.
Bagaimana keadaan bangsa Indonesia sekarang setelah merdeka? Semua
orang akan menjawab serentak: terpuruk. Laporan akhir 2011 menyebutkan,
apabila mengikuti indikator Bank Dunia yang menyatakan bahwa orang yang
miskin adalah orang yang penghasilanya per hari minus dua dolar AS (Rp
18 ribu), maka di Indonesia sekarang terdapat 117 juta orang miskin.
Negara
tetangga yang usianya lebih muda dari Indonesia sudah menjadi negara
majikan. Sementara Indonesia masih menjadi negara pekerja. Kita
terkadang bertanya, apa kesalahan kita dalam mengurus ekonomi Indonesia.
Apakah para ahli ekonomi tidak pandai atau karena masalah lain.
Kendati
bukan merupakan sebab atas terpuruknya bangsa Indonesia, namun hal-hal
berikut ini dapat memberikan gambaran yang wajar apabila bangsa
Indonesia masih terpuruk sampai sekarang. Wajar apabila kita masih
terpuruk karena dalam beribadah kita juga lebih menyukai ibadah yang
pahalanya minimalis.
Pertama,
ketika ada dua macam ibadah yang pekerjaannya sama, yang satu akan
mendapatkan pahala 27 derajat dan yang satu lagi akan mendapatkan pahala
satu derajat apabila ibadah itu baik. Ternyata, kita lebih banyak yang
memilih pahala satu derajat daripada 27 derajat. Contohnya, shalat
berjamaah dan sendirian. Silakan perhatikan di mana-mana umat Islam
Indonesia berlomba-lomba besar-besaran masjid. Namun, dalam waktu yang
sama mereka juga berlomba kosong-kosongan masjid.
Kedua,
ada ibadah yang ringan untuk dikerjakan namun pahalanya luar biasa,
yaitu menyantuni anak yatim. Nabi SAW bersabda, “Saya dan penyantun anak
yatim seperti dua jari ini di Surga.” Nabi SAW menunjukkan jari
telunjuk dan jari tengah. Di sisi lain ada ibadah yang sangat berat
dilakukan karena yang bersangkutan harus memiliki persiapan uang yang
cukup, mental, dan fisik yang prima, dan balasannya surga, yaitu haji.
Perhatikan
kita umat Islam Indonesia lebih banyak memilih yang mana? Menyantuni
anak yatim atau berhaji ulang. Tidak dapat dimungkiri ternyata kita
lebih banyak memilih berhaji ulang daripada menyantuni anak yatim.
Ketiga,
ada ibadah yang sangat ringan dikerjakan, namun Nabi SAW akan mendoakan
empat kali bagi yang melakukannya agar ia diberi rahmat oleh Allah SWT,
yakni menggundul kepala bagi laki-laki ketika tahallul seusai berihram
haji atau umrah. Di sisi lain, Nabi SAW hanya mendoakan satu rahmat bagi
yang memendekkan rambut tidak menggundulnya ketika tahallul. Tapi,
mayoritas jamaah haji Indonesia memilih memendekkan rambutnya dan tidak
menggundulnya.
Keempat,
Nabi SAW tidak pernah membatasi jumlah rakaat untuk Qiyam Ramadhan
(tarawih). Tapi kita umat Islam Indonesia lebih banyak memilih Qiyam
Ramadhan yang jumlah rakaatnya minimalis.
Contoh-contoh
di atas membuktikan bahwa dalam beribadah kita lebih memilih ibadah
yang pahalanya minimalis daripada ibadah yang pahalanya maksimalis.
Karena itu, kita tidak perlu menyalahkan orang lain apabila kita juga
masih menjadi bangsa yang ekonominya minimalis. Dan, tampaknya kita
perlu melakukan reorientasi ibadah, agar pahalanya maksimalis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar