TOKO ALHAROMAIN
MENJUAL PAKAIAN JADI
D 54-D55 AND B19-B20
PASAR TANJUNG MOJOKERTO
Muqadimah
Mengenal
Islam
أُذِنَ لِلَّذِينَ
يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
أَفَغَيْرَ دِينِ
اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا
وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
Keuniverselan
Islam
Karakteristik
Islam
Penutup
MEMAHAMI ASSYAHADATAIN
التعريف
بالشهادتي
Muqadimah
Urgensi
Syahadatain
Arti Kata Syahadat
Syarat
Diterimanya Syahadat
Makna
Syahadatain
Hal-Hal yang
Membatalkan Syahadat
Penutup
Muqadimah
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Allah SWT
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Orang tuanya
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Kerabat Keluarganya
معرفة الإسلام
Muqadimah
Ketika Allah
SWT menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan bagi kaum muslimin, tentulah Allah
sudah mengetahui akan berbagai hal yang akan dihadapi oleh manusia (baca; kaum
muslimin) itu sendiri. Karena Islam menginginkan adanya penyelesaian dan
kedamaian atas segala hal yang menimpa manusia dalam kehidupan mereka. Dan
seperti itulah sesungguhnya profil al-Islam. Islam merupakan pegangan hidup
manusia yang mampu mengantarkan mereka pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia
maupun di akhirat, serta mampu mengentaskan segala problematika yang mereka
hadapi.
Sejarah
telah memperlihatkan kepada kita, betapa Islam mampu menjadi poros dunia yang
memimpin serta menguasai peradaban dalam waktu yang relatif lama. Dan jika
diperhatikan, kejayaan dan kemajuan Islam sangat identik dengan kekomitmenan
mereka terhadap Islam. Demikian juga sebaliknya, ketika komitmen tersebut telah
meluntur maka kejayaan Islampun mulai pudar, seiring pudarnya keimanan kaum
muslimin. Rasulullah SAW
dalam sebuah haditsnya telah mengingatkan kepada kita:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِهِ
(وراه مالمك)
‘Rasulullah SAW
bersabda, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan
pernah tersesat selagi masih berpegang teguh pada keduanya; yaitu kitabullah
(al-Qur’an) dan sunah nabinya (al-Hadits).’ (HR. Imam Malik)
Kemunduran kaum muslimin juga
merupakan bagian dari ‘kesesatan’ sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas.
Karena dalam kondisi mundur, sangat mudah bagi musuh-musuh Islam untuk
melancarkan berbagai hujaman kepada Islam, baik berbentuk politik, ekonomi,
militer, pendidikan dan lain sebagainya, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kemudian kemunduran seperti inipun disebabkan karena mengendurnya komitmen kaum
muslimin terhadap Islam. Untuk itulah, perlu kiranya bagi kita untuk mengkaji
ulang tentang hakekat dinul Islam secara utuh dan menyeluruh agar kita
dapat kembali meraih kejayaan yang telah hilang dari tangan kita.
Mengenal
Islam
Dari
segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama.
Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama
ini.
الإسلام مصدر من أسلم يسلم
إسلاما
Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan dengan
asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah:
1. Berasal dari ‘salm’ (السَّلْم) yang berarti damai.
Dalam
al-Qur’an Allah SWT berfirman (QS. 8 : 61)
وَإِنْ جَنَحُوا
لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kata ‘salm’ dalam ayat
di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini merupakan salah satu makna
dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa
umat manusia pada perdamaian. Dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman : (QS. 49 :
9)
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya
itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.”
Sebagai salah satu bukti bahwa
Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian adalah bahwa
Islam baru memperbolehkan kaum muslimin berperang jika mereka diperangi oleh
para musuh-musuhnya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 22 : 39)
أُذِنَ لِلَّذِينَ
يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu.”
2. Berasal dari kata ‘aslama’ (أَسْلَمَ) yang berarti menyerah.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan
seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah
SWT. Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang
Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya. Menunjukkan makna
penyerahan ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an: (QS. 4 : 125)
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ
خَلِيلاً
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya
daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan
Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
Sebagai seorang muslim,
sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga kita
hanya kepada-Nya. Dalam sebuah ayat Allah berfirman: (QS. 6 : 162)
قُلْ إِنَّ
صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Karena sesungguhnya jika kita
renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di bumi maupun di langit,
mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, dengan mengikuti
sunnatullah-Nya. Allah berfirman: (QS. 3 : 83) :
أَفَغَيْرَ دِينِ
اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا
وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.”
Oleh karena itulah, sebagai
seorang muslim, hendaknya kita menyerahkan diri kita kepada aturan Islam dan
juga kepada kehendak Allah SWT. Karena insya Allah dengan demikian akan
menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang (baca; mutma’inah).
3.
Berasal dari kata istaslama–mustaslimun
(اسْتَسْلَمَ
- مُسْتَسْلِمُوْنَ):
penyerahan total kepada Allah.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 37 : 26)
بَلْ هُمُ
الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ
“Bahkan mereka pada hari itu menyerah
diri.”
Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin
kedua). Karena sebagai seorang muslim, kita benar-benar diminta untuk secara
total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apapun yang kita
miliki, hanya kepada Allah SWT. Dimensi atau bentuk-bentuk
penyerahan diri secara total kepada Allah adalah seperti dalam setiap gerak
gerik, pemikiran, tingkah laku, pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan,
kesedihan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT. Termasuk juga berbagai
sisi kehidupan yang bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi,
pendidikan, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya, semuanya dilakukan hanya
karena Allah dan menggunakan manhaj Allah. Dalam Al-Qur’an Allah
berfirman (QS. 2 : 208)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri
secara total kepada Allah dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan
dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya.
4. Berasal dari kata ‘saliim’ (سَلِيْمٌ) yang berarti bersih dan suci.
Mengenai
makna ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 26 : 89):
إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Dalam
ayat lain Allah mengatakan (QS. 37: 84)
إِذْ جَاءَ رَبَّهُ
بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan
bersih, yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan
kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia
maupun di akhirat. Karena pada hakekatnya, ketika Allah SWT mensyariatkan
berbagai ajaran Islam, adalah karena tujuan utamanya untuk mensucikan dan
membersihkan jiwa manusia. Allah berfirman: (QS. 5 : 6)
مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah sesungguhnya tidak menghendaki
dari (adanya syari’at Islam) itu hendak menyulitkan kamu, tetapi sesungguhnya
Dia berkeinginan untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.”
5. Berasal dari ‘salam’ (سَلاَمٌ) yang berarti selamat dan sejahtera.
Allah
berfirman dalam Al-Qur’an: (QS. 19 : 47)
قَالَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan
kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat
baik kepadaku.
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa
membawa umat manusia pada keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam
memberikan kesejahteraan dan juga keselamatan pada
setiap insan.
Adapun dari segi istilah,
(ditinjau dari sisi subyek manusia terhadap dinul Islam), Islam adalah
‘ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi
dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai
hukum/ aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus,
menuju ke kebahagiaan dunia dan akhirat.’
Definisi
di atas, memuat beberapa poin penting yang dilandasi dan didasari oleh
ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara poin-poinnya adalah:
1.
Islam sebagai wahyu
ilahi (الوَحْيُ
اْلإِلَهِي)
Mengenai hal ini, Allah
berfirman QS. 53 : 3-4 :
وَمَا يَنْطِقُ
عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
2.
Diturunkan kepada nabi
dan rasul (khususnya Rasulullah
SAW) (دِيْنُ اْلأَنْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِيْنَ)
Membenarkan hal ini, firman
Allah SWT (QS. 3 : 84)
قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ
مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ
مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq,
Ya`qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para
nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka
dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."
3.
Sebagai pedoman hidup (مِنْهَاجُ الْحَيَاةِ)
Allah berfirman (QS. 45 : 20)
هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ
وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang meyakini.
4.
Mencakup hukum-hukum
Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
(أَحْكَامُ اللهِ
فِيْ كِتَابِهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ)
Allah berfirman (QS. 5 : 49-50)
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ
ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?”
5.
Membimbing manusia ke
jalan yang lurus. (الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ)
Allah berfirman (QS. 6 : 153)
وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
6.
Menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat.(سَلاَمَةُ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ)
Allah berfirman (QS. 16 : 97)
مَنْ عَمِلَ
صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Keuniverselan
Islam
Islam
merupakan pedoman hidup yang universal, yang mencakup segala aspek kehidupan
manusia dalam semua dimensi waktu, tempat dan sisi kehidupan manusia.
1.
Mencakup seluruh
dimensi waktu
Artinya bahwa Islam bukanlah
suatu agama yang diperuntukkan untuk umat manusia pada masa waktu tertentu,
sebagaimana syariat para nabi dan rasul yang terdahulu. Namun Islam merupakan
pedoman hidup yang abadi, hingga akhir zaman. Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an (QS. 21:107):
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
Rahmat bagi semesta alam
artinya bagi seluruh makhluk Allah di muka bumi ini sepanjang masa. Rasulullah SAW sendiripun diutus
sebagai nabi dan rasul terakhir yang ada di muka bumi, yang menyempurnakan
syariat nabi-nabi terdahulu. Allah berfirman (QS. 33 : 40)
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ
اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Sebagai nabi dan rasul
terakhir berarti tidak akan ada lagi nabi dan rasul yang lain yang akan menasakh
(menghapus) syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah SAW lakukan terhadap
syariat para nabi dan rasul yang lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah
nabi Muhammad merupakan risalah abadi hingga akhir zaman.
2.
Mencakup seluruh
dimensi ruang
Maknanya adalah bahwa Islam
merupakan pedoman hidup yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan geografis
tertentu, seperti hanya disyariatkan untuk suku atau bangsa tertentu. Namun
Islam merupakan agama yang disyariatkan untuk seluruh umat manusia, dengan
berbagai bangsa dan sukunya yang berbeda-beda. Allah SWT berfirman (QS. 34 :28)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui.”
Dari ayat di atas kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an tidak hanya diturunkan untuk orang Arab
secara khusus, namun juga untuk orang Eropa, Rusia, Asia, Cina dan lain
sebagainya.
3.
Mencakup semua sisi
kehidupan manusia.
Maknanya adalah bahwa Islam
merupakan pedoman hidup manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia,
dan tidak hanya agama yang mengatur peribadahan saja sebagaimana yang banyak
difahami oleh kebanyakan manusia pada saat ini. Sesungguhnya Islam mencakup
seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia, diantaranya adalah:
- Peribadahan
QS. 51 : 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.
- Akhlak (Etika/ Tata krama/ Budi Pekerti)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlak/
moral.”
(HR. Ahmad)
- Ekonomi
QS. 59 : 7
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja
di antara kamu.“
- Politik
QS. 5 : 51
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
- Sosial
QS. 5 : 2
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى
الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan
janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
- Pendidikan
QS. 31 : 13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لإِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ
تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
(Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
Karakteristik
Islam
Sebagai
agama terakhir yang sempurna, Islam memiliki karakteristik (baca; khasa’ish)
yang membedakannya dengan agama-agama yang terdahulu. Diantara karakteristik
Islam adalah:
Pertama : Robbaniyah (الربانية)
Karakter pertama dinul Islam, adalah bahwa
Islam merupakan agama yang bersifat robbaniyah, yaitu bahwa sumber
ajaran Islam, pembuat syari’at dalam hukum (baca; perundang-undangan) dan manhajnya
adalah Allah SWT, yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, baik melalui Al-Qur’an maupun sunnah.
Allah SWT berfirman QS. 32 : 1-3:
الم * تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لاَ
رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ *
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ
قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ*
Alif Laam
Miim. Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan
semesta alam. Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: "Dia
Muhammad mengada-adakannya". Sebenarnya Al Qur'an itu adalah kebenaran
(yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum
datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan
mereka mendapat petunjuk.
Dengan karakteristik ini, Islam sangat berbeda
dengan agama manapun yang ada di dunia pada saat ini. Karena semua agama selain
Islam, adalah buatan manusia, atau paling tidak terdapat campur tangan manusia
dalam pensyariatannya.
Kedua : Syumuliyah / universal (الشمولية)
Artinya bahwa karakteristik Islam adalah bahwa
Islam merupakan agama yang universal yang mencakup segala aspek kehidupan
manusia. Menyentuh segenap dimensi, seperti politik, ekonomi, pendidikan,
kebudayaan dsb. Mengatur manusia dari semenjak bangun tidur hingga tidur
kembali. Merambah pada pensyariatan dari semenjak manusia dilahirkan dari perut
ibu, hingga ia kembali ke perut bumi, dan demikian seterusnya. Perhatikan
firman Allah QS. 2 : 208.
Imam Syahid Hasan Al-Banna mengemukakan:
“Islam adalah sistem yang
syamil ‘menyeluruh’ mencakup semua aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah
air, pemerintah dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan,
peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan
alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran.
Sebagaimana juga ia adalah aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak
kurang tidak lebih.”
Ketiga : Tawazun/ Seimbang (التوازن)
Karakter ketiga agama Islam adalah bahwa Islam
merupakan agama yang tawazun (seimbang). Artinya Islam memperhatikan
aspek keseimbangan dalam segala hal; antara dunia dan akhirat, antara fisik
manusia dengan akal dan hatinya serta antara spiritual dengan material,
demikian seterusnya. Pada intinya dengan tawazun ini Islam menginginkan
tidak adanya ‘ketertindasan’ satu aspek lantaran ingin memenuhi atau memuaskan
aspek lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam agama lain. Seperti tidak
menikah karena menjadi pemuka agamanya, atau meninggalkan dunia karena ingin
mendapatkan akhirat. Konsep Islam adalah bahwa seorang muslim yang baik adalah
seorang muslim yang mempu menunaikan seluruh haknya secara maksimal dan merata.
Hak terhadap Allah, terhadap dirinya sendiri, terhadap istri dan anaknya,
terhadap tetangganya dan demikian seterusnya.
Keempat : Insaniyah (الإنسانية)
Karakter yang keempat adalah bahwa Islam merupakan
agama yang bersifat insaniyah. Artinnya bahwa Islam memang Allah jadikan
pedoman hidup bagi manusia yang sesuai dengan sifat dan unsur kemanusiaan.
Islam bukan agama yang disyariatkan untuk malaikat atau jin, sehingga manusia
tidak kuasa atau tidak mampu untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, Islam
sangat menjaga aspek-aspek ‘kefitrahan manusia’, dengan berbagai kelebihan dan
kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Sehingga dari sini,
Islam tidak hanya agama yang seolah dikhususkan untuk para tokoh agamanya saja
(baca ; ulama). Namun dalam Islam semua pemeluknya dapat melaksanakan Islam
secara maksimal dan sempurna. Bahkan bisa jadi, orang awam akan lebih tinggi
derajatnya di hadapan Allah dari pada seorang ahli agama. Karena dalam Islam
yang menjadi standar adalah ketakwaannya kepada Allah.
Kelima : Al-Adalah / Keadilan (العدالة)
Karekteristik Islam berikutnya, bahwa Islam
merupakan agama keadilan, yang memiliki konsep keadilan merata bagi seluruh
umat manusia, termasuk bagi orang yang non muslim, bagi hewan, tumbuhan atau
makhluk Allah yang lainnya. Keadilan merupakan inti dari ajaran Islam, apalagi
jika itu menyangkut orang lain. Allah berfirman: (QS. 5 : 8)
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Berbuat
adillah kalian, karena keadilan itu dapat lebih mendekatkan kalian pada
ketaqwaan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui terhadap apa yang kalian kerjakan.”
Inilah beberapa karakteristik terpenting dari
agama Islam. Di luar kelima karakteristik ini, sesungguhnya masih banyak
karakteristik Islam lainnya. Kelima hal di atas hanyalah sebagai contoh saja.
Penutup
Inilah
sekelumit informasi mengenai Al-Islam, yang tidak lain dan tidak bukan adalah
agama yang benar-benar bersumber dari Allah SWT, yang tiada keraguan sedikitpun
mengenai kebenarannya. Islam merupakan agama sempurna yang menyempurnakan
agama-agama terdahulu yang sudah banyak dikotori oleh campur tangan pemeluknya
sendiri.
Tiada
jalan bagi kita semua melainkan hanya menjadikan Islam sebagai pegangan hidup
dalam segala hal, dalam beribadah, bermuamalah, berpolitik, berekonomi,
berpendidikan, bersosial dan lain sebagainya. Kebagahian merupakan hal yang
insya Allah akan dipetik, oleh mereka-mereka yang memiliki komitmen untuk
melaksanakan Islam secara kaffah, sebagaimana para pendahulu-pendahulu kita.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamab-Nya yang baik. Amiin.
Wallahu A’lam Bishowab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan
Bacaan
Hadiri,
Khairuddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Cet. V – 1996 / 1417 H.
Jakarta : Gema Insani Press.
Hawwa,
Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I –
2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Zaidan,
Abdul Karim. Ushul al-Da’wah. Cet. V – 1996/ 1417 H. Beirut – Libanon :
Mu’assasatur Risalah.
CD.
ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib
(1991 – 1997).
CD.
ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih.
Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD.
ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن الرحيم
MEMAHAMI ASSYAHADATAIN
التعريف
بالشهادتي
Muqadimah
Syahadat
merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang, yang akan menentukan
perjalanan kehidupannya. Dengan syahadat, orientasi duniawi
(baca; materiil) akan berubah menjadi orientasi ukhrawi yang secara
langsung atau tidak dapat merubah tujuan dan perjalanan hidup seseorang. Dan
dengan syahadat ini pulalah, Rasulullah
SAW mengubah kondisi masyarakat Arab, dari kehidupan yang jahili menuju
kehidupan yang Islami.
Syahadat
membawa perubahan mendasar dalam jiwa setiap insan. Syahadat merubah
kondisi masyarakat dari akarnya yang paling bawah; yaitu dari sisi relung
hatinya yang paling dalam. Ketika hati telah berubah, maka segala gerak gerik,
tingkah laku, pola pikir, kejiwaan dan segala tindak tanduk akan berubah pula.
Namun
tentulah untuk dapat mewujudkan perubahan seperti itu, harus terlebih dahulu
memahami hakekat yang terkandung dalam kalimat yang membawa perubahan itu. Para
sahabat, yang mereka semua sebagian besar orang Arab, sangat memahami makna
yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sehingga ketika mereka mengucapkannya,
merekapun mengetahui dan memahami konsekwensi yang bakal mereka terima dari
ucapannya. Oleh karena itulah, tidak sedikit kasus adanya penolakan dari mereka
untuk mengucapkan kalimat tersebut. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan
akan dapat mengatakan sepuluh kalimat, asalkan bukan kalimat yang satu itu.
Urgensi
Syahadatain
Dari sinilah, kita dapat
memetik urgensi (baca ; ahamiyah) dari syahadat. Dan terdapat
beberapa urgensi syahadat penting lainnya. Diantaranya adalah:
1.
(مَدْخَلٌ إِلَى اْلإِسْلاَمِ)
Syahadat merupakan pintu
gerbang masuk ke dalam Islam.
Karena pada hakekatnya, syahadat
merupakan pemisah seseorang dari kekafiran menuju Iman. Artinya dengan sekedar
mengucapkan syahadat, seseorang telah dapat dikatakan sebagai seorang
muslim. Demikian pula sebaliknya, tanpa mengucapkan syahadat, seseorang
belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim, kendatipun baiknya orang
tersebut.
Dalam syahadat
seseorang akan mengakui bahwa hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang mengatur segala
sesuatu yang ada di jagad raya, termasuk mengatur segala aspek kehidupan
manusia dengan mengutus seorang rasul yang ditugaskan untuk membimbing umat
manusia, yaitu nabi Muhammad SAW.
2.
(خُلاَصَةُ تَعَالِيْمِ اْلإِسْلاَمِ)
Syahadat
merupakan intisari dari ajaran Islam.
Karena syahadat mencakup dua
hal: Pertama konsep la ilaha ilallah; merealisasikan segala bentuk
ibadah hanya kepada Allah, baik yang dilakukan secara pribadi maupun secara bersamaan
(berjamaah). Dari sini akan melahirkan keikhlasan kepada Allah SWT. Kedua,
konsep Muhammad adalah utusan Allah, mengantarkan pada makna bahwa konsep ini
menjadi konsep yang mengharuskan kita untuk mengikuti tatacara penyembahan
kepada Allah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Atau dengan kata lain
sering disebut dengan ittiba’.
3.
(أَسَاسُ اْلإِنْقِلاَبِ)
Syahadat
merupakan dasar perubahan total, baik pribadi maupun masyarakat.
Karena syahadat dapat
merubah kondisi suatu masyarakat, bangsa dan negara secara menyeluruh, dengan
sentuhan yang sangat dalam yaitu dari dalam tiap diri insan. Karena jika
seseorang dapat berubah, maka ia akan menjadi perubah yang akan merubah
masyarakatnya. Allah berfirman dalam (QS. 13 : 11) :
إِنَّ اللَّهَ لاَ
يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah kondisi suatu kaum, hingga
mereka mau merubah diri mereka sendiri.”
4.
(حَقِيْقَةُ دَعْوَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
Syahadat
merupakan hakekat da’wah Rasulullah
SAW.
Karena pada hekekatnya da’wah Rasulullah SAW adalah da’wah untuk menegakkan
dua hal; yaitu mentauhidkan Allah. Dan kedua menggunakan metode Rasulullah SAW dalam merealisasikan
ibadah kepada Allah SWT.
5.
(فَضَائِلٌ عَظِيْمَةٌ)
Syahadat
memiliki keutamaan yang besar.
Diantaranya keutamaanya adalah
sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:
عَنْ
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا
رَسُولُ
اللَّهِ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ النَّارَ
“Dari Ubadah bin al-Shamit, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang
siapa yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah
utusan Allah, maka Allah akan mengharamkam neraka baginya”. (HR. Muslim)
Arti Kata Syahadat
Ditinjau dari segi bahasa, sedikitnya terdapat
tiga arti dari kata syahadat, ketiga makna tersebut adalah :
1.
(الإعلان/ الإقرار) Pernyataan
Mengenai makna ini, Allah
menggambarkan dalam Al-Qur’an (QS. 3 : 18) :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Seseorang yang bersyahadat,
berarti ia telah menyatakan sesuatu, sesuai dengan apa yang dinyatakannya.
Dalam hal ini seseorang menyatakan bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwanya
Muhammad adalah utusan Allah.
2.
(القسم / الحلف) Sumpah
Allah berfirfirman (QS. 24 :
6):
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلاَّ أَنْفُسُهُمْ
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar.”
Seseorang yang bersyahadat,
maka ia sesungguhnya telah menyatakan diri dengan bersumpah, bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
3.
(العهد / الوعد) Perjanjian
Allah berfirman (QS. 2 : 84) :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ
لاَ تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلاَ تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil
janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh
orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung
halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu
mempersaksikannya.”
Seorang yang bersyahadat,
sesungguhnya ia telah berjanji kepada Allah SWT untuk mentauhidkannya (tiada
tuhan selain Allah), demikian juga berjanji untuk menjadikan nabi Muhammad
adalah benar-benar utusan Allah, yang harus ia ikuti.
Syarat
Diterimanya Syahadat
Melihat
makna syahadat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata syahadat
bukanlah merupakan hal sepele yang ringan diucapkan oleh lisan. Namun syahadat
memiliki konsekwensi yang demikian besarnya di hadapan Allah SWT. Oleh karena
itulah, kita melihat para sahabat Rasulullah
SAW yang langsung memiliki perubahan yang besar dalam diri mereka, setelah
mengucapkan kalimat tersebut.
Berkenaan dengan hal ini, kita
perlu melihat sejauh mana batasan-batasan yang dapat menjadikan syahadat
kita dapat diterima oleh Allah SWT. Para ulama memberikan beberapa batasan,
agar syahadat seseorang dapat diterima. Diantaranya adalah:
1.
(العلم المنافي للجهل) Didasari dengan ilmu.
Yaitu (pengetahuan) tentang
makna yang dikandung dalam syahadat, dengan pengetahuan yang menghilangkan rasa
ketidaktahuan tentang syahadat yang akan diucapkannya itu. Allah berfirman (QS.
47 : 19) :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan
tempat tinggalmu.”
2.
(اليقين المنافي للشك) Didasari dengan
keyakinan
Artinya seseorang ketika
mengucapkan syahadat, tidak hanya sekedar didasari rasa tahu bahwa tiada tuhan
selain Allah, namun rasa ‘tahu’ tersebut harus menjadi sebuah keyakinan dalam
dirinya bahwa memang benar-benar hanya Allah Rab semesta alam. Allah berfirman
(QS. 49 : 15):
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar.”
3.
(الإخلاص المنافي للشرك) Didasari dengan keikhlasan
Keyakinan mengenai keesaan
Allah itupun harus dilandasi dengan keikhlasan dalam hatinya bahwa hanya Allah
lah yang ia jadikan sebagai Rab, tiada sekutu, tiada sesuatu apapun yang dapat
menyamainya dalam hatinya. Keiklasana seperti ini akan menghilangkan rasa
syirik kepada sesuatu apapun juga. Allah berfirman (QS. 98 : 5):
وَمَا أُمِرُوا
إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.”
4.
(الصدق المنافي للكذب) Didasari dengan
kejujuran
Persaksian itu juga harus
dilandasi dengan kejujuran, artinya apa yang diucapkannya oleh lisannya itu
sesuai dengan apa yang terdapat dalam hatinya. Karena jika lisannya mengucapkan
syahadat, kemudian hatinya meyakini sesuatu yang lain atau bertentangan dengan
syahadat itu, maka ini merupakan sifat munafik. Allah berfirman (QS. 2 : 8 –
9):
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ* يُخَادِعُونَ اللَّهَ
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ*
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah
dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal
mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”
5.
(المحبة المنافية للبغض والكراهة) Didasari dengan rasa cinta/ keridhaan
Maknanya adalah bahwa
seseorang harus memiliki rasa kecintaan kepada Allah SWTdalam bersyahadat.
Karena dengan adanya rasa cinta ini, akan dapat menghilangkan rasa kebencian
kepada Allah dan al-Islam. Allah SWT berfirman (QS. 2 : 165):
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ
ظَلَمُوا
إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan
jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya
dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
6.
(القبول المنافي للرد) Didasari dengan rasa
penerimaan
Syahadat yang diucapkan juga
harus diiringi dengan rasa penerimaan terhadap segala makna yang terkandung di
dalamnya, yang sekaligus akan menghilangkan rasa “ketidak penerimaan” terhadap
makna yang dikandung syahadat tersebut. Allah berfirman (QS. 33 : 36):
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.”
7.
(الإنقياد المنافي للإمتناع والترك وعدم
العمل)
Didasari dengan rasa kepatuhan
(terhadap konsekwensi syahadat).
Terakhir adalah bahwa syahadat
memiliki konsekwensi dalam segala aspek kehidupan seorang muslim. Oleh
karenanya seorang muslim harus patuh terhadap segala konseksensi yang ada, yang
sekaligus menghilangkan rasa ‘ketidakpatuhan’ serta keengganan untuk tidak
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah dan Rasulullah SAW. Allah berfirman (QS.
24 : 51):
إِنَّمَا كَانَ
قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah
ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”
Makna
Syahadatain
1.
Uraian makna dan fungsi
kata La ilaha ilallah (لآ إله إلا الله)
Kata
|
Makna
|
Fungsi
|
La (لا)
|
Tiada/ Tidak
|
Nafi (النفي): Peniadaan
|
Ilaha (إله)
|
Tuhan (yang disembah)
|
Manfa (المنفى): yang dinafikan/
ditiadakan.
|
Illa (إلا)
|
Kecuali
|
Adatul Istisna’ (أداة الإستثناء): pengecualian.
|
Allah (الله)
|
Allah SWT
|
Al-Mustasna (المستثناء) :yang dikecualikan
|
2.
Arti la ilaha
ilallah
Ilah secara bahasa
memiliki arti sesuatu yang disembah. Dimensi Ilah dalam kehidupan ini dapat
mencakup makna yang luas, diantaranya adalah :
a)
Malik (المالك) raja/ pemiliki :
Tiada Pemiliki/ Raja selain
Allah SWT/ Tiada kerajaan selain untuk Allah SWT. Allah SWT berfirman (QS. 4:
131)
وَلِلَّهِ مَا فِي
السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
وَإِنْ تَكْفُرُوا
فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ
غَنِيًّا حَمِيدًا
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan
sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum
kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir,
maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi
hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
b)
Hakim (الحاكم) ; Pembuat hukum.
Tiada pembuat hukum selain
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam (QS. 6 : 114) :
أَفَغَيْرَ اللَّهِ
أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً
وَالَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ
أَنَّهُ مُنَزَّلٌ
مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah
yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang
yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al
Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu
sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”
Dalam
ayat lain Allah mengatakan (QS. 6 : 57)
إِنِ الْحُكْمُ
إِلاَّ لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”
c)
Amir (الأمير) : Pemerintah (yang berhak memberikan perintah)
Tiada pemerintah (yang berhak
memberikan perintah atau larangan) selain Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah
mengatakan (QS. 7 :54):
أَلاَ لَهُ
الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci
Allah, Tuhan semesta alam.”
d)
Wali (الولي) : Pelindung/pemimpin.
Tiada pelindung/pemimpin
selain Allah SWT. Allah berfriman dalam Al-Qur’an (QS. 2:257)
اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا
يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.”
e)
Mahbub (المحبوب) : Yang dicintai.
Tiada yang dicintai selain
Allah SWT Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengatakan (QS. 2 : 165):
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ
آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى
الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ
جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan
jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya
dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
f)
Marhub (المرهوب): Yang ditakuti.
Tiada yang ditakuti selain
Allah SWT. Allah berfirman (QS. 9 : 18)
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللَّهَ
فَعَسَى
أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah
orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
g)
Marghub (المرغوب): Yang diharapkan
Tiada yang diharapkan selain
Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 94 : 8) :
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
h)
Haul wal Quwah (الحول والقوة) : Daya dan kekuatan
Tiada daya dan tiada kekuatan
selain Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 51 : 58) :
إِنَّ اللَّهَ هُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan
lagi Sangat Kokoh.
i)
Mu’dzam (المعظم) :
Tiada yang diagungkan selain
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengatakan (QS. 22 : 32):
ذَلِكَ وَمَنْ
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan
syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
j)
Mustaan bihi (المستعان به) : tempat dimintai
pertolongan.
Tiada yang dimintai
pertolongan selain Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 1 : 5) :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan
Hal-Hal yang
Membatalkan Syahadat
Terdapat
hal-hal yang dapat membatalkan syahadat yang telah kita ikrarkan di hadapan
Allah SWT. Uzt. Said Hawa menyebutkannya ada 20 bentuk. Berikut adalah beberapa
hal yang dapat membatalkan syahadat kita, yang memiliki konsekwensi kekufuran
kepada Allah:
1. Bertawakal dan bergantung pada selain Allah.
Allah
berfirman (QS. 5 : 23):
وَعَلَى اللَّهِ
فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah lah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu
benar-benar orang yang beriman.”
2. Bekerja/ beraktivitas dengan tujuan selain Allah.
Karena
sebagai seorang muslim, seyogyanya kita memiliki prinsip: (QS.6:162)
قُلْ إِنَّ
صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
3. Membuat hukum/ perundangan selain dari hukum Allah
Allah
berfirman (QS. 5 : 57):
إِنِ الْحُكْمُ
إِلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”
4. Menjalankan hukum selain hukum Allah
Allah
berfirman (QS. 5 : 44)
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barang siapa yang tidak menughukum dengan apa yang telah
ditirunkan Allah (Al-Qur’an), maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”
5. Lebih mencintai kehidupan dunia dari pada akhirat.
Allah
berfirman (QS. 14 : 2-3):
اللَّهِ
الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ
مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ * الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ
الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا
عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ بَعِيدٍ*
“Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan
celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (yaitu)
orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah
itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.”
Dalam
ayat lain Allah berfirman (QS. 9 : 24) :
قُلْ إِنْ
كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ
وَاللَّهُ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu
sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari)
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik.”
6. Mengimani sebagaina ajaran Islam dan mengkufuri (baca; tidak mengimani)
sebagian yang lain.
Allah
berfirman (QS. 2 : 85):
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah
dari apa yang kamu perbuat.”
7. Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.
Allah
berfirman (QS. 5: 51):
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”
Penutup
Pada
intinya, jika seseorang memahami dan mengetahui dengan baik apa yang terkandung
dalam kalimat syahadat, tentulah mereka akan dapat memiliki keimanan dan
komitmen yang tinggi kepada Allah, yang dapat mengantarkannya pada derajat
ketaqwaan sebagaimana para sahabat Rasulullah
SAW. Barangkali kualitas keimanan kita yang rendah adalah karena kurangnya
pemahaman yang utuh mengenai kalimat ini. Sehingga meskipun sering diucapkan lisan,
namun belum dapat diterjemahkan dalam kehidupan rill sehari-hari.
Dengan
memahami kembali makna syahadat beserta hal-hal lain yang terkait dengan dua
kalimat ini, semoga dapat menjadikan keimanan dan keislaman kita lebih baik
lagi. Wajar, jika terdapat beberapa hal yang masih kurang dalam keimanan kita.
Karena kita adalah manusia dengan segala kekurangan yang kita miliki. Oleh
karena itulah, marilah kita memperbaiki hal-hal tersebut dengan yang lebih baik
lagi. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan Bacaan
Azzam,
Abdullah. Al-Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail. 1991 – 1411. Cet I.
Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan,
Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam. Terj. 1998.
Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Hawwa,
Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I –
2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Quthb,
Muhammad. La Ilaha Ilallah Sebagai Aqidah, Syari’ah, dan Sistem Kehidupan.
1996. Cet. I. Terj. Jakarta : Robbani Press.
CD.
ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib
(1991 – 1997).
CD.
ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih.
Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD.
ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم
الله الرحمن الرحيم
MA’RIFATULLAH
معرفة الله
Muqadimah
Mengenal Allah merupakan suatu
hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Karena dengan mengenal
Allah, seseorang akan lebih dapat mengenali dirinya sendiri. Dengan mengenal
Allah seseorang juga akan dapat memahami menegenai hakekat keberadaannya di
dunia ini; untuk apa ia diciptakan, kemana arah dan tujuan hidupnya, serta
tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang insan di muka bumi. Dengan lebih
mengenal Allah, seseoran juga akan memiliki keyakinan bahwa ternyata hanya
Allah lah yang Maha Pencipta, Maha Penguasa, Maha Pemelihara, Maha Pengatur dan
lain sebagainya. Sehingga seseorang yang mengenal Allah, seakan-akan ia sedang
berjalan pada sebuah jalan yang terang, jelas dan lurus.
Sebaliknya,
tanpa pengenalan terhadap Allah, manusia akan dilanda kegelisahan dalam setiap
langkah yang dilaluinya. Ia tidak dapat memahami hakekat kehidupannya, dari
mana asalnya, kemana arah tujuannya dan lain sebagainya. Seakan akan ia sedang
berjalan di sebuah jalan yang gelap, tidak tentu dan berkelok. Dalam Al-Qur’an
Allah SWT menggambarkan (QS. 6 :122) :
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ
وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي
الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Dan
apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah
Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka
kerjakan.”
Urgensi
Ma’rifatullah
Sebagaimana
disinggung di atas, bahwa orang yang mengenal Allah, ia akan memahami hakekat
kehidupannya. Oleh karenanya ia tidak akan mudah silau dan tertipu oleh
kemilaunya kehidupan dunia. Allah berfirman (QS. 51:56) mengenai tujuan hidup
manusia di dunia:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ
إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Berikut adalah beberpa poin penting mengenai
urgensi (baca; ahamiyah) ma’rifatullah:
1.
Tidak akan tertipu oleh
kemilaunya kehidupan dunia.
Allah berfirman (QS. 6 : 130):
يَامَعْشَرَ
الْجِنِّ وَالإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ
عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ
لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى
أَنْفُسِنَا
وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ
كَانُوا كَافِرِينَ
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul
dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat Ku dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata:
"Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah
menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka
adalah orang-orang yang kafir.”
2.
Karena Allah SWT adalah
Rab semesta alam.
Allah berfirman (QS. 13 : 16):
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ قُلِ اللَّهُ قُلْ
أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لاَ يَمْلِكُونَ لأَفُسِهِمْ نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ
جَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ
قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya:
"Allah." Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu
bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan
itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah
Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa".
3.
Karena wujud (eksistensi) dan keberadaan Allah SWT didukung oleh
dalil-dalil yang kuat:
a)
Dalil Naqli
(tekstual)
Allah berfirman (QS. 6 : 19):
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي
وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لاَ
أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا
تُشْرِكُونَ
“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?"
Katakanlah: "Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur'an
ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu
mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah:
"Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah)".
b)
Dalil Akal
Allah berfirman (QS. 3 : 190):
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالأََرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُولِي
الألَبْاَبِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
c)
Dalil Fitrah
Allah berfirman (QS. 7 : 172):
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
4.
Memiliki manfaat atau
faidah yang banyak:
Dengan
mengenal Allah secara baik dan benar, maka secara langsung atau tidak langsung
akan lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Dan jika kita dekat dengan
Allah, maka Allah pun akan dekat pula dengan kita. Hal ini merupakan hal yang
paling pokok bagi seorang hamba. Karena bagi dirinya orientasinya hanya lah
Allah dan Allah. Tiada kebahagiaan hakiki baginya, selain cinta Ilahi. Namun di
samping itu terdapat hal-hal positif lainnya dengan adanya ma’rifatullah
ini, diantaranya adalah:
a)
Kebebasan (الحرية)
Allah berfirman (QS. 6 : 82)
الَّذِينَ آمَنُوا
وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
b)
Ketenangan (الطمأنينة)
Allah berfirman (QS. 13 : 28)
الَّذِينَ آمَنُوا
وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.”
c)
Barakah (البركة)
Allah berfirman (QS. 7 : 96):
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.”
d)
Kehidupan yang baik (الحياة الطيبة)
Allah berfirman (QS. 16 : 97)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
e)
Syurga (الجنة)
Allah berfirman (QS. 10 :
25-26)
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ
وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga)
dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.”
f)
Mardhatillah. (مرضاة الله)
Allah berfirman (QS. 98 : 8)
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”
Cara
Untuk Mengenal Allah
Untuk
menuju tujuan tertentu, tentulah diperlukan cara atau metode yang telah
tertentu pula. Metode yang baik dan benar akan dapat mengantarkan kita pada
hasil yang baik dan benar pula. Demikian juga sebaliknya, cara atau metode yang
salah, akan membawa kita pada hasil yang salah pula. Dan secara garis besar,
terdapat dua cara untuk mengenal Allah SWT. Pertama, melalui ayat-ayat Allah
yang bersifat qauliyah. Kedua, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah.
Pertama : Melalui ayat-ayat qauliyah.
Ayat-ayat qauliyah
adalah ayat-ayat Allah SWT yang difirmankan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek yang dapat menunjukkan kita untuk lebih
mengenal dan meyakini Allah SWT. Sebagai
contoh, Allah SWT berfirman dalam (QS. 88: 17 – 20), dimana Allah SWT
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menghujam lubuk hati seorang insan
yang paling dalam, untuk membenarkan keberadaan Allah Yang Maha Pencipta:
أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإبِلِ
كَيْفَ خُلِقَتْ * وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ* وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ * وَإِلَى
الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ*
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?”
Contoh lain adalah bagaimana Allah SWT memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya tiada jawaban yang dapat mereka berikan
melainkan hanya kesaksian mengenai Keagungan, Kebesaran dan Kekuasaan Allah
SWT. Allah berfirman (QS. 27 : 60 – 66)
أَمَّنْ
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا
شَجَرَهَا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ * أَمَّنْ جَعَلَ
الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ
وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حَاجِزًا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ
لاَ يَعْلَمُونَ *أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَا
تَذَكَّرُونَ * أَمَّنْ يَهْدِيكُمْ فِي
ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَنْ يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ
رَحْمَتِهِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ* أَمَّنْ
يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
وَالأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ * قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ
إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ * بَلِ ادَّارَكَ عِلْمُهُمْ
فِي اْلآخِرَةِ بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ مِنْهَا بَلْ هُمْ مِنْهَا عَمُونَ*
“Atau siapakah yang telah
menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu
Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu
sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada
tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang
menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai
tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang
menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah
antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan
(sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang
memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya,
dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai
khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah
kamu mengingati (Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di
daratan dan lautan dan siapa (pula) kah yang mendatangkan angin sebagai kabar
gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan
(dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya),
kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu
dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?.
Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang
yang benar". Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi
yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak
mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. Sebenarnya pengetahuan mereka tentang
akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu,
lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.”
Selain dua contoh di atas, masih banyak sekali
contoh-contoh lain yang dapat mengantarkan kita untuk dapat mengenal dan lebih
mengenal Allah SWT lagi.
Kedua
: Melalui ayat-ayat kauniyah
Ayat-ayat kauniyah
adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat pada ciptaan-Nya, baik yang
berada di dalam diri manusia, di alam, di angkasa, di dalam lautan, di jagad
raya dan lain sebagainya. Karena pada hekekatnya, ketika manusia merenungkan
segala ciptaan Allah yang Maha Sempurna ini, akan membawa pada pengenalan dan
pengesaan (baca; pentauhidan) terhadap Allah SWT. Allah berfirman dalam QS. 67
: 3 – 4:
الَّذِي
خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ
تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ*
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ
إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ
“Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”
Bahkan dalam ayat lain, Allah seolah memberikan
tantangan kepada orang yang tidak mengakui ciptaan-Nya, untuk menunjukkan
ciptaan-ciptaan selain-Nya. Allah mengatakan (QS. 31 : 11)
هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا
خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ
“Inilah
ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan
oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu
berada di dalam kesesatan yang nyata.”
Pada intinya adalah bahwa sesungguhnya segala apa
yang ada di bumi, di langit, di jagad raya, juga di dalam diri kita sendiri,
merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut demikian
banyaknya hingga dapat dikatakan tak terbilang. Hanya karena keterbatasan
kitalah, kita tidak mampu untuk menghitung ayat-ayat Allah tersebut. Berikut
adalah diantara ayat-ayat kauniyah yang dapat mengenalkan kepada Allah
SWT:
1.
Fenomena adanya alam.
Jika terdapat sesuatu yang
sangat indah dan mempesona, maka pastilah ada yang membuatnya. Sebagai contoh,
ketika kita melihat ada sebuah rumah yang sangat bagus dan indah. Tentulah
rumah tersebut ada yang membangunnya. Karena tidak mungkin, rumah itu ada dan
berdiri sendiri dengan kebetulan, tanpa ada yang menciptakannya. Demikian juga
dengan alam yang sangat indah ini, dengan berbagai siklus alamnya yang demikian
sempurna. Ada sinar matahari yang tidak membakar kulit, ada oksigen yang kadar
dan komposisinya sangat sesuai dengan manusia, ada air yang merupakan sumber
kehidupan, ada pepohonan, ada hewan, ada bakteri dan demikian seterusnya.
Sesungguhnya hal seperti itu merupakan tanda-tanda yang jelas mengenai Allah
SWT. Bila ciptaan-Nya saja begitu indah dan sempurna, maka apatah lagi dengan
Penciptanya.? Mengenai hal ini, Allah berfirman (QS. 3 : 190):
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي
الأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Kita dapat membayangkan,
sekiranya dunia ini tidak diselimuti oleh atmosfer, atau tiada pepohonan yang
mengeluarkan oksigen, atau tiada penawar kotoran seperti lautan, atau hal-hal
lain yang menyeimbangkan siklus perputaran kehidupan di dunia? Barangkali kita
semua saat ini sudah punah. Belum lagi jika kita menengok ke angkasa raya, di
mana seluruh planet berserta gugusan bintang-bintang, semua berjalan sesuai
dengan ‘jalurnya’ masing-masing. Sehingga tiada yang saling bertabrakan satu
dengan yang lainnya. Lagi-lagi sebuah pertanyaan muncul, siapakan yang dapat
mengatur segalanya dengan sangat teliti, sempurna dan tiada cacat? (Biarkanlah
relung hati kita yang paling dalam untuk menjawabnya sendiri..)
2.
Fenomena kehidupan dan
kematian
Kehidupan dan kematian juga
merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Di mana hal ini ‘memaksa’
manusia untuk berfikir keras tentang fenomena hidup dan mati. Jika seluruh
makhluk itu hidup dan kemudian mati, tentulah di sana terdapat Dzat yang
Menghidupkan dan Mematikan. Jika seseorang, Allah kehendaki untuk mati, maka
apapun yang dilakukan untuk menolongnya akan menjadi sia-sia. Demikian juga
dengan fenomena kehidupan; terkadang seseorang yang telah terfonis ‘mati’ oleh
medis, ternyata dapat dan mampu bertahan hidup hingga beberapa tahun ke depan.
Dan menyikapi hal seperti ini, manusia terpaksa harus mengakui ‘kekerdilannya’,
meskipun tekhnologi canggih telah mereka kuasai. Namun mereka sama sekali tidak
kuasa menghadapi fenomena ini. Mereka akhirnya harus mengembalikan segala
sesuatunya hanya kepada Allah. Karena pada-Nyalah kita semua akan kembali.
Mengenai hal ini Allah berfirman (QS. 2 : 28)
كَيْفَ تَكْفُرُونَ
بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ
يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu
Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali,
kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Penghalang
Dalam Mengenal Allah
Meskipun demikian, manusia
tetaplah manusia dengan segala sifat baik dan buruk yang terdapat dalam
dirinya. Bagi mereka yang dapat memenejemen dirinya mengikuti sifat baiknya,
maka hal ini tidak akan menjadi masalah. Namun manakala mereka mengikuti sifat
buruk dalam dirinya, tentulah hal ini dapat menjadi penghalang dalam menempuh
jalan menuju pengenalan terhadap Allah SWT. Secara garis besar terdapat beberpa
hal (yang harus kita hindari) yang menghalangi manusia untuk mengenal Allah,
diantaranya adalah:
1.
Kefasikan (الفسق)
Fasik adalah orang yang
senantiasa melanggar perintah dan larangan Allah, bergelimang dengan
kemaksiatan serta senantiasa berbuat kerusakan di bumi. Sifat seperti ini akan
menghalangi seseorang untuk mengenal Allah SWT. Allah menggambarkan mengenai
sikap fasik ini dalam (QS. 2 : 26 – 27):
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلاً مَا بَعُوضَةً
فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِهَذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا
وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ* الَّذِينَ
يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ*
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau
yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin
bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir
mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?"
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan
perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada
yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang
melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa
yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”
2.
Kesombongan (الكبر)
Kesombongan merupakan suatu
sikap dimana hati seseorang ingkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah, dan
mereka tidak beriman kepada Allah SWT. Allah berfirman (QS. 16 : 22):
إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ
قُلُوبُهُمْ مُنْكِرَةٌ وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak
beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan
mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.”
3.
Kedzaliman (الظلم)
Sifat kedzaliman merupakan
sifat seseorang yang menganiaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap orang
lain, ataupun terhadap ayat-ayat Allah SWT. Mengenai sifat ini, Allah berfirman
dalam (QS. 32 : 22):
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ
عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan
dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami
akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.”
4.
Kedustaan (الكذب)
Kedustaan merupakan sikap
bohong dan pengingaran. Dalam hal ini adalah membohongi dan mengingkari
ayat-ayat Allah SWT. Allah berfirman QS. 2 : 10
فِي قُلُوبِهِمْ
مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا
يَكْذِبُونَ
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan
bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
5.
Banyak melakukan
perbuatan maksiat (dosa) (كثرة المعاصي)
Allah berfirman (QS. 83 : 14):
كَلاَّ بَلْ رَانَ
عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati mereka.”
6.
Kejahilan/ kebodohan (الجهل)
Allah berfirman (QS. 29 : 63)
:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا
بِهِ الأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah
yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah
matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah:
"Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami
(nya).”
7.
Keragu-raguan (الإرتياب)
Allah berfirman dalam (QS. 22
: 55) :
وَلاَ يَزَالُ
الَّذِينَ كَفَرُوا فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً
أَوْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَقِيمٍ
“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan
terhadap Al Qur'an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan
tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat. Dan senantiasalah
orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al Qur'an, hingga
datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada
mereka azab hari kiamat.”
8.
Penyimpangan (الإنحراف)
Allah berfirman (QS. 5 : 13):
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ
قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا
ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً
مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami
jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka
telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat
kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
9.
Kelalaian (الغفلة)
Allah berfirman dalam (QS. 7 :
179):
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ
بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ
لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Tauhidullah
Tauhidullah
berarti mengesakan Allah SWT, dari segala apapun yang ada di dunia ini. Dan
secara garis besar, tauhid dibagi menjadi tiga bagian; pertama Tauhid
Rububiyah. Kedua; Tauhid Mulkiyah, dan Ketiga; Tauhid Uluhiyah.
1.
Tauhid Rububiyah.
Dari segi bahasa, Rububiyah
berasal dari kata rabba yarubbu (ربّ - يربّ) yang memiliki beberapa arti, yaitu : ( المربي /al-Murabbi) Pemelihara, ( النصير/al-Nashir) Penolong, ( الملك /al-Malik) Pemilik, ( المصلح / al-Muslih) Yang Memperbaiki, ( السيد /al-Sayid) Tuan dan ( الولي / al-Wali) Wali.
Sifat rububiyah bagi Allah
merupakan sifat Allah sebagai Maha Pencipta, Maha Pemilik, dan Maha Pengatur
seluruh alam. Dalam tauhid ini, kita diminta untuk mengesakan Allah sebagai
Pencipta yang telan mencipta segala sesuatu dari yang paling kecil hingga yang
paling besar. Hanya Allah-lah yang memberikan rizki dan hanya Allah lah sebagai
Penguasa yang menguasai seluruh alam ini.
Menurut fungsinya, tauhid
rububiyah pada Dzat Allah terbagi menjadi tiga:
a)
Allah sebagai Pencipta
(خالقا)
Allah SWT berfirman (QS. 2 :
21-22):
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا
وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ
الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ*
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.”
b)
Allah sebagai Pemberi
rizki (رازقا)
Allah berfirman (QS. 51 :
57-58):
مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ* إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ
الْمَتِينُ*
“Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha
Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
c)
Allah sebagai Pemilik (مالكا)
Allah berfirman (QS. 284) :
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا
فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ
يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ
يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Tauhid rububiyah ini merupakan
landasan bagi seluruh kaum muslimin untuk bersyukur kepada Allah SWT. Karena
pada hakekatnya dalam menempuh kehidupan dunia, mereka senantiasa bertemu
dengan ciptaan Allah, dengan pemberian rizki dari Allah dan juga menggunakan
segala ‘fasilitas’ miliki Allah SWT. Mereka tidak mungkin lari dari kenyataan
ini.
2.
Tauhid Mulkiyah.
Dari segi bahasa, mulkiyah
berasal dari kata malika yamliku (ملك - يملك), yang artinya memiliki dan berkuasa penuh atas yang dimiliki.
Sedangkan dari segi istilahnya adalah mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya
penguasa, pemimpin, satu-satunya pembuat hukum (aturan) dan pemerintah. Tauhid
mulkiyah pada Allah meliputi
a)
Allah sebagai pemimpin
(وليا)
Allah berfirman (QS. 7 : 196):
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى
الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab
(Al Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.”
Dalam ayat lain Allah
menggambarkan (QS. 18 : 50)
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاّ
إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ
لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia
adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu
mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku,
sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah)
bagi orang-orang yang zalim.”
b)
Allah sebagai pembuat
hukum/ undang-undang (حاكما)
Allah berfirman (QS. 6 : 57):
إِنِ الْحُكْمُ
إِلاَّ لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. “
c)
Allah sebagai
pemerintah/ yang berhak memerintah (آمرا)
Allah berfirman (QS. 7 : 54)
بِأَمْرِهِ أَلاَ
لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.”
3.
Tauhid Uluhiyah.
Uluhiyah berasal dari kata Aliha
ya’lihu, (أله
- يأله) artinya
menyembah. Sedangkan dari segi istilah adalah mengesakan Allah SWT dalam
penyembahan/ peribadahan. Tauhid uluhiyah pada Allah ini mencakup tiga hal:
a)
Allah sebagai tujuan (غاية)
Allah berfirman (QS. 6 : 162):
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
b)
Allah sebagai Dzat yang
kita mengabdikan diri pada-Nya (معبودا)
Allah berfirman (QS. 109: 1-6)
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ*
لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ*
وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ * وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا
عَبَدْتُمْ* وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ* لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ*
“Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku".
Dengan mentauhidkan Allah melalui tiga bentuknya
ini, insya Allah akan membawa kita untuk menjadikan Allah sebagai:
1.
(ربا مقصودا)
Rab yang menjadi tujuan segala
amalan dan aktivitas kita, baik yang bersifat ibadah ataupun muamalah, bersifat
individu maupun secara bersama-sama. Karena tiada tujuan lain dalam hidup kita
selain hanya Allah dan Allah.
2.
(ملكا مطاعا)
Penguasa yang senantiasa kita
taati segala undang-undang dan aturan hukum yang Allah berikan kepada kita,
baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam sunnah Rasulullah
SAW.
3.
(إلها معبودا)
Tuhan yang senantiasa kita
sembah, di mana tiada sesembahan lain dalam hati kita, dalam fikiran kita dan
dalam jasad kita selain hanya untuk pengabdian kepada Allah SWT.
Penutup
Dengan
mengenal Allah SWT, kita akan lebih dapat untuk mendekatkan diri kita
kepada-Nya secara baik dan benar. Karena pemahaman yang baik akan mengantarkan
pada amalan yang baik. Amalan yang baik akan mengarah pada hasil yang baik. Dan
hasil yang baik, insya Allah akan mendapatkan keridhaan Allah SWT. Semoga Allah
SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang benar-benar mentauhidkannya
dalam segenap aspek kehidupan kita. Dan kita berlindung kepada-Nya dari
kemusyrikan-kemusyrikan, baik yang kita sadari ataupun yang tidak kita sadari…
اللهم إنا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا
نعلمه ونستغفرك لما لا نعلمه
Wallahu
A’lam Bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc. M.Ag.
Bahan
Bacaan
Azzam,
Abdullah. Al-Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail. 1991 – 1411. Cet I.
Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan,
Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam. Terj. 1998.
Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Al-Munawir,
Ahmad Warson. Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia. Tanpa tahun.
Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren
Al-Munawir.
Al-Qardhawi,
Yusuf. Wujudullah (Silsilah Aqa’id al-Islam I). 1990 – 1410. Cet. III.
Kairo – Mesir : Maktabah Wahbah.
Kelompok
Studi Islam Al-Ummah Jakarta. Aqidah Seorang Muslim. 1994. Jakarta : Nidzam
Press.
CD.
ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij
al-Hasib (1991 – 1997).
CD.
ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani).
Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن الرحيم
MA’RIFATUR
RASUL
معرفة الرسول
Muqadimah
Dalam
setiap kehidupannya, fitrah seorang insan akan senantiasa mengakui keberadaan
suatu Dzat yang Maha segala-galanya. Namun dalam perjalanannya, untuk memahami
secara benar mengenai Dzat yang Maha segala-galanya ini manusia tidak mungkin
dapat mengetahuinya hanya dengan mengandalkan fitrah dan akalnya saja. Manusia
‘memerlukan’ seorang penuntun yang mengantarkan dirinya pada Allah, beserta
cara untuk menyembah-Nya dengan baik dan benar.
Di
sinilah, Allah SWT mengutus para rasul, guna membimbing mereka ke jalan yang
benar. Rasul yang juga meluruskan berbagai fenomena ‘kekeliruan’ dalam
menyembah Allah. Di tambah lagi dengan adanya kelicikan syaitan yang senantiasa
menjerumuskan insan dalam berbagai bentuk kemusyrikan. Tanpa seorang rasul,
maka dapat dipastikan seluruh manusia akan tersesat dalam lembah kehinaan yang
sangat mencekam.
Oleh
karena itulah, sangat urgen bagi kita semua untuk kembali memahami hakekat para
rasul, kedudukannya, urgensitasnya, sifat-sifatnya, tugas-tugasnya dan yang
terakahir mengenai karakteristik risalah Nabi Muhammad SAW. Karena semua
rasul adalah manusia. Semua rasul, mengajak pada satu ajaran yaitu mengesakan
Allah dengan merealisasikan ibadah hanya kepada-Nya.
Ta’rif Rasul.
Dari
segi bahasa, rasul berasal dari kata ‘rasala’ yang berarti mengutus.
Sedangkar rasul, adalah bentuk infinitif (baca; masdar) dari kata ‘rasala’
ini berarti utusan, atau seseorang yang diutus. Adapun dari segi istilahnya
rasul adalah:
الرَّجُلُ الْمُصْطَفَي الْمُرْسَلُ مِنَ
اللهِ بِالرِّسَالَةِ إِلَى النَّاسِ
Seorang
laki-laki yang dililih dan diutus Allah SWT dengan membawa risalah kepada umat
manusia.
Rasul merupakan seorang pilihan diantara sekian
banyak manusia yang berada di muka bumi. Ia adalah manusia yang mulia dan
terbaik, karena akan mengemban sebuah amanah yang tidak ringan, yaitu
menunjukkan jalan Allah kepada umat manusia. Oleh karena itulah, sejak kecil,
seorang rasul sudah terlihat dengan memiliki ciri-ciri khusus yang tidak
dimiliki oleh orang lain. Karena ia akan membawa amanah yang tidak ringan.
Secara garis besar, amanah yang diembankan kepada rasul adalah:
1.
(حامل الرسالة) Membawa dan menyampaikan risalah (al-Islam)
Mengenai hal ini, Allah
berfirman (QS. 5 : 67):
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.”
2.
(قدوة في تطبيق الرسالة) menjadi qudwah
(baca; tauladan) bagi umat manusia dalam mengaplikasikan risalah yang
dibawanya. Karena manusia tidak akan mungkin dapat melaksanakan apa yang
diperintahkan Al-Qur’an jika tidak dengan contoh dan tauladan dari Rasulullah
SAW. Demikian juga para nabi-nabi yang lain, mereka memiliki tugas untuk
menjadi qudwah dalam mengaplikasikan risalah. Allah SWT berfirman (QS.
33 : 21) :
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Mengenai nabi yang lain, Allah mencontohkan dalam Al-Qur’an
(QS. 60 :4)
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah
selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja.”
Kemudian sebagai seorang muslim, kita perlu tahu
secara jelas mengenai rasul beserta ciri-cirinya. Diantara ciri-ciri rasul
adalah sebagai berikut:
1.
(الصفات الأساسية) Memiliki sifat-sifat asasiyah.
Sifat asasiyah ini
terdiri dari sidiq, amanah, tabligh dan fathanah. Sifat ini harus
dimiliki oleh setiap rasul yang mengemban atau membawa risalah dari
Allah SWT.
2.
(المعجزات) Memiliki mu’jizat.
Salah satu contohnya adalah
mu’jizat Rasulullah SAW ketika membelah bulan. Allah berfirman dalam (QS. 54 :
1 - 2):
اقْتَرَبَتِ
السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ * وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا
سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ*
“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika
mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu`jizat), mereka
berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus".
3.
(البشارات) Berita kedatangannya.
Dalam al-Qur’an Allah
mengatakan (QS. 61 : 6):
وَإِذْ
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ
إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا
بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ
بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun)
sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang
Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka
tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".
4.
(النبوات) Berita kenabian.
Setiap rasul senantiasa
membawa perintah Allah untuk mengajak umatnya ke jalan yang baik. Perihal
kerasulan merekapun Allah beritahukan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman (QS. 7 :
158)
قُلْ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ
مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ
فَآمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ
النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya
kamu mendapat petunjuk".
5.
(الثمرات) Adanya hasil dari da’wah yang dilakukannya.
Hal ini dapat kita lihat, pada
hasil da’wah Rasulullah SAW yang dari segi kualitas, mereka memiliki keimanan
yang sangat kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun juga. Kemudian dari segi
kuantitas, jumlah mereka demikian banyaknya, tersebar kesluruh pelosok jazirah
Arab, bahkan melewati jazirah Arab. Allah SWT berfirman (QS. 48 : 29):
مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانًا
سِيمَاهُمْ
فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ
فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan
dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Kedudukan Rasul.
Sebagai
manusia, seorang rasul juga memiliki ciri dan sifat yang sama dengan manusia
lain pada umumnya. Rasulullah SAW juga demikian, beliau memiliki fisik yang
sama sebagaimana sahabatnya, beliau juga memiliki nasab. Hanya beliau
mendapatkan wahyu yang tentunya tidak didapatkan oleh orang lain, dan beliau
memiliki kewajiban untuk menyampaikan risalah tersebut kepada seluruh umat
manusia. Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai kedudukan Rasulullah SAW:
1.
(عبد من عباد الله)
Seorang rasul, ia merupakan
seorang hamba diatara hamba-hamba Allah lainnya. Rasulullah SAW merupakan
seroang hamba Allah sebagaimana yang lainnya. Beliau juga beraktivitas
sebagaimana mereka beraktivitas. Beliau makan, minum, pergi ke pasar, beristri
dan lain sebagainya. Beliau juga merasakan sesuatu yang kita rasakan, baik rasa
suka ataupun rasa duka. Beliau juga mengalami sakit dan penderitaan sebagaimana
kita mengalaminya. Bahkan penderitaan yang beliau rasakan, jauh lebih besar
daripada penderitaan kita. Oleh karena itulah, sesungguhnya hal-hal yang beliau
lakukan, juga dapat kita lakukan. Karena kita sama-sama manusia. Dan
sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk mengerjakan perintah Rasul karena
Allah telah mengutus rasul itu dari kalangan mereka sendiri yang sangat dekat
dengan kehidupan mereka. Hanya yang membedakannya adalah bahwa beliau
mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Allah berfirman (QS. 18 : 110)
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا
إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلاً صَالِحًا
وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
2.
(رسول من المرسلين)
Rasulullah SAW merupakan
seorang rasul diantara para rasul lainnya.
Rasulullah SAW selain sebagai
hamba biasa juga sebagai rasul yang mempunyai keutamaan dan ciri-ciri
kerasulan. Rasulullah SAW memiliki mu’jizat sebagaimana para nabi dan rasul
yang lain, dengan berbagai keutamaan lainnya. Allah berfirman (QS. 3 : 144)
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ
أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى
عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Kerasulan Rasulullah SAW dapat
kita lihat dalam tiga hal:
a)
Tabligh Risalah (تبليغ الرسالة)
Artinya bahwa seorang rasul
harus menyampaikan risalah yang Allah amanahkan kepadapnya, berupa addin
al-hanif (agama yang benar). Allah berfriman (QS. 5 : 67)
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ
النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu.
Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
b)
Menyampaikan/
menunaikan amanah (أداء الأمانة)
Kita melihat bahwa Rasulullah
SAW telah menunaikan amanahnya sebagai seorang rasul. Sepanjang hidupnya beliau
mempergunakan umurnya guna menyeru orang ke jalan Allah sebagai mana yang
diamanahkan kepada beliau. Allah berfirman (QS. 33 : 39)
مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ
قَدَرًا مَقْدُورًا * الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاَتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ
وَلاَ يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلاّ اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا*
“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah
itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. (yaitu) orang-orang yang menyampaikan
risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut
kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat
Perhitungan.”
c)
Pemimpin umat (إمام الأمة)
Artinya seorang rasul adalah
sebagai pemimpin bagi umatnya, yang mengantarkan mereka dari jalan kesesatan
menuju jalan hidayah Allah SWT.
Allah SWT berfirman (QS. 17 :
71)
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ
بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلاَ يُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya
maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya
sedikitpun.”
Sifat-sifat Rasul.
Dalam
mengenal rasul, kita perlu mengetahui sifat-sifatnya, agar kita mengetahui
dengan benar siapa sesungguhnya rasul kita untuk kemudian kita dapat
mengikutinya. Dengan lebih mengenal sifat-sifat beliau ini, akan lebih
mententramkan jiwa dan raga kita dalam mengamalkan sunnah-sunnahnya. Diantara
sifat rasul adalah:
1.
(البشرية الكاملة) Manusia sempurna.
Allah berfirman (QS. 14 : 11)
قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلاَّ بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا
أَنْ نَأْتِيَكُمْ بِسُلْطَانٍ إلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain
hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa
yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami
mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya
kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.”
2.
(العصمة) Terpelihara dari kesalahan.
Allah berfirman (QS. 5 : 67)
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاس
ِ إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.”
3.
(الصدق) Benar.
Allah berfirman (QS. 53 :
3-4):
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَى* إِنْ هُوَ إِلاَ وَحْيٌ يُوحَى*
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
4.
(الفطانة) Cerdas.
Allah berfirman (QS. 48 : 27)
لَقَدْ
صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ
الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لاَ تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ
تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran
mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala
dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa
yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”
5.
(الأمانة) Amanah.
Allah berfirman (QS. 69 :
44-46)
وَلَوْ تَقَوَّلَ
عَلَيْنَا بَعْضَ الأَقَاوِيلِ * لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ * ثُمَّ
لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ*
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas
(nama) Kami. Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”
6.
(التبليغ) Menyampaikan.
Allah berfirman (QS. 5 : 67)
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.”
7.
(الإلتزام الكامل) Komimen yang sempurna.
Allah berfirman (QS. 17 : 73)
وَإِنْ كَادُوا
لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا
غَيْرَهُ وَإِذًا لآَتَّخَذُوكَ خَلِيلاً
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap
Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang
setia.”
Tugas Rasul.
Secara
garis besar, tugas rasul dibagi menjadi dua, yaitu sebagai pengemban risalah
da’wah dan kedua, sebagai penegak dinullah.
1.
(حامل رسالة الدعوة) Sebagai pengemban risalah da’wah
Inilah tugas utama rasul yang secara langsung diamananhkan
Allah terhadap dirinya, sekaligus membimbing umat manusia dalam mengaplikasikan
ibadah kepada Allah SWT. Tugas rasul sebagai pengemban amanah da’wah mencakup
tiga aspek:
a)
(معرفة الخالق) Dalam mengenal Sang Pencipa.
Allah berfirman (QS. 6 : 19)
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي
وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ
بَلَغَ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لاَ أَشْهَدُ قُلْ
إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?"
Katakanlah: "Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur'an
ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu
mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah:
"Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah)".
b)
(كيفية العبادة) Menjelaskan cara beribadah.
Rasulullah SAW juga memiliki
tugas untuk mengajarkan cara untuk beribadah kepada Allah SWT, agar mereka
dapat melaksanakan ibadah dengan baik dan benar. Salah satu contohnya adalah
dalam masalah shalat. Rasulullah SAW memberikan contoh yang sempurna dalam
melaksanakan tata cara shalat. Oleh karena itulah beliau bersabda:
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ
فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ
أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ (رواه البخاري)
Dari Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairits, Rasulullah SAW bersabda,
‘Kembalilah kalian pada keluarga kalian dan ajarkanlah mereka (islam) dan
perintahkanlan mereka. Serta shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
melaksanakannya. Apabila tiba waku shalat, hendaklah salah seorang diantara
kalian mengumandangkan adzan, lalu salah seorang diantaraka kalian yang paling
dewasa menjadi imamnya.” (HR. Bukhari)
c)
(منهج الحياة) Menjelaskan pedoman hidup.
Allah berfirman (QS. 6 : 153)
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
d)
(التربية – توجيه ونصيحة) Membina dengan arahan dan
nasihat.
Hal ini banyak sekali kita
jumpai dalam hadits, bagaimana Rasulullah SAW memberikan arahan-arahan dan
nasehat-nasehat yang pada intinya mengajak kita pada kesempurnaan iman dan
ketaqwaan kepada Allah SWT. Salah satu contohnya adalah :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ
يَعُودَ فِي الْكُفْرِ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ (رواه البخاري)
Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda : Terdapat tiga hal, yang
apabila ketiganya melekat pada diri seseorang maka ia akan dapat merasakan
manisnya iman: (1) Mencintai Allah dan rasu-Nya melebihi dari cinta apapun di
dunia ini. (2) Mencintai seseorang hanya karena Allah. Dan (3) Dia tidak
menginginkan untuk kembali pada kekufurannya sebagaimna ia tidak ingin
dimasukkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari)
2.
(إقامة دين الله) Sebagai penegak dinullah.
Seorang rasul juga memiliki
tugas untuk menegakkan dinullah di muka bumi ini, sehingga agama yang
dibawanya dapat dijadikan syari’at dan pedoman hidup yang dijunjung tinggi oleh
kaumnya. Allah berfirman (QS. 42 : 13)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ
أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا
تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).”
Menegakkan dinullah ini
mencakup tiga aspek:
a)
(إقامة الخلافة) Menegakkan khilafah.
Allah berfirman (QS. 24 : 55)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ
دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.”
b)
(بناء الرجال) Membina kader.
Allah berfirman (QS. 3 : 104)
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.”
c)
(منهاج الدعوة) Membuat konsepsi da’wah
Allah berfirman (QS. 3 : 159)
mengenai perlunya konsepsi da’wah yang lembut terhadap manusia dalam mengajak
pada kebaikan:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Keistimewaan Risalah Muhammad SAW.
Rasulullah
SAW merupakan salah seroang rasul, diantara sekian banyak nabi dan rasul
lainnya. Setiap rasul memiliki keistimewaan tersendiri, sebagaimana pada
risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Diantara keistimewaan risalah
beliau adalah:
1.
(خاتم الأنبياء) Penutup para nabi dan rasul.
Allah berfirman (QS. 33 : 40)
مَا كَانَ
مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ
النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
2.
(ناسخ الرسالة) Menghapus risalah sebelumnya.
Dalam sebuah hadits
diriwayatkan:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ
رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ
زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ
هَلاَ وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ
النَّبِيِّينَ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya
perumpamaanku dengan perumpamaan para nabi sebelumku adalah seumpama seseorang
yang membangun sebuah rumah; di mana ia menjadikan rumah itu indah dan
sempurna. Namun rumah terdapat satu sisi dari rumah tersebut yang belum
disempurnakan (bau batanya) . Sehingga hal ini menjadikan manusia menjadi heran
dan bertanya-tanya, mengapa sisi ini tidak disempurnakan? Dan akulah batu bata
terakhir itu (yang menyempurnakan bangunannya), dan aku adalah penutup para
nabi. (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain
diriwayatkan:
عَنْ
عَامِرٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنُسْخَةٍ مِنْ التَّوْرَاةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ هَذِهِ نُسْخَةٌ مِنْ التَّوْرَاةِ فَسَكَتَ فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ
رَسُولِ اللَّهِ يَتَغَيَّرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ مَا
تَرَى مَا بِوَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ
عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا
وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى
فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ
كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِي
“Dari Jabir ra, bahwa Umar bin Khatab datang ke Rasulullah SAW dengan
membawa kitab taurat. Kemudian Umar berkata, wahai Rasulullah SAW, ini merupakan
nuskhah (bagian) dari kitab taurat.’ Rasulullah SAW terdiam, lalu Umar
membacanya sedangkan wajah Rasulullah SAW berubah. Pada saat itu Abu Bakar
mengatakan pada Umar, engkau menjadikan wajah Rasulullah SAW berubah, lihatlah
wajah beliau. Maka Umar melihat wajah Rasulullah SAW dan berkata, ‘aku
berlindung dari kemurkaan Allah dan kemurkaan Rasulullah SAW. Aku ridha
terhadap Allah sebagai Rab, terhadap Islam sebagai agama dan terhadap Muhammad
sebagai nabi dan rasul. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi Dzat yang
diriku berada di tangannya, sekiranya tampak dihadapan nabi Musa as saat ini,
kemudian kalian mengikutinya serta meninggalkan aku, sungguh kalian akan
tersesat dari jalan yang lurus. Sekiranya Musa hidup dan mengalami masa
kenabianku, sungguh ia harus mengikutiku.” (HR. Darimi)
3.
(مصدق الأنبياء) Membenarkan para nabi sebelumnya.
Allah berfirman (QS. 3 : 3)
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإِنْجِيلَ
“Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan
kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.”
4.
(مكمل الرسالة) Menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Allah berfirman (QS. 3 : 50)
وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلأُحِلَّ لَكُمْ
بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ
“Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku,
dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku
datang kepadamu dengan membawa suatu
tanda (mu`jizat) dari Tuhanmu. Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan
taatlah kepadaku.”
5.
(كافة للناس) Ditujukan untuk seluruh umat manusia.
Allah berfirman (QS. 34 : 28)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
6.
(رحمة للعالمين) Dijadikan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Allah berfirman (QS. 21 : 107)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
Kewajiban Muslim Terhadap Rasulullah SAW
Setelah
kita mengeahui berbagai hal mengenai kerasulan dan karakteristik atau
keistimewaan kerasulan Muhammad SAW, kini kita perlu mengetahui mengenai
kewajiban kita sebagai seorang muslim terhadap Rasulullah SAW. Diantara
kewajiban kita terhadap beliau adalah:
1.
(الإيمان به) Mengimaninya.
Allah berfirman (QS. 61 : 10 –
11)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ
أَلِيمٍ* تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ
فِي
سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ*
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.”
2.
(المحبة) Mencintainya.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
(رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi Dzat yang diriku
berada di tangan-Nya, kalian tidaklah beriman, hingga kalian lebih mencintai
aku dari orang tuanya dan anaknya. (HR. Bukhari)
3.
(التعظيم) Mengagungkannya.
Sebagai umatnya, kita semua
harus mengagungkan beliau sebagai seorang rasul, yang telah menunjukkan pada
kita jalan Allah yang lurus. Sehingga dalam setiap doa kita, setiap ucapan
kita, ceramah kita, dan lain sebagainya senantiasa mengagungkan beliau. Dan
salah satu cara untuk mengagungkan beliau adalah dengan melaksakan
sunnah-sunnahnya.
4.
(الدفاع عنه) Membelanya.
Demikian juga kita harus
membela Rasulullah SAW, terutama dari mereka-mereka yang ingin mencela dan
mengolok-olok Rasulullah SAW. Atau ‘mengkerdilkan’ sunnah nabawiyah.
5.
(محبة من أحبه) Mencintai mereka-mereka yang dicintainya.
Yaitu secara umum para sahabatnya. Kita harus mencintai
mereka dan tidak boleh mencela atau mengejek serta mengolok-olok mereka:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي
أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي
أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ
آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ
يَأْخُذَهُ (رواه الترمذي)
Dari Abdillah bin Mughafal, Rasulullah SAW bersabda, ‘Takutlah kalian
kepada Allah dalam bersikap terhadap sahabatku setelah masaku. Dan janganlah
kalian menjadikan mereka sebagai tujuan (dalam celaan). Karena barang siapa
yang mencintai mereka maka dengan cintaku aku mencintainya (mencintai orang
yang mencintai sahabat). Dan barang siapa yang membenci mereka, maka dengan
kebencianku, aku membencinya. Barang siapa yang menyakiti mereka, maka ia
seperti menyakiti aku. Dan barang siapa yang menyakiti aku, hampir-hampir Allah
mengazabnya. (HR. Tirmidzi)
6.
(إكثار الصلوات) Memperbanyak shalawat.
Allah berfirman (QS. 33 : 56)
إِنَّ اللَّهَ
وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.”
7.
(الإتباع) Mengikutinnya.
Allah berfirman (QS. 3 : 31)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
8.
(وارث رسالته) Mewarisi riwalahnya.
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ
عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ
الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ
الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ
وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ
كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ (رواه أبو داود)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melalui jalan untuk
menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan
sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya karena ridha terhadap mereka
yang menuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh makhluk Allah
yang ada di langit dan yang ada di bumi, sampai ikan-ikan di dalam lautan juga
memintakan ampunan buat mereka. Keutamaan orang yang berilmu dengan orang yang
ahli ibadah adalah seumpama bulan pada saat purnama dibandingkan dengan
bintang-bintang. Dan orang yang berilmu (baca; ulama) merupakan pewaris para
nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham kepada mereka, namun mereka
mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian
yang besar.” (HR. Abu Daud)
Penutup
Kelebihan
yang Allah berikan kepada manusia merupakan anugrah yang tiada terhingga,
apalagi yang bersifat akal dan fikiran, yang tentunya tidak dimiliki oleh
makhluk Allah lainnya. Namun menyandarkan hanya kepada akal dalam mencapai
hakekat Allah serta cara untuk beribadah kepadanya, tentulah akal manusia tidak
sanggup. Karena itu semua diluar jangkauannya. Oleh karena itulah, adanya
seorang rasul menjadi kebutuhan yang sangat primer, guna menapaki kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Namun
setelah Allah mengutus para rasul, banyak diantara umatnya yang membangkang,
mengolok-olok bahkan menyiksa para rasul tersebut. Sehingga pada akhirnya,
Allah mengazab mereka dengan azab yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat.
Sejarah telah membuktikan hal tersebut. Sekuat apapun mereka, akhirnya mereka
hancur hanya karena kesombongan untuk tidak mengikuti para Rasul.
Tinggallah
bagi kita untuk memetik perjalanan kehidupan umat yang terdahulu. Akankah kita
menginginkan kebinasaan, kesengsaraan, bencana, malapetaka, baik di dunia
maupun di akhirat. Ataukah sebaliknya, kita menginginkan kebahagiaan,
ketentraman, kedamaian hati, dan seterusnya di dunia maupun di akhirat.?
Jawabannya ada dalam sanubari kita masing-masing. Ya Allah jadikanlah kami
orang yang mencintai Rasulullah SAW, dan juga orang yang dicintainya. Dan
kumpulkanlah kami kelak bersamanya… Amin.
Wallahu
A’lam bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Daftar
Bacaan
Al-Buthy,
Muhammad Sa’id Ramadhan. Sirah Nabawiyah ; Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah
Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Terj. 1999. Jakarta : Robbani
Press.
Hadiri,
Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. 1996 - 1417. Cet. V. Jakarta :
Gema Insani Press.
Hawa,
Sa’id. Al-Rasul (Silsilah Dirasat Manhajiyah Hadifah: Allah, Al-Rasul,
Al-Islam). 1990 – 1410 H. Cet. II. Kairo – Mesir : Dar al-Salam Li
al-Taba’ah wa al-Nasr wa al-tauzi’ wa al-Tarjamah.
Al-Mubarokfuri,
Syekh Syafiyyur Rahman. Al-Rahiq al-Makhtum : Sirah Nabawiyah. Terj.
1997. Cet. I. Jakarta : Pustaka al-Kautsar.
Al-Munawir,
Ahmad Warson. Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia. Tanpa tahun.
Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren
Al-Munawir.
Al-Sa’dawi,
Muhammad Hamzah. Menyaksikan 35 Mu’jizat Rasulullah SAW. Terj. 1996.
Cet. III. Surabaya: Pustaka Progressif.
CD.
ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib
(1991 – 1997).
CD.
ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن الرحيم
MA’RIFATUL
QUR’AN
معرفة القرآن
Muqadimah
Ketika
manusia mencoba mengupas keagungan Al-Qur’an Al-Karim, maka ketika itu pulalah
manusia harus tunduk mengakui keagungaan dan kebesaran Allah SWT. Karena dalam
Al-Qur’an terdapat lautan makna yang tiada batas, lautan keindahan bahasa yang
tiada dapat dilukiskan oleh kata-kata, lautan keilmuan yang belum terfikirkan
dalam jiwa manusia dan berbagai lautan-lautan lainnya yang tidak terbayangkan
oleh indra kita. Oleh karenanya, mereka-mereka yang telah dapat berinteraksi
dengan Al-Qur’an sepenuh hati, dapat merasakan ‘getaran keagungan’ yang tiada
bandingannya. Mereka dapat merasakan sebuah keindahan yang tidak terhingga,
yang dapat menjadikan orientasi dunia sebagai sesuatu yang teramat kecil dan
sangat kecil sekali. Sayid Qutub, di dalam muqadimah Fi Dzilalil Qur’annya
mengungkapkan:
الحياة في ظلال القرآن نعمة .
نعمة لا يعرفها إلا من ذاقها . نعمة ترفع العمر وتباركه وتزكيه .
والحمد لله . . لقد منَّ علي بالحياة في
ظلال القرآن فترة من الزمان ، ذقت فيها من نعمته ما لم أذق قط في حياتي .
Hidup di bawah naungan
Al-Qur’am merupakan suatu kenikmatan. Kenikmatan yang tiada dapat dirasakan,
kecuali hanya oleh mereka yang benar-benar telah merasakannya. Suatu kenikmatan
yang mengangkat jiwa, memberikan keberkahan dan mensucikannya…. Dan
Al-Hamdulillah… Allah telah memberikan kenikmatan pada diriku untuk hidup di
bawah naungan Al-Qur’an beberapa saat dalam perputaran zaman. Di situ aku dapat
merasakan sebuah kenikmatan yang benar-benar belum pernah aku rasakan
sebelumnya sama sekali dalam hidupku.
Cukuplah menjadi bukti keindahan bahasa Al-Qur’an,
manakala diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Imam Zuhri (Abu Syahbah, 1996 :
I/312):
Bahwa suatu ketika, Abu Jahal,
Abu Lahab dan Akhnas bin Syariq, yang secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah
Rasulullah SAW pada malam hari untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an
yang dibaca oleh Rasulullah SAW dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi
yang tersendiri, yang tidak diketahui oleh yang lainnya. Hingga ketika
Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu sama
lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela, dan membuat kesepakatan untuk
tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah SAW. Namun pada melam berikutnya,
ternyata mereka bertiga tidak kuasa menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan
lantunan ayat-ayat tersebut. Mereka bertiga mengira bahwa yang lainnya tidak
akan datang ke rumah Rasulullah SAW, dan mereka pun menempati posisi mereka
masing-masing. Ketika Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka pun
memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling celaan sebagaimana yang
kemarin mereka ucapkan. Kemudian pada malam berikutnya, gejolak jiwa mereka
benar-benar tidak dapat dibendung lagi untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan
merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya. Dana manakala
Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang
lainnya. Akhirnya mereka bertiga membuat ‘mu’ahadah’ (perjanjian) untuk
sama-sama tidak kembali ke rumah Rasulullah SAW guna mendengarkan Al-Qur’an.
Masing-masing
mereka mengakui keindahan Al-Qur’an, namun hawa nafsu mereka memungkiri
kenabian Muhammad SAW. Selain contoh di atas terdapat juga ayat yang
mengungkapkan keindahan Al-Qur’an. Allah mengatakan (QS. 58 : 21):
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى
جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأَمْثَالُ
نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kalau
sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
Ta’rif.
Dari segi bahasa, Al-Qur’an
berasal dari qara’a, yang berarti menghimpun dan menyatukan. Sedangkan Qira’ah
berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lainnya
dengan susunan yang rapih. (Al-Qattan, 1995 : 20) Mengenai hal ini, Allah berfirman (QS. 75 :
17):
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ *
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ *
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu.”
Al-Qur’an juga dapat berarti bacaan, sebagai
masdar dari kata qara’a. Dalam arti seperti ini, Allah SWT mengatakan (QS. 41 :
3):
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا
عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kitab
yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui.”
Adapun dari segi istilahnya, Al-Qur’an adalah:
كَلاَمُ اللهِ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ
عَلَى قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَنْقُوْلُ
بِالتَّوَاتِرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
Al-Qur’an
adalah Kalamullah yang merupakan mu’jizat yang ditunukan kepada nabi Muhammad
SAW, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir dan dijadikan membacanya
sebagai ibadah.
Keterangan dari defini di atas adalah sebagai
berikut:
1.
(كلام الله) Kalam Allah.
Bahwa Al-Qur’an merupakan
firman Allah yang Allah ucapkan kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan
malaikat Jibril as. Firman Allah merupakan kalam (perkataan), yang tentu saja
tetap berbeda dengan kalam manusia, kalam hewan ataupun kalam para malaikat.
Allah berfirman (QS. 53 : 4) :
إِنْ هُوَ إِلاَّ
وَحْيٌ يُوحَى
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
2.
(المعجز) Mu’jizat.
Kemu’jizaan Al-Qur’an
merupakan suatu hal yang sudah terbukti dari semejak zaman Rasulullah SAW
hingga zaman kita dan hingga akhir zaman kelak. Dari segi susunan bahasanya,
sejak dahulu hingga kini, Al-Qur’an dijadikan rujukan oleh para pakar-pakar
bahasa. Dari segi isi kandungannya, Al-Qur’an juga sudah menunjukkan mu’jizat,
mencakup bidang ilmu alam, matematika, astronomi bahkan juga ‘prediksi’
(sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Rum mengenai bangsa Romawi yang
mendapatkan kemenangan setelah kekalahan), dsb. Salah satu bukti bahwa
Al-Qur’an itu merupakan mu’jizat adalah bahwa Al-Qur’an sejak diturunkan
senantiasa memberikan tantangan kepada umat manusia untuk membuat semisal
‘Al-Qur’an tandingan’, jika mereka memiliki keraguan bahwa Al-Qur’an merupakan
kalamullah. Allah SWT berfirman (QS. 2 : 23 - 24):
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ*
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ*
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang
Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang
semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu
tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”
Bahkan dalam ayat lainnya,
Allah menantang mereka-mereka yang ingkar terhadap Al-Qur’an untuk membuat
semisal Al-Qur’an, meskipun mereka mengumpulkan seluruh umat manusia dan
seluruh bangsa jin sekaligus (QS. 17 : 88):
قُلْ لَئِنِ
اجْتَمَعَتِ الإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ
لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain".
3.
(المنزل على قلب محمد صلى الله عليه وسلم) Diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan
oleh Allah SWT langsung kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan malaikat
Jibril as. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an (QS. 26 : 192 - 195)
وَإِنَّهُ
لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ* نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ* عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ *
“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”
4.
(المنقول بالتواتر) Diriwayatkan secara mutawatir.
Setelah Rasulullah SAW
mendapatkan wahyu dari Allah SWT, beliau langsung menyampaikan wahyu tersebut
kepada para sahabatnya. Diantara mereka terdapat beberapa orang sahabat yang
secara khusus mendapatkan tugas dari Rasulullah SAW untuk menuliskan wahyu.
Terkadang Al-Qur’an ditulis di pelepah korma, di tulang-tulang, kulit hewan,
dan sebagainya. Diantara yang terkenal sebagai penulis Al-Qur’an adalah: Ali
bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubai ibn Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Demikianlah, para
sahabat yang lain pun banyak yang menulis Al-Qur’an meskipun tidak mendapatkan
instruksi secara langsung dari Rasulullah SAW. Namun pada masa Rasulullah SAW
ini, Al-Qur’an belum terkumpulkan dalam satu mushaf sebagaimana yang ada pada
saat ini.
Pengumpulan Al-Qur’an pertama
kali dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Shidiq, atas usulan Umar bin Khatab
yang khawatir akan hilangnya Al-Qur’an, karena banyak para sahabat dan qari’
yang gugur dalam peperangan Yamamah. Tercatat dalam peperangan ini, terdapat
tiga puluh sahabat yang syahid. Mulanya Abu Bakar menolak, namun setelah
mendapat penjelasan dari Umar, beliaupun mau melaksanakannya. Mereka berdua
menunjuk Zaid bin Tsabit, karena Zaid merupakan orang terakhir kali membacakan
Al-Qur’an di hadapan Rasulullah SAW sebelum beliau wafat. Pada mulanya pun Zaid
menolak, namun setelah mendapatkan penjelasan dari Abu Bakar dan Umar, Allah
pun membukakan pintu hatinya. Setelah ditulis, Mushaf ini dipegang oleh Abu
Bakar, kemudian pindah ke Umar, lalu pindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar.
Kemudian pada masa Utsman bin Affan ra, beliau memintanya dari tangan Hafsah.
(Al-Qatthan, 1995 : 125 – 126).
Kemudian pada Utsman bin
Affan, para sahabat banyak yang berselisih pendapat mengenai bacaan (baca;
qiraat) dalam Al-Qur’an. Apalagi pada masa beliau kekuasan kaum muslimin telah
menyebar sedemikian luasnya. Sementara para sahabat terpencar-pencar di
berbagai daerah, yang masing-masing memiliki bacaan/ qiraat yang berbeda dengan
qiraat sahabat lainnya. (Qiraat sab’ah). Kondisi seperti ini membuat suasana
kehidupan kaum muslimin menjadi sarat dengan perselisihan, yang dikhawatirkan
mengarah pada perpecahan. Pada saat itulah, Hudzifah bin al-Yaman melaporkan ke
Utsman bin Affan, dan disepakati oleh para sahabat untuk mrnyslin mushaf Abu
Bakar dengan bacaan/ qiraat yang tetap pada satu huruf. Utsman memerintahkan
kepada (1) Zaid bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubair, (3) Sa’d bin ‘Ash, (4)
Abdul Rahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf. Dan
jika terjadi perbedaan diantara mereka, maka hendaknya Al-Qur’an ditulis dengan
logat Quraisy. Karena dengan logat Quraisylah Al-Qur’an diturunkan. Setelah
usai penulisan Al-Qur’an dalam beberapa mushaf, Utsman mengirimkan ke setiap
daerah satu mushaf, serta beliau memerintahkan untuk membakar mushaf atau
lembaran yang lain. Sedangkan satu mushaf tetap di simpan di Madinah, yang
akhirnya dikenal dengan sebutan mushaf imam. Kemudian mushaf asli yang dipinta
dari Hafsah, dikembalikan pada beliau. Sehingga jadilah Al-Qur’an dituliskan
pada masa Utsman dengan satu huruf, yang sampai pada tangan kita. (Al-Qatthan,
1995 : 128 – 131)
5.
(المتعبد بتلاوته) Membacanya sebagai ibadah.
Dalam setiap huruf Al-Qur’an
yang kita baca, memiliki nilai ibadah yang tiada terhingga besarnya. Dan inilah
keistimewaan Al-Qur’an, yang tidak dimiliki oleh apapun yang ada di muka bumi
ini. Allah berfirman (QS. 35 : 29 – 39)
إِنَّ
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ*
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ
فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ*
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka
pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW juga pernah mengatakan:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ
حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ
أَلِفٌ حَرْفٌ وَلامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذي)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa
yang membaca satu huruf dari kitabullah (Al-Qur’an), maka ia akan mendapatkan
satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak
mengatakan bahwa Alif Lam Mim sebagai satu haruf. Namun Alif merupakan satu
huruf, Lam satu huruf dan Mim juga satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Konsekwensi Keimanan Terhadap Al-Qur’an.
Sebenarnya
Allah SWT tidak pernah memaksa umat manusia untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup mereka. Allah hanya memberikan yang terbaik dan yang lpaling
sesuai dengan manusia dalam menapaki serta meniti jalan kehidupan ini agar
mereka mendapatkan kebahagian hakiki baik di dunia maupun di akhirat. Hanya
mereka-mereka yang dapat berfikir sehatlah, yang mau menjadikan Al-Qur’an
sebagai kitabul hidayah dalam segala aspek kehidupan mereka. Bagi mereka
yang memiliki keimanan kepada Allah, terdapat beberapa hal yang menjadi
konsekwensi keimanan mereka terhadap Al-Qur’an, yaitu:
1.
(الأنس به) Senantiasa ‘dekat’ dengan Al-Qur’an.
Dekat dengan Al-Qur’an
maksudnya adalah senantiasa memiliki keinginan untuk berinteraksi secara dekat
dengan Al-Qur’an. Interaksi ini tergambarkan dalam dua hal:
a)
(تعلمه) Mempelajarinya.
Al-Qur’an ibarat lautan yang
sarat dengan mutiara-mutiara yang tiada terhingga jumlahnya. Dari sisi manapun
kita membuka lembaran-lembaranya, akan kita jumpai hal-hal yang tidak pernah
kita dapatkan sebelumnya di manapun. Oleh karena itulah, mempelajari Al-Qur’an
merupakan satu hal yang teramat sangat penting dalam kehidupan manusia.
Generasi awal umat ini dapat maju dan menjadi pemimpin dunia, adalah karena
mereka benar-benar mempelajari Al-Qur’an untuk kemudian diamalkannya.
Mempelajari Al-Qur’an mecakup beberapa aspek:
· (تلاوة) Dari sisi tilawahnya,
mencakup tajwid, makharijul huruf, qiraah dan lain sebagainya. Sehingga dirinya
dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Karena jika terdapat kesalahan
dalam membaca, berakibat pada perubahan maknanya. Dalam sebuah hadits
dikatakan:
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ
الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seseroang yang mahir dalam
membaca Al-Qur’an, kelak ia akan dikumpulkan bersama para malaikat yang mulia
dan suci. Dan orang yang masih terbata-bata membacanya lagi berat, maka ia akan
mendapatkan pahala dua kali lipat. (HR. Muslim)
· (فهما) Dari sisi pemahamannya,
mencakup masalah ibadah, muamalah, jihad, dan lain sebagainya. Pemahaman sangat
penting karena merupakan pijakan dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan riil.
Tanpa pemahaman yang baik, tentulah akan sulit dalam merealisasikan Al-Qur’an
pada kehidupan nyata. Allah menggambarkan dalam Al-Qur’an mengenai
mereka-mereka yang tidak mau memahami ayat-ayat Allah (QS. 7 : 179):
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ
بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لا
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.
· (تطبيقا) Dari sisi perealisasiannya,
mencakup bidang ekonomi, sosial, politik dsb. Karena merealisasikan Al-Qur’an
dalam kehidupan nyata merupakan perintah Allah kepada seluruh umat Islam.
Artinya hal ini sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Allah berfirman
(QS. 5 : 44)
وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
· (حفظا) Dari sisi menghafal
ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an. Karena menghafal Al-Qur’an memiliki
keistimewaan tersendiri. Dahulu para sahabat, kebanyakan dari mereka hafal
Al-Qur’an. Demikian juga para salafuna shaleh, serta para Imam-Imam kaum
muslimin. Ahli Tafsir pun memberikan syarat kehursan hafal Al-Qur’an bagi siapa
saja yang ingin menjadi penafsirnya. Mengenai keutamaan penghafal Al-Qur’an
Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَحَفِظَهُ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِي
عَشَرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ كُلُّهُمْ قَدْ اسْتَوْجَبُوا النَّارَ (رواه ابن
ماجه)
Dari Ali bin Abi Thalib, ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa
yang membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam
surga dan memberinya hak syafaat untuk sepuluh anggota keluarganya yang telah
ditetapkan masuk neraka. (HR. Ibnu Majah)
b)
(تعليمه) Mengajarkannya pada orang lain.
Sebagai seorang muslim yang
baik, tidak akan merasa cukup dengan mempelajarinya saja untuk kemudian
dijadikan bekal bagi dirinya sendiri. Namun lebih dari itu, setiap muslim
memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada orang lain. Bahkan dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa pengajar Al-Qur’an adalah sebaik-baik
mu’min:
عَنْ عُثْمَانَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)
Dari Utsman ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sebaik-baik kalian adalah
yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya). (HR. Bukhari)
Mengajarkan Al-Qur’an kepada
orang lain juga mencakup empat hal dalam mempelajarinya, yaitu, dari segi
tilawah, pemahaman, pengaplikasian dan penghafalannya.
2.
(تربية النفس به) Mentarbiyah diri dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan Kitabul
Hidayah, yang dapat merubah suatu kondisi masyarakat dari kejahiliyahan
menuju masyarakat Islam. Rasulullah SAW telah membuktikannya dengan merubah
kondisi bangsa Arab yang suka peperangan, perampasan hak, kedustaan, khomer,
perzinaan, pembunuhan, riba dan lain sebagainya menjadi masyarakat yang cinta
perdamaian, persamaan hak, kejujuran, kasih sayang, keadilan dan lain sebagainya.
Kesemuanya dapat dilakukan karena Al-Qur’an merupakan kitabul hidayah;
memberikan hidayah kepada manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam yang
terang benderang. Al-Qur’an banyak sekali mengungkapkan mengenai fungsi
Al-Qur’an sebagai kitabul hidayah, diantaranya adalah:
الم* ذَلِكَ
الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ*
“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
3.
(التسليم لأحكامه) Menerima sepenuh hati segala hukum yang terdandung di
dalamnya.
Jika kita memahami bahwa bahwa
Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, tentulah
kita akan dengan segera melaksanakan isi kandungan dari Al-Qur’an. Karena
segala perintah, larangan, pesan atau apapun yang terdapat di dalamnya,
merupakan perintah, larangan, pesan dari Allah SWT. Dan di sinilah keimanan
kita akan diuji oleh Allah SWT. Orang yang beriman, ia akan dengan segera
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman (QS. 33
: 36)
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.”
4.
(الدعوة إليه) Berda’wah (mengajak) orang lain kepada Al-Qur’an.
Karena kita meyakini bahwa
hanya Al-Qur’anlah satu-satunya pedoman hidup yang dapat membahagiakan manusia
baik di dunia maupun di akhirat. Hanya Al-Qur’anlah yang dapat memberikan
keteduhan, ketenangan dan kesejukan dalam tiap diri insan. Al-Qur’an telah
terbukti menjadikan umat Islam mampu menjadi pemimpin dunia dalam kurun waktu
yang relatif lama. Al-Qur’an juga mampu merubah kondisi suatu bangsa dari
jurang kebobrokan menuju puncak kemuliaan. Oleh karena itulah, salah satu
konsekwensi keimanan kita kepada Al-Qur’an adalah mengajak mereka dengan cara
yang bijak untuk bersama-sama menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Allah
SWT mengatakan (QS. 16 : 125)
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
5.
(إقامته في الأرض) Menegakkannya di muka bumi.
Allah SWT telah menuntut pada
kaum-kaum yang terdahulu untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi, maka demikian
pula halnya dengan umat Islam. Allah menuntut pada kita untuk menegakkan
agama-Nya, dengan menegakkan Al-Qur’an. Menegakkan Al-Qur’an adalah dengan
menegakkan hukum-hukumnya di muka bumi yang menjadi hukum seluruh umat manusia
di manapun mereka berada. Allah SWT berfirman (QS. 42 : 13)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا
وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ
إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا
فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ
مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).”
Karena sesungguhnya Allah SWT
telah memberikan janji untuk menegakkan agama ini sebagaimana telah ditegakkan
oleh umat-umat sebelum kita. Bagaimanapun kondisinya, suatu ketika Al-Islam
akan menjadi pedoman hidup dan hukum yang menjadi acuan bagi kehidupan seluruh
umat manusia. Allah mengatakan (QS. 24 : 55)
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ
خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ
بِي
شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.”
Al-Qur’an Sebagai Minhajul Hayah.
Konsepsi
inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat manusia dari kejahiliyahan
menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang
sangat mulia. Dan sejarah telah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat
Rasulullah SAW. Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14) :
“Bahwa sebuah generasi telah
terlahir dari da’wah – yaitu generasi sahabat – yang memiliki keistimewaan
tersendiri dalam sejarah umat Islam, bahkan dalam sejarah umat manusia secara
keseluruhan. Generasi seperti ini tidak muncul kedua kalinya ke atas dunia ini
sebagaimana mereka… Meskipun tidak disangkal adanya beberapa individu yang
dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah besar sebagaimana
sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaiamana yang terjadi pada periode
awal dari kehidupan da’wah ini…”
Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti
kemulyaan mereka, manakala beliau mengatakan dalam sebuah haditsnya:
عن عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Dari
Imran bin Hushain ra, Rasulullah SAW bersabda: ‘Sebaik-baik kalian adalah
generasi yang ada pada masaku (para sahabat) , kemudian generasi yang
berikutnya (tabi’in) , kemudian generasi yang berikutnya lagi (atba’ut tabiin).
(HR. Bukhari)”
Imam Nawawi secara jelas mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan ‘generasi pada masaku’ adalah sahabat Rasulullah SAW. Dalam
hadits lain, Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا
مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ (رواه البخاري)
Dari
Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian mencela
sahabat-sahabatku. Karena sekiranya salah seorang diantara kalian menginfakkan
emas sebesar gunung uhud, niscaya ia tidak akan dapat menyamai keimanan mereka,
bahkan menyamai setengahnya pun tidak. (HR. Bukhari).
Sayid
Qutub mengemukakan (1993 : 14 – 23) , terdapat tiga hal yang melatar belakangi
para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khairul qurun, yang tiada
duanya di dunia ini. Secara ringkasnya adalah sebagai berikut:
pertama, karena mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai
satu-satunya sumber petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan
mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki
tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya.
Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang diinginkan oleh
Allah dalam kehidupan mereka.
Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang
berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam
merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu,
baik yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan
ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang
pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena ‘ketotalitasan’ mereka ketika
berinteraksi dengan Al-Qur’an, yang dilandasi sebuah keyakinan yang sangat
mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang teramat dalam, bahwa hanya Al-Qur’an
lah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan
hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
Penutup
Tinggallah
dua pilihan masih ternganga di hadapan kita; antara jaya dengan Al-Qur’an, atau
binasa dengan meninggalkannya. Sejarah telah berbicara sebagai fakta abadi;
bahwa umat ini dapat memperoleh izzahnya dengan Al-Qur’an. Dan merekapun Allah
kerdilkan karena meninggalkan Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
mengatakan:
عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ
أَقْوَامًا
وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah
SWT akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (al-Qur’an), dengan
dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)
Wallahu
A’lam Bis Shawab.
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan
Bacaan
Hadiri,
Choiruddin. Klaifikasi Kandungan Al-Qur’an. 1996. Cet. V. Jakarta – Indonesia : Gema Insani Press.
Al-Qatthan,
Manna’. Mabahits fi Ulumil Qur’an. 1995 – 1416 H. Cet. XXVII. Beirut –
Libanon : Mu’assasah al-Risalah.
Quthb,
Sayyid. Ma’alim fi Al-Thariq. 1993 – 1413 H. Cet. XVII.
Beirut – Libanon / Kairo - Mesir:
Dar Al-Syuruq.
Syahbah,
Muhammad ibn Muhammad. Al-Sirah Al-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah
: Dirasah Muharrarah, Jama’at Bain Ashalah Al-Qadim wa Jiddatil Hadits.
1996 – 1417 H. Cet. III. Damaskus : Dar Al-Qalam.
CD.
ROM. Fi Dzilal Al-Qur’an. Versi 1.6. Amman – Yordania : Dar Husibah al-Nash
al-Araby (Arabic Text ware).
CD.
ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib
(1991 – 1997).
CD.
ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
بسم الله الرحمن الرحيم
UKHUWAH
ISLAMIYAH
الأخوة الإسلامية
Muqadimah
Ukhuwah
merupakan anugrah Allah yang tiada terhingga yang Allah limpahkan hanya kepada
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya saja. Ukhuwah juga merupakan kenikmatan
yang tidak dapat diukur oleh materi apapun yang ada di dunia ini. Bahkan
kendatipun seluruh manusia sepakat untuk mengumpulkan semua kekayaan mereka,
namun itu semua tidak dapat digunakan untuk membeli ‘ukhuwah’. Karena ukhuwah
tumbuh dan lahir dari cahaya keimanan yang membara dalam sanubari seorang
hamba. Allah SWT mengatakan dalam Al-Qur’an (QS. 8 : 63) :
وَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ
بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ*
“Dan (Allahlah)
Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati
mereka.
Sesungguhnya
Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Itulah ukhuwah Islamiyah, yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Dan banyak pula diamalkan
oleh generasi berikutnya hingga pada masa kita sekarang ini. Walaupun seolah
dengan berlalunya zaman, berlalu pula ruh ukhuwah dari dalam jiwa kaum
muslimin. Bahkan jika kita perhatikan kondisi kontemporer kaum muslimin, kita
mendapatkan terjadinya perpecahan yang tiada berkesudahan. Padahal, perpecahan
merupakan sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman (QS. 3
: 103) :
وَاعْتَصِمُوْا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا، وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا…*
“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali
Allah (Al-Islam) dan janganlah kalian berpecah belah. Dan ingatlah oleh kalian
akan nikmat Allah yang diberikan pada kalian, ketika dahulu kalian saling
bermusuhan lalu Allah satukan diantara hati kalian. Dan jadilah kalian atas
kenikmatan Allah tersebut menjadi bersaudara…”
Mereka menjalin persaudaraan yang
demikian eratnya, bahkan lebih erat dari persaudaraan yang terlahir karena
adanya garis nasab. Oleh karena itulah, Allah menggambarkan hal ini sebagai
suatu kenikmatan yang tidak dapat diukur dengan ukuran materiil, sebesar apapun
materi tersebut.
Makna Ukhuwah
Dari segi
bahasa, ukhuwah merupakan bentuk mashdar (baca; infinitif) dari kata ‘Akha’
yang berarti bersaudara. Sedangkan ukhuwah berarti persaudaraan. Adapun dari
segi istilahnya, para ulama memiliki definisi yang beragam. Diantaranya adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Abdullah Nasih Ulwan : (1997 : 5)
الأخوة هي قوة إيمانية تورث الشعور العميق بالعاطفة،
والمحبة، والإحترام، والثقة المتبادلة..
مع كل من يربطه وإياه أواصر العقيدة الإسلامية ووشائح
الإيمان والتقوى..
Ukhuwah merupakan kekuatan iman yang
melahirkan perasaan kasih sayang yang mendalam, cinta, penghormatan dan rasa
saling tisqah (baca; salinng percaya), terhadap seluruh insan yang memiliki
ikatan aqidah Islamiyah yang sama dan juga yang memiliki cahaya keimanan dan
ketaqwaan..
Jadi, ukhuwah merupakan sesuatu yang
terlahir dari keimanan yang mendalam, dan juga merupakan buah dari ketaqwaan
kepada Allah SWT. Oleh karena itulah, ulama mengatakan, bahwa tidak ada iman
tanpa ukhuwah, sebagaimana tidak ada ukhuwah tanpa adanya pondasi iman.
Membenarkan hal tersebut, firman Allah SWT (QS. 49 : 10)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ*
“Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.”
Adapun mengenai ukhuwah sebagai buah dari ketaqwaan,
sekaligus menafikan tentang persahabatan tanpa adanya ketaqwaan (QS. 43 : 67) :
الأَخِلاَّءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ*
“Teman-teman akrab pada hari itu
sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain
kecuali orang-orang yang bertakwa.”
Dari sini kita juga dapat mengambil kesimpulan, bahwa seorang
yang beriman apabila tidak memiliki rasa ukhuwah terhadap sesama muslim
lainnya, hal ini menunjukkan bahwa imannya belum sempurna. Dalam hadits,
Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رواه البخاري)
Dari Qatadah ra, Rasulullah SAW
bersabda, ‘Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.’ (HR. Bukhari)
Keutamaan Ukhuwah
Di luar
keutamaan yang terkandung dalam ukhuwah, sesungguhnya sebelum segala-galanya,
ukhuwah merupakan perintah Allah SWT. Perhatikan firman Allah berikut (QS. 3 :
103)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا
وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ
أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ*
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.”
Ayat di atas melarang kita untuk bercerai berai. Sedangkan
bercerai berai merupakan lawan dari persatuan, yang menjadi salah satu komponen
mendasar ukhuwah islamiyah. Namun demikian, disamping sebagai kewajiban,
ukhuwah memiliki keutamaan yang cukup banyak, diantaranya adalah:
1.
Wajah orang yang berukhuwah akan bersinar.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ عُمَرِ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لأُنَاسًا مَا هُمْ
بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
تُخْبِرُنَا مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ
أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا فَوَاللَّهِ إِنَّ وُجُوهَهُمْ
لَنُورٌ وَإِنَّهُمْ عَلَى نُورٍ لاَ يَخَافُونَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلاَ
يَحْزَنُونَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (أَلاَ إِنَّ
أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ) (رواه أبو
داود)
Dari Umar bin Khatab ra, Rasulullah SAW
mengatakan kepadaku, ‘sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah terdapat
sekelompok orang yang mereka ini bukan para nabi dan bukan pula orang yang mati
syahid, namun posisi mereka di sisi Allah membuat para nabi dan orang yang mati
syahid menjadi iri. Para sahabat bertanya, beritahukan kepada kami, siapakah
mereka itu ya Rasulullah ? Beliau
menjawab, ‘mereka adalah sekelompok orang yang saling mencintai karena Allah
SWT, meskipun diantara mereka tiada ikatan persaudaraan dan tiada pula
kepentingan materi yang memotivasi mereka. Demi Allah, wajah mereka bercahaya,
dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak takut manakala manusia takut,
dan mereka tidak bersedih hati manakala manusia bersdih hati.’ Lalu Rasulullah
SAW membacakan ayat ‘Sesungguhnya wali-wali Allah itu, mereka tidak takut dan
tidak pula bersedih hati.” (HR. Abu Daud)
2.
Tidak takut dan tidak bersedih hati.
(sebagaimana di gambarkan dalam hadits
di atas)
3.
Akan diampuni dosa-dosanya.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ سَلْمَانِ الْفَارِسِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الْمُسْلَِ إِذَا لَقِيَ
أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا
تَتَحَاتَّ الْوَرَقَةُ عَنِ الشَّجَرَةِ اْليَابِسَةِ فِيْ يَوْمٍ رِيْحٍ
عَاصِفٍ، وَإِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا ذُنُوْبُهُمَا وَلَوْ كَانَ مِثْلَ زَبَدِ
الْبَحْرِ (رواه الطبراني في المعجم الكبير والبيهقي في شعب الإيمان )
Dari Salman al-Farisi ra, Rasulullah SAW
bersabda, ‘Sesungguhnya seorang muslim, apabila ia bertemu dengan saudaranya
muslim yang lainnya, kemudian ia menjabat tangannya, maka akan berguguranlah
dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari sebuah pohon yang telah
kering di hari angin bertiup sangat kencang. Atau kalau tidak, dosa keduanya
akan diampuni, meskipun sebanyak buih di lautan. (HR. Imam Tabrani dalam
Al-Mu’jam al-Kabir VI/ 256, dan Imam Baihaqi dalam syu’ab al-Iman VI/ 437)
4.
Mendapatkan ‘naungan’ Allah, di hari tiada naungan selain
naungan-Nya.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ
الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ
فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW
bersabda, bahwa Allah berfirman pada hari kiamat. ‘Dimanakah orang-orang yang
saling mencintai karena keagungan-Ku.? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka
di hari tiada naungan selain naungan-Ku. (HR. Muslim)
5.
Mendapatkan cinta Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى
فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ
قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ
لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لاَ غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ
قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
(رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa seorang
pemuda mengunjungi saudaranya di kota lain. Di tengah perjalanannya, Allah
mengutuskan padanya seorang malaikat (yang menyamar). Ketika malaikat tiba
padanya, berkata, ‘Wahai pemuda, engkau hendak kemana?’ Ia menjawab, ‘aku ingin
bersilaturahim ke tempat saudaraku di kota ini.’ Malaikat bertanya lagi,
‘Apakah maksud kedatanganmu ada kepentingan duniawi yang ingin kau cari?’ Ia
menjawab, ‘Tidak, selain hanya karena aku mencintainya karena Allah SWT.’
Kemudian malaikat berkata, ‘sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
diperintahkan untuk menyampaikan kepadamu bahwa Allah telah mencintaimu,
sebagaimana kamu mencintai saudaramu tersebut. (HR. Muslim)
6.
Dapat merasakan manisnya iman.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
(رواه البخاري)
Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW
bersabda, ‘ada tiga hal, yang apabila ketiganya terdapat dalam diri seseorang,
maka ia akan dapat merasakan manisnnya iman. (1) Lebih mencintai Allah dan
rasul-Nya dari pada apapun selain keduanya. (2) Mencintai seseorang semata-mata
hanya karena Allah SWT. (3) Tidak menyukai kembali pada kekafiran, sebagaimana
ia benci jika dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari)
Syarat Dalam Berukhuwah
Untuk
melaksanakan kewajiban dalam berukhuwah dan juga untuk dapat menggapai seluruh
keutamaan yang terkandung dalam ukhuwah, seroang muslim harus dapat
merealisasikan syarat-syarat dalam berukhuwah. Diantara syarat-syaratnya
adalah:
1.
Ikhlas.
Ukhuwah seorang muslim terhadap muslim
lainnya, haruslah dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah SWT. Ukuhwah yang
terlahir bukan karena sesuatu yang bersifat keduniaan, atau karena termotivasi
oleh kepentingan tertentu. Karena apabila ukhuwah telah tercampur dengan
ketidak ikhlasan, maka sudah menjadi hak Allah apabila tidak menerima ukhuwah
yang seperti itu. Kisah yang terdapat dalam hadits, yang menceritakan seorang
pemuda yang ingin mengunjungi ‘saudara seimannya’ (lihat hadits keutamaan
ukhuwah no. 5 dalam makalah ini) menunjukkan bahwa ukhuwah itu harus ikhlas
semata-mata cintanya hanya karena Allah. Dan ukhuwah seperti inilah yang akan
membuahkan mendapatkan cinta dari Allah SWT.
2.
Dilandasi dengan iman dan ketaqwaan.
Karena hanya iman dan ketaqwaan sajalah,
yang mampu menjadikan ukhuwah tetap bersih, sebagaimana yang diinginkan oleh
Islam. Allah menggambarkan dalam Al-Qur’an (QS. 43 : 67):
الأَخِلاَّءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ*
“Teman-teman akrab pada hari itu
sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain
kecuali orang-orang yang bertakwa.”
3.
Komitmen dengan adab Islam.
Ukhuwah tidak akan pernah terajut,
apabila kedua orang yang saling berukhuwah tidak mengimplementasikan adab dan
perilaku islami. Dan hal seperti inilah, yang maknanya terkandung dalam salah
satu sabda Rasulullah SAW :
…وَرَجُلاَنِ
تَحَابَّا فِيْ اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ …
…dan dua orang pemuda, yang
saling mencintai karena Allah. Mereka bertemu karena Allah dan merekapun
berpisah karena Allah SWT… (HR. Muslim)
4.
Berlandaskan pada prinsip saling menasehati kerena Allah.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
mengatakan bahwa:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : المُؤْمِنُ مِرْآةَ أَخِيْهِ إِذَا رَأَى
فِيْهَا عَيْبًا أَصْلَحَهُ
(رواه البخاري في الأدب المفرد)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
SAW bersabda, ‘Seorang mu’min merupakan cermin bagi mu’min lainnya, yang
apabila ia melihat pada aib pada diri saudaranya, ia memperbaikinya. (HR.
Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
5.
Saling tolong menolong dalam kesenangan dan kesusahan.
Hal ini digambarkan Allah dalam
Al-Qur’an (QS. 5 : 2)
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ *
“Dan tolong menolonglah kalian
dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam
perbuatan dosa dan permusuhan.”
Tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan
merupakan perintah Allah SWT, baik dalam kondisi suka maupun duka. Bahkan dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW mengungkapkan :
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ
وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ
تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)
Dari Nu’man bin Basyir ra,
Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan orang-orang mu’min dalam hal kecintaan
dan kasih sayang diantara mereka adalah laksana satu tubuh, yang apabila
terdapat salah satu anggota tubuhnya yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan
merasakan sakit, dengan tidak dapat tidur dan demam.’ (HR. Muslim)
Cara untuk mempererat tali ukhuwah
Terdapat
beberapa cara untuk dapat menumbuhkan serta mempererat jalinan tali ukhuwah
yang terajut diantara kaum muslimin. Diantara caranya adalah:
1.
Memberitahukan rasa ‘cinta’nya kepada saudaranya.
Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW:
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ وَقَدْ كَانَ
أَدْرَكَهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ (رواه أبو داود)
Dari Al-Miqdam bin Ma’di Karib,
Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila seorang mu’min mencintai saudaranya sesama
mu’min, maka beritahukanlah bahwa ia mencintainya (karena Allah SWT) (HR. Abu
Daud)
Dalam riwayat lain, dikisahkan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لأُحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمْتَهُ قَالَ لاَ قَالَ أَعْلِمْهُ قَالَ فَلَحِقَهُ
فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّكَ فِي اللَّهِ فَقَالَ أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِي
لَهُ (رواه أبو داود)
Dari Anas bin Malik ra, bahwa
seorang pemuda ada di samping Rasulullah SAW, kemudian tidak lama kemudian,
lewatlah seseorang melalui mereka. Kemudian pemuda ini mengatakan, ‘Ya
Rasulullah, sungguh aku mencintai orang itu (karena Allah).’ Kemudian
Rasulullah SAW bertanya, ‘sudahkah engkau memberitahukan padanya?’ Ia menjawab, ‘belum.’ Rasulullah SAW
mengatakan, kalau demikian beritahukalah padanya.’ Lalu pemuda ini mengikuti
orang tersebut dan mengatakan padanya, ‘aku mencintaimu karena Allah.’ Orang
tersebut menjawab, ‘Semoga Allah mencintaimu seperti engkau mencintaiku
karena-Nya.’ (HR. Abu Daud)
2.
Mendoakan saudaranya
Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَأْذَنْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعُمْرَةِ فَأَذِنَ لِي
وَقَالَ لاَ تَنْسَنَا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَا
يَسُرُّنِي أَنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَا
(رواه أبو داود)
Dari Umar bin Khattab ra, aku
meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk pergi umrah. Kemudian Rasulullah SAW
mengizinka aku dan berkata, ‘jangan lupa wahai saudaraku doanya. Beliau
mengucapkan sebuah kalimat yang teramat membahagiakan, seakan aku memiliki
dunia. (HR. Abu Daud)
3.
Memberikan senyuman.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَحْقِرَنَّ مِنْ
الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ (رواه مسلم)
Dari Abu Dzar ra, Rasulullah SAW
mengatakan kepadaku, ‘janganlah kalian menganggap remeh satu perbuatan baik
sedikitpun, meskipun hanya memberikan senyuman (wajah yang ramah) kepada kepada
saudaramu. (HR. Muslim)
4.
Menjabat tangan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
عَنْ
سَلْمَانِ الْفَارِسِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا تَتَحَاتَّ
الْوَرَقَةُ عَنِ الشَّجَرَةِ اْليَابِسَةِ فِيْ يَوْمٍ رِيْحٍ عَاصِفٍ، وَإِلاَّ
غُفِرَ لَهُمَا ذُنُوْبُهُمَا وَلَوْ كَانَ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ (رواه
الطبراني في المعجم الكبير والبيهقي في شعب الإيمان )
Dari Salman al-Farisi ra,
Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya seorang muslim, apabila ia bertemu
dengan saudaranya muslim yang lainnya, kemudian ia menjabat tangannya, maka
akan berguguranlah dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari sebuah
pohon yang telah kering di hari angin bertiup sangat kencang. Atau kalau tidak,
dosa keduanya akan diampuni, meskipun sebanyak buih di lautan. (HR. Imam
Tabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir VI/ 256, dan Imam Baihaqi dalam syu’ab al-Iman
VI/ 437)
5.
Bersilaturahim.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ
وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ
(رواه أحمد)
Rasulullah SAW bersabda, bahwa
Allah berfirman, ‘Cinta-Ku wajib diberikan kepada orang yang saling mencintai
karena-Ku, kepada yang saling duduk karena-Ku, kepada yang saling mengunjungi
(bersilaturahim) karena-Ku, dan yang saling berlomba untuk berkorban
karena-Ku.” (HR. Ahmad bin Hambal)
6.
Mengucapkan selamat pada moment tertentu.
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ بَمَا يُحِبُّ
لِيَسَّرَهُ بِذَلِكَ سَرَّهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الطبراني في المعجم
الصغير)
Dari Anas bin Malik ra,
Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang bertemu dengan saudaranya yang
muslim dengan sesuatu yang menyenangkannya untuk membahagiakannya, maka sungguh
Allah akan membahagiakannya pada hari kiamat. (HR. Tabrani dalam Mu’jam
Shaghir, II/288)
7.
Memberikan hadiah.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
mengemukakan:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَهَادُوْا تَحَابَّوْا
Saling mencintai dan saling
memberi hadiahlah kalian (HR. Baihaqi & Tabrani)
8.
Memberikan perhatian penuh pada kebutuhan saudaranya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melapangkan kesempitan dunia seorang mu’min,
maka Alla akan melapangkan baginya kesempitan pada hari kiamat. Dan barang
siapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah akan mempermudahnya
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi sela seorang
muslim, maka Allah akan menutupi celanya di dunia dan di akhirat. Dan Allah
akan senantiasa menolong hamba-Nya, selagi hamba-Nya tersebut menolong
saudaranya.
(HR. Muslim)
9.
Melaksanakan semua hak-hak ukhuwah.
Terdapat beberapa hal, yang menjadi hak
seorang muslim dengan muslim lainnya dalam berukhuwah yang harus ditunaikan
oleh setiap muslim. Hak-hak tersebut akan dibahas dalam pembahasan berikut:
Hak-Hak Dalam Berukhuwah
Dalam ukhuwah
terdapat hak-hak yang mesti dilaksanakan oleh sesama muslim yang saling
bersaudara karena Allah SWT. Diantara hak-hak tersebut adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ
فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ
لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ
وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
SAW bersabda, ‘Hak seorang muslim dengan muslim lainnya ada eman. Para sahabat
bertanya, ‘Apa itu wahai Rasulullah SAW? Beliau menjwab, ‘apabila engkau
bertemu dengannya ucapkanlah salam, apabila ia mengundangmu penuhilah, apabila
ia minta nasehat darimu nasehatilah, apabila ia bersin doakanlah, apabila ia
sakit tengoklah, dan apabila ia meninggal dunia maka ikutilah jenazahnya.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, dapat kita petik kesimpulan, bahwa
diantara hak ukhuwah seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah:
1.
Mengucapkan salam.
2.
Memenuhi undangannya.
3.
Memberikan nasehat.
4.
Mendoakan ketika bersin.
5.
Menengok ketika sakit.
6.
Mengikuti jenazahnya ketika meninggal dunia.
Selain keenam hak ini, juga masih terdapat hak lainnya, yaitu
sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ
اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ
اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ
الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melapangkan kesempitan dunia seorang mu’min,
maka Alla akan melapangkan baginya kesempitan pada hari kiamat. Dan barang
siapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah akan mempermudahnya
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi sela seorang
muslim, maka Allah akan menutupi celanya di dunia dan di akhirat. Dan Allah
akan senantiasa menolong hamba-Nya, selagi hamba-Nya tersebut menolong
saudaranya. (HR. Muslim)
Dari hadits ini dapat di ambil beberapa poin penting, bahwa
hak seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah :
7.
Memperhatikan dan peduli terhadap kebutuhan dan kesusahannya.
8.
Menutupi aib atau kekurangan yang dimilikinya.
Buah Lain Dari Ukhuwah
Selain
berbagai keistimewaan yang telah digambarkan di atas, ukhuwah memilki nilai
positif lain yang sangat luas, yaitu akan dapat mewujudkan al-wihdah
al-islamiyah (baca; persatuan umat). Karena dengan adanya ukhuwah, setiap
muslim tidak akan memandang seseorang dari sukunya, bahasanya, negaranya, warna
kulitnya, warna rambutnya, organisasinya, partainya dan lain sebagainya. Namun
ia akan melihat seseorang dari segi aqidahnya. Siapapun ia, jika ia
mentauhidkan Allah, beragamakan Islam, bermanhajkan Al-Qur’an, berkiblatkan
ka’bah, bersunahkan sunah Rasulullah SAW, maka ia adalah saudaranya. Sehingga
ia akan memandang bahwa di setiap daerah, setiap wilayah atau bahkan di negara
manapun yang di sana terdapat orang-orang yang memperjuangkan kalimatullah,
maka itu adalah negrinya. Dan setiap muslim memiliki kewajiban untuk senantiasa
menolong saudaranya di jalan Allah SWT. Atau paling tidak, harus memiliki
kepedulian terhadap kebutuhan dan kesusahan yang dialami saudaranya. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ
لاَ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (رواه الطبراني)
Dari Hudzaifah bin Yaman ra, Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin,
maka bukanlah ia termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR. Tabrani)
Adapun pada
zaman sekarang ini, berangkat dari ketiadaan ukhuwah, maka seolah tiada pula
persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam. Hampir setiap organisasi,
kelompok, partai berpecah belah satu dengan yang lainnya. Ini masih dalam satu
negara, maka apatah lagi jika sudah berbeda negara, berbeda warna kulit dan
lain sebagainya. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan adanya konspirasi
kaum barat yang berusaha untuk memecah belah kaum muslimin. Sehingga saat ini
dapat dikatakan tidak ada satu negara muslim pun yang secara politiknya mencoba
untuk merealisasikan ukhuwah dalam politik luar negrinya terhadap negara muslim
lainnya. Padahal ukhuwah merupakan bagian terpenting dari keimanan. Karena
tiada kesempurnaan iman tanpa adanya ukhuwah.
Penutup
Inilah
sekelumit bahasan tentang ukhuwah, yang tentunya kita semua harus berusaha
untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam skala individu,
sosial, nasional, bahkan internasional. Karena kita akan lemah tanpa adanya
ukhuwah, sebaliknya kita akan dapat kuat dan besar dengan merealisasikan
ukhuwah dalam jiwa kita. Sementara, ukhuwah merupakan buah dan konsekwensi
logis dari keimanan kepada Allah SWT. Dalam artian, bahwa ukhuwah mustahil
direalisasikan tanpa memperdalam dan memperkokoh keimanan.
Jadi, jalan
yang harus ditempuh oleh setiap muslim adalah memperkokoh keimanan dan
mempertebal ketakwaan kepada Allah SWT. Karena hal tersebut merupakan ‘pondasi’
dari ukhuwah, untuk kemudian mencoba mengamalkan kiat-kiat Rasulullah SAW dalam
mempertebal rasa ukhuwah dalam diri kita masing-masing. Dan akhirnya, semoga
Allah SWT menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa dikuatkan
keimanannya, dipererat ukhuwahnya dan dijadikan sebagai hamba-hamba yang berhak
mendapatkan sorga dari-Nya. Amin..
Wallahu A’lam
Bis Shawab.
By. Rikza
Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan Bacaan
Hamid, Muhammad Abdul Halim. Sifat
wa Sulukiyat Tarbawiyah. 1998 – 1419 H. Kairo – Mesir : Dar al-Tauzi’ wa
al-Nasyr al-islamiyah.
Jarror, Husni Adham. Bercinta
dan Bersaudara Karena Allah. 1993 – 1413 H. Cet. VIII. Jakarta – Indonesia
: Gema Insani Press.
Ulwan, Abdullah Nasih. Al-Ukhuwah
Al-Islamiyah. 1997 – 1417 H. Cet. VI. Kairo – Mesir : Dar Al-Salam li
al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’.
Al-Wakil, Abdul Wahid. Buyutuna
fi Ramadhan. 1997. Kairo – Mesir : Dar al-Tauzi wa al-Nasyr al-Islamiyah.
CD. ROM. Maushu’ah al-Hadits
al-Syarif. Versi 2.00 : Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global
Islamic Software Company)
CD. ROM. Al-Qur’an Al-Karim.
Versi 6.50 : Syirkah Sakhr Li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
بسم الله الرحمن الرحيم
AKHLAQ
ISLAMI
الأخلاق الإسلامية
Muqadimah
Ketika Islam
belum datang sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat manusia, bangsa Arab sangat
dikenal dengan kejahiliyannya. Kejahiliyahan tersebut akan sangat terasa benar,
manakala kita mencoba melihatnya dari sisi moralitas (baca; akhlak). Keburukan
apakah yang dapat menandingi dengan moral seorang ayah, yang dengan tega dan rasa
jijik, mengubur hidup-hidup anaknya sendiri. Kejelekan apa yang melebihi dari
pada terjadinya perzinaan pada seorang istri, atas perintah sang suaminya
sendiri? Namun ternyata hal tersebut dianggap merupakan sesuatu yang sangat
wajar pada zamannya.
Di
sinilah, Islam datang merubah kondisi yang sangat bejat, menjadi berputar ke
arah yang posistif seratus delapan puluh derajat. Karena sesungguhnya Islam
datang, memang membawa misi untuk merubah kondisi jahiliyah yang ada, menjadi
kondisi Islami. Adapun moralitas, adalah merupakan implementasi dari kondisi
mental seseorang atau masyarakat pada suatu waktu tertentu. Baik buruknya moral
seseorang, atau moral suatu bangsa, sangat terkait dengan mental orang atau
bangsa tersebut. Mengenai misi ini, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
(رواه أحمد والبزار)
Dari
Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Bahwasanya aku diutus adalah untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak. (HR. Ahmad dan al-Bazar).
Sebagai
seorang muslim, kitapun memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan
memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri kita. Dan dalam Islam,
akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap
apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap
lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya. Namun dalam
pembahasan akhlak kita, akan terfokus pada hal-hal yang sangat urgen.
Diantaranya adalah; akhlak terhadap Allah SWT, akhlak seorang muslim terhadap
dirinya sendiri, akhlak terhadap orang tuanya, akhlak terhadap keluarga &
kerabat, akhlak terhadap saudara seiman, dan akhlak terhadap tetangga &
masyarakatnya.
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Allah SWT
Setiap
muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya.
Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah
adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi
hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya.
Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan
terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan
prioritas dalam berakhlak.
Jika
kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam
berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak
memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki
akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki
akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk
menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap Allah
SWT adalah:
1.
Taat terhadap
perintah-perintah-Nya.
Hal pertama yang harus
dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan
mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak
mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada
dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا َيَجِدُوْا فيِ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا*
“Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat kepada Allah
merupakan konsekwensi keimanan seoran muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya
ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ
تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ (رواه ابن أبي عاصم الشيباني في السنة)
“Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang diantara kalian,
hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku
(Al-Qur’an dan sunnah). (HR. Abi Ashim al-syaibani).
2.
Memiliki rasa tanggung
jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Etika kedua yang harus
dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa tanggung jawab
atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun
merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang mukmin senantiasa
meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang
kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَنْ بْنِ عُمَرَ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلاَ كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ
عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ أَلاَ
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه مسلم)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap kalian adalah
pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.
Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin
bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang
wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya,
dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah
pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang
dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa
yang dipimpinnya. (HR. Muslim)
3.
Ridha terhadap
ketentuan Allah SWT.
Etika berikutnya yang harus
dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala
ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan
baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk
fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya,
sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah
berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُسْلِمِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ
لَهُ خَيْرٌ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW bersabda, sungguh mempesona perkara orang beriman.
Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan
kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik
bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa
hal tersebut merupakan hal erbaik bagi dirinya. (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai
seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat
terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk,
sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi
diri kita.
4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang manusia biasa,
kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini
memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah,
manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan
kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an
Allah berfirman (QS. 3 : 135) :
وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا
فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوْا
لِذُنُوْبِهِمْ، وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّ وْاعَلَى
مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنً* أُوْلَئِكَ جَزَاءُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ
رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا
وَنِعْمَ أَجْرُ اْلعَامِلِيْنَ*
Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat
mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu
sedang mereka mengetahui.
5.
Obsesinya adalah keridhaan
ilahi.
Seseorang yang benar-benar
beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan orientasi dalam segala
aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk
mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk
mencapai keridhaan Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan
‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
pernah menggambarkan kepada kita:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ
كَفَاهُ اللهُ مَؤُوْنَةَ النَّاسِ، وَمَنْ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ
اللهِ وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ (رواه الترمذي والقضاعي وابن عساكر)
Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan
‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga.
Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah,
maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia. (HR. Tirmidzi,
Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus
merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak
memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan
manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak.
Yang penting ia dipuji oleh oran lain.
6.
Merealisasikan ibadah
kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya
yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan
segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat mahdhah,
ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh
aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah
berberfirman (QS. 51 : 56):
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ*
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala
aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah
yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang
memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya.
Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah
beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hukum Allah di muka
bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh
masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.
7.
Bannyak membaca
al-Qur’an.
Etika dan akhlak berikutnya
yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak
membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman-Nya. Seseeorang
yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya.
Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu
menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya.
Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang dmikian
besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْرَأُوْا الْقُرْآنَ
فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya
Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya.
(HR. Muslim)
Adapun bagi mereka-mereka yang
belum bisa atau belum lancar dalam membacanya, maka hendaknya ia senantiasa
mempelajarinya hingga dapat membacanya dengan baik. Kalaupun seseorang harus
terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka Allah pun akan memberikan pahala
dua kali lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الَّذِيْ
يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ
الْبَرَرَةِ، وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ (متفق
عليه)
Rasulullah SAW bersabda, Orang (mu’min) yang membaca Al-Qur’an dan ia
lancar dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi
suci. Adapun orang mu’min yang membaca Al-Qur’an, sedang ia terbata-bata dalam
membacanya, lagi berat (dalam
mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat.
(Mutafaqun Alaih)
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Dirinya Sendiri
Paling
tidak, seorang muslim adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Siapapun dia,
seorang muslim tentu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah
diperbuat terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa
setiap muslim harus menunaikan etika dan akhlak yang baik terhadap dirinya
sendiri, sebelum ia berakhlak yang baik terhadap orang lain. Dan ternyata hal
ini sering dilalaikan oleh kebanyakan kaum muslimin.
Secara
garis besar, akhlak seorang muslim terhadap dirinya dibagi menjadi tiga bagian;
terhadap fisiknya, terhadap akalnya dan terhadap hatinya. Karena memang setiap
insan memiliki tiga komponen tersebut, dan kita dituntut untuk memberikan hak
kita terhadap diri kita sendiri dalam ketiga unsur yang terdapat dalam dirinya
tersebut:
1.
Terhadap
Fisiknya
Setiap insan, Allah berikan
anugerah berupa fisik yang sempurna. Kesempurnaan fisik manusia ini, Allah
katakan sendiri dalam Al-Qur’an (QS. 95 : 4)
لَقَدْ خَلَقْنَا
اْلإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.
Kesempurnaan fisik ini,
merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Karena Allah hanya memberikannya pada
manusia. Adapun salah satu cara dalam mensyukurinya adalah dengan menunaikan
hak yang harus diberikan pada fisik kita tersebut, yang sekaligus merefleksikan
etika kita terhadap fisik kita sendiri. Diantara hal tersebut adalah:
- Seimbang dalam mengkonsumsi makanan.
Hak yang harus kita penuhi
terhadap fisik kita adalah dengan memberikan makanan dan minuman yang baik dan
sehat, sehingga fisik kita pun dapat tumbuh dan bekerja dengan baik dan sehat
pula. Seorang muslim sangat menyadari hal ini, dan oleh karenanya ia tidak akan
menkonsumsi makanan yang akan memberikan madharat terhadap dirinya tersebut.
Dan termasuk dalam kategori yang memberikan mudharat adalah mengkonsumsi
makanan secara berlebihan. Islam sendiri telah memberikan larangan kepada para
pemeluknya untuk berlebihan dalam menkonsumsi makanan. Allah berfirman (QS. 7 :
31)
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلاَ تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ
الْمُسْرِفِيْنَ
“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah kalian berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bahkan memberikan rincian batasan dalam masalah mengkonsumsi
makanan. Beliau mengatakan:
مَا مَلَأَ
آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ، فَإِذَا كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَاعِلاً،
فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ
(رواه أحمد والترمذي)
Janganlah seseorang itu mengisi perutnya sesuatu yang buruk baginya.
Dan apabila tidak menyulitkan baginya hendaknya ia mengisi sepertiga untuk
makanannya, sepertiga untuk minumannnya dan sepertiga lagi untuk dirinya.
(HR. Ahmad & Turmudzi)
- Membiasakan diri untuk berolah raga & hidup teratur.
Islam sangat menginginkan
terciptanya kondisi yang baik dan teratur bagi para pemeluknya. Bekerja
teratur, makan teratur, tidur teratur, belajar teratur dan juga berolah raga
secara teratur. Sebagai contoh menyegerakan tidur dan juga menyegerakan bangun.
Tidak tidur ba’da subuh, tidak tidur ba’da ashar dan lain sebagainya.
Di samping itu, Islam juga
menganjurkan pada pemeluknya untuk menjaga fisik dengan membiasakan diri
berolah raga. Agar diri seorang mu’min menjadi kuat dan sehat. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
المُؤْمِنُ
الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ (رواه
مسلم)
Seorang mu’min yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada
seorang mu’min yang lemah. (HR. Muslim)
Jika fisik kaum muslimin kuat,
tentulah hal ini akan dapat menggetarkan para musuh-musuh Islam, yang tiada
henti-hentinya membuat makar terhadap agama Allah ini. Oleh karenanya kita
melihat betapa Allah memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan kita. Dan
olah raga merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan kekuatan tersebut.
Allah berfirman (QS. 8 : 60)
وَأَعِدُوْا لَهُمْ
مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ
عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لاَ تَعْلَمُهُمْ اللهُ
يَعْلَمُهُمْ
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dapat
menggentarkan musuh Allah , musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.
- Tidak melakukan hal-hal yang memberikan madharat bagi fisik dan
kesehatannya.
Terkadang manusia senang untuk
melakukan hal-hal tertentu yang terlihat menyenangkan dan mengenakkan meskipun
hal tersebut akan menimbulkan madharat terhadap dirinya sendiri. Diantara tersebut
antara lain, berlebihan dalam menkonsumsi kopi atau teh, tidur terlalu larut
malam dan merokok. Hal yang terakhir disebut (yaitu rokok) bahkan sudah seperti
menjadi “kebiasaan wajib” bagi orang tertentu. Sementara jika dilihat dari
aspek syar’inya, rokok merupakan sesuatu yang melanggar syar’i dan hukumnya
haram, kecuali menurut sebagian ulama di Indonesia yang cenderung berfatwa
bahwa hukumnya adalah makruh. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagaian besar
ulama di Indonesia masih belum mampu meninggalkan kebiasaan rokoknya.
Terdapat beberapa tinjauan
dalam menegaskan bahwa rokok secara hukum adalah haram. Diantaranya adalah :
a. Merokok merusak kesehatan (Yadhurru Linafsih)
Semua orang sepakat, bahwa
rokok akan memiliki dampak negatif terhadap fisik manusia. Terlebih-lebih jika
ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau kedokteran, rokok memiliki dampak yang
begitu besar dalam diri insan yang akan menyebabkan berbagai penyakit. Perokok
sendiri akan mengakui hal tersebut. Dan jika demikian, seseorang ketika ia
merokok berarti ia memberikan kemadharatan atau merusak bagi dirinya sendiri.
Sementara Allah SWT berfirman (QS. 4 : 29)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
b.
Merokok mendzolimi
orang lain (Dzalim)
Selain merusak atau merugikan
terhadap diri sendiri, rokok juga dapat merugikan atau mendzalimi orang lain
yang tidak merokok. Sebab asap rokok yang dihisap perokok tentu akan
dikeluarkan lagi. Dan asap inilah yang memiliki potensi untuk dihisap secara
langsung melalui nafas orang lain (baca;
perokok pasif) yang berada di sekitarnya, yang bisa jadi akan
menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Jika hal ini terjadi, berarti perokok
‘mendzlimi’ orang lain yang tidak merokok. Dan Allah sangat membenci
orang-orang yang dzalim. Allah SWT berfirman (QS. 42 : 40)
وَجَزَاءُ
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ
لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa
mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim."
c.
Merokok memiliki unsur
menghambur-hamburkan harta (Tabdzir)
Selain dua tinjauan di atas,
rokok juga mengandung unsur menghambur-hamburkan uang (baca’ tabdzir).
Hampir semua kalangan sepakat, bahwa rokok merupakan salah satu bentuk
perbuatan yang mubadzir, karena banyak hal yang lebih bermanfaat dari
pada digunakan untuk rokok, seperti membantu fakir miskin, shadaqoh kepada
kerabat, atau digunakan untuk membeli makanan yang menambah kesehatan, seperti
susu, buah-buahan dan lain sebagainya. Dan jika merokok merupakan salah satu
perbuatan tabdzir, maka alangkah kerasnya Allah SWT menegur orang-orang
yang menghambur-hamburkan uang. Allah berfirman (QS. 17 : 27 ) :
وَآتِ ذَا
الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا* إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ
الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا*
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.”
- Bersih fisik dan pakaian.
Etika seorang muslim terhadap
dirinya yang berikutnya adalah membersihkan fisik dan juga pakaiannya. Karena
fisik kita memiliki hak untuk dibersihkan dan memakai pakaian yang bersih.
Dalam masalah bersih fisik, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a)
Bersih mulut dan gigi.
Islam sangat menganjurkan
kebersihan gigi dan mulut. Karena kedua hal ini merupakan hal yang akan sangat
berkaitan dengan orang lain. Ketika gigi dan mulut kita tidak bersih bahkan
bau, maka pasti akan memiliki pengaruh negatif terhadap orang yang menjadi
lawan bicaranya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الشيخان)
“Sekiranya tidak memberatkan bagi umatku, sungguh akan aku perintahkan
mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan dalam hadits lain,
Rasulullah SAW menerangkan mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari
ketidak bersihan mulut dan gigi. Beliau mengatakan:
مَنْ أَكَلَ
الْبَصَلَ وَالثَّوْمَ وَالْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرِبَنَّ مَسْجِدَنَا هَذَا،
فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّي مِمَّا يَتَأَذَّي مِنْهُ بَنُو آدَمَ (رواه
مسلم)
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memakan bawang merah,
bawang putih dan yang sebangsa bawang, maka hendaknya mereka jangan mendekati
masjid kami ini. Karena sesungguhnya para malaikat ‘terganggu’ dengan baunya
tersebut, sebagaimana terganggunya anak cucu adam.” (HR. Muslim)
b)
Bersih rambut.
Selain mulut dan gigi, Islam
juga menganjurkan kita agar senantiasa membersihkan rambut. Karena rambut juga
memiliki hak untuk dibersihkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ
كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang
memiliki rambut, maka hendaklah ia memuliakan rambutnya tersebut.” (HR. Abu
Daud)
Adapun cara untuk memuliakan
rambut, diantaranya adalah dengan senantiasa membersihkannya, menyisirnya yang
rapi serta merawatnya. Dalam sebuah riwayat Imam Malik, Rasulullah SAW suatu
ketika sedang berada dalam masjid. Kamudian tiba-tiba masuklah seorang pemuda
yang rambut dan jenggotnya acak-acakan. Kemudian Rasulullah SAW
memerintahkannya dengan isyarat agar ia membersihkan rambut dan jenggotnya
tersebut. Pemuda itupun kembali pulang, lalu kembali ke masjid dalam keadaan
rambut dan jenggotnya yang telah tersisir rapi. Melihat hal tersebut Rasulullah
SAW mengatakan, ‘bukankah yang demikian lebih baik, dari pada seseorang datang
ke masjid dalam kondisi rambut dan jenggotnya acak-acakan, seperti syaitan?’
c)
Bersih badan.
Hal ini terbukti dengan
diperintahkannya kita untuk senantiasa membersihkan diri kita dengan mandi.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berasbda:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمْعَةِ،
وَاغْسِلُوْا رُؤُوْسَكُمْ وَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا جُنُبًا وَأَصِيْبُوْا مِنَ
الطَّيِّبِ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Mandilah kalian pada hari jum’at.
Bersihkanlah kepala kalian, meskipun tidak sedang junub. Dan sentuhlah dengan
wewangian. (HR. Bukhari)
d)
Bersih pakaian.
Jasad atau fisik kita, juga
memiliki hak untuk mendapatkan pakaian yang bersih dan sehat. Pakaian disamping
untuk menutupi aurat, namun juga menjaga dirinya dari penyakit-penyakit yang
terkait dengan pakaian, seperti gatal-gatal, jamur dan lain sebagainya.
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرًا فَرَأَى رَجُلاً عَلَيْهِ ثِيَابُ وَسْخَةٍ،
فَقَالَ مَا كَانَ يَجِدُ هَذَا مَا يَغْسِلُ ثَوْبَهُ؟ (رواه أحمد والنسائى)
Dari Jabir ra, beliau berkata, suatu ketika rasulullah SAW berziarah
mengunjungi kami. Lalu beliau melihat seseorang yang memakai pakaian yang
kotor. Beliau berkata, ‘Tidakkah ada yang dapat menyucikan bajunya?’ (HR. Ahmad
dan Nasa’I)
e) Berpenampilan rapi
Berpenampilan rapi juga
merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sehingga seseorang akan terlihat
terhormat di mata orang lain. Dalam sebuah riwayat dikisahkan ketika Rasulullah
SAW dan para sahabatnya sedang berpergian mendatangi saudara mereka, Rasulullah
SAW mengatakan:
إِنَّكُمْ
قَادِمُوْنَ عَلَى إِخْوَانِكُمْ، فَأَصْلِحُوْا رِحَالَكُمْ وَأَحْسِنُوْا
لِبَاسَكُمْ (رواه أبو داود)
Kalian akan tiba mendatangi saudara kalian. Oleh karena itu, rapikanlah
bawaan kalian dan rapikanlah pula pakaian kalian. (HR. Abu Daud)
Berpenampilan rapi seperti ini
juga merupakan sunnah para sahabat. Bahkan terkadang ada diantara mereka yang
membeli pakaian yang relatif mahal, untuk kemudian digunakannya. Seperti Ibnu
Abbas pernah membeli pakaian seharga seribu dirham, lalu beliau mengenakannya.
(Hilyatul Aulia’ I/ 321). Demikian juga dengan Abdurrahman bin Auf, yang pernah
memakai burdah seharga lima ratus atau empat ratus (Thabaqat Ibnu Sa’d
III/131). Dan berpenampilan rapi serta mengenakan paiakan yang baik,
sesungguhnya tidak identik dengan kesombongan. Karena kesombongan adalah
mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia.
2.
Terhadap
Akalnya.
Sebagaimana fisik, akal
memiliki hak yang harus kita tunaikan. Akal juga membutuhkan ‘makanan’,
sebagaimana fisik membutuhkannya. Namun kebutuhan tersebut jelas berbeda dengan
kebutuhan fisik. Oleh karenanya, kita perlu memberikan porsi kepada kita,
sebagaimana kita memberikannya pada fisik. Berikut adalah diantara hal-hal yang
harus kita tunaikan terhadap akal kita:
- Menuntut ilmu sebagai kewajiban dan kemuliaan bagi setiap muslim
Hal pertama yang harus kita
lakukan bagi setiap muslim terhadap akalnya adalah dengan mengisinya dengan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Karena disamping sebagai suatu kewajiban,
belajar juga merupakan kemuliaan tersendiri bagi dirinya. Karena Allah SWT
senantiasa akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Dalam Al-Qur’an
Allah mengatakan (QS. 35 : 28) :
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Bahwasanya orang-orang yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama
(orang yang berilmu)”
Kemuliaan ini juga telah
terwujud, meskipun ketika ia baru dalam proses belajar guna menuntut ilmu
sendiri. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
جَاءَ صَفْوْانٌ
بْنُ عَسَّالٍ الْمَرَادِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ،
إِنِّيْ جِئْتُ أَطْلُبُ الْعِلْمَ، فَقَالَ "مَرْحَبًا بِطَالِبِ الْعِلْمِ،
إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ تَحُفُّهُ الْمَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ
يَرْكَبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغَ السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ
مَحَبَّتِهِمْ لِمَا يَطْلُبُ (رواه أحمد والطبراني وابن حبان والحاكم)
“Suatu ketika Safwan bin Assal al-Maradi mendatangi Rasulullah SAW yang
sedang berada di masjid. Safwan berkata, Ya Rasulullah SAW, aku datang untuk
menuntut ilmu. Rasulullah SAW menjawab, ‘selamat datang penuntut ilmu.
Sesungguhnya orang yang menuntut ilmu akan dikelilingi oleh para malaikat
dengan sayap-sayapnya. Kemudian mereka berbaris, sebagian berada di atas
sebagian malaikat lainnya, hingga sampai ke langit dunia, karena kecintaan
mereka terhadap penuntut ilmu.” (HR. Ahmad, Tabrani, Ibnu Hiban dan Al-Hakim)
- Menuntut ilmu hingga akhir hayat.
Terkadang manusia sering puas,
manakala telah mencapai tingkatan tertentu dalam dunia pendidikan. Padahal
sesungguhnya dalam Islam bahwa proses belajar mengajar merupakan proses yang
tiada mengenal kata henti. Karena pada hakekatnya semakin seseorang mendalami
ilmu pengetahuan, maka semakin pula ia merasa kurang dan kurang. Salah seorang
salafuna shaleh bernama ibnu Abi Gassan – sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu
Abdil Bar – berkata :
لاَ تَزَالُ عَالِمًا مَا كُنْتَ مُتَعَلِّمًا، فَإِذَا اسْتَغْنَيْتَ
كُنْتَ جَاهِلاً
Engkau akan tetap menjadi orang yang berilmu, manakala senantiasa masih
mencari ilmu. Namun apabila engkau telah merasa cukup, maka jadilah dirimu
orang yang bodoh.”
- Yang harus dipelajari oleh setiap muslim.
Minimal sekali, setiap muslim
perlu mempelajari hal-hal yang memang sangat urgen dalam kehidupannya. Menurut
Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi (1993 : 48), hal-hal yang harus dikuasai setiap
muslim (yang bukan spesialisasi syari’ah) adalah : Al-Qur’an, baik dari segi
bacaan, tajwid dan tafsirnya; kemudian ilmu hadits; sirah dan sejarah para
sahabat; fikih terutama yang terkait dengan permasalahan kehidupan, dan lain
sebagainya.
- Spesialisasi.
Namun demikian, setiap muslim
juga harus memiliki bidang spesialisasi yang harus ditekuninya. Spesialisasi ini
tidak harus bersifat ilmu syariah, namun bisa juga dalam bidang-bidang lain,
seperti ekonomi, tehnik, politik dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak
diantara generasi awal kaum muslimin yang memiliki spesialisasi dalam bidang
tertentu.
- Mempelajari bahasa asing
Mempelajari bahasa asing juga
merupakan suatu kebutuhan yang penting. Apalagi manakala bahsa tersebut
merupakan bahasa resmi dalam ilmu pengetahuan seperti bahasa Inggris dan bahasa
Arab, untuk bidang keislaman. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
عَنْ زَيْدِ بْنِ
ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَهُ، يَا زَيْدٌ تَعَلَّمْ لِي كِتَابَ يَهُوْدَ، فَإِنِّيْ وَاللهِ مَا
آمَنُ يَهُوْدِى عَلَى كِتَابِي، فَقاَلَ زَيْدٌ فَتَعَلَّمْتُهُ فَمَا مَضَى لِيْ
نِصْفَ شَهْرٍ حَتَّى حَذَقْتُهُ، فَكُنْتُ أَكْتُبُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَتَبَ إِلَيْهِمْ، وَأَقْرَأُ كِتَبَهُمْ إِذَا
كَتَبُوْا إِلَيْهِ (رواه الترمذي)
Dari Zaid bin Tsabit ra, bahwa Rasulullah SAW berkata padanya, ‘Wahai
Zaid, pelajarilah untukku tulisan Yahudi. Karena sesungguhnya aku demi Allah
tidak yakin tulisanku pada orang yahudi.’ Zaid mengatakan, lalu aku
mempelajarinya. Dan belum genap setengah bulan berlalu, aku telah dapat
menguasai bahasa Yahudi. Aku senantiasa menulis surat Rasulullah SAW, ketika
beliau ingin menujukannya pada mereka. Akupun membacakan surat mereka pada
Rasulullah SAW. (HR. Turmudzi)
3.
Terhadap
Hatinya/ Ruhiyahnya.
Hati juga merupakan unsur
penting dalam diri setiap insan, yang memiliki hak yang sama sebagaimana akal
dan fisik. Hati membutuhkan makanan sebagaimana akal dan fisik membutuhkannya.
Oleh karena itulan, setiap muslim dituntut untuk memberikan porsi yang sama
terhadap ruhiyahnya sebagaimana ia telah memberikan pada fisik dan akalnya. Berikut
adalah beberapa hal yang patut direalisasikan seorang muslim terhadap
ruhiyahnya.
1.
Mengisi ruhiyahnya
dengan ibadah.
Ibadah merupakan makanan pokok
bagi hati dan ruhiyah kita. Bahkan makanan ruhiyah ini tidak memiliki batasan
kuantitas. Semakin banyak ibadah seseorang, semakin ia rindu untuk melaksanakan
ibadah lainnya. Semakin ia dekat dengan Allah, semakin ia ingin lebih dekat dan
dekat lagi. Berbeda dengan makanan fisik, dimana paling banyak seseorang dapat
memakan dua sampai tiga piring untuk sekali makannya. Makanan ruhiyah ini akan
dapat membersihkan hati dan menentramkan jiwa. Seseorang yang memiliki kualitas
ibadah yang baik, ia akan senantiasa merasa tenang, sejuk dan damai.
Ibadah-ibadah yang harus dilakukannya, selain yang wajib adalah yang sunnah.
Diantaranya adalah, memperbanyak membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, shalat
lail, shadaqah, mendatangi majlis-majlis ilmu, tafakur alam dan lain
sebagainya.
2.
Mengikatkan diri dengan
tempat-tempat dan teman yang menambah keimanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah
SAW pernah mengatakan, bahwa kadar keislaman seseorang itu, seperti kadar
keislaman teman akrabnya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan siapa yang
akan dijadikan temannya.” (HR. Turmudzi & Abu Daud). Karena teman dan
lingkungan memiliki pengaruh yang tidak sedikit terhadap kadar keimanan
seseorang. Orang yang bergaul dengan teman-temannya yang shaleh, maka sedikit
banyak akan mempengaruhi dirinya untuk menjadi orang shaleh. Demikian juga
sebaliknya, jika ia berteman dengan mereka-mereka yang suka mabok-mabokan, judi
dan lain sebagainya, maka sedikit banyak ia akan terpengaruh dan akan terbawa
pada kebiasaan teman-temannya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 18 : 28) :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ
مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ
وَجْهَهُ، وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ
هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan menharap keridhaan-Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan
dunia; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.”
3.
Memperbanyak dzikir
kepada Allah SWT.
Dzikir merupakan penguat
ruhiyah seorang muslim yang sangat efektif. Dzikir juga secara langsung dapat
menentramkan jiwa pembacanya. Bahkan dengan dzikir inilah, yang membedakan
apakah hati seseorang itu hidup atau mati. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ أَبِيْ
مُوْسَى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ
مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ (رواه البخاري)
Dari Abu Musa ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan orang yang
berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir adalah seumpama orang
yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Oleh karenanyalah, setiap
muslim seyogyanya senantiasa membiasakan diri dengan dzikir kapanpun dan
dimanapun mereka berada. Minimal sekali, dzikir-dzikir pengiring aktivitas
tertentu, seperti dzikir hendak makan, sesudah makan, mau tidur, ke kamar mandi
dan lain sebagainya. Dzikir akan lebih baik lagi manakala kita membiasakan
membaca dzikir-dzikir pagi dan petang, sebagaimana yang sering dibaca oleh
Rasulullah SAW.
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Orang tuanya
Orang tua
merupakan orang yang paling dekat dan paling prioritas kita perlakukan secara
baik di dunia ini. Apalagi jika kita ingin mencoba untuk mengupas satu persatu
kebaikan mereka, tentulah kita akan sulit untuk membalasnya. Oleh karena
itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, hendaknya kita balas
dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka. Jangan sampai sebagai
seorang anak, kita durhaka kepada mereka. Apalagi jika kita mengingat bahwa
durhaka kepada orang tua merupakan dosa kedua terbesar dalam Islam.
Berikut
adalah berapa moralitas seorang muslim yang harus dipenuhi dalam berinteraksi
terhadap kedua orangtuanya:
1.
Berbuat baik terhadap
kedua orang tua.
Diantara sifat utama seorang
muslim adalah berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Karena berbakti terhadap
orang tua merupakan salah satu sifat yang paling diperhatikan oleh Islam. Hal
ini terbukti bahwa Islam menjadikan durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa
terbesar setelah menyekututkan Allah. Oleh karena itulah, setiap muslim
mendapatkan perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 4 : 36)
وَاعْبُدُوْا اللهَ
وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklak kepada dua orang ibu bapak..”
2.
Mengetahui ‘keutamaan’
mereka berdua, serta apa yang wajib dilakukan terhadap mereka berdua. Karena
sesungguhnya Islam mengangkat derajat kedua orang tua pada tingkatan yang
sangat tinggi dalam sejarah kehidupan manusia. Dimana Allah menjadikan berbuat
baik terhadap mereka berdua sebagai derajat tertinggi dalam beribadah, setelah
ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 17 : 23)
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ
تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا، إِمَّا يَبْلُغَنَّ
عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لهَمُاَ أُفٍّ وَلاَ
تَنْهَرْ هُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا* وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا*
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di atantara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan pada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak merreka
dan ucapkanlakh kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan pneuh kesangayanga dan ucapkanlah, ‘Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana merreka berdua telah mendidik
aku waktu kecil.”
Ayat di atas sangat jelas
memberikan batasan kepada kita, bagaimana seharusnya berinteraksi dengan kedua
orang tua. Terutama pada saat-saat mereka telah memasuki usia lanjut, yang
terkadang segala tindakan mereka menyebabkan munculnya kejengkelan terhadap
mereka. Namun Islam dengan tegas memberikan perintah untuk tetap harus berbuat
baik terhadap mereka berdua. Bahkan Islam melarang, walaupun untuk sekedar
mengatakan “ah”, kepada meraka berdua. Islam memerintahkan untuk menggunakan
tutur kata yang baik dan sopan kepada keduanya, apapun kondisinya.
3.
Berbuat baik terhadap
orang tua, meskipun mereka bukan muslim.
Bahkan sekiranya kita memiliki
orang tua yang bukan muslim sekalipun, kita tetap harus menunaikan kewajiban
kita terhadap mereka berdua. Tetap harus berbuat baik kepada mereka, harus
bertutur kata yang sopan santun dan penuh kelembutan dan juga harus tetap taat
kepada mereka berdua, selagi tidak dalam perbuatan melanggar perintah Allah
SWT. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ
بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدَمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ
فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ
وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (رواه البخاري)
Dari Asma’ binti Abu Bakar ra, beliau berkata, ‘Ibuku datang kepadaku,
dan dia masih seorang yang musyrik pada zaman Rasulullah SAW. Lalu aku bertanya
pada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW, ibuku datang kepada mengharapkan
sesuatu dari ku, apakah aku harus berbuat baik kepadanya, sedangkan ia masih
musyrik? Rasulullah SAW menjawab, ya, berbuat baiklah kepadanya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Beginilah Islam memperlakukan
orang tua, meskipun orang tua kita berada dalam agama lain yang bukan Islam.
Namun Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepadanya. Meskipun demikian,
Islam tetap memiliki rambu-rambu dalam berbuat baik kepada orang tua yang tidak
muslim. Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 31 : 15)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ
عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengkuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
4.
Tidak durhaka kepada
kedua orang tuanya.
Selain memerintahkan untuk
berbuat baik terhadap keduanya, Islam juga melarang kita untuk berbuat durhaka
kepada orang tua. Karena durhaka terhadap orang tua merupakan dosa terbesar
dalam Islam, setelah menyekutukan Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيْعِ
بْنِ الْحَارِثِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلاَثًا. قُلْنَا : بَلَى
يَا رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ : الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ"
(متفق عليه)
Dari Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Maukah kalian aku beritahu tentang dosa yang paling besar?” Kami menjawab,
“Tentu wahai Rasulullah SAW.” Beliau berkata, “Menyekutukan Allah dan durhaka
kepada kedua orang tua.” (Mutafaqun Alaih)
5.
Mendahulukan ibu,
kemudian ayah.
Bagaimanapun juga, seorang ibu
lebih memiliki peran yang besar dalam diri kita. Ibu kitalah yang telah
mengandung kita selama sembilan bulan, melahirkan kita dengan susah payah,
membesarkan, merawat dan mendidik kita hingga dewasa seperti saat ini. Meskipun
dalam hal tersebut peran bapak juga besar, namun tidak sedominan peranan ibu.
Oleh karena itulah, Islam menjadikan berbakti kepada ibu, lebih prioritas dibandingkan dengan berbakti kepada
bapak. Dalam sebuah riwayat dikemukakan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ
أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ
أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ
أَبُوْكَ" (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang datang kepada rasulullah SAW,
lalu bertanya, wahai rasulullah, siapakan orang yang paling berhak aku berbuat
baik kepadanya? Rasulullah menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian
siapa wahai rasulullah ? Beliau menjawab ibumu. Kemudian ia bertanya lagi, lalu
siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian
siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, bapakmu. (Mutafaqun Alaih)
6.
Berbuat baik terhadap
orang yang dicintai orang tua.
Sekiranya pun orang tua kita
telah tiada, kita masih memiliki kewajiban sekaligus menunjukkan etika kita
kepada kedua orang tua kita, yaitu dengan menyambung tali persaudaraan dengan
orang-orang yang dicintai orang tua kita, apakah famili, kerabat, teman dan
lain sebagainya. Dalam sebuah riwayat digambarkan:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَبَرُّ الْبِرَّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ (رواه مسلم)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik perbuatan baik
terhadap orang tua adalah mernyambung persaudaraan terhadap orang-orang yang
cintai orang tuanya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain,
digambarkan :
سَأَلَ رَجَلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ
شَيْءٌ بَعْدَ مَوْتِهِمَا أَبَرُّهُمَا؟ قَالَ نَعَمْ، خِصَالٌ أَرْبَعٌ:
الدُّعَاءُ لَهُمَا وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْقَاذُ عَهْدِهِمَا،
وَإِكْرَامِ صَدِيْقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ رَحِمَ لَكَ إِلاَّ
مِنْ قِبَلِهِمَا (أخرجه
البخاري في الأدب المغرد)
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, apakah
masih tersisa kewajibanku untuk berbuat baik kepada kedua orangtuaku, apakah
aku masih harus berbakti kepada keduanya? Rasulullah SAW menjawab, Ya. Ada
empat hal yang harus dilakukan: Mendoakan dan memohon ampunkan bagi keduanya,
merealisasikan janji/ keinginan mereka berdua, memuliakan teman-teman mereka
berdua dan menyambung tali persaudaraan yang engkau tidak memiliki hubungan
lagi dengan mereka kecuali melalui kedua orang tuamu. (HR. Bukhari dalam Adab
Mufrad)
7.
Diantara cara berbuat
baik terhadap orang tua.
Pada dasarnya, dalam kondisi
apapun juga, kita diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah SAW untuk selalu
berbuat baik kepada orang tua dan menghormatinya dengan penghormatan yang
mulia. Berikut merupakan beberapa hal yang posisitf yang seyogyanya dilakukan
seorang muslim:
a)
Berdiri untuk
menyambutnya, menakala mereka tiba di tempat kita berada.
b)
Mencium tangan kedua
orang tua, ketika akan pergi atau tiba dari orang tua.
c)
Mengecilkan volume
suara kita dihadapan orang tua kita, sebagai penghormatan terhadapnya.
d)
Senantiasa berusaha
menyenangkan hati keduanya.
e)
Menggunakan cara dan
bahasa yang lembut ketika berbicara pada keduanya.
f)
Tidak menampakkan sikap
negatif dari diri kita, manakala kita mendapatkan hal yang kurang menyenangkan
yang berasal dari orang tua kita.
Akhlak
Seorang Muslim Terhadap Kerabat Keluarganya
Sebagai
seorang muslim, kita juga memiliki etika sekaligus kewajiban terhadap kerabat
keluarga kita, dengan berbuat ihsan terhadap mereka. Karena berbuat baik, dalam
Islam tidak hanya ditujukan kepada orang tua saja. Namun lebih jauh dari itu,
terhadap seluruh kerabat keluarga kita secara keseluruhan.
Kerabat
keluarga adalah mereka-mereka yang jika ditinjau dari segi nasab keturunan,
masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan kita. Baik yang satu ahli waris,
atau pun yang diluar ahli waris. Dan ternyata Islam memiliki perhatian yang
cukup besar dalam masalah hubungan seseorang dengan kerabat keluarganya.
Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 4 : 36)
وَاعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ
تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَاِلدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِى الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَاْلمَسَاكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبىَ وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ
اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ*
Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat
baiklah kepad dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga0banggakan
diri.
Dalam ayat di atas, Allah menjadikan urutan
berbuat baik kepada kerabat, setelah keharusan berbuat baik kepada kedua orang
tua. Hal ini menunjukkan betapa berbuat baik dan menyambung tali persaudaraan
terhadap kerabat merupakan hal yang sangat penting. Dalam hadits Rasulullah SAW
mengatakan:
عَنْ أَبِي أَيُّوْبِ اْلأَنْصَارِي أَنَّ
رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا
بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ وَتَصِلَ الرَّحِمَ
(متفق عليه)
Dari
Abu Ayub al-Anshari ra, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai
Rasulullah, beritahukan padaku akan amalan yang dapat memasukkan ku ke dalam
surga. Rasulullah SAW menjawab, ‘Menyembah Allah dan menyekutukannya pada
apapun juga, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menyambung tali
persaudaraan. (Mutafaqun Alaih)
Oleh karena itulah, seorang muslim juga harus
memiliki akhlak yang baik terhadap kerabat keluarganya, sesuai dengan tuntunan
Rasulullah SAW. Diantara akhak terhadap
kerabat keluarga adalah :
1.
Larangan untuk
memutuskan tali persaudaraan.
Di samping memerintahkan untuk
menyambung persaudaraan terhadap kerabat keluarga, Islam juga secara tegas
memberikan larangan untuk memutuskan tali persaudaraan. Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
(متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan
persaudaraan.’ (Muttafaqun Alaih)
2.
Seorang muslim
menyambung tali persaudaraan berdasarkan petunjuk Islam.
Karena seorang muslim yang
baik, ia akan senantiasa menyambung tali persaudaraan terhadap siapapun,
apalagi terhadap mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan. Namun dalam
menyambung tali persaudaraan tersebut, haruslah dengan memberikan skala
prioritas dalam berbuat baik kepada mereka. Pertama-tama harus dimulai dari
yang terdekat, kemudian yang dekat. Dalam hal ini dimulai dari ibu, bapak, baru
kerabat terdekat lainnya.
Disamping itu menyambung tali
persaudaraan kepada mereka, dengan tujuan meningkatkan ketakwaan dan keimanan
kita kepada Allah SWT. Sehingga manakala kita melihat adanya faktor yang justru
‘membahayakan’ keimanan kita, maka kita perlu memberikan batasan dalam
menyambung tali persaudaraan tersebut.
3.
Menyambung tali
persaudaraan, meskipun terhadap kerabat yang bukan muslim.
Karena pada hakekatnya mereka
secara nasab, masih memiliki hubungan dengan kita. Oleh karena itulah, kita
diperintahkan untuk senantiasa berbuat baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat
digambarkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو
بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِهَارًا غَيْرَ سِرٍّ يَقُوْلُ "إِنَّ آل أَبِي فُلاَنٍ
لَيْسُوْا بِأَوْلِيَائِي، إِنَّمَا وَلِيِّي اللهُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَلَكِنْ لَهُمْ رَحِمٌ أَبُلُّهَا بِبِلاَلِهَا (متفق عليه)
Dari Abdillah bin Amru bin Ash ra, aku mendengar Rasulullah SAW dengan
suara keras, tidak dengan suara pelan bersabda: “Sesungguhnya keluarga Abu
Fulan bukanlah termasuk ‘penolongku’. Karena penplongku hanyalah Allah dan kaum
muslimin yang shaleh. Namun terhadap mereka aku memiliki kekerabatan yang aku
menyambung tali persaudaraan dengan berbuat baik yang layak terhadap mereka.
(Mutafaqun Alaih)
4.
Memahami hakekat
silaturahim dengan makna yang lebih luas
Dalam artian bahwa menyambung
silaturahim dengan seluruh kerabat keluarga kita, tidak hanya dalam skup materi
saja, namun juga harus dalam hal-hal yang lebih luas dari sekedar materi,
seperti dengan silaturahim mengunjungi rumahnya, mempererat hubungan dengan
memperdalam rasa cinta, saling memberikan nasehat, ungkapan-ungkapan yang baik,
dan dalam hal-hal positif lainnya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW
bersabda:
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : بُلُّوْا أَرْحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ (رواه البزار)
Dari ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda “Berbuat baiklah terhadap
kerabat kalian, walaupun sekedar mengucapkan salam.” (HR. Al-Bazar)
5.
Menyambung tali
persaudaraan, sekalipun terhadap kerabat yang tidak mau menyambungnya.
Sebagai manusia biasa,
terkadang terhadap kerabat keluarga sekalipun dapat terjadi perselisihan yang
mengakibatkan retaknya hubungan. Bahkan tidak jarang, sikap satu pihak terhadap
pihak yang lainnya cenderung untuk tidak menegur, tidak menyapa dan tidak mau
menyambung lagi tali persaudaraannya. Namun sebagai agama yang penuh dengan
nilai-nilai rahmat, Islam melarang seseorang untuk berbuat seperti itu. Dalam
sebuah riwayat dikatakan:
قاَلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ الْوَاصِلُ
بِالْمُكَافِئ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
(رواه البخاري)
Rasulullah SAW besabda, Bukanlah orang yang (dinamakan) menyambung
persaudaraan dengan berupa balasan (menyambung jika kerabat kita
menyambungnya). Namun orang yang menyambung persaudaraan adalah yang senantiasa
menyambungnya meskipun mereka memutuskan persaudaraannya. (HR. Bukhari)
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Tetangga &
Masyarakatnya.
Tetangga
dan masyarakat sekitar tempat kita tinggal merupakan kumpulan dari
manusia-manusia yang terdekat dengan kehidupan kita. Keberadaan mereka
merupakan sesuatu yang sangat penting, apalagi manakala kita mencoba
merenungkan bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama sosial. Karena Islam sangat memperhatikan masalah sosial, serta
menjadikan kehidupan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
ajaran-ajarannya. Oleh karena itulah, kita akan banyak menemukan, baik dalam
Al-Qur’an maupun dalam Sunnah, ajaran-ajaran yang sangat bersinggungan dengan
masalah sosial. Berikut adalah beberapa etika seorang muslim terhadap
masyarakat dan tetangganya, diantaranya adalah:
1.
Memuliakan tetangganya.
Islam bahkan menjadikan
‘memulian’ tetangga sebagai salah satu syarat untuk dapat mewjujudkan
‘kesempurnaan iman’. Karena orang muslim yang memiliki kesempurnaan iman,
segala perbuatannya akan mengimplementasikan nilai-nilai keimanan dalam dirinya,
termasuk diantaranya adalah memuliakan tetangganya. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَاْليَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya, barang siapa
yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya,
dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia bertutur
kata yang baik atau hendaknya ia diam. (Mutafaqun Alaih)
2.
Pemaaf dan pemurah
terhadap tetangga.
Tetangga kita adalah juga
merupakan manusia biasa biasa yang terkadang berbuat kesalahan terhadap kita.
Namun sebagai seorang muslim yang baik yang memahami hal ini, akan memiliki
rasa pemaaf dan pemurah terhadap mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ
خَشْبَةً فِيْ جِدَارِهِ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, hendaklah seseorang jangan melarang
tetangganya ketika menancapkan sepotong kayu pada dinding (rumahnya) (Mutafaqun
Alaih)
3.
Mencintai mereka
sebagaimana mencintai diri kita sendiri.
Bahkan hal ini sudah menjadi
sesuatu yang harus dilakukan terhadap siapapun yang masih memiliki ikatan
akidah yang sama. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (متفق عليه)
Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga ia mencintai
saudaranya sendiri sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (Mutafaqun Alaih)
Dan salah satu bentuk
kecintaan kita kepada mereka adalah dengan memiliki kepedulian terhadap sesuatu
yang menimpa mereka. Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ
وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ (رواه الطبراني)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak beriman seseorang kepadaku, siapa saja
yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangga yang berada di sisinya
kelaparan dan ia mengetahui hal tersebut. (HR. Tabrani)
4.
Berbuat baik kepada
tetangga, baik yang muslim atau yang non muslim.
Kendatipun tetangga kita ada
yang bukan muslim, namun kita masih memiliki kewajiban untuk berbuat baik
kepada mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan, bahwa Abdullah bin Amru bin
Ash suatu ketika menyembelih seokor kambing, lalu memberikannya pada
tetangganya yang Yahudi. Ketika ditanya, beliau menjawab aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, ‘Bahwa Jibril senantiasa memberikan wasiat kepadaku
untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku mengiranya bahwa beliau akan
memberikan warisan kepada tetangganya.” (HR. Bukhari Muslim)
5.
Memprioritaskan
perbuatan ihsan, terhadap yang terdekat kemudian yang dekat.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah ra ketika bertanya
kepada Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ جَارَيْنِ
فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِى؟ قَالَ إِلَى أَقْرَبُهُمَا مِنْكِ بَابَا" (رواه
البخاري)
Dari Aisyah ra, beliau bertanya kepada rasulullah SAW, ‘Wahai
rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada yang manakah aku mengirimkan
hadiah? Rasulullah menjawab, kepada yang paling dekat pintunya dari umahmu.
(HR. Bukhari)
6.
Muslim terbaik adalah
yang terbaik bagi tetangganya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah
SAW mengatakan :
خَيْرُ الْجِيْرَانِ
عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ (رواه البخاري في الأدب المفرد)
Sebaik-baik tetangga di sisi Allah, adalah sebaik-baik mereka bagi
tetangganya. (HR. Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad)
7.
Tetangga yang buruk.
Islam bahkan melarang
seseorang untuk menjadi tetangga yang tidak baik bagi tetangganya yang lain.
Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan sebagai seseorang yagn tidak beriman kepada
Allah. Rasulullah SAW mengatakan:
وَاللهِ لاَ
يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ مَنْ يَا رَسُوْلَ
اللهِ؟ قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (متفق عليه)
Rasulullah bersabda “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak
beriman, demi Allah tidak beriman”, kemudian ditanyakan siapa wahai rasulullah
? Beliau menjawab, yang tidak memberikan rasa aman pada tetangganya dari
kejelekan-kejelekan dirinya.” (Mutafaqun Alaih)
8.
Menjaga untuk tidak terjerumus pada perbuatan salah terhadap
tetangganya.
Karena kesalahan yang paling besar
adalah kesalahan yang dilakukan seseorang terhadap tetangganya. Dalam sebuah
hadtis disebutkan
لِأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرَ
عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ (رواه أحمد)
Rasulullah bersabda, bahwa
zinanya seseorang terhadap sepuluh wanita, itu lebih ringan dari pada zinanya
seseorang terhadap wanita tetangganya. (HR. Ahmad)
9.
Sabar terhadap
keburukan tetangga dan masyarakatnya.
Karena bagaimanapun juga,
tidak semua orang memiliki sifat yang baik. Adakalanya kita harus berhadapan
dengan tetangga yang buruk perangainya, atau senantiasa berbuat kemaksiatan
kepada Allah SWT. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
المُؤْمِنُ الَّذِي
يُخَالِطُ النَّاسَ وَيْصْبِرُ عَلَى آذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي
لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصبِرُ عَلَى آذَاهُمْ (رواه الطبراني)
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mu’min yang berinteraksi dengan
masyarakatnya dan bersabar atas keburukan mereka, lebih baik daripada seorang
mu’min yang tidak berinteraksi dengan mereka serta tidak sabar atas keburukan
mereka. (HR. Tabrani)
10.
Tidak membalas
kejelekan tetangganya dengan yang serupa
Karena pada dasarnya Islam
tidak mengizinkan untuk berbuat buruk kepada orang yang juga berbuat buruk
kepada kita. Kita justru diminta untuk senantiasa tetap berbuat baik kepada
mereka meskipun mereka terkadang tidak baik terhadap kita. Dalam sebuah hadits
digambarkan:
أَتَى مُحَمَّدٌ
بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ آذَانِي جَارِيْ، فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ
الثَّانِيَةَ فَقَالَ آذَانِي جَارِيْ فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ الثَّالِثَةَ
فَقَالَ آذَانِيْ جَارِيْ فَقَالَ اعْمِدْ إِلَى مَتَاعِكَ فَاقْذِفْهُ فِي
السَّكَّةِ فَإِذَا أَتَى عَلَيْكَ آتٍ فَقُلْ آذَانِي جَارِيْ، فَتَحَقَّقُ
عَلَيْهِ اللَّعْنَةَ، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ"
Suatu ketika Abdullah bin Salam ra mendatangi Rasulullah SAW lalu
berkata, wahai rasulullah, sesungguhnya tetanggaku menyakitiku. Rasulullah SAW
bersabda, bersabarlah. Kemudian beliau pulang, lalu kembali pada Rasulullah SAW
untuk kedua kalinya dan berkata, wahai Rasulullah SAW. Tetanggaku menuyakitiku.
Rasulullah SAW menjawab, bersabarlah. Kemudian ia pulang lalu kembali
mendatangi Rasulullah SAW untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, wahai
Rasulullah SAW, tetanggaku menyakitiku. Beliau menjawab, kalau demikian
peganglah barang-barangmu, lalu lemparkan ke jalan. Dan apabila ada seseorang
yang mendatagimu, katakalnlah (bahwa hal ini dilakukan) karena tetanggaku
menyakitiku, hingga ia akan mendapatkan laknat. Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetagganya.
(Hayatus Shahabah III/50)