berpedoman pada
Al-Qur’an, niscaya perjalanan hidup manusia menjadi terarah dan memberi
kebahagiaan, kedamaian, ketentraman dan kemakmuran serta keadilan. Banyak dari
kita, kaum muslimin yang sudah jauh dari Al-Qur’an, mulai dari jauh dalam
bentuk tidak bisa membacanya, bisa membaca tapi tidak rajin membacanya, rajin
membaca tapi tidak memahaminya, memahami tapi tidak mengamalkannya atau sudah
mengamalkannya tapi baru untuk dirinya sendiri, belum merangsang atau mengajak
orang lain untuk mengamalkannya.
Oleh
karena itu, sebagai bulan Al-Qur’an, Ramadhan mengingatkan dan mengetuk hati
kita untuk memperkokoh komitmen kepadanya. Bila Ramadhan yang segera kita
masuki telah berakhir dan komitmen kita kepada Al-Qur’an semakin kuat, hal itu
merupakan indikasi dari keberhasilan ibadah Ramadhan kita, sehingga dalam
menjalani kehidupan ini, kita selalu berpedoman kepada Al-Qur’an, karena
Al-Qur’an memang berfungsi sebagai petunjuk dan dalam menilai sesuatu, kitapun
menggunakan Al-Qur’an sebagai tolok ukur, karena Al-Qur’an memang berfungsi
untuk membedakan antara yang haq (benar) dengan yang bathil (salah), Allah
berfirman yang artinya: Bulan Ramadhan adalah bulan yang didalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). (QS
2:185).
2. PINTU SYURGA
DIBUKA, NERAKA DITUTUP.
Setiap
muslim pasti ingin sekali bisa masuk syurga dengan segala kenikmatannya dan
terhindar dari neraka dengan segala kesengsaraan dan penderitaannya. Ramadhan
adalah bulan yang amat memberi peluang kepada kita untuk meraih syurga dan
menghindar dari neraka. Namun ini sifatnya tidak otomatis bersamaan dengan
datangnya Ramadhan, tapi itu bisa kita raih manakala Ramadhan ini kita penuhi
dengan segala bentuk kebajikan, sekecil apapun kebajikan yang kita lakukan itu.
Ramadhan
yang merangsang kita untuk melaksanakan segala aktivitas kebajikan akan
menghantarkan kita ke pintu syurga yang seluas-luasnya, bahkan bagi orang yang
berpuasa, Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
menyatakan ada pintu khusus untuk masuk syurga itu yang dinamakan dengan Ar
Royyan. Sementara dengan ibadah Ramadhan yang sebaik-baiknya, seorang
muslim semakin kecil peluangnya akan kemungkinan masuk ke dalam neraka. Itulah
salah satu maksud pintu syurga dibuka lebar dan pintu neraka ditutup rapat
dengan sebab puasa Ramadhan sebagaimana hadits Nabi Saw:
Jika tiba bulan Ramadhan, maka
dibuka pintu-pintu syurga dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu semua
syaitan (HR. Bukhari dan Muslim).
3. MEMBELENGGU
SYAITAN
Hadits
di atas juga menyebutkan dibelenggunya syaitan-syaitan ketika Ramadhan tiba,
hal ini karena dengan telaksananya ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya,
syaitan merasa amat sangat sulit mencapai keberhasilan dalam menggoda manusia,
sehingga selama Ramadhan itu, syaitan betul-betul merasa terbelenggu atau
sangat terbatasi keleluasaannya dalam menggoda manusia.
Dengan
demikian, sebagai muslim, kita harus aktif dalam membelenggu syaitan melakukan
aktivitasnya menyesatkan manusia, dan bulan Ramadhan adalah kesempatan yang
amat baik untuk melatih kekuatan rohani kita untuk bisa membatasi ruang gerak
syaitan dalam diri kita masing-masing.
4. AMPUNAN DOSA.
Ibadah
Ramadhan yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya juga akan memberi keuntungan
atau keistimewaan bagi kita dengan diampuninya dosa-dosa kita dimasa lalu oleh
Allah Swt. Ini merupakan peluang yang sangat besar yang diberikan Allah dan
kita tidak boleh mensia-siakan kesempatan ini. Kenapa demikian?. Karena sudah
begitu banyak dosa yang kita lakukan, dosa anak kepada orang tua, dosa orang
tua kepada anak, dosa isteri kepada suami, dosa suami kepada isteri, dosa
pemimpin pada rakyat, dosa rakyat pada pemimpin, dosa murid kepada guru, dosa
guru kepada murid dan begitulah seterusnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa
yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhari).
Kalau
peluang yang begitu besar ini kita abaikan, peluang mana lagi yang ingin kita
ambil. Memang tahun depan, Ramadhan akan kembali tiba kalau kiamat belum
terjadi, tapi yang jadi masalah adalah usia kita yang belum tentu sampai,
sebagaimana banyak orang diantara keluarga, teman, jamaah dan masyarakat kita
yang sudah tidak bisa berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan tahun ini karena
mereka telah meninggal dunia..
5. MEMPERKUAT
BENTENG PERTAHANAN.
Dalam
salah satu hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw
menyatakan: ash shiyamu junnatun (puasa itu adalah benteng). Dalam suatu
peperangan, diperlukan benteng untuk memantapkan pertahanan. Dalam kehidupan
seorang muslim, terjadi kecamuk perang dalam jiwanya antara yang haq dan yang
bathil. Untuk bisa memenangkan peperangan itu, seorang muslim harus memiliki
benteng pertahanan yang kuat sehingga bisa menghalau segala godaan syaitan.
Puasa
sebagai upaya memperkuat benteng pertahanan rohani merupakan sesuatu yang amat
penting. Tersebarluasnya kemaksiatan dan kemunkaran, sulitnya memperkokoh
persatuan Islam dan umat Islam pada hakikatnya adalah karena lemahnya kekuatan
rohani yang membuat syaitan menjadi begitu berkuasa atas diri kita. Karena itu,
dalam kondisi kehidupan masyarakat kita yang masih amat jauh dari nilai-nilai
Islam, peran puasa Ramadhan menjadi sesuatu yang amat mendasar dalam
membentengi jiwa umat dalam menghadapi godaan-godaan syaitan yang tiada henti.
6. PAHALA BESAR
Keistimewaan
penting dari bulan Ramadhan adalah diberikannya pahala yang begitu besar kepada
siapa saja yang melakukan kebajikan atau amal yang shaleh. Hal ini akan membuat
kita semakin terlatih atau terbiasa untuk melakukan amal-amal yang shaleh.
Sebagai sebuah contoh, untuk orang yang memberi makan atau minum kepada orang
yang berbuka puasa, maka Allah Swt akan memberikan pahala puasa orang yang
diberi makan atau minum itu tanpa mengurangi pahala orang tersebut.
Ibadah
Ramadhan memang memberikan janji perolehan pahala yang besar. Dengan pahala
yang besar itu kita terangsang untuk beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya,
lalu kita menjadi terbiasa melakukannya.
Akhirnya
menjadi jelas bagi kita bahwa, begitu banyak keistimewaan bulan Ramadhan yang
membuat kita tidak boleh mengabaikannya begitu saja. Karena itu, kehadiran
Ramadhan pada tahun ini akan kita optimalkan sebagai momentum untuk
meningkatkan proses tarbiyyah (pendidikan) bagi diri, keluarga dan
masyarakat kita kearah terwujudnya pribadi, keluarga dan masyarakat yang selalu
berada dalam ketaqwaan kepada Allah Swt.
Materi
4:
ISLAM:
PRIBADI, KELUARGA DAN MASYARAKAT
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Salah
satu yang kita dambakan dalam hidup ini adalah terwujudnya kehidupan yang baik
berdasarkan nilai-nilai Islam. Sebagai agama yang syamil (menyeluruh)
dan kamil (sempurna), Islam memberikan perhatian yang begitu besar pada
pembentukan pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami. Oleh karena itu,
menjadi penting bagi kita untuk memahani hakikat pribadi, keluarga dan
masyarakat yang Islami.
PRIBADI ISLAMI.
Kepribadian yang islami adalah pribadi yang
bertaqwa dan selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Perasaan diawasi oleh Allah
menjadi begitu penting dalam kehidupan seorang muslim karena dengan demikian
dia tidak berani menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan Allah, hal ini
karena setiap perbuatan manusia ada pertanggung-jawabannya dihadapan Allah,
kebaikan dan keburukan yang dilakukannya untuk dirinya sendiri. Allah berfirman
yang artinya: Sesungguhnya Kami
menurunkan kepadamu Al kitab (Al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa
kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk
maka petunjuk itu untuk dirinya
sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat
(kerugian dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung
jawab terhadap mereka (QS 39:41).
Disamping
itu pada ayat lain Allah juga berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungan jawabnya
(QS 17:36 ).
Puasa
dan seluruh peribadatan di dalam Islam melatih kita untuk selalu dalam
pengawasan Allah, menghargai waktu, disiplin dan sebagainya, sehingga dari
ibadah ini insya Allah akan kita capai perbaikan keislaman diri ke arah yang
lebih baik dan terus menunjukkan ketundukan kepada Allah Swt hingga akhir
hayat, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu
kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan jangan sampai kamu mati
kecuali dalam keadaan muslim (QS 3:102).
KELUARGA ISLAMI.
Keluarga
Islami adalah keluarga yang anggota-anggota bukan hanya status keagamaannya
sebagai muslim, tapi juga dapat menunjukkan keislaman dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam hubungannya kepada Allah Swt maupun dengan sesama
anggota keluarga dan tetangganya. Dari sini akan terpancar sinar kemuliaan
keluarga dalam kehidupan masyarakat, karena dari keluarga yang islami itulah
akan terwujud nantinya masyarakat yang islami. Oleh karena itu menjadi penting
bagi setiap muslim untuk memperbaiki dan menata keluarga dengan sebaik-baiknya.
Dalam
konteks bulan Ramadhan, memperbaiki keislaman keluarga bisa kita lakukan dengan
lebih menkondisikan suasana pengamalan ajaran Islam dalam keluarga seperti tadarrus
dan tadabbur (mengkaji) Al-Qur’an, sahur bersama, buka puasa bersama,
tarawih bersama yang disertai ceramah dan memperkokoh hubungan dengan sesama
anggota keluarga karena suasana kumpul bersama keluarga di rumah pada bulan
Ramadhan relatif lebih banyak sehingga tercipta keakraban dan keharmonisan
hubungan antar keluarga yang berdampak sangat positif dalam upaya memperbaiki
keislaman anggota keluarga.
Ramadhan
boleh dikata sebagai momentum yang sangat baik untuk memperbaiki keislaman
anggota keluarga. Misalnya anggota keluarga yang belum bisa membaca Al-Qur’an
bisa kita kontrol dan kita tumbuhkan atau kita tingkatkan kemampuannya membaca
Al-Qur’an, begitu juga dengan pemahaman dan pengamalannya. Memperbaiki
keislaman keluarga merupakan tanggung jawab kita bersama, khususnya bagi
seorang suami atau bapak, maka seorang bapak harus memperbaiki keislaman
dirinya terlebih dahulu baru memperbaiki keislaman keluarganua. Keluarga harus
kita islamisasikan karena azab Allah sangat pedih bagi siapa saja yang tidak
bertaqwa kepada-Nya, Allah berfirman
yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS 66:6)
MASYARAKAT YANG ISLAMI.
Terwujudnya masyarakat yang berkepribadian Islami
merupakan sesuatu yang sangat penting. Dengan terwujudnya masyarakat Islami,
ketertiban, kedamaian dan ketenangan hidup akan sama-sama kita rasakan, bahkan
hidup jadi terarah pada nilai-nilai kebenaran dan dapat kita kikis habis
tindakan-tindakan yang maksiat atau paling tidak sangat kecil peluang manusia
untuk melakukan kemaksiatan. Dari sini masyarakat akan memiliki harapan yang
lebih besar terhadap masa depan yang cerah, tapi bila masyarakat tidak Islami,
maka masa depan yang bahagia akan terasa suram. Allah Swt berfirman,
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” (QS 7:96).
Apabila manusia, baik secara pribadi maupun kelompok
atau masyarakat memperoleh keberkahan dari Allah Swt, maka kehidupannya akan
selalu berjalan dengan baik, rizki yang diperolehnya cukup bahkan melimpah,
sedang ilmu dan amalnya selalu memberi manfaat yang besar dalam kehidupan.
Disinilah letak pentingnya bagi kita mewujudkan masyarakat yang islami.
Pertanyaan kita kemudian adalah seperti apa masyarakat Islami yang harus kita
wujudkan itu.
Paling
kurang ada empat ciri masyarakat Islami yang harus kita tegakkan. Pertama,
masyarakat yang bersaudara antar satu dengan lainnya. Masyarakat yang tidak
mempersoalkan orang asing atau pribumi, dikenal atau belum, penduduk asli atau
pendatang, yang penting adalah ketaqwaannya kepada Allah Swt sebagaimana
firman-Nya,
“Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal” (QS 49:13).
Kedua, Masyarakat yang tidak mengenal konflik dan pertentangan,
hal ini karena konflik dan pertentangan biasanya terjadi karena ada kesenjangan
yang salah satunya adalah kesenjangan ekonomi dan masyarakat Islam tentu
menunaikan zakat, infak dan shadaqah. Karena itu, dengan zakat yang ditunaikan
secara baik, akan terjembatani jarak yang memisahkan antara yang kaya dengan
yang miskin. Manakala konflik dan pertentangan antar sesama anggota masyarakat
sudah bisa diatasi atau diselesaikan, niscaya masyarakat itu akan menjelma
menjadi masyarakat yang kuat meskipun sebenarnya potensinya lemah, sedangkan
masyarakat yang sebenarnya memiliki potensi yang besar tetap saja akan menjadi
lemah bila masih saja mengembangkan konflik dan pertentangan, Allah Swt
berfirman yang artinya,
“Dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS 8:46 ).
Ketiga,
masyarakat yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan termasuk dalam mencari
kebutuhan ekonomi yang halal bagi diri dan keluarganya merskipun dengan susah
payah dalam memperolehnya, Rasulullah Saw bersabda,
“Seseorang yang membawa tambang
lalu pergi mencari dan mengumpulkan kaya bakar lantas dibawanya ke pasar untuk
dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kerbutuhan dan nafkah dirinya,
maka itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang yang
terkadang diberi dan kadang ditolak (HR.
Bukhari dan Muslim).
Keempat, masyarakat yang terhormat, yakni masyarakat yang
memiliki izzah, kemuliaan atau harga diri, baik dalamn kaitan dengan mencari
harta, melapiaskan keinginan seksual maupun dalam menjalin hubungan dengan
sesama manusia. Citra diri merupakan sesuatu yang selalu dijaga dan
dipertahankan.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa
terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang islami merupakan suatu
kebutuhan bagi proses perwujudan kehidupan dunia yang aman, adil dan sejahtera.
Materi
5:
TARBIYYAH RAMADHAN
Oleh Drs. Ahmad Yani
Oleh karena itu, manakala ibadah
Ramadhan ini dapat kita tunaikan dengan sebaik-baiknya, maka masyarakat dan
negara kita yang mayoritas penduduknya muslim ini akan sampai pada suatu
keadaan yang bersih jiwanya sehingga melahirkan masyarakat dan bangsa yang
bersih dari sifat dan prilaku yang buruk.
1. Membersihkan Jiwa.
Keadaan jiwa
seseorang menjadi penentu utama bagi diri dalam bersikap dan berprilaku. Sikap
dan prilaku yang baik atau buruk sangat ditentukan oleh apakah jiwanya bersih
atau tidak. Puasa mentarbiyyah kita untuk menjadi manusia yang memiliki jiwa
yang bersih. Indikasi jiwa yang bersih adalah senang melaksanakan apa yang
diperintah Allah, menjauhi apa yang dilarang-Nya serta selalu berupaya untuk
menyempurnakan pengabdiannya kepada Allah Swt.
Jiwa yang bersih akan membuat seseorang, pertama,
senang pada kejujuran dan puasa memang mendidik seorang muslim untuk bersikap
dan berprilaku jujur, meskipun tidak ada orang lain yang mengetahui kalau dia
melakukan pelanggaran. Kedua, takut kepada Allah dan selalu merasa
diawasi olehnya yang membuat tumbuh dalam jiwanya rasa dekat kepada Allah
Swt sehingga dia tidak mau melanggar
ketentuan-ketentuan Allah Swt, meskipun pelanggaran yang dilakukannya termasuk
pelanggaran yang kecil dan tidak diketahui oleh orang lain. Ketiga,
orang yang mendambakan kebersihan jiwa, manakala telah diselimuti dengan dosa,
maka dia ingin membersihkan dosa-dosanya itu, dan puasa merupakan salah satu
upaya untuk membersihkan jiwa dari dosa-dosa. Keempat, jiwa yang bersih juga
diindikasikan dalam bentuk disiplin dalam menjalan ketentuan-ketentuan Allah
Swt dan puasa memang melatih kita untuk menjadi orang yang disiplin dalam
menjalani kehidupan sebagaimana yang telah digariskan Allah Swt dan dicontohkan
oleh Rasul-Nya. Makan, minum, melakukan hubungan seksual dan sebagainya ada
ketentuan waktu yang harus ditaati oleh seorang muslim selama menunaikan ibadah
puasa, ini berarti puasa harus menghasilkan jiwa disiplin dalam ketaatan kepada
Allah Swt.Dan kedisiplinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam dunia
apapun, apalagi dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.
2. Memantapkan Keinginan Baik.
Keinginan (iradah) merupakan sesuatu yang mesti ada, tumbuh dan
berkembang dalam diri seorang muslim dalam rangka melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan Allah Swt.Puasa mendidik kita untuk menumbuhkan dan
mengembangkan iradah untuk melaksanakan yang baik dan iradah untuk menjauhi
segala bentuk keburukan.
Pahala atau imbalan besar yang disediakan Allah Swt terhadap
orang yang berpuasa dengan baik membuat tumbuh pada dirinya keinginan untuk
melaksanakan segala bentuk kebaikan dan menjauhi segala bentuk keburukan.
Misalnya saja di bulan Ramadhan kita dibina untuk menolong orang lain dengan
cara memberi makan atau minum kepada orang yang berbuka dengan pahala yang
besar, Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa memberi jamuan buka puasa kepada orang yang
berpuasa, maka ia mendapat pahala seperti pahalanya (orang yang berpuasa) itu,
yaitu tidak dikurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).
Dengan imbalan yang besar itu, seorang sahabat meskipun miskin
masih tetap berkeinginan untuk bisa memberi makan atau minum kepada orang yang
berbuka puasa, tapi dia bertanya kepada Rasul tentang apa yang bisa
diberikannya karena miskinnya itu, maka Rasulpun tidak menutup kemungkinan
seseorang untuk menginginkan suatu amal yang baik, maka beliaupun menyatakan:
“meskipun engkau hanya bisa memberi sebiji korma atau seteguk air”.
3. Mengendalikan Nafsu Seksual.
Secara khusus, ibadah puasa juga mendidik
kita untuk melakukan pengendalian terhadap nafsu seksual, tapi bukan membunuh
nafsu seksual sehingga kita tidak memilikinya lagi. Nafsu seksual merupakan
salah satu pintu yang digunakan oleh syaitan dalam menggoda manusia menuju
jalan yang sesat. Karena itu, tidaklah aneh kalau kita menemukan begitu banyak
manusia yang akhirnya jatuh ke lembah yang nista karena tidak mampu
mengendalikan nafsu seksualnya. Berapa banyak orang kaya yang jatuh miskin
karena masalah seksual, berapa banyak pejabat yang jatuh dari kursi
kekuasaannya karena nafsu seksual dan berapa banyak terjadi kasus-kasus
kerusakan akhlak lainnya karena berpangkal dari persoalan seksual.
Karena itu, tidak aneh juga kalau ada
psikolog menganggap seks sebagai faktor utama
penggerak aktivitas manusia, karena memang begitulah yang banyak terjadi
di berbagai belahan dunia, khususnya di dunia barat. Wabah kerusakan moral dan
berbagai penyakit telah bermunculan karena bermula dari ketidakmampuan manusia
mengendalikan nafsu seksualnya.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim,
masalah seksual merupakan karunia Allah Swt yang pelampiasannya boleh dilakukan
pada batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka ibadah
puasa melatih kita untuk mengendalikan keinginan seksual itu, jangankan kepada
wanita lain atau kepada lelaki lain, kepada isteri atau suami saja harus
dikendalikan dengan sebaik-baiknyapada saat sedang berpuasa, Allah berfirman
yang artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak bisa menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar” (QS Al-Baqarah: 187).
4. Mengokohkan Jiwa Kemasyarakatan
Sebagai manusia, kita menyadari bahwa
hidup ini tidak mungkin bisa kita jalani dengan baik tanpa kebersamaan dengan
manusia lainnya. Karena itu interaksi kita antara yang satu dengan yang lain
merupakan suatu kebutuhan dan secara ekonomi, yang kaya harus membantu yang
miskin, sementara yang miskinpun masih bisa bersyukur kepada Allah Swt karena
bisa jadi masih banyak orang yang lebih miskin darinya.
Ibadah puasa mendidik kita untuk
mengokohkan jiwa kemasyarakatan itu, sehingga sebagai orang yang memiliki
kemampuan secara materi kita siap memberikan bantuan kepada yang tidak mampu
karena kita sudah merasakan tidak enaknya lapar dan haus, padahal itu hanya
berlangsung beberapa jam, sementara masih begitu banyak anggota masyarakat kita
yang memerlukan bantuan, apalagi dalam krisis ekonomi di negara kita sekarang
ini yang telah melahirkan penduduk miskin baru dalam jumlah yang amat banyak.
Menumbuhkan jiwa kemasyarakatan itu nantinya disimbolkan dalam bentuk menunaikan
zakat fitrah yang memang harus diberikan kepada mereka yang miskin.
TARGET PENINGKATAN TAQWA
Bila kita hendak simpulkan tentang
apa sesungguhnya target ibadah puasa secara khusus dan ibadah Ramadhan lainnya
secara umum, maka target yang hendak kita capai adalah terwujudnya peningkatan
taqwa kepada Allah Swt dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana firman Allah
dalam QS 2: 183 di atas.
Oleh karena itu, dari Ramadhan ke
Ramadhan, dari satu peribadatan ke peribadatan berikutnya semestinya membuat
taqwa kita kepada Allah Swt semakin berkualitas, ibarat orang menaiki tangga,
maka dia sudah berada pada pijakan tangga yang lebih tinggi sesuai dengan
frekuensi peribadatannya. Manakala dari tahun ke tahun ibadah Ramadhan kita
tunaikan, tapi ternyata tidak ada peningkatan taqwa kepada Allah yang kita
tunjukkan, maka kita khawatir kalau puasa kita itu tergolong yang hanya
merasakan lapar dan haus saja, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Betapa
banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan pahalanya, melainkan hanya
lapar dan haus saja (HR. Ahmad dan Hakim dari Abu Hurairah).
Semoga kita termasuk orang yang
sukses dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Materi 6:
PUASA, MEMBENTUK SUMBERDAYA
MUSLIM
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Di dalam
Al-Qur’an terdapat sekitar 90 ayat yang dimulai dengan panggilan atau seruan
kepada orang-orang yang beriman dengan kalimat: Hai orang-orang yang beriman,
suatu panggilan yang menunjukkan kecintaan dari Allah Swt yang sangat dalam
sehingga mereka yang diseru merasakan getaran
cinta dari Allah Swt yang membuatnya mudah menerima isi seruan dan siap
melaksanakan beban-beban yang terkandung di dalamnya. Itu pula yang terasa
dalam perintah melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana Allah berfirman yang
artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa
(QS 2:183).
Islam
sebagai sebuah agama yang benar harus diperjuangkan penegakan dan
penyebarluasannya oleh kaum muslimin dengan segala konsekuensinya. Karena itu
kaum muslimin harus dipersiapkan kekuatan rohaninya untuk bisa mengemban
tugas-tugas perjuangan yang berat itu. Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu upaya untuk membentuk
sumber daya muslim agar mampu mengembannya. Paling kurang, ada empat target
yang harus dicapai oleh setiap mu’min yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan,
khususnya dalam konteks mengemban amanah perjuangan menyebarkan dan menegakkan
nilai-nilai kebenaran Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim.
1. MEMANTAPKAN
AQIDAH YANG KOKOH
Tujuan utama puasa adalah
mempersiapkan hati manusia untuk bertaqwa, sensitif, melembutkan hati dan takut
kepada Allah. Taqwa membangkitkan kesadaran dalam hati sehingga mau menunaikan
kewajiban, taqwa juga menjaga hati seseorang sehingga ia tidak mau merusak
nilai-nilai ibadah puasa dengan maksiat meskipun hanya dengan getaran hati
untuk berbuat maksiat. Ketaqwaan kepada Allah Swt merupakan bukti nyata dari
kokohnya aqidah seseorang, karenanya puasa dibebankan kepada siapa saja yang
beriman kepada Allah Swt agar keimanan itu dapat menjelma menjadi ketaqwaan
yang sempurna. Karena itu taqwa menjadi puncak ketinggian rohani seorang muslim
sehingga orang bertaqwalah yang berada pada posisi yang paling mulia di sisi
Allah Swt, sebagaimana terdapat dalam firman Allah yang artinya: Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS
49:13).
Dalam konteks kehidupan
masyarakat yang rusak, tujuan puasa ini menjadi sangat penting. Kokohnya iman
menjadi modal utama bagi manusia untuk bisa memperbaiki akhlaknya, dari iman
yang kokoh di dalam hati akan terwujud manusia yang berakhlak mulia. Karena itu
Sayyid Quthb dalam dzilalnya menyatakan: “Apabila terjadi kerusakan pada
suatu generasi manusia, maka untuk memperbaikinya bukan dengan memperketat
hukum terhadap mereka melainkan dengan jalan memperbaiki pendidikan dan hati
mereka serta menghidupkan rasa taqwa di dalam hati mereka”.
2. MEMANTAPKAN
HUBUNGAN DENGAN ALLAH
Salah satu nilai tarbiyyah
(pendidikan) dari ibadah puasa adalah upaya memantapkan hubungan dengan Allah
Swt, hal ini karena setiap muslim yang berpuasa harus melaksanakannya karena
Allah dan dilakukan dengan ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah Swt.
Sesuatu yang biasanya halal untuk dilakukan atau dinikmati, pada saat berpuasa
seorang muslim diharamkan oleh Allah Swt dan ia tunduk saja kepada sang
pencipta meskipun ia bisa melakukannya atau memiliki sepenuhnya untuk bisa
dinikmati. Ini menunjukkan hubungan yang baik kepada Allah Swt yang menjelma
dalam bentuk kepatuhan kepada-Nya, dan untuk itu seorang muslim mampu
mengendalikan dan mengatasi tuntutan dari dalam dirinya yang bersifat fisik
seperti makan, minum dan kebutuhan seksual.
Terjalinnya hubungan yang dekat
kepada Allah Swt merupakan modal yang sangat penting bagi manusia, bahkan tidak
hanya untuk mengemban amanah perjuangan tapi juga untuk bisa menjalani
kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Hubungan manusia yang jauh dengan
Allah membuat manusia hanya bisa menyumbang persoalan dalam kehidupan ini,
sedangkan masalah yang ada tidak mampu diatasi. Padahal bila manusia merasa
dekat dengan Allah dan ia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt, niscaya ia
tidak berani menyimpang dari ketentuan-Nya dan bila penyimpangan itu sudah
terjadi, iapun cepat mengakui kesalahannya hingga memiliki kesiapan untuk
menjalani hukuman akibat kesalahan yang dilakukannya, bukan malah sudah salah
tapi masih saja tidak merasa bersalah dan mencari seribu dalih untuk bisa
menghindar dari hukuman dan berusaha menutupi kesalahan yang telah dilakukannya
meskipun harus dengan kesalahan yang lain.
3. MEMANTAPKAN
HUBUNGAN DENGAN SESAMA
Puasa Ramadhan adalah ibadah yang
dilakukan oleh kaum muslimin secara serentak di seluruh dunia. Kaum muslimin
merasakan satu hal yang sama, yakni lapar dan haus dan sama-sama berjuang untuk
mampu menahan dan mengendalikan diri dari melakukan sesuatu yang tidak
dibenarkan oleh Allah Swt meskipun peluang untuk itu sangat besar. Nilai
keserentakan ini diharapkan bisa menghasilkan kebersamaan dan hubungan yang
baik dengan sesama muslim. Semangat kebersamaan merupakan modal yang sangat
berharga bagi upaya perjuangan di jalan Allah Swt, apalagi Dia amat mencintai
orang yang berjuang secara bersama-sama dengan kerjasama yang baik, Allah
berfirman yang artinya: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berperang dijalan-Nya dalam suatu barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS 61:4).
Salah satu lahan dakwah dan
perjuangan yang harus mendapat perhatian besar dari seluruh komponen kaum
muslimin adalah masjid-masjid yang sudah dibangun dengan bagus, besar dan megah
dan dikeluarkan dana yang besar. Namun kondisi pemakmurannya belum sebanding
dengan fisik bangunannya. Untuk bisa memakmurkan masjid sehingga berfungsi
sebagai pusat pembangunan masyarakat Islam, diperlukan kebersamaan antara
sesama umat Islam, baik sebagai pengurus maupun jamaah. Karena itu harus
terjalin kerjasama yang harmonis antara pengurus masjid dengan jamaahnya,
bahkan harus terjalin kerjasama antar masjid yang satu dengan masjid lainnya,
tidak seperti sekarang, dimana masjid berjalan sendiri-sendiri dengan segala
persoalan yang dihadapinya.
4. MEMANTAPKAN JIWA
KETABAHAN
Dalam perjuangan dibidang apapun,
ketabahan jiwa merupakan sesuatu yang sangat dituntut adanya pada diri para
pejuang, demikian pula halnya dengan perjuangan di dalam Islam dengan segala
dimensinya yang luas. Namun harus kita sadari bahwa ketabahan tidak muncul dengan
sendirinya, masing-masing orang perlu memperoleh pemahaman dan mendapatkan
latihan guna memiliki ketabahan. Ibadah puasa adalah salah satu bentuk ibadah
yang memberikan pendidikan dan latihan untuk memiliki ketabahan sehingga
seorang muslim yang telah berpuasa semestinya menjadi orang yang memiliki daya
tahan yang kuat dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang datang dari
Allah Swt meskipun dalam kondisi yang sulit seperti haus dan lapar.
Oleh karena itu, ketika situasi
menjadi begitu sulit dalam perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw,
khususnya sesudah wafatnya Siti Khadijah, seorang isteri dan pendukung
perjuangan serta wafat juga Abu Thalib yang sering memberikan perlindungan
kepada Nabi dari gangguan orang-orang kafir, maka Allah Swt menegaskan kepada
Nabi Muhammad Saw untuk bertahan dan melanjutkan perjuangan, apapun yang
terjadi. Hal ini karena kalau berbicara tentang kesulitan, generasi terdahulu
juga mengalami kesulitan, bahkan kesulitan yang lebih berat lagi sehingga Nabi
Muhammad Saw bersama para sahabatnya jangan memiliki sikap atau perasaan yang
berlebihan dalam arti merasa sangat sulit dalam perjuangan yang dijalaninya,
Allah Swt berfirman yang artinya: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang bertaubat
bersamamu dan janganlaj kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan (QS 11:112).
Dengan demikian, momentum ibadah
Ramadhan tahun ini menjadi saat yang sangat penting untuk memperbaiki kondisi
pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa menuju ridha Allah Swt.
Materi
7:
RAHASIA PUASA
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran
Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan
kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan
yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai
salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan.
Dr.
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah Fil Islam mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang
bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah
Ramadhan.
1. Menguatkan Jiwa
Dalam
hidup hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa
nafsunya, lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun
keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta merugikan
orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi hawa nafsu
dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu yang
membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi.
Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan
terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan
mengalihkan penuhanan dari kepada Allah Swt sebagai Tuhan yang benar kepada
hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Allah
memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang artinya: Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan
Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (QS 45:23).
Dengan
ibadah puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang
membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan demikian, manusia akan memperoleh
derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya
mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala do’anya dikabulkan
oleh Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Ada tiga golongan
orang yang tidak ditolak do’a mereka: orang yang berpuasa hingga berbuka,
pemimpin yang adil dan do’a orang yang dizalimi (HR. Tirmidzi).
2. Mendidik
Kemauan.
Puasa
mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan,
meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa
yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik,
meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu, Rasulullah Saw
menyatakan: Puasa itu setengah dari kesabaran.
Dalam
kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin
prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri
meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar,
dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa
meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.
3. Menyehatkan
Badan.
Disamping
kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa
kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah Saw, tetapi
juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat
kita tidak perlu meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat
tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang
masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi
perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga
untuk air dan sepertiga untuk udara.
4. Mengenal Nilai
Kenikmatan
Dalam
hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada
manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu
tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat
karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya. Padahal kalau manusia mau
memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat
menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih
banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.
Maka
dengan puasa, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang
kenikmatan yang sudah diperolehnya, tapi juga disuruh merasaakan langsung
betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini karena
baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul
penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa, terasa betul
besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air.
Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari
tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang
yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun
dari segi jumlah memang sedikit dan kecil. Rasa syukur memang akan membuat
nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi
rasanya, Allah berfirman yang artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasati Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih (QS 14:7).
5. Mengingat dan Merasakan
Penderitaan Orang Lain
Merasakan
lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya
penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang
kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara
penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa
akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin
lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum teratasi,
seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai
wilayah lain di Tanah Air serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya
seperti di Chechnya, Kosovo, Irak, Palestina dan sebagainya.
Oleh
karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan
berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap
demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang menderita.
Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita,
tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran
jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya.
Allah berfirman yang artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk
mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 9:103).
SAMBUT DENGAN GEMBIRA
Karena
rahasia puasa merupakan sesuatu yang amat penting bagi kita, maka sudah
sepantasnyalah kalau kita harus menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan
penuh rasa gembira sehingga kegembiraan kita ini akan membuat kita bisa
melaksanakan ibadah Ramadhan nanti dengan ringan meskipun sebenarnya ibadah
Ramadhan itu berat.
Kegembiraan
kita terhadap datangnya bulan Ramadhan harus kita tunjukkan dengan berupaya
semaksimal mungkin memanfaatkan Ramadhan tahun sebagai momentum untuk
mentarbiyyah (mendidik) diri, keluarga dan masyarakat kearah pengokohan atau
pemantapan taqwa kepada Allah Swt, sesuatu yang memang amat kita perlukan bagi
upaya meraih keberkahan dari Allah Swt bagi bangsa kita yang hingga kini masih
menghadapi berbagai macam persoalan besar. Kita tentu harus prihatin akan
kondisi bangsa kita yang sedang mengalami krisis, krisis yang seharusnya diatasi
dengan memantapkan iman dan taqwa, tapi malah dengan menggunakan cara
sendiri-sendiri yang akhirnya malah memicu pertentangan dan perpecahan yang
justeru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan dari Allah Swt. (Drs. H.
Ahmad Yani).
Materi
8:
KIAT
SUKSES IBADAH PUASA
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Ketika
Ramadhan akan tiba, sikap yang harus diperlihatkan oleh seorang muslim adalah
rasa gembira sehingga dia seperti tidak sabar menunggu kedatangan Ramadhan yang
lama dirindukannya. Itu sebabnya, kedatangan Ramadhan harus kita sambut dengan
ucapan marhaban ya Ramadhan. Marhaban itu sendiri berasal dari kata rahb
yang artinya luas atau lapang, ini artinya hati, jiwa dan dada seorang muslim
akan diluaskan dan dilapangkan agar Ramadhan masuk kedalam jiwanya dengan leluasa.
Pada
saatnya Ramadhan tiba dan kita berada di dalamnya, maka dari sekarang tekad
kita adalah akan mengoptimalkan kehadiran Ramadhan itu untuk memperkokoh
ketaqwaan kepada Allah Swt dalam arti yang seluas-luasnya.
PENGERTIAN.
Secara
harfiyah, puasa artinya menahan, yakni menahan diri dari segala hal yang dapat
membatalkan puasa dan mengurangi nilainya sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari. Sedangkan Ramadhan secara harfiyah artinya membakar dan mengasah.
Yang dimaksud adalah membakar dosa
sehingga dengan puasa yang sebaik-baiknya, dosa-dosa seorang muslim akan
dibakar oleh Allah dan setelah Ramadhan insya Allah dia akan kembali kepada
fitrah atau kesuciannya sehinga seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya, yakni
dalam keadaan tidak berdosa.
Adapun
yang dimaksud dengan mengasah adalah mengasah dan mengasuh jiwa, sehingga
seorang yang berpuasa akan memiliki
ketajaman jiwa yang membuatnya cepat, mudah dan mampu menangkap isyarat-isyarat
spiritual, jiwanya menjadi kaya dan tidak didominasi ilagi oleh sifat sombong
dan sifat-sifat buruk lainnya.
TUJUAN.
Tujuan
utama dari puasa adalah memantapkan keimanan kepada Allah Swt sehingga menjelma
keimanan itu menjadi ketaqwaan. Ini dikemukakan Allah dalam firman-Nya yang
artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS
2:183).
Manakala
target dari ibadah puasa ini dapat dicapai, maka puasa akan membuat kita
menjadi orang yang memiliki tiga hal. Pertama, mencegah diri dari segala bentuk dusta sebab
dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dinyatakan bahwa Allah Swt tidak
menerima puasa seseorang yang tidak meninggalkan perkataan dusta, hadits
tersebut artinya: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji
(dusta) dan melakukan kejahatan, Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun
ia telah meninggalkan makan dan minum.
Kedua,
memiliki benteng pertahanan rohani yang kuat sehingga dia menjadi orang yang
mampu menjaga dan mencegah dirinya dari dosa, Rasulullah Saw bersabda yang
artinya: Puasa adalah perisai dari api neraka seperti perisainya seseorang
diantara kamu dalam perang (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).
Ketiga,
selalu terangsang untuk berbuat baik, karena ibadah Ramadhan memang selalu
mendidik seseorang untuk melakukan kebaikan, baik terhadap Allah Swt maupun
terhadap sesama manusia.
Disamping itu, kalau kita membaca
rangkaian ayat-ayat berikutnya dari surat
Al Baqarah: 184-188, bisa kita ambil beberapa kesimpulan tentang tujuan-tujuan
lain dari ibadah Ramadhan, yaitu: Pertama, memperkokoh kedekatan kita
kepada Al-Qur’an sehingga kita selalu berusaha bisa membaca, membaca, memahami
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, memperkokoh
kedekatan hubungan kepada Allah Swt sehingga dengan hubungan yang dekat itu,
seorang muslim tidak berani menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah. Ketiga,
menyadari akan pentingnya berdo’a kepada Allah karena kita menyadari sebagai
makhluk yang lemah dan amat membutuhkan pertolongan Allah. Keempat,
menajamkan hati atau jiwa manusia sehingga selalu mampu membedakan antara yang
haq dan yang bathil serta sensitif terhadapnya. Kelima, menyadari
pentingnya kebersamaan dengan sesama muslim, karena dengan puasa kita dapat
membayangkan bahkan dapat merasakan bagaimana penderitaan mereka yang susah
sehingga kita menyadari keharusan bersatu dan tolong menolong.
HIKMAH.
Dari
tujuan yang telah diutarakan, nampak sekali betapa besar hikmah ibadah Ramadhan
itu. Namun manakala kita ingin sederhanakan, sekurang-kurangnya ada tiga hikmah
ibadah Ramadhan. Pertama, membersihkan hati dan jiwa manusia dari segala
dosa dan sifat-sifat tercela. Kedua, memperkokoh hubungan dengan Allah
Swt sehingga dengan dekatnya hubungan seorang muslim kepada Allah, dia akan
selalu berusaha menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketentuasn-Nya. Ketiga,
memperkokoh hubungan dengan sesama, khususnya dengan sesama muslim sehingga
potensi besar yang dimiliki seorang muslim akan menjadi sebuah kekuatan umat
yang besar.
KUNCI SUKSES.
Ibadah
puasa khususnya dan ibadah Ramadhan pada umumnya tentu ingin kita laksanakan
dengan sebaik-baiknya agar tujuan dan hikmahnya bisa kita raih. Oleh karena
itu, menjadi keharusan kita bersama untuk mengoptimalkan ibadah Ramadhan yang
penuh dengan keberkahan untuk memperkokoh gairah keislaman pada diri kita,
keluarga maupun masyarakat.
Dalam
kaitan ini, kesuksesan bisa kita raih manakala mengupayakan beberapa langkah: Pertama,
melakukan persiapan secara matang, baik persiapan jiwa agar kita memiliki
kesiapan mental untuk menjalankan ibadah Ramadhan hingga kita senang
melaksanakannya, persiapan akal dengan memahami kembali ketentuan fiqih
Ramadhan dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, maupun persiapan
jasmani dengan selalu menjaga dan meningkatkan kesehatannya serta persiapan
aktivitas pendukung suksesnya ibadah Ramadhan dengan berbagai aktivitas da’wah
yang bermanfaat seperti pesantren Ramadhan, ceramah dan dialog Ramadhan dengan
tema-tema yang disusun dengan baik, dll.
Kedua,
melaksanakan persiapan yang sudah dicanangkan dengan matang pada saat
pelaksanaan ibadah Ramadhan sehingga Ramadhan bisa kita hidupkan dengan
melaksanakan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya, baik dari sisi fiqih maupun
nilai-nilai akhlak yang terkandung di dalamnya dan aktivitas pendukungnya.
Ketiga,
menindaklanjuti keberhasilan ibadah Ramadhan dengan sikap, prilaku yang lebih
islami dan mengembangkan aktivitas keislaman yang lebih baik sesudah Ramadhan
berakhir sehingga ibadah Ramadhan memberi bekas dan pengaruh yang positif,
tidak hanya bagi individu tapi juga bagi keluarga dan masyarakat.
Dalam
konteks kehidupan masyarakat dan bangsa kita yang amat memprihatinkan bila
ditinjau dari berbagai aspek, maka Ramadhan tahun ini merupakan momentum yang
amat baik untuk memulai langkah-langkah perbaikan kearah yang diridai Allah
Swt.
Akhirnya,
kita sambut Ramadhan dengan penuh kegembiraan, sebab dengan gembira ibadah yang
berat ini akan menjadi terasa ringan, sedang tanpa kegembiraan, ibadah Ramadhan
yang memang sebenarnya berat akan terasa lebih berat lagi.
Semoga
kita dapat memantapkan keislaman kita masing-masing melalui ibadah Ramadhan
tahun ini.
Materi 9:
MELESTARIKAN NILAI-NILAI
RAMADHAN
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Setelah Ramadhan kita akhiri, bukan berarti berakhir
sudah suasana ketaqwaan kepada Allah Swt, tapi justeru tugas berat kita untuk
membuktikan keberhasilan ibadah Ramadhan itu dengan peningkatan ketaqwaan
kepada Allah Swt, karenanya bulan sesudah Ramadhan adalah Syawal yang artinya
peningkatan. Disinilah letak pentingnya melestarikan nilai-nilai Ibadah
Ramadhan. Sekurang-kurangnya, ada lima
nilai ibadah Ramadhan yang harus kita lestarikan, paling tidak hingga Ramadhan
tahun yang akan datang.
1. TIDAK
GAMPANG BERBUAT DOSA
Ibadah Ramadhan
yang kita kerjakan dengan sebaik-baiknya membuat kita mendapatkan jaminan
ampunan dari dosa-dosa yang kita lakukan selama ini, karena itu semestinya
setelah melewati ibadah Ramadhan kita tidak gampang lagi melakukan perbuatan
yang bisa bernilai dosa, apalagi secara harfiyah Ramadhan artinya membakar,
yakni membakar dosa, kalau dosa itu kita ibaratkan seperti pohon, maka kalau
sudah dibakar, pohon itu tidak mudah tumbuh lagi, bahkan bisa jadi mati,
sehingga dosa-dosa itu tidak mau kita lakukan lagi.
Dengan demikian,
jangan sampai dosa yang kita tinggalkan pada bulan Ramadhan hanya sekedar
ditahan-tahan untuk selanjutnya dilakukan lagi sesudah Ramadhan berakhir dengan
kualitas dan kuantitas yang lebih besar. Kalau demikian jadinya, ibarat pohon,
hal itu bukan dibakar, tapi hanya ditebang sehingga satu cabang ditebang tumbuh
lagi tiga, empat bahkan lima
cabang beberapa waktu kemudian.
Dalam kaitan
dosa, sebagai seorang muslim jangan sampai kita termasuk orang yang bangga
dengan dosa, apalagi kalau mati dalam keadaan bangga terhadap dosa yang
dilakukan, bila ini yang terjadi, maka sangat besar resiko yang akan kita
hadapi dihadapan Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya,
sekali-kali tidak akan dibukakan pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka
bisa masuk ke dalam syurga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami
memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan (QS 7:40).
2. HATI-HATI
DALAM BERSIKAP DAN BERTINDAK
Selama beribadah
Ramadhan, kita cenderung berhati-hati dalam melakukan sesuatu, hal itu karena
kita tidak ingin ibadah Ramadhan kita menjadi sia-sia dengan sebab kekeliruan
yang kita lakukan. Secara harfiyah, Ramadhan juga berarti mengasah, yakni
mengasah ketajaman hati agar dengan mudah bisa membelah atau membedakan antara
yang haq dengan yang bathil. Ketajaman hati itulah yang akan membuat seseorang
menjadi sangat berhati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku. Sikap seperti
ini merupakan sikap yang sangat penting sehingga dalam hidupnya, seorang muslim
tidak asal melakukan sesuatu, apalagi sekedar mendapat nikmat secara duniawi.
Kehati-hatian
dalam hidup ini menjadi amat penting mengingat apapun yang kita lakukan akan
dimintai pertanggung-jawaban dihadapan Allah Swt, karenanya apa yang hendak
kita lakukan harus kita pahami secara baik dan dipertimbangkan secara matang,
sehingga tidak sekedar ikut-ikutan dalam melakukannya, Allah berfirman yang
artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (QS 17:36).
3. BERSIKAP
JUJUR.
Ketika kita
berpuasa Ramadhan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani
makan dan minum meskipun tidak ada orang yang mengetahuinya. Hal ini karena
kita yakin Allah Swt yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri
kita dan kita tidak mau membohongi Allah Swt dan tidak mau membohongi diri
sendiri karena hal itu memang tidak mungkin, inilah kejujuran yang
sesungguhnya. Karena itu, setelah berpuasa sebulan Ramadhan semestinya kita
mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam
perkataan, jujur dalam berinteraksi dengan orang, jujur dalam berjanji dan
segala bentuk kejujuran lainnya.
Dalam kehidupan
masyarakat dan bangsa kita sekarang ini, kejujuran merupakan sesuatu yang amat
diperlukan. Banyak kasus di negeri kita yang tidak cepat selesai bahkan tidak
selesai-selesai karena tidak ada kejujuran, orang yang bersalah sulit untuk
dinyatakan bersalah karena belum bisa dibuktikan kesalahannya dan mencari
pembuktian memerlukan waktu yang panjang, padahal kalau yang bersalah itu
mengaku saja secara jujur bahwa dia bersalah, tentu dengan cepat persoalan bisa
selesai. Sementara orang yang secara jujur mengaku tidak bersalah tidak perlu
lagi untuk diselidiki apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Tapi karena
kejujuran itu tidak ada, yang terjadi kemudian adalah saling curiga mencurigai
bahkan tuduh menuduh yang membuat persoalan semakin rumit. Ibadah puasa telah
mendidik kita untuk berlaku jujur kepada hati nurani kita yang sehat dan tajam,
bila kejujuran ini tidak mewarnai kehidupan kita sebelas bulan mendatang, maka tarbiyyah
(pendidikan) dari ibadah Ramadhan kita menemukan kegagalan, meskipun secara
hukum ibadah puasanya tetap sah.
4. MEMILIKI
SEMANGAT BERJAMAAH.
Kebersamaan kita
dalam proses pengendalian diri membuat syaitan merasa kesulitan dalam menggoda
manusia sehingga syaitan menjadi terbelenggu pada bulan Ramadhan. Hal ini
diperkuat lagi dengan semangat yang tinggi bagi kita dalam menunaikan shalat
yang lima waktu
secara berjamaah sehingga di bulan Ramadhan inilah mungkin shalat berjamaah
yang paling banyak kita laksanakan, bahkan melaksanakannya juga di masjid atau
mushalla.
Disamping itu,
ibadah Ramadhan yang membuat kita dapat merasakan lapar dan haus, telah
memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki solidaritas sosial kepada
mereka yang menderita dan mengalami berbagai macam kesulitan, itupun sudah kita
tunjukkan dengan zakat yang kita tunaikan. Karena itu, semangat berjamaah kita
sesudah Ramadhan ini semestinya menjadi sangat baik, apalagi kita menyadari
bahwa kita tidak mungkin bisa hidup sendirian, sehebat apapun kekuatan dan
potensi diri yang kita miliki, kita tetap sangat memerlukan pihak lain. Itu pula sebabnya, dalam konteks
perjuangan Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjamaah, yang
saling kuat menguatkan sebagaimana firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang
teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh (QS 61:4)
5. MELAKUKAN
PENGENDALIAN DIRI
Puasa Ramadhan
adalah pengendalian diri dari hal-hal yang pokok seperti makan dan minum. Kemampuan
kita dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang pokok semestinya membuat kita
mampu mengendalikan diri dari kebutuhan kedua dan ketiga, bahkan dari hal-hal
yang kurang pokok dan tidak perlu sama sekali. Namun sayangnya, banyak orang
telah dilatih untuk menahan makan dan minum yang sebenarnya pokok, tapi tidak
dapat menahan diri dari hal-hal yang tidak perlu, misalnya ada orang yang mengatakan: “saya lebih baik tidak makan
daripada tidak merokok”, padahal makan itu pokok dan merokok itu tidak perlu.
Kemampuan kita
mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak benar menurut Allah dan Rasul-Nya
merupakan sesuatu yang amat mendesak, bila tidak, kehidupan ini akan berlangsung seperti tanpa
aturan, tak ada lagi halal dan haram, tak ada lagi haq dan bathil, bahkan tak
ada lagi pantas dan tidak pantas atau sopan dan tidak. Yang jelas, selama
manusia menginginkan sesuatu, hal itu akan dilakukannya meskipun tidak benar,
tidak sepantasnya dan sebagainya. Bila ini yang terjadi, apa bedanya kehidupan
manusia dengan kehidupan binatang, bahkan masih lebih baik kehidupan binatang,
karena mereka tidak diberi potensi akal, Allah berfirman yang artinya,
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS 7:179).
Dengan demikian,
harus kita sadari bahwa Ramadhan adalah bulan pendidikan dan latihan,
keberhasilan ibadah Ramadhan justeru tidak hanya terletak pada amaliyah
Ramadhan yang kita kerjakan dengan baik, tapi yang juga sangat penting adalah
bagaimana menunjukkan adanya peningkatan taqwa yang dimulai dari bulan Syawal
hingga Ramadhan tahun yang akan datang.
Materi
10:
KEBERHASILAN IBADAH
RAMADHAN
Oleh
Drs. Ahmad Yani
Keberhasilan ibadah Ramadhan dalam
bentuk terhapusnya dosa-dosa merupakan sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang
konkrit atau nyata. Oleh karena itu kita mesti memiliki tolok ukur keberhasilan
ibadah Ramadhan dengan ketaqwaan kepada
Allah Swt yang meningkat. Ada beberapa indikasi yang
bisa kita jadikan patokan untuk menilai diri; apakah ibadah Ramadhan kita
berhasil atau tidak.
6.
TAUHID YANG MANTAP.
Untuk menunjukkan keberhasilan
ibadah Ramadhan, maka kita akhiri Ramadhan dengan takbir, tahlil dan tahmid
yang merupakan kalimat tauhid. Perintah ini memang terdapat dalam firman Allah
yang artinya: Dan hendaklah kamu cukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur (QS 2:185)
Dengan demikian seorang muslim yang
habis menunaikan ibadah puasa, maka dia memiliki tauhid yang mantap, dengan
tauhid yang mantap itu dia selalu mengutamakan Allah Swt dan selalu terikat
pada nilai-nilai yang diturunkan-Nya. Karena itu orang yang tauhidnya mantap,
akan selalu menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah, mencintai
Allah di atas segala-galanya serta tunduk dan taat kepada-Nya.
7.
AKHLAK YANG MULIA
Ibadah Ramadhan telah mendidik kita
untuk selalu berakhlak yang mulia, karenanya keberhasilan ibadah Ramadhan
membuat akhlak atau moral yang tercela terkikis habis dari jiwa dan kepribadian
kita masing-masing. Maka sesudah kita menunaikan ibadah Ramadhan, keberhasilan
yang harus kita tunjukkan adalah dengan memiliki akhlak yang mulia. Kemuliaan
akhlak suatu masyarakat akan membuat kehidupan berlangsung dengan aman dan
sentosa serta penuh dengan berkah dari Allah Swt, dan sebaliknya akhlak yang
tercela dalam suatu masyarakat akan membuat kehancuran, malapetaka dan laknat
Allah Swt.
Oleh karena itu kita harus prihatin
apabila masyarakat kita memiliki akhlak yang jelek. Kita tidak punya masa depan
yang cerah kalau generasi muda memiliki akhlak yang rusak, karena apa yang bisa
diharapkan lagi kalau generasi harapannya menjadi hancur. Kehidupan kita juga
akan sengsara kalau orang-orang tua dan para pemimpin memiliki akhlak yang
jelek, karena kejelekan akhlak mereka membuat arah kehidupan menuju kehancuran
yang menakutkan.
Dengan demikian, akhlak yang mulia
harus kita tegakkan dan akhlak yang jelekkan harus kita kikis dan tidak kita
beri tempat dan peluang untuk berkembang. Itu sebabnya kita amat prihatin kalau
di negeri kita ini masih saja diberi tempat atau pasilitas dan kesempatan untuk
mereka yang melakukan tindakan yang menggambarkan akhlak yang rusak dan
merusakkan akhlak masyarakat.
8.
SEMANGAT MENIMBA ILMU.
Aktivitas Ramadhan juga telah
merangsang kegairahan kita untuk menimba ilmu pengetahuan, khususnya yang
menyangkut pendalaman ajaran Islam. Kuliah subuh, kuliah zuhur, ceramah
tarawih, pesantren Ramadhan dan studi keislaman lainnya di bulan Ramadhan
merupakan aktivitas-aktivitas yang merangsang
semangat kita untuk menimba ilmu pengetahuan. Aktivitas ini membuat kita tidak hanya lebih
panatis sebagai seorang muslim, tapi juga paham dan memiliki wawasan keislaman
yang lebih baik.
Namun perlu kita ingat bahwa
sedalam-dalamnya ilmu yang kita gali, tetap saja terasa cetek dan sedikit ilmu
yang kita peroleh, apalagi ilmu Allah itu sangat luas. Menyadari hal ini
semestinya kita semakin terangsang untuk menimba ilmu dan sesudah Ramadhan ini,
semangat itu harus kita buktikan.
9.
SEMANGAT MEMAKMURKAN MASJID
Ramadhan juga telah melatih kita
untuk kembali ke masjid, kembali memakmurkan masjid, kembali beraktivitas di
masjid. Itu sebabnya selama Ramadhan, kita rasakan masjid-masjid kita relatif
lebih makmur, pengurus dan jamaahnya lebih aktif dan aktivitas lebih banyak dan
bervariasi.
Berakhirnya Ramadhan tidak boleh
membuat masjid kita kembali sepi, tanpa kepengurusan yang serius, tanpa jamaah
yang aktif dan tanpa aktivitas. Oleh karena itu keberhasilan ibadah Ramadhan
kita juga harus dibuktikan dengan selalu aktif memakmurkan masjid, mulai dari
shalat berjamaah hingga mengatasi dan memecahkan persoalan umat dan mengatur
strategi perjuangan meningkatkan kualitas umat. Seharusnya tiap kali seorang
muslim ada di rumahnya, maka saat waktu shalat tiba dengan diperdengarkannya
adzan, dia menuju ke masjid. Bahkan semestinya orang berpatokan bahwa si fulan
tidak ke masjid dekat rumahnya dalam shalat berjamaah hanya karena belum pulang alias tidak ada di rumah atau
dalam keadaan sakit. Oleh karena itu semestinya bila seseorang ingin bertemu
kita, maka dia cukup ke masjid dekat rumah lalu nanti bertemu di masjid itu untuk
selanjutnya baru ke rumah dan bila kita tidak ada di masjid, itu artinya kita
tidak ada di rumah atau ada tapi sedang sakit.
Disamping itu sahabat Bani Salamah
sebenarnya punya niat untuk pindah rumah ke dekat masjid agar bisa menunaikan
shalat berjamah di masjid dengan mudah, maka Rasulullah menyatakan bahwa orang
yang jauh rumahnya dengan masjid akan memperoleh pahala yang lebih besar karena
langkahnya, maka Bani Salamah tak jadi pindah rumah ke dekat masjid karena
ingin memperoleh pahala yang besar dan dia memang rajin ke masjid.
Oleh karena itu kita perlu merenungi
diri kita masing-masing, sudah sejauhmana perhatian kita bterhadap pemakmuran
masjid.
10.
SOLIDARITAS SOSIAL YANG TINGGI.
Ibadah Ramadhan juga telah mendidik
kita untuk merasakan betapa tidak enaknya lapar dan haus itu yang juga telah
disertai dengan menunaikan kewajiban sakat fitrah bahkan diselingi dengan infaq
dan shadaqah yang kesemua itu bermuara pada penumbuhan dan pemantapan rasa
tanggung jawab sosial. Karena itu sesudah Ramadhan berakhir, semestinya semakin
mantap rasa tanggung jawab sosial kita sehingga kita punya perhatian terhadap
kaum muslimin yang mengalami kesulitan hidup secara ekonomi.
Wujud perhatian itu adalah dengan
berusaha mengetahui kondisi kehidupan saudara-saudara kita sesama muslim, lalu
memikirkan apa yang harus kita lakukan dalam rangka membantu mereka untuk
meningkatkan martabat dan kualitas kehidupan mereka. Ini semua harus kita
lakukan karena tentu kita tidak ingin hanya karena persoalan ekonomi mereka
berubah menjadi kufur.
Dengan demikian, ibadah Ramadhan
yang hampir kita akhiri, tentu saja harus meninggalkan bekas yang mendalam sehingga
ketaqwaan kita kepada Allah Swt semakin mantap yang berarti apapun yang kita
hendak lakukan selalu berpijak pada nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Islam
yang agung.
Materi
11:
PUASA DAN AL-QUR`AN
Oleh Ir. Syamsu Hilal
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185).
Salim al-Hilali dan Ali Hasan Abdul Hamid dalam kitabnya “Shifatu
Shoumu an-Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” mengatakan bahwa penjelasan
tentang Al-Qur`an yang diturunkan pada bulan Ramadhan, lalu dikaitkan dengan
kalimat فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ yang
merupakan kewajiban berpuasa dengan huruf “fa” yang berfungsi sebagai
alasan dan sebab, itu artinya dipilihnya Ramadhan menjadi bulan puasa adalah
karena Al-Qur`an diturunkan pada bulan itu. Bahkan dalam Tafsir Ibnu Katsir
dijelaskan bahwa Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi yang lain
juga diturunkan pada bulan Ramadhan.
Ayat di atas juga memberikan pemahaman kepada kita bahwa puasa dan
Al-Qur`an memiliki kaitan sangat erat. Keduanya akan menjadi penolong kita di
akhirat kelak. Rasulullah Saw. bersabda,
“Puasa dan Al-Qur`an itu akan memberikan syafa’at kepada hamba di
hari kiamat. Puasa akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalanginya dari makan
dan syahwat, maka perkenankanlah aku memberikan syafa’at untuknya.’ Sedangkan
Al-Qur`an akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalanginya dari tidur di malam
hari, maka perkenankanlah aku memberikan syafa’at untuknya.’ Maka Allah Swt.
memperkenankan keduanya memberikan syafa’at.” (HR Imam Ahmad dan Ath-Thabrani).
Dengan
diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan pada bulan itu juga
diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan sebagai furqan (pembeda antara yang hak dan
yang bathil), maka Allah Swt. menginginkan agar kewajiban puasa tidak dianggap
sebagai beban. Al-Qur`an memuat ketentuan-ketentuan yang memudahkan pelaksanaan
ibadah puasa. Sementara puasa adalah sarana untuk mencapai insan bertaqwa. “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS
Al-Baqarah: 185).
Oleh
karena itu, jika Allah Swt. memberi taufik kepada kita untuk menyempurnakan
ibadah Ramadhan kali ini dalam rangka menaati Allah, maka hal itu merupakan
hidayah dan hadiah yang patut disyukuri.
“Dan hendaklah kalian mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185).
Ketika amaliyah Ramadhan dapat
kita sempurnakan dan dilanjutkan dengan ucapan serta sikap syukur kepada Allah,
maka Allah Swt. akan mengabulkan semua permintaan dan permohonan kita.
“Dan apabila hambaa-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi segala
perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran” (QS Al-Baqarah: 186).
Imam Hasan Al-Banna ketika mengulas ayat ini mengatakan bahwa Allah Swt.
amat dekat kepada hamba-Nya pada bulan Ramadhan. Tentang keistimewaan bulan
Ramadhan di sisi Allah ditegaskan sendiri oleh Allah Swt. melalui hadits qudsi,
“Semua amalan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Ia adalah untuk-Ku
dan Aku yang akan membalasanya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Jika bulan Ramadhan datang,
pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu,
kemudian datang seorang penyeru dari sisi Allah Yang Maha Benar, ‘Wahai pencari
kejahatan, berhentilah! Dan wahai pencari kebaikan, kemarilah!” (HR Bukhari
dan Muslim).
Pintu-pintu surga dibuka karena manusia berbondong-bondong
melaksanakan ketaatan, ibadah, dan taubat, sehingga jumlah pelakunya banyak.
Setan-setan dibelenggu, karena manusia beralih kepada kebaikan, sehingga setan
tidak mampu berbuat apa-apa. Hari-hari dan malam-malam Ramadhan merupakan
masa-masa kemuliaan yang diberikan Allah Swt. agar orang-orang yang berbuat
baik menambah kebaikannya dan orang-orang yang berbuat jahat bertaubat dan
mohon ampun kepada-Nya.
Sedikitnya
ada empat kewajiban kita terhadap Al-Qur`an. Pertama, hendaknya kita
memiliki keyakinan yang sungguh-sungguh dan kuat bahwa tidak ada yang dapat
menyelamatkan kita kecuali sistem sosial yang diambil dan bersumber dari Kitab
Allah Swt., yaitu Al-Qur`an. System sosial apapun yang tidak mengacu atau tidak
berlandaskan Al-Qur`an pasti bakal menuai kegagalan. Banyak orang yang
mengatasi problema ekonomi dengan terapi tambal sulam. Sementara Al-Qur`an
telah menggariskan aturan zakat, mengharamkan riba, mewajibkan kerja, melarang
pemborosan, sekaligus menanamkan kasih sayang antarsesama manusia.
Kedua,
kita wajib menjadikan Al-Qur`an sebagai sahabat karib, kawan bicara, dan guru.
Kita harus mendengarkannya, membacanya, dan menghafalnya. Jangan sampai ada
hari yang kita lalui sedangkan kita tidak menjalin hubungan dengan Allah Swt.
melalui Al-Qur`an. Dengarkanlah Al-Qur`an agar kita mendapat rahmat Allah Swt.,
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (QS Al-A’raf: 204).
Hendaknya kita membaca Al-Qur`an secara rutin, meskipun sedikit.
Sunnah mengajarkan kita agar mengkhatamkannya tidak lebih dari satu bulan dan
tidak kurang dari satu hari. Umar bin Abdul Aziz apabila disibukkan oleh urusan
kaum Muslimin, beliau mengambil Al-Qur`an dan membacanya walaupun hanya dua
atau tiga ayat. Beliau berkata, “Agar saya tidak termasuk mereka yang
menjadikan Al-Qur`an sebagai sesuatu yang ditinggalkan.” Rasulullah Saw.
bersabda, “Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah, maka ia
memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali. Aku tidak
katakan alif lam mim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu
huruf, dan mim satu huruf” (HRTirmidzi).
Kita pun harus berupaya untuk menghafal Al-Qur`an agar tidak
diidentikkan dengan rumah kumuh yang hampir roboh. “Orang yang tidak punya
hafalan Al-Qur`an sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang hampir roboh”
(HR Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas).
Ketiga,
hendaknya kita merenung dan meresapinya. Jika hati kita belum dapat konsentrasi
sampai pada tingkat menghayatinya, hendaklah kita berusaha untuk menghayatinya.
Jangan sampai syetan memalingkan kita dari keindahan perenungan sehingga kita
tidak dapat mereguk kenikmatan darinya.
Allah
Swt. menjelaskan bahwa Al-Qur`an diturunkan untuk ditadabburi ayat-ayatnya dan
dipahami maknanya. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad: 29).
Ali
bin Abi Thalib Ra. berkata, “Ketahuilah tidak ada kebaikan dalam ibadah
kecuali dengan ilmu, tidak ada kebaikan dalam ilmu kecuali dengan pemahaman,
dan tidak ada kebaikan dalam membaca Al-Qur`an kecuali dengan tadabbur.”
Keempat,
kita wajib mengamalkan hukum-hukumnya lalu mendakwahkannya kepada orang lain.
Inilah tujuan utama diturunkannya Al-Qur`an. “Dan Al Qur'an itu adalah kitab
yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu
diberi rahmat” (QS Al-An’am: 155).
Hukum-hukum
Al-Qur`an menurut yang saya pahami terbagi menjadi dua. Pertama,
hukum-hukum yang berkaitan dengan individu, seperti shalat, puasa, zakat, haji,
taubat, dan hal-hak yang berkaitan dengan akhlaq Islam, seperti jujur, adil,
komitmen kepada kebenaran, dan sebagainya. Kedua, hukum-hukum yang
berkaitan dengan masyarakat atau penguasa. Ini adalah kewajiban negara,
misalkan menegakkan hudud (sanksi hukum) dan masalah-masalah yang
merupakan tugas negara dalam Islam.
Setiap
Muslim harus berupaya untuk mengamalkan hukum-hukum yang bersifat individu,
baik yang berupa ibadah maupun menerapkan nilai-nilai akhlaqul karimah. Jika
nilai-nilai Al-Qur`an telah tegak di hati setiap Muslim, maka ia akan tegak di
muka bumi.
Mumpung
saat ini kita berada di bulan Ramadhan, marilah kita membaca Al-Qur`an,
menghafal dan mentadabburi ayat-ayatnya, memahami maknanya, mengamalkannya,
lalu mendakwahkannya kepada umat manusia. Ketika jiwa manusia kering, Al-Qur`an
akan menyejukkannya. Ketika pikiran manusia kacau, Al-Qur`an akan
menenteramkannya. Wallahu a’lam bishshawab.
Materi 12:
MERAIH TAQWA DENGAN PUASA RAMADHAN
Oleh Ir. Syamsu Hilal
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183).
Dalam setiap khutbah, khotib selalu
menyampaikan pesan takwa kepada umat Islam. Bahkan pesan takwa ini merupakan
rukun dari khutbah itu sendiri. Mengapa? Karena takwa adalah wasiat dari Allah
Swt. dan para Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS Ali Imran: 102).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Bertakwalah kalian
kepada Allah di mana pun kamu berada. Dan ikutilah kejelekan dan kebaikan,
niscaya kebaikan itu akan menghapus kejelekan. Dan perlakukanlah manusia itu
dengan akhlak terpuji” (HR Tirmidzi).
Takwa menjadi wasiat abadi
karena mengandung kebaikan dan manfaat yang sangat besar bagi terwujudnya
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Takwa merupakan kumpulan dari semua
kebaikan dan pencegah segala kejahatan. Dengan takwa, seorang mukmin akan
mendapatkan dukungan dan pertolongan dari Allah Swt.
إِنَّ اللَّهَ
مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang
yang berbuat kebaikan” (QS An-Nahl: 128).
Perintah untuk mencapai derajat takwa kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan global tentang cara-cara untuk mencapainya dalam sebuah firman Allah
Swt., “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 21).
Ibadah yang dimaksud dalam ayat ini masih dalam bentuk global,
mencakup ibadah wajib dan ibadah sunnah. Ibadah wajib terdiri dari shalat,
puasa, zakat, dan haji, ditambah dengan kewajiban-kewajiban sosial yang
diperintahkan oleh Al-Qur`an, seperti berbuat baik kepada orangtua, kerabat,
yatim, orang-orang miskin, tetangga, teman dekat, dan musafir. Sedangkan yang
termasuk ibadah sunnah misalnya berdzikir kepada Allah Swt., berdoa kepada-Nya,
memohon ampun kepada-Nya, dan membaca Al-Qur`an. Ibadah-ibadah tersebut
semuanya dipersiapkan untuk membentuk setiap Muslim menjadi insan bertakwa.
Di antara kewajiban-kewajiban ibadah yang diperintahkan tersebut,
secara lebih khusus, Allah Swt. menekankan pada perintah puasa sebagai saranan
pembentukan insan bertakwa, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183).
Itqa dan taqwa maknanya adalah
menjauhi. Dan taqwallah artinya menjauhi kemarahan dan murka Allah Swt. serta
meninggalkan apa yang membuat kemarahan Allah Swt. Dengan demikian, takwa harus
diwujudkan dengan melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi semua
larangan-Nya. Takwa dasarnya adalah takut kepada Allah Swt. yang merupakan
perbuatan hati. Hal ini dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya, “Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS Al-Hajj: 32). Rasulullah Saw.
juga menegaskan, “Takwa itu ada di sini”. Beliau mengulanginya sampai tiga kali
sambil menunjuk ke dada beliau (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Takwa juga berarti membuat pelindung
dan penghalang yang mencegah dan menjaga diri dari sesuatu yang menakutkan.
Jadi taqwallah berarti perbuatan seorang hamba dalam mencari pelindung
diri agar terjaga dari siksa Allah yang amat ditakutinya. Caranya adalah dengan
melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Nilai-nilai ketakwaan tidak dapat membumi dan buahnya tidak dapat
dipetik, kecuali jika Seorang Muslim memiliki pengetahuan tentang agama Allah
yang menuntun dirinya mencapai derajat muttaqin. Hal ini ditegaskan oleh Allah
Swt. dalam firman-Nya,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ
عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (QS Fathir: 28).
Mengapa demikian? Karena orang yang
tidak berilmu tidak tahu apa saja yang wajib dikerjakan dan apa saja yang harus
ditinggalkannya. Itulah sebabnya mengapa menuntut ilmu merupakan ibadah yang
utama, jalan yang menghubungkan ke surga dan menjadi tanda bahwa seseorang
mempunyai keinginan baik.
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan
oleh Allah, maka Allah akan memberinya pengetahuan (pemahaman) tentang agama” (Muttafaqun
‘alaih).
Berdasarkan hadits di atas, takwa
merupakan perpaduan aktif antara ilmu dan ketaatan. Ilmu akan meningkatkan
ketaatan kepada Allah, dan ketaatan akan menambah motivasi untuk meningkatkan
ilmu.
Mengapa puasa Ramadhan direkomendasikan
oleh Allah untuk menjadi sarana untuk mencapai derajat takwa? Karena di dalam
bulan Ramadhan terkumpul hampir semua aktifitas peribadatan. Selain puasa, ada
shalat Tarawih, shalat Witir, tilawatil Qur`an, kajian keislaman, zakat, infaq,
shadaqah, dan i’tikaf. Selain itu, balasan pahala di bulan Ramadhan juga
dilipatgandakan untuk merangsang umat Islam meningkatkan amal salehnya. Oleh
karena itu, mari kita sambut kedatangan bulan Ramadhan dengan penuh kerinduan
dan suka cita. Siapkan diri kita untuk meraih rahmat, maghfirah, dan pembebasan
dari siksa neraka.
“Ya Allah berkahilah kami di bulan
Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan” (HR
At-Tirmidzi dan Ad-Darimi).
Kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan
inilah yang juga dirasakan oleh para salafush shalih. Karena begitu banyak
kebaikan yang diberikan Allah Swt. di bulan Ramadhan, seperti dibukanya pintu
surga, ditutupnya pintu neraka, dibelenggunya syetan, sehingga tidak dapat
leluasa mengganggu manusia. Dan puncaknya adalah diturunkannya Al-Qur`an
sebagai pedoman bagi manusia. Pada malam diturunkannya Al-Qur`an, Allah Swt.
menjadikannya lebih baik dari seribu bulan.
Kedua, mempersiapkan
diri, baik persiapan hati, persiapan akal, dan persiapan fisik. Persiapan hati
dengan membuang penyakit-penyakit hati, mengokohkan niat, dan membulatkan tekad
untuk mengoptimalkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Persiapan akal dilakukan
dengan mendalami ilmu yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan, sehingga
pelaksanaan ibadah Ramadhan dapat mencapai hasil terbaik. Persiapan fisik
ditempuh dengan menjaga kesehatan, kebersihan rumah, kebersihan lingkungan,
serta menyiapkan harta yang halal untuk bekal ibadah Ramadhan.
Ketiga,
merencanakan peningkatan prestasi ibadah pada bulan Ramadhan tahun ini
dibandingkan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Misalkan peningkatan dalam
kualitas dan kuantitas tilawah, peningkatan hafalan, pemahaman, dan pengamalan
Al-Qur`an. Juga perencanaan untuk mengurangi pola hidup konsumtif.
Indikasi tercapainya ketakwaan sebagai
buah tarbiyah Ramadhan dapat dilihat dari perilaku kita ba’da Ramadhan.
Seseorang yang bertakwa senantiasa berupaya mencari sarana (wasilah) yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah Swt. (QS Al-Maidah: 35). Seorang yang bertakwa
selalu berkata benar (qaulan sadida) (QS Al-Ahzab: 70). Orang yang bertakwa
senantiasa berteman dengan orang-orang saleh (QS At-Taubah: 119). Orang
bertakwa senantiasa mengutamakan ukhuwah Islamiyah dan menjaga tali
silaturrahim (QS Al-Anfal: 1). Orang bertakwa senantiasa mencari harta yang
halal, tidak memakan harta riba, harta hasil KKN, dan harta-harta yang
diperoleh dengan cara syubhat.
Taqwa yang menjadi tujuan utama ibadah puasa adalah solusi bagi semua
krisis yang tengah melanda negeri ini. Bila para pemimpin negeri ini bertakwa,
berapa banyak uang negara yang bisa diselamatkan dan digunakan untuk
menyejahterakan rakyat (QS Ath-Thalaq: 2-3). Bila para birokrat bertakwa, semua
urusan birokrasi dan administrasi yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat
akan mudah dan lancar (QS Ath-Thalaq: 4). Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar