AL HAROMAIN

DAFTAR

  • pakaian
  • buku

Daftar Blog

TEXT

text

zainimjkbgt

zainimjkbgt
zainimjkbgt

zainimjkbgt.blogspot.com

zainimjkbgt

alharomain

Penayangan bulan lalu

Populer

Entri Populer

1 Februari 2012

BAHTERA DAKWAH SALAFIYAH

TOKO ALHAROMAIN MENJUAL PAKAIAN JADI D 54-D55 AND B19-B20 PASAR TANJUNG MOJOKERTO

BAHTERA DAKWAH SALAFIYYAH
Adalah sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu mengevaluasi
setiap perbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna mengembangkan
keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari kita selalu
bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan pada kesempatan
ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan dengan dakwah
salafiyyah di Indonesia untuk sedikit menoleh kebelakang, guna menilik
kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah ini.
Umar bin Khaththab pernah berkata :
Artinya : bermuhasabahlah (intropeksi dirilah) sebelum kalian dihisab. ( HR. At
Tirmidzi dan Ibnu Syaibah ). Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak
untuk bersama-sama kita lakukan, karena saya merasa, dan setiap orang
telah merasakan adanya berbagai aral dan berbagai badai yang sedang
menerpa bahtera dakwah ini.
Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa,
bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan
tenggelam.
Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh
Rasulullah b bahtera dakwah ini.. tatkala beliau bersabda :
Artinya : Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan ( syariat )
allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagibagi
tempat di sebuah kapal / ahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang
mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan sebagian lainnya mendapatkan
bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil
air, maka pasti melewati orang-orang yang berada diatas mereka, kemudian
mereka berkata : seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya
kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila
mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginnanya,
niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang
tersebut, niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan
mereka semuapun akan selamat. ( HR Bukhori ).
Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negri kita, kita akan
melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut hemat
saya, ada enam permasalahan yang sepatutnya kita pikirkan bersama,
kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam
permasalahan tersebut adalah :
1
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar
2. Sikap tidak jujur terhadap diri ssendiri
3. Kedudukan uang transport bagi seorang da'i.
4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliranaliran)
yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama'ah.
5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan.
6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan
para ulama'.
Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan tersebut satu
demi satu :
Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar Bila kita membaca nasehatnasehat
para ulama' -baik ulama'- terdahulu maupun ulama' zaman sekarangdalam
perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka
menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling
penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan
seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu,
maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar.
Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa
memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia harus
mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia mempelajari
hal-hal lainnya.
Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim,
adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika
kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian
ilmu tauhid yang mana kita harus memulai ? Apakah kita mulai dari
mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau
tauhid asma' wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa
melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula atau orang awam, yang
belum tahu apa-apa ?
Nah...inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul
ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam , tentunya ia tidak akan mampu
melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah peran para
asatidzah dan du'at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing
murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya.
Nah...kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para
asatidzah dan du'at-du'at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai
fitnah dimasyarakat.
Artinya : Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang
mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya
didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan
Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al Baghdady dalam
kitab Al Jami', keduanya dengan menyebutkan sanadnya).
2
Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah
(test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami'ah Al Islamiyyah),
berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu
beberapa asatidzah -termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syekh
yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna memohon agar
sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas dan kemudian
menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada
kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh tersebut bernama :"Syekh
Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil" (Penulis buku Manhaj dan Aqidah
Imam Syafi'iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'I), dan ketika beliau
sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest /
menguji ke-50 thullab, satu demi satu. Dan diantara pertanyaan yang beliau
lontarkan kepada mereka :"Sebutkan rukun-rukun sholat?"
Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil
memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan
ada salah satu dari mereka yang memberanikan diri untuk menjawab, dan
berkata: "Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya".
Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka : "Siapakah yang
lebih kafir, ahlul bid'ah ataukah yahudi?", maka dengan sekonyong-konyong
orang tersebut berkata : Ahlul bid'ah lebih kafir dibanding yahudi. Tatkala
syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut, beliau
terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan
ini dan berkata: "Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf ?!,
Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!.
Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang
ustadz yang berceramah dan berkata : "Sesungguhnya Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin,
sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit".
Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah
pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa
yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid'ah banyak dari mereka tidak
sampai kepada kekufuran ?!?!?!
Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat
dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan
diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan
waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian
gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.
Contoh lain : Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama
yang ditulis oleh ulama'-ulama' zaman sekarang, seperti Syekh Rabi' bin Hadi
Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita
langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan
dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru
lagi,maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah
seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut,
akan tetapi, sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga.
3
Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da'i yang sedang
ditahdzir, maka disetiap kota, dan setiapa majlis, pembicaraan dan materi
kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang pro ataupun
kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan melalaikan
ilmu.
Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombangambingkan
oleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih
menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara
pedidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih
lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian
Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah : Sering kali kita merasa
cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak
mengenal hakikat.
Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam
ini, adalah merupakan istilah syar'i, sehingga defiinisi dan maknanyapun
harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak
cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata "sholat" secara
bahasa kata ini bermakna "doa", akan tetapi dalam syariat kata tersebut
memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang
menyebutkan kata "sholat", maka kita fahami secara istilah syariat, bukan
secara bahasa. Begitu juga halnya dengan istilah -istilah syariat lainnya,
kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata
"sholat" disitu adalah makna secara bahasa, bukan secara syariat.
Nah...sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah
dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah
mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana kita mengenal
definisi kata "sholat", lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan
sunnah-sunnahnya?. Untuk lebih jelasnya, kita kenal kata "tasyabbuh",
apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syaratsyarat,
rukun-rukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ?
Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :
Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata : "Tatkala
Rasulullah b hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata
kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat,
kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah b membuat stempel dari perak". (HR
Bukhori dan Muslim)
Bukankah Rasulullah b dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang
kafir? Bukankah ini tasyabbuh ? Ini menunjukkan bahwa tidak semua
perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid'ah diharamkan, akan
tetapi ada beberapa kriteria /syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :
1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.
2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.
4
3. Adanya niat meniru, berdasarkan hadits ( Innal a'malu binniyaati /
sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat...)
Sebagai contoh lain : Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang,
berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah
dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang
mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh?
Yang lebih memilukan adalah nasib istilah "manhaj salaf", betapa sering kita
mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah
sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada
diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana
rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf,
sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj
salaf...dst?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang -menurut hemat saya- sampai saat
ini di negri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang
semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah
nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas,
sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan
dengan istilah tersebut. Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau
kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah tersebut hingga tuntas.
Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:adalah sikap meremehkan
peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai
ilmu syariat.
Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang
menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul
fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu
ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata : "Yang
penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan oleh
Rasulullah b, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal tersebut
merupakan syarat, rukun, atau wajib, atau sunnah dalam suatu sebuah
ibadah.
Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku
dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang tersebut adalah
seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata
yang mengucapkan itu adalah seorang yang menyandang gelar (Lc) yang ia
peroleh dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah Munawwarah.
Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : Barangsiapa
yang tidak memperoleh hal-hal yangh prinsip, maka dia tidak akan mencapai
ilmu.
Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang
mengatakan ungkapan ini : "Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang
berhasil menjadi ulma', tanpa mempelajari ilmu-ilmu tersebut?"
5
Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah
saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang
tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya
berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna,
hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya
ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut.
Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu
tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan
sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita
semua.
Ahlis sunnah wal jama'ah telah sepakat dalam mendefinisikan "iman", bahwa
iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu
yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu
tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima
waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumitelah kafir,
keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa,
mandi janabah dll.
Imam An Nawawi berkata : "Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah
menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang
kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan
orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka
tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia pegangi,
untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang
mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan
agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya sholat
lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer,
menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru
masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila
orang seperti ini mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut, karena
kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak kafir." ( Syarah Shohih Muslim
1/250 )
Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban
kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan
diharamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh
setiap orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah
satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah
disepakati akan kekafirannya". (Majmu' Fatawa 12/496).
Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna,
akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah rukun, maka
sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa
yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum sahalat, maka sholatnya
tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelumsholat. Inilah salah satu
wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama'ah. Untuk
lebih jelas lagi. ilahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syaratsyarat,
rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.
6
Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri
Rasulullah b bersabda : Artinya : Tidaklah salah seorang dari kalian
dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan
pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam
bergaul dan bermasyarakat, yaitu : sebelum kita mengucapkan perkataan atau
bersilap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada hati
nurani kita sendiri "apakah saya suka bila diperlakukan dengan perlakuan
yang akan saya lakukan ini?"
Bila jawabannya adalah "Ya, saya suka", maka silahkan untuk dilakukan, dan
bila ternyata jawabannya adalah "Tidak", maka jangan lakukan hal tersebut.
Betapa indahnya pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya.
Seandainya para da'i, dan ustadz yang ada di negri kita, -terutama mereka
yang mengaku bermanhaj salaf-mengamalkan prinsip ini, saya yakin, banyak
permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya.
Akan tetapi kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan.
Sebagai contoh : Yayasan "AL HARAMAIN" yang ada dikota Riyadh, dalam
beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang
lulus dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah -tanpa terkecuali-, sumbangan
berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada
kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya
sumbangan tersebut dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal,
dan kadang 500 reyal.
Nah...Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan
berkata, kalo demikian... alumni jami'ah yang sekarang sudah malang
melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain, juga menerima
sumbangan tersebut ???!!
Maka jawaban pertanyaan ini -dan saya tahu sendiri- adalah : "Ya, mereka
menerima itu semua dengan kedua tangan terbuka, dan tanpa sedikit ada
keragu-raguan".
Pada beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami'ah -yang sekarang ini
dengan lantang mentahdzir setiap orang yang menerima sumbangan dari
Yayasan Al Haramain- setelah menerima sumbangan sebesar: 1.000,- Reyal,
mereka ditanya oleh salah seorang kawan : Kenapa kok mau menerima
sumbangan tersebut, bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan
sangat lugu berkata : "Lho...kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain".
Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, karena sumbangan macam ini
sudah berjalan beberapa periode sebelumnya.
7
Dan yang mengherankan pula, setelah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu
berasal dari Al Haramain, keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi
sumbangan tersebut, dengan harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang
jatuh dari sakunya.
Contoh lain : Pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin Indonesia di Al
Jami'ah Al Islamiyyah , mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal
pengiriman kitab ke negara mereka Indonesia, yaitu dengan dikirimkan secara
kolektif dengan menggunakan kontainer ini adalah awal pengiriman kitab
dengan cara ini di Al Jami'ah Al Islamiyyah ). Pengiriman tersebut didanai oleh
Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkaskan di negara Kuwait.
Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami'ah Al
Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan Yayasan
Ihya `ut Turots : "Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri antum;
karena telah menerima sumbangan dari Al Haramain dan Ihya'ut Turots ??
Apakah Al Haramain & Ihya' at Turots menjadi yayasan salafy, bila yang
menerima sumbangan adalah antum sendiri, dan menjadi yayasan kholafy /
surury, bila yang menerima adalah anak-anak yatim, atau orang selain
antum??!. Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?"
Contoh lain : Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada salah
seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat untuk
bertanya akan hukum hal ini kepada Syekh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan, maka fatwa syekh tersebut, lenyap entah kemana...., Saya
tidak tahu, apakah fatwa tersebut telah ditelan bumi, atau ditelan ambisi.
Oleh karena itu -menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri
sendiri adalah penting perannya dalam kehidupan seorang muslim.
Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam'an, beliau berkata: Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah b tentang Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm
(perbuatan dosa), maka beliau bersabda:"Al Birru adalah akhlaq / budi pekerti
yang baik, dan Al Itsmu adalah segala yang engkau merasakan adanya
kejanggalan dan keragu-raguan dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa
tidak suka bila diketahui oleh orang lain. (HR. Muslim)
Kedudukan uang transportasi bagi seorang da'i
Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya
yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama Islam, yaitu
keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan balasan
bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta'ala. Pada kesempatan ini, saya
tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas; karena hal itu sudah
diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam kesempatan ini, adalah
ajakan kepada seluruh du'at dan asatidzah, agar mengkaji ulang hukum
kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah kita, yaitu kebiasaan menerima uang
transportasi.
8
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi,
apakah uang transportasi yang kita terima, setelah kita memberikan
pengajian/ceramah/dauroh dll, benar-benar uang transportasi? Ataukah uang
transportasi? Ataukah uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat
ganda, dan menurut yang saya ketahui- alternatif inilah yang terjadi,
transportasi inilah yang terjadi, transportasi pulang pergi yang seharusnya
hanya misalnya Rp. 50.000,- akan tetapi amplop yang diterima berisikanminimal
Rp. 100.000,-
Hal kedua yang harus kita kaji ulang adalah hukum menerima uang tersebut,
sebab para ulama' semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat dalam
menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang memakruhkan,
dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah yang dirajihkan
(dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani rahimahullah.
Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa
ustadz yang Alhamdulillah telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren, dan
Alhamdulillah pula telah memiliki santri yang cukup banyak, lebih
mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren
terlebih-lebih undangan dari luar kota dibandingkan mengajar di pesantren
yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering tidak mendapatkan
pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz tersebut, bila sudah keluar kota untuk
berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrenya, kecuali bila sudah kecapekan,
dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh sakit.
Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban
mengajar dipesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota?
Bukankah para santri telah walaupun sedikit membayar SPP, sehingga telah
menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah dicanangkan oleh
pesantren?
Lalu, apakah yang memotivasi ustadz tersebut untuk keluar kota? Bukankah
keluar kota lebih melelahkan? Membutuhkan transportasi? Bukankah
kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua? Yaitu mengajar di
pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah dimasyarakat sekitar lokasi
pesantren?
Diantara kisah yang sampai kepada saya : Bahwa daerah-daerah yang
masyakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf)
berperekonomian / berpenghasilan rendah / tidak memiliki donatur yang
kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di
tempat-tempat tersebut, terlebih-lebih pengajian rutin.
Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A) bermusuhan
dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan berbagai alasan. Pada
suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A) dikarenakan beberapa hal
menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan menghadiri pengajian Ustadz (A),
maka Ustadz (A) berang seakan sedang kebakaran kumis, lalu mengatakan
bahwa Ustadz (B) telah mencuri muridnya.. Usut punya usut, ternyata
dahulunya anak murid tersebut biasanya selalu memberikan sumbangan
kepada Ustadz (A), dan setelah menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi
mengucurkan sumbangan tersebut.
9
Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran)
yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal
dakwah salaf, manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang memiliki
manhaj yang bersebrangan dengan manhaj salaf. Ada dari kita yang
dahulunya seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula yang
sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang mu'tazili dll.
Hal ini adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain agar kita
bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta'ala, yang telah memberi hidayah kepada
kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita selalu berhati-hati,
dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap kita, jangan sampai
pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih terpengaruh dengan
pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan firqoh-firqoh
tersebut.
Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih sabar dan
bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, karena kita akan
selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu -karena kebodohan- saya
juga telah berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa iba, dan kasihan
terhadap orang tersebut, akibatnya, kita akan lebih gigih untuk menjalankan
segala daya dan upaya agar orang tersebut bisa mendapatkan hidayah,
sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah.
Marilah kita renungkan bersama ayat berikut :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan Allah,
maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kpdmu : "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,
karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu dahulu,
lalu Allah menganugerahkan ni'mat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" ( QS. An Nisaa'
: 94 )
Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin -ketika dalam keadaan
peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh yang menampakkan
keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin, :
"Engkau bukanlah seoarang muslim, engkau mengucapkan salam hanya
sekedar takut dibunuh" lalu dibunuh, karena sangat dimungkinkan bahwa
orang tersebut adalah orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan tetapi
takut untuk menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan
orang-orang Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana
didapatkan dari mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan tetapi
takut untuk menampakkan keislamannya.
Nah...pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da'i, dan ustadz,
bahwasannya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah
pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih
lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih bila
terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran.
10
Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan
Allah Ta'ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran, masingmasing
kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang berbeda-beda, ini
adalah sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan harus selalu kita ingat,
tatkala kita berbicara dengan orang lain.
Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit
penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal tersebut. Akan tetapi,
ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali, baru akan
bisa memahami apa yang kita inhginkan. Bahkan ada orang yang tidak bisa
memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah berpuluh-puluh kali,
akan tetapi, bila ia mendengarkan penjelasan dari orang lain, dengan cara lain,
ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa yang kita maksudkan.
Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain, kecuali
setelah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal pikiran, maka
begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat kita, sampai seluruh
pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal pikirannya terjawab dengan
tuntas.
Hal ini sering kita lalaikan, sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa
memperdulikan pendapat dan alasan kita.
Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini,
sehingga tatkala orang lain tidak atau blm bisa menerima pendapat kita
maka...mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya
berkobarlah api amarah, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari
klaim:"Keras kepala, aqlani, menolak hadits,...hingga vonis mubtadi'".
Sebagai contoh : Sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir
ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz tersebut telah dinasehati, dan
tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang belum
tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan pendapatnya
dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan dengan
gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang mungkin
saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah didengar dan
dibaca, belum tentu ustadz tersebut memahaminya dengan baik.
Oleh karena itu, saya mengajak para da'i, dan asatidzah untuk lebih banyak
belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara
berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara
11
mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan
banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan
ahlul bid'ah.
Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur'an dan As Sunnah
tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan
perantara penjelasan dan penafsiran para ulama'. Merekalah yang yang
mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang
telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Oleh karena itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman,
agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran
dan As Sunnah, yaitu :
1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai
dengan pemahaman salafush sholih.
2. Pemahaman yang benar dan sempurna terhadap kasus dan
permasalahan yang hendak ia hukumi
Bila seorang ulama telah memiliki kedua jenis pemahaman tersebut, maka
Insya Allah fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan tetapi, bila
salah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi kesalahpahaman
padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik dan benar.
Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki
pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang
pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang
akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak
paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter.
Sehingga jatuhlah korban karenanya. Bahkan menurut beliau, bahaya seorang
yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa paham
terhadap realita yang ada pada zamannya., adalah lebih besar dibanding
dokter gadungan tersebut, karena kesalahan yang ia timbulkan ada
hubungannya dengan nasib manusia di akhirat.
Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da'i, dan
asatidzah, agar extra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa atau
sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan masyarakat
kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa tersebut ?
12
Sebagai contoh nyata, Ada dari kalangan ulama' salaf yang menegaskan:
bahwa lebih baik bertetangga dengan kena kera dan babi, dibanding
bertetangga atau duduk dengan dengan ahlul bid'ah. Seharusnya sebelum
kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah masyarakat kita sama
dengan masyarakat ulama tersebut, masyarakat yang mayoritasnya
memahami manhaj salaf?
Contoh lain : Para ulama telah sepakat, bahwa : Barangsiapa yang
menyatakan Al quran adalah makhluk, maka ia kafir. Nah...apakah setiap
orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan tersebut, langsung
kita hukumi sebagai orang kafir??
Imam Ahmad, beliau langsung menghadapi fitnah tentang hal ini, tatkala
mengetahui bahwa Al Makmun (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan
bahwa Al Quran adalah makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang
ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan tetapi Imam
Ahmad tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad
malah berkata : "Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do'a yang
mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan
pemimpin kaum muslilmin (kholifah)".
Contoh lain : Beberapa bulan yang lalu, Syekh Muhammad bin Hadi Al
Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon kepada
asatidzah di Indonesia. Pada hari dan waktu yang telah disepakati, beliau
menyampaikan tausiyyahnya, dan setelah selesai, maka beliau
memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang sebelumnya
telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan adalah
berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid'ah, maka beliau
berfatwa : "Tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid'ah", tentunya dengan
berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.
Setelah acara tersebut selesai, fatwa tersebut langsung diterapkan oleh
beberapa gelintir ustadz, yaitu dengan menunjukkan kepada salah seorang
ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala ustadz
tersebut tidak menuruti apa yang mereka inginkan, mulailah mereka
mengeluarkan senjata pemungkas, yaitu tahdzir dan hajr, bahkan bukan
hanya itu saja, ustadz tersebut juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan
SDIT yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah.
Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan
saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan :
bahwa penjelasan saya tersebut, adalah hukum yang bersifat umum, tidak
boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. Karena menerapkan hukum
kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tatacara tersendiri.
Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan
mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz tersebut.
13
Apalagi, setelah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang terjadi
akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata : Semoga Allah tidak
memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka.
Sikap ini -sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan, bila
ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka ustadz
pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua
tersebut, yaitu dengan cara menelpon salah seorang syekh, kemudian
ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh tersebut
memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi pada
kisah yang lalu. Dan setelah ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia
langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang ustadz yang tidak
ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.
Oleh karena itu para ulama telah meletakkan sebuah qaidah yang
berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus
tertentu, yaitu "Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar'i, sesuai
dengan perubahan adat atau keadaan pada orang tersebut".
Oleh karena itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama salaf dalam
berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala, bak
katak dalam tempurung.
Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah
menimbulkan berbagai fitnah dinegri kita. Dan akhir tulisan ini, saya ingin
menekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga
saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan
alasan serta dalil, bahkan saya sangat mmengharapkan kritikan dan saran
dari kawan-kawan demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah
dinegri kita.
SELESAI
Ditulis ulang dari sebuah makalah 11 lembar yang berjudul "Bahtera Dakwah
Salafiyah di Lautan Indonesia" yang disusun oleh Al Akh Muhammad Arifun Badri, Lc,
MA ( Madinah ,08 Sya'ban 1424 H / 04 Okt 2003) dan disebarkan oleh "Tasjilat dan
Maktabah Ibnu Taimiyah" Jl. Kresna No. 24, Pulosari Rt. 02 / Rw. 04 Kelurahan
Gayam, Kec/Kab. Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, Indonesia
14
Sebuah Tanggapan :
Bisa sebagai bahan perenungan penulis “Bahtera Dakwah Salafiyyah di Lautan
Indonesia”
MUTIARA NASEHAT SYAIKH ALBANY TERHADAP THOLABUL 'ILM
"Aku nasehatkan untuk saya pribadi khususnya dan untuk saudara
saudaraku kaum muslimin pada umumnya agar bertaqwa kepada Allah.
Diantara bagian-bagian taqwa yang akan aku nasehatkan adalah :
Pertama, Hendaklah kalian menuntut ilmu syar'i dengan ikhlash karena Allah,
janganlah ada tujuan-tujuan yang lain seperti mengharapkan sesuatu balasan,
ucapan terima kasih atau senang tampil di muka umum.
Kedua, diantara penyakit yang menimpa para penuntut ilmu syar'i adalah ujub
dan lupa daratan, dia merasa sudah memiliki ilmu cukup sehingga berani
berpendapat sendiri tanpa mengambil bantuan dan penjelasan ulama' salaf.
Sebagaimana mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberikan
taufiq kepada mereka, berupa ilmu yang benar dan adab-adabnya, bahkan
mereka tertipu dengan diri mereka sendiri dan mereka menyangka bahwa
mereka telah memiliki kemapanan ilmu sehingga muncul dari mereka pendapatpendapat
yang mengguncangkan, tidak dilandasi dengan pemahaman yang
benar berlandaskan al-Kitab dan as-Sunnah.
Maka nampaklah pendapat-pendapat ini dari pemikiran-pemikiran yang tidak
matang, mereka menyangka bahwa fatwa-fatwa tersebut adalah ilmu yang
diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Maka, mereka sesat dengan pemikiranpemikiran
tersebut dan menyesatkan banyak manusia, dan kalian mengetahui
semuanya diantara dampak negatif dari fenomena tadi adalah munculnya
kelompok-kelompok di sebagian negeri islam mengkafirkan kelompok-kelompok
lainnya dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, tidak bisa kami kemukakan
dalam kesempatan yang singkat ini, karena pertemuan kami ini sekarang
khusus sedang memberikan peringatan dan nasehat kepada para penuntut ilmu
dan juru da'wah, oleh karena itu saya nasehatkan saudara-saudara kami dari
ahli sunnah dan ahli hadits di seluruh negeri islam agar mereka sabar dalam
menuntut ilmu, dan agar mereka tidak tertipu dengan ilmu yang mereka miliki
sekarang. Mereka harus mengikuti jalan yang telah digariskan, jangan sekalikali
mereka bersandar dengan mengandalkan semata-mata pemahaman
mereka atau mereka beri nama dengan ijtihad mereka.
Saya sering sekali mendengar dari saudara-saudara kami mereka mengatakan
dengan sangat mudahnya, "saya berijtihad" atau "saya berpendapat demikian"
tanpa memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari ucapan-ucapannya.
Mereka tidak mengambil bantuan dari kitab-kitab fiqh dan hadits serta
pemahaman ulama terhadap kitab-kitab tersebut. Yang ada hanya hawa nafsu
dan pemahaman yang dangkal dalam menggunakan dalil, sedangkan
penyebabnya adalah ujub dan lupa daratan. Oleh karena itu, sekali lagi aku
nasehatkan kepada para penuntut ilmu agar menjauhi segala akhlak yang tidak
islami, di antaranya agar mereka tidak tertipu oleh ilmu yang telah
didapatkannya serta tidak tergelincir ke dalam ujub.
15
Ketiga, terakhir, agar mereka menasehati manusia dengan cara yang lebih baik,
menjauhi cara-cara yang kasar dan keras dalam berdakwah karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS an-Nahl : 125)
Allah berfirman dengan ayat tadi karena kebenaran itu sendiri berat atas
manusia atau menerimanya, dan berat atas jiwa-jiwa mereka, oleh karena itu
secara umum jiwa manusia sombong untuk menerimanya, kecuali sedikit orang
yang dikehendaki Allah untuk langsung menerimanya. Apabila beratnya
kebenaran itu atas jiwa manusia ditambah dengan beratnya cara berupa
kekasaran dalam da'wah, maka itu berarti menjadikan manusia lari dari
da'wah kebenaran. Kalian tentu mengetahui sabda b:
"Sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang membuat orang lari
(dari kebenaran). Beliau mengulanginya tiga kali. Sebagi penutup, saya
memohon kepada Allah Ta'ala agar jangan menjadikan kami sebagai orangorang
yang membuat orang lain lari dari kebenaran, akan tetapi jadikanlah
kami sebagai orang-orang yang memiliki hikmah dan orang-orang yang
mengamalkan al-Qur'an dan as-Sunnah.
------------------------------------------------------

Tidak ada komentar: